Sunday, October 17, 2010

Hadis tentang Prinsip, Faktor dan Hukum Perkawinan

Bagaskara Munjer Kawuryan


Perkawinan antara laki-laki dan perempuan dimaksudkan sebagai upaya memelihara kehormatan diri (hifzh al-‘irdl) agar mereka tidak terjerumus ke dalam perbuatan terlarang, memelihara kelangsungan kehidupan manusia/keturunan (hifz al-nasl) yang sehat, mendirikan kehidupan rumah tangga yang dipenuhi kasih sayang antara suami dan isteri dan saling membantu antara keduanya untuk kemaslahatan bersama. Hal ini telah dinyatakan dengan jelas dalam Qs. Al-Rûm (33): 21:
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kamu pasangan-pasangan dari jenis (yang sama dengan) kamu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepada mereka, dan dijadikan-Nya di antara kamu (dan pasanganmu) rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

Untuk maksud di atas, maka tanzhîm al-usrah (pengaturan keluarga) dan usaha-usaha dalam menjaga kesehatan reproduksi menjadi suatu ikhtiar yang harus mendapat perhatian yang serius dari semua pihak, termasuk di dalamnya adalah pengaturan tentang batas usia perkawinan yang dapat menjamin terpenuhinya kesehatan reproduksi dan kemaslahatan.


Qs. al-Nûr, 32 :

وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ

“Dan nikâhkanlah mereka yang belum bersuami”.

Imâm Syâfi’î mengatakan :
‘‘ويستحب للأب أن لا يزوجها حتى تبلغ لتكون من أهل الإذن ولأنه يلزمها بالنكاح حقوق’’.
“Sebaiknya ayah tidak mengawinkannya (anak perempuan belia) sampai dia baligh, agar dia  bisa menyampaikan izinnya, karena perkawinan akan membawa berbagai kewajiban (tanggung jawab)”.[1]

Ijbâr dan Wali Mujbir

Selama ini ada pandangan umum yang menyatakan bahwa perempuan menurut fiqh Islam tidak berhak menentukan pilihan atas pasangan hidupnya. Yang menentukan dalam hal ini adalah ayah atau kakeknya. Hal ini lalu menimbulkan asumsi umum bahwa Islam membenarkan kawin paksa. Pandangan ini dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman terhadap apa yang dikenal dengan ‘hak Ijbâr’. Hak ijbâr dipahami oleh banyak orang sebagai hak memaksakan suatu perkawinan oleh orang lain yang dalam hal ini adalah ayahnya.
Sebelum menjelaskan persoalan memilih pasangan (jodoh) ini lebih jauh perlu dijelaskan terlebih dahulu secara singkat mengenai beberapa kata dalam bahasa Arab yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan paksaan/memaksa atau yang memiliki konotasi yang sama. Antara lain adalah kata Ikrâh dan Taklîf. Kedua kata ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti paksaan atau memaksa, atau dibebani/diwajibkan mengerjakan sesuatu. Qs. Al-Baqarah (2): 256 misalnya menyebutkan :
لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
“Tidak ada paksaan dalam agama”.

Qs. Al-Nahl (16): 106:
إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ
“Kecuali orang dipaksa, sedangkan hatinya masih beriman”.
Mengenai taklîf , Qs. Al-Baqarah (2): 286 menyebutkan :
لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak  memaksakan  (beban) kepada seseorang kecuali menurut kemampuannya”.
Kemudia kata ijbâr. Dalam kamus Al-Munawwir, misalnya, dikatakan: ajbarahu ‘alâ al-amr, yang berarti mewajibkan, memaksa agar mengerjakan.
Pada ketiga kata bahasa Arab di atas, sebenarnya terdapat perbedaan yang cukup signifikan untuk dapat memahami persoalan dalam kajian ini. Ikrâh adalah suatu paksaan terhadap seseorang untuk melakukan sesuatu pekerjaan tertentu dengan suatu ancaman yang membahayakan terhadap jiwa atau tubuhnya, tanpa dia sendiri mampu melawannya. Sementara bagi orang yang dipaksa, perbuatan tersebut sebenarnya bertentangan dengan kehendak hati nuraninya atau pikirannya.[2]
Taklîf adalah suatu paksaan terhadap seseorang untuk mengerjakan sesuatu. Akan tetapi pekerjaan ini sebenarnya merupakan konsekwensi logis belaka dari penerimaannya atas suatu keyakinan. Jadi, pekerjaan tersebut sebenarnya adalah suatu kewajiban bagi orang tersebut (mukallaf), karena dia telah dengan sadar menjatuhkan pilihannya untuk mengikuti atau mengakui sesuatu keyakinan. Misalnya adalah shalat lima waktu, puasa bulan ramadhan dan kewajiban-kewajiban agama yang lain. Ini juga sama dengan kewajiban melaksanakan suatu aturan atau undang-undang negara, organisasi dan lain-lain.
Adapun Ijbâr adalah suatu tindakan untuk melakukan sesuatu atas dasar tanggungjawab. Istilah ijbâr dikenal dalam fiqh Islam dalam kaitannya dengan soal perkawinan. Dalam fiqh madzhab Syâfi’î orang yang memiliki kekuasaan atau hak ijbâr adalah ayah atau (kalau tidak ada), kakek. Jadi, apabila seorang ayah dikatakan sebagai wali mujbir, maka dia adalah orang yang mempunyai kekuasaan atau hak untuk mengawinkan anak perempuannya, meskipun tanpa persetujuan dari pihak yang bersangkutan, dan perkawinan ini dipandang sah secara hukum. Hak Ijbâr dimaksudkan sebagai bentuk perlindungan atau tanggungjawab ayah terhadap anaknya, karena keadaan dirinya yang dianggap belum/tidak memiliki kemampuan atau lemah untuk bertindak.[3]
Dari segi akibat hukum, maka antara Ikrâh dan Taklîf memiliki perbedaan yang berlawanan. Memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu dengan secara ikrâh dapat dipandang sebagai suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Jika perbuatan yang dipaksakan tersebut dilaksanakan, maka perbuatan tersebut dinyatakan batal demi hukum. Sebaliknya memaksa orang lain untuk mengerjakan sesuatu secara taklîf, justeru merupakan pahala, karena termasuk dalam katagori amar ma’ruf nahi munkar  atau dalam bahasa yang lebih umum pemaksaan tersebut dipandang dalam rangka penegakan hukum. Penolakan atas paksaan ini merupakan pelanggaran hukum, pelakunya berdosa atau harus dihukum. 
Kembali pada persoalan Ijbâr dan Wali Mujbir . Dalam wacana yang berkembang secara umum, istilah wali mujbir dimaknai sebagai orang tua yang memaksa anaknya untuk kawin atau menikah dengan pilihannya, bukan pilihan anaknya. Oleh karena itu dalam tradisi yang ada dalam masyarakat kita dan masih berlaku sampai hari ini kemudian terkenal dengan istilah ‘kawin paksa’, satu istilah yang memiliki konotasi  ikrâh ’. Pemaknaan ijbâr dengan konotasi ikrâh tentu saja tidak benar.
Dengan memahami makna Ijbâr di atas, maka sebenarnya kekuasaan seorang ayah terhadap seorang perempuan untuk menikah dengan seseorang laki-laki, bukanlah suatu tindakan memaksakan kehendaknya sendiri dengan tidak memperhatikan kerelaan sang anak, melainkan hak mengawinkan, jadi bukan hak memaksakan kehendak atau memilihkan pasangan (jodoh). Sebab Ijbâr seorang ayah lebih bersifat tanggungjawab belaka, dengan asumsi dasar  anak perempuannya belum atau tidak memiliki kemampuan untuk bertindak sendiri. Dalam pengertian seperti inilah, maka hak ijbâr ayah terhadap putrinya, dalam madzhab Syâfi’î, dikaitkan dengan beberapa persyaratan, antara lain :
1. Tidak ada permusuhan (kebencian) perempuan itu terhadap laki-laki calon suaminya.
2. Tidak ada permusuhan (kebencian) perempuan itu terhadap ayahnya.
3. Calon suami haruslah orang yang kufu’ (setara/sebanding).
4. Mas kawin (mahar) harus tidak kurang dari mahar mitsil, yakni mas kawin perempuan lain yang setara.
5. Calon suami diduga tidak akan melakukan perbuatan atau tindakan yang akan menyakiti hati perempuan itu.[4]
Boleh jadi dalam tradisi masyarakat yang berkembang pada masa Imam Syâfi’î, beberapa persyaratan di atas menjadi ukuran minimal bagi indikasi kerelaan perempuan untuk menikah dengan seorang laki-laki, calon suaminya itu. Jadi sekali lagi perlu dikatakan bahwa ijbâr bukanlah suatu tindakan pemaksaan kehendak sang wali dalam menentukan calon suami. Dengan demikian, maka kalimat ‘tanpa izinnya’, hendaknya diartikan sebagai ‘tanpa harus ada pernyataan secara eksplisit darinya (perempuan)’. Pemaknaan Ijbâr sebagai pemaksaan kehendak dari ayah untuk menentukan pilihannya, jelas menafikan unsur kerelaan yang menjadi asas/dasar dalam setiap akad (transaksi), termasuk akad nikah ini. Pemaksaan kehendak dalam menentukan pilihan dapat dikatakan sebagai ikrâh. Dalam pandangan para ahli fiqh Islam, pemaksaan secara ikrâh mengakibatkan ketidakabsahan suatu pernikahan.
Dr. Wahbah al Zuhaili, mengutip pendapat para ulama madzhab fiqh, mengatakan: 
“Adalah tidak sah perkawinan dua orang calon mempelai tanpa kerelaan mereka berdua. Jika salah satunya dipaksa secara ikrâh dengan suatu ancaman misalnya membunuh atau memukul atau memenjarakan, maka akad perkawinan tersebut menjadi fasad  (rusak).”[5]
Hal ini sesuai dengan hadîs Nabi Saw:
إن الله تجاوز عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه. أخرجه ابن ماجه والبيهقي.
“Tuhan membebaskan dosa umatku, karena keliru, lupa dan dipaksa”. Riwayat Ibnu Majah dan al-Bayhaqî.[6]
Selanjutnya mengenai kalimat ‘tidak ada urusan apapun bagi bapak’ sebagaimana disebutkan dalam hadîs di atas, Wahbah mengatakan:
“Yang dimaksud dengan kata-kata Nabi tersebut ialah tidak boleh mengawinkan. Hadîs ini, di samping menafikan kawin paksa, menurutnya, sekaligus juga menunjukkan bahwa dalam masalah perkawinan, unsur kerelaan merupakan salah satu syarat bagi keabsahannya. Pemaksaan (ikrâh) sudah tentu bertentangan dengan unsur ini. Perkawinan dengan cara ikrâh adalah tidak sah. Inilah pendapat fiqh yang kuat (râjih). Karena bagaimanapun unsur kerelaan dari pihak-pihak yang terkait dalam suatu akad (transaksi) apa saja, termasuk akad pernikahan, merupakan asas atau dasar yang menentukan keabsahannya”.[7]



Hukum Menikah Dalam Islam

وَأَنكِحُوا الأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِن عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَّكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ. النور، 24: 32.

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Qs. Al-Nûr (24): 32).

 

Kosa kata penting

أنكحوا : Fi’il amr yang berarti kawinkanlah. Akar katanya adalah n-k-h yang berarti kawin atau mengawini. Dengan imbuhan hamzah di depan, artinya berubah menjadi mengawinkan. Kata ini memerlukan dua objek (maf’ûl).

الأيامى : Bentuk jam’ dari kata Ayyim, yang berarti orang yang tidak memiliki pasangan, baik lelaki (tidak memiliki istri) atau perempuan (tidak memiliki suami), baik karena memang belum pernah melangsungkan pernikahan (perawan atau jejaka), atau pernah kemudian cerai (duda atau janda). Bentuk jama’ asalnya adalah ayayim, kemudian huruf ya’ yang kedua dipindah ke tempat huruf mim dan sebaliknya, sehingga menjadi ayamîy, kemudian ya’ akhir dirubah menjadi alif, menjadi ayâmâ. Ulama bahasa Arab, seperti al-Kasâ‘i, Abu ’Ubayd dan Abu ’Amr, berkata bahwa kata ini pada awalnya digunakan untuk perempuan yang belum memiliki pasangan, tetapi digunakan juga untuk lelaki.

صالحين : Bentuk jam’ dari kata shâlih , yang berarti pantas, layak, baik dan bermanfaat. Implikasinya bisa dalam berbagai hal; spiritual, moral, intelektual, dan fisik. Al-Qurtûbî mengartikan shâlih_ dengan keimanan, berarti shâlih_ dalam wilayah spiritual dan moral keagamaan. Sementara di dalam terjemahan di atas mengartikannya dengan kelayakan yang lebih merujuk kepada kondisi materil (fisik, ekonomi atau yang lain).

عبادكم  : Bentuk jam’ dari kata ’abd, yang berarti hamba sahaya lelaki, biasanya bentuk jam’ yang digunakan adalah ’abîd bukan ’ibâd. Kata ini apabila dinisbahkan kepada Allâh Swt berarti semua makhluk di dunia ini.

إمائكم  : Bentuk jam’ dari amah, yang berarti hamba sahaya perempuan, lawan kata ‘abd (hamba sahaya lelaki).

Arti umum ayat

Di dalam ayat ini, Allâh Swt memerintahkan umat Islam untuk mengawinkan orang-orang yang belum memiliki pasangan, baik lelaki maupun perempuan. Perintah ini, seperti kata Imam al-Syawkânî, adalah merupakan lanjutan dari perintah-perintah pada ayat sebelumnya; memejamkan mata dari pandangan-pandangan yang merangsang dan menjaga diri dari segala hal yang medorong kepada perzinahan (Qs. Al-Nûr (24): 30-31). Artinya, Allâh pada ayat sebelumnya ingin menutup jalan kepada perbuatan zina, kemudian dalam ayat ini (24: 32) Allâh Swt meminta untuk melapangkan jalan kepada perkawinan, sebagai cara terbaik untuk menutup kemungkinan terjadinya perbuatan zina.
Di dalam ayat ini, Allâh Swt berkata: “Wahai orang-orang yang beriman, kawinkanlah orang-orang yang tidak memiliki pasangan, lelaki atau perempuan, dari kalangan orang-orang yang merdeka, juga orang-orang yang baik, shâlih dan bertakwa dari kalangan mereka yang masih menjadi hamba sahaya. Kalau diantara mereka yang akan dikawinkan masih faqîr (tidak memiliki kecukupan ekonomi), maka janganlah menjadi penghalang mereka untuk melangsungkan pernikahan, karena Allâh Swt akan membuat mereka mampu dan memberikan kelapangan kepada mereka dari rizki-Nya, sesungguhnya Dia Maha Kaya, Luas-rizki, dan Mengetahui segala keadaan dan keperluan hamba-hamba-Nya”.

Fikih ayat:
1. Mengawinkan itu kewajiban siapa?
Di dalam ayat ini ada perintah. Sebelum membicarakan perbedaan ulama tafsir dan fikih tentang bentuk perintah; wajib atau bukan, tapi yang jelas ada perintah. Karena yang digunakan adalah kata berbentuk perintah (fi’l amr); ankihû, yang berarti perintah mengawinkan. Yang menjadi pertanyaan adalah perintah ini ditujukan kepada siapa?, atau Allâh dalam ayat ini berbicara kepada siapa (mukhâtab)? Perbedaan ini secara sekilas nampak sederhana, tetapi ia mempunyai konsekwensi hukum yang serius, yaitu tentang hak wali untuk mengawinkan perempuan yang diwalikannya, atau hak seorang perempuan untuk mengawinkan dirinya tanpa wali. Permasalahan ini akan dibahas pada pembahasan berikutnya. Di sini, hanya yang berkaitan dengan tanggung jawab mengawinkan orang yang belum (atau tidak) berkeluarga.
Dalam hal ini ulama tafsir, seperti dikatakan al-Qurthûbi dan al-Syawkânî, berbeda dalam dua pendapat; pertama yang mengatakan bahwa perintah ini ditujukan kepada para wali dalam nikah untuk menikahkan orang-orang yang di bawah asuhan mereka, kedua bahwa ia ditujukan kepada suami atau calon suami untuk mengawini perempuan-perempuan yang belum memiliki suami. Pendapat pertama berdalih bahwa ankihû dengan imbuhan hamzah, berarti mengawinkan. Ia adalah kata yang memerlukan dua obyek. Seperti dikatakan Bapak Ahmad mengawinkan (dalam bahasa Arab menggunakan kata ankaha) anaknya yang bernama Fatimah dengan Abdullah. Berarti, yang paling tepat untuk menerima perintah ayat ini adalah para wali perempuan-perempuan. Karena kata ankaha hanya bisa benar kalau dikaitkan dengan wali sebagai subjek, sedangkan objek pertamanya adalah calon suami dan objek kedua adalah calon istri.
Perintah ayat ini, secara bahasa, tidak bisa ditujukan kepada lelaki sebagai calon suami yang akan kawin, karena kalau untuk arti ini tidak diperlukan imbuhan awal hamzah dalam kata tersebut, semestinya yang digunakan di dalam ayat itu adalah kata wankihû (kawinilah) bukan kata wa‘ankihû (kawinkanlah). Tetapi karena ayat ini menggunakan kata yang kedua, maka yang menjadi mukhâthab adalah para wali. Pendapat ini didukung oleh banyak ulama tafsir seperti al-Qurthûbî (XII:159) dan al-Syawkânî (IV:33).
Pendapat yang kedua mengatakan bahwa perintah nikah ditujukan kepada lelaki calon suami. Mereka berhujjah bahwa kata ayyim secara literal berarti perempuan yang belum bersuami, bukan lelaki yang belum beristri. Karena itu, orang yang tepat mengawini perempuan adalah lelaki sebagai calon suami, bukan sebagai wali. Lelaki, sebagai calon suami, juga adalah orang yang secara nyata menjalankan kehidupan perkawinan. Kalaupun kata ankihû memerlukan dua obyek, maka yang pertama adalah perempuan yang akan dikawin dan kedua adalah diri lelaki yang akan mengawin. Bagi mereka, ayat ini berarti, wahai para lelaki (calon suami) kawinkanlah perempuan-perempuan yang tidak bersuami dengan diri kamu sekalian.
Walaupun Imam al-Qurthûbî mengatakan bahwa dalam hal ini hanya ada dua pendapat, ternyata ada tiga, karena Imam al-Jashshâsh (V/178) dari mazhab Hanafi tidak setuju dengan kedua tafsiran di atas. Bagi beliau yang menjadi mukhâthab adalah semua orang (‘ammat al-nâs), bukan hanya wali atau calon suami, dengan alasan bahwa obyek perintah ayat adalah orang yang belum berpasangan (ayâmâ) lelaki atau perempuan. Seorang perempuan bisa dikawinkan oleh walinya, tetapi lelaki mengawinkan dirinya. Karena itu ‘mengawinkan’ dalam ayat ini bukan hanya melangsungkan akad nikah kepada mereka, tetapi lebih umum lagi yaitu merangsang (targhîb) mereka untuk melangsungkan pernikahan. Upaya ini bisa dilakukan oleh siapa saja. Ayat ini bagi al-Jashshâsh termasuk ayat targhîb al-zawâj, sama dengan hadits-hadits yang menekankan perlunya perkawinan, yaitu yang dikenal dengan ahadits al-targhîb li-al-zawâj.
Beberapa ulama tafsir kontemporer, seperti al-Shâbûnî (II/184), juga memilih pendapat al-Jashshâsh. Bagi al-Shâbûni, mukhâthab ayat tersebut adalah semua umat Islam tanpa kecuali, baik sebagai komunitas atau individu, dan untuk individu baik ia sebagai lelaki, atau perempuan, baik berstatus wali, calon suami, suami, atau status sosial yang lain seperti ulama, pejabat pemerintah, atau yang lain. Semua komponen masyarakat adalah orang yang diperintahkan oleh ayat untuk mengupayakan pelaksanaan perkawinan antar orang-orang yang belum memiliki pasangan. Dengan demikian, semua orang berkewajiban untuk melapangkan jalan perkawinan orang-orang yang tidak berpasangan, dengan memberikan motivasi kepada calon suami istri, memberikan bantuan kepada mereka, menutup jalan perzinahan dalam masyarakat, meciptakan lapangan kerja, dan upaya-upaya lain yang akan menciptakan suasana kondusif bagi kehidupan perkawinan. Dalihnya adalah bahwa perintah ‘mengawinkan’ adalah bukan perintah melangsungkan ‘akad pernikahan’ sehingga secara khusus harus berkaitan dengan wali atau calon suami, tetapi lebih luas dari itu, yaitu menciptakan kemudahan-kemudahan untuk terjadinya perkawinan antar orang-orang yang tidak berpasangan. Karena itu, khithâb dari ayat ini adalah sangat luas kepada semua orang, sesuai dengan kemampuan dan status masing-masing. Hal ini seperti yang diungkap dalam suatu hadits:
‘‘إذا جاءكم من ترضون دينه وخلقه، فزوجوه، إلا تفعلوا، تكن فتنة في الأرض وفساد كبير’’. رواه الترمذي.
“Apabila datang kepada kamu orang yang kamu rela melihat agama dan akhlaknya, maka kawinkanlah ia, kalau tidak dilakukan, maka akan timbul fitnah di bumi dan kerusakan yang besar”. H.R. al-Turmudzî (lihat: Ibn al-atsir, 1984:XII/142, no. Hadits: 8977).
Kata ‘kawinkanlah’ di dalam hadits ini juga umum dan kepada semua orang. Yang diperintahkan adalah memudahkan jalan kepada pernikahan. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, mencarikan pasangan yang tepat kepada yang belum berpasangan, memberikan motivasi dan bantuan materil.
Substansi dari permasalahan ini adalah bahwa menikah di dalam Islam termasuk hal yang terpuji, baik dan bermanfaat. Karena itu, Allâh Swt mendukung dan memerintahkan untuk mewujudkan segala upaya untuk merealisasikan perkawinan antar orang-orang yang belum berpasangan. Allâh Swt melepaskan perintah itu dalam bentuk jam’ (plural), yang berarti kepada semua orang, tanpa membatasi siapapun.

2. Hak perempuan untuk mengawinkan dirinya
Imam al-Qurthûbî mengatakan bahwa yang diperintahkan (mukhâthab) di dalam ayat ini adalah para wali untuk mengawinkan perempuan yang ada di bawah asuhan mereka. Berarti, yang berhak mengawinkan (melangsungkan akad nikah) adalah wali dari perempuan dengan lelaki calon suaminya. Perempuan sendiri tidak punya hak untuk mengawinkan dirinya. Kalau perempuan berhak mengawinkan dirinya tanpa walinya, perintah menikahkan akan ditujukan kepada perempuan sebagaimana ditujukan kepada lelaki, tetapi karena hanya ditujukan kepada lelaki, berarti perempuan tidak diberikan hak oleh syara’ untuk melangsungkan akad nikah bagi dirinya. Redaksi ayat sangat jelas menggunakan jam’ mudzakkar (plural maskulin).
Tafsiran ayat seperti ini adalah merupakan pendapat mayoritas ulama selain ulama mazhab Hanafi. Mazhab Syafi’i bahkan lebih jauh mengatakan bahwa ayat ini memberikan hak kepada wali mujbir untuk memaksakan kehendaknya mengawinkan perempuan perawan yang di bawah perwaliannya, walaupun tanpa izin dan kerelaan dari perempuan tersebut. Bagi mazhab Syafi’i, ayat ini sebenarnya memberikan hak kepada wali untuk semua perempuan, tetapi karena ada hadits yang memerintahkan pengambilan izin dari perempuan janda, maka yang boleh dipaksa kawin oleh wali yang berhak adalah perempuan perawan saja, yang sudah dewasa atau masih kecil.
Mazhab Hanafi tidak sependapat dalam hal ini dan mengkritik semua dalil yang digunakan oleh jumhur ulama, termasuk ayat ini. Kata al-Jashshâsh, lafal ayâmâ di dalam ayat tersebut untuk perempuan dan lelaki, seperti yang dikatakan para pakar bahasa. Apabila lelaki tidak boleh dikawinkan tanpa kerelaannya, maka perempuan juga sama tidak boleh dikawinkan tanpa kerelaannya. Karena kedua jenis merupakan obyek perintah kawin, semestinya tidak ada satupun yang istimewa dan dibedakan dari yang lain. Karena itu, seorang wali tidak berhak untuk memaksakan perkawinan kepada perempuan perawan sekalipun, tanpa kerelaan dan izin darinya. Perintah mengawinkan di dalam ayat ini juga tidak ditujukan kepada wali, tetapi kepada semua umat Islam. Dengan demikian, ayat ini tidak bisa dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa perempuan tidak punya hak untuk mengawinkan dirinya, atau akad nikah hanya merupakan hak perogratif wali kepada perempuan yang di bawah perwaliannya. Bahkan, dengan dalil lain (seperti yang akan dijelaskan lebih lanjut) mazhab Hanafi berpendapat bahwa perempuan boleh melangsungkan akad nikah untuk dirinya tanpa wali sekalipun, sama seperti lelaki. Ayat ini, bagi al-Jashshâsh, tidak diterima untuk mendasari keabsahan para wali memaksakan perkawinan kepada perempuan-perempuan tanpa kerelaan, bahkan juga tidak untuk pendapat yang mengatakan bahwa perempuan tidak berhak melangsungkan akad pernikahan.
Untuk mengatakan ketidak absahan akad nikah yang dilangsungkan oleh perempuan, jumhur ulama memperkuat dengan berbagai dalil. Diantaranya ayat-ayat al-Qur‘an yang menisbahkan lafal nikah kepada lelaki; QS. 2: 221, 232, QS. 4: 3, 22, 127. Beberapa hadits juga dijadikan dasar bagi pendapat ini. Yang paling utama adalah hadits ‘Aisyah ra, bahwa baginda Nabi bersabda:
‘‘أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها، فنكاحها باطل، فنكاحها باطل، فنكاحها باطل’’. رواه أبو داود والترمذي.
Artinya: “Sesiapa perempuan yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya adalah batal, nikahnya batal, nikahnya batal”. H.R. Abu Dawud dan Turmudzi (lihat: Ibn al-athîr, 1984: XII/138, no. Hadits: 8961).
            Hadits ini menunjukkan bahwa keabsahan pernikahan perempuan dikaitkan dengan izin walinya, karena itu ia tidak bisa berdiri sendiri untuk melangsungkan akad pernikahan. Artinya, perempuan tidak berhak melangsungkan akad nikah, dan kalau terjadi maka akad itu tidak sah. Yang berhak melangsungkan akad nikahnya adalah wali yang sah.

3. Hukum menikah
Kalau ayat ini dipahami secara harfiah, maka menikah hukumnya adalah wajib. Karena ‘mengawinkan/mengawini’ disampaikan dalam bentuk perintah, sedangkan perintah seperti kata ulama ushûl al-fiqh pada dasarnya adalah menunjuk kepada hukum wajib ( الأصل في الأمر للوجوب ). Tetapi ulama fikih dalam hal ini berbeda dalam tiga pendapat; pertama mengatakan bahwa menikah adalah wajib, kedua mengatakan menikah adalah mubâh dan ketiga menikah adalah mandûb atau sunnah. Perbedaan ini untuk menikah dalam keadaan normal, tidak ada kondisi eksternal  yang mempengaruhi atau memaksa. Apabila ada kondisi eksternal, maka menikah bisa jadi mandûb, wâjib, bahkan bisa harâm. Dalam hal bahwa menikah bisa berubah dari hukum asalnya karena suatu kondisi dan keadaan tertentu, ulama fikih tidak berbeda pendapat. Tetapi dalam keadan netral dari segala kondisi, ulama berbeda pendapat.

Al-Zhâhiriyyah. Mazhab ini berpendapat bahwa hukum  asal menikah adalah wajib, karena ayat ini disampaikan dalam bentuk perintah, dan perintah menunjukkan kewajiban. Menikah juga merupakan jalan untuk menjaga diri dari terjerumus kepada yang haram (zina). Meninggalkan zina adalah wajib, sedangkan jalan untuk meninggalkannya adalah dengan menikah, maka menikah juga wajib. Karena di dalam fikih ada diktum bahwa apabila kewajiban tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan melaksanakan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib hukumnya. Dalam redaksi bahasa Arab dikenal dengan: ( لا يتم الواجب إلا به فهو واجب ).
Pendapat ini dikuatkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa: Sahabat ‘Akkaf bin Wada’ah bertemu dengan Nabi Muhammad Saw, baginda bertanya kepadanya: “’Akkaf, apakah anda punya istri”. “Tidak!”, jawab ‘Akkaf. “Punya hamba perempuan?”. “Tidak juga wahai Rasul”. “Terus anda juga sehat, kuat dan cukup hidup?”. “Ya, al-hamdu lillâh”. “Kalau begitu, anda adalah kawan syetan, kalau kamu mau ikut para pendeta Kristen, silahkan pergi kepada mereka, kalau kamu mau ikut kami, maka kerjakan apa yang kami kerjakan”, tegas baginda Nabi. Kemudian baginda menambahkan: “Menikah adalah sunnah kami, orang-orang yang hidup bujang (lajang) diantara kamu adalah orang-orang yang buruk. Sesungguhnya orang yang hidup membujang akan mati dalam kehinaan”.
Perintah Nabi Saw di dalam hadits ini sangat jelas, yaitu untuk menikah, karena menikah termasuk sunnah baginda dan baginda juga mencela kehidupan membujang. Di dalam surat al-Nisa ayat 3, juga ada perintah untuk menikah, dengan menggunakan redaksi perintah (fi’l amr). Hadits-hadits yang datang dengan redaksi perintah dalam hal menikah juga banyak. Semua ini, bagi mazhab Zâhiri mengindikasikan bahwa hukum menikah adalah wajib. Diantaranya adalah hadits:
عن عبد الله بن مسعود، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج، فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج، ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء. أخرجه البخاري ومسلم والترمذي وأبو داود.
Artinya: “Dari Abdullâh bin Mas’ud ra, berkata: Rasulullâh Saw bersabda: wahai anak muda, sesiapa di antara kamu yang mampu menikah, menikahlah, karena dengan menikah akan lebih memejamkan mata (dari melihat yang haram) dan menjaga diri (dari zina), apabila kamu tidak mampu menikah, maka berpuasalah, karena puasa adalah kendali bagi dirinya”. H.R. Bukhâri, Muslim, Turmudzi dan Abu Dawud. (Ibn al-Athir, 1984: XII/122, no. hadits: 8919).

Al-Syâfi’iyyah. Mazhab ini berpendapat bahwa menikah adalah berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan seksual manusia, pemenuhan kebutuhan ini adalah sama dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologis manusia yang lain, seperti makan, minum, tidur dan lain-lain. Ia tidak ada kaitannya dengan hukum wajib. Ia sebagai kebutuhan manusia sudah ada sebelum perintah ayat ini ada. Karena itu, yang lebih tepat adalah bahwa hukum menikah itu mubâh. Ia boleh dilakukan, boleh juga ditinggalkan. Allâh tidak memuji orang yang menikah, dan tidak mencela orang yang tidak menikah. Bahkan untuk suatu tujuan yang lebih mulia, menikah bisa menjadi penghalang, karena itu ia menjadi tidak terpuji, dan sebaliknya tidak menikah menjadi lebih baik dan terpuji. Allâh juga pernah memuji Nabi Yahya as karena keberanian beliau untuk tidak menikah.
فَنَادَتْهُ الْمَلاَئِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُّصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَى مُصَدِّقًا بِكَلِمَةٍ مِنَ اللهِ وَسَيِّداً وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ.
Artinya: “Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): “Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari perempuan) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh”. (QS. Ali Imron, 3: 39).
Hashûr di dalam bahasa Arab berarti orang yang meninggalkan perempuan, padahal ia memiliki kemampuan. Kalau menikah itu terpuji, maka Allâh tidak semestinya memuji Nabi Yahya as dengan predikat demikian.

Jumhur ulama. Kalau mazhab Zhâhirî berpendapat menikah adalah wâjib dan mazhab Syâfi’i berpendapat mubâh, maka mazhab-mazhab lain, Hanafi, Mâliki dan Hanbali berpendapat bahwa hukum menikah pada asalnya adalah mandûb, atau sunnah.
Abu Bakr al-Jashshâsh (370H), ulama terkemuka dalam mazhab Hanafi, di dalam kitab Ahkâm al-Qur‘an (1983: V/ 178) berkata bahwa perintah ayat di atas pada lahirnya adalah wajib, tetapi ia tidak dipahami wajib karena beberapa hal, diantaranya adalah berita-berita yang sampai kepada kita bahwa ada beberapa orang, baik pada zaman baginda Nabi Saw, sahabat atau tabi’in yang tidak menikah (mungkin karena memang tidak ingin menikah, atau meninggal sebelum menikah sehingga dianggap tidak menikah). Kalau perintah ayat adalah wajib, maka tidak ada berita mengenai orang-rang yang tidak menikah. Kedua dengan logika consequence (iltizâm), bahwa kalau perintah ayat ini wajib, maka memaksa orang untuk menikah menjadi wajib, tetapi baginda Nabi melarang kita untuk memaksa perempuan menikah tanpa persetujuannya. Seorang tuan yang memiliki hamba juga tidak berhak memaksa hamba sahayanya untuk menikah, padahal hamba sahaya termasuk yang diperintahkan untuk dinikahkan. Larangan memaksa menikah karena ia merupakan hak pribadi setiap orang untuk melaksanakannya atau tidak, karena itu hukum menikah adalah tidak wajib. Dari alasan-alasan ini, al-Jashshâsh menegaskan bahwa ulama salaf dan khalaf telah sepakat (ijma’) untuk mengatakan bahwa perintah ayat tersebut tidak menunjukkan wajib, tetapi sunnah saja.
Beberapa ulama kontemporer juga mendukung pendapat ini karena beberapa hadits yang mengajak dan memuji perkawinan. Al-Zuhaylî dalam ensiklopedi fikihnya (1989: VII/33-36) juga mendukung pendapat ini dan mengkritik pendapat mazhab Zâhiri dan Syâfi’i. Hujjah mazhab Zâhiri adalah lemah, karena perintah ayat itu harus dipalingkan dari wajib menjadi sunnah karena banyak alasan. Diantaranya bahwa di dalam surat al-Nisa‘ perintah menikah dikaitkan dengan kesukaan, suatu perintah yang dikaitkan kesukaan adalah menafikan kewajiban perintah itu. Adapun hadits ‘Akkaf adalah kasuistik yang bersifat spesial dan individual, tidak bisa dijadikan hukum umum untuk semua orang. Sedangkan untuk menjawab pendapat Imam al-Syâfi’i, beliau mengatakan bahwa banyak hadits-hadits Nabi yang memerintahkan dan mendorong orang-orang Islam untuk menikah. Semua ini, bagi beliau, menjadi dasar yang kuat bahwa menikah adalah sunnah dan termasuk ibadah.
Al-Shâbûnî juga berpendapat demikian dengan berdasarkan hadits Nabi Saw: “Barang siapa yang tidak menyukai sunnahku (menikah), ia tidak termasuk golonganku”.
Perbedaan pendapat ini, seperti yang sudah ditegaskan, adalah ketika keadaan seseorang itu normal, tidak terlalu menginginkan pernikahan, hawa nafsunya masih bisa dikontrol dan tidak takut dirinya berbuat zina. Apabila ia merasa sudah tidak bisa mengontrol dirinya lagi dari berbuat zina, maka menikah menjadi wajib untuk menghindari perbuatan haram.
Imam al-Qurthûbî (1993: XII/159) berkata: “Ulama kita berpendapat bahwa hukum menikah tergantung keadaan seseorang dari kemungkinan berzina, tidak kuat menahan nafsu, munculnya kekuatan untuk menahan nafsu dan keadaan di mana dia sudah merasa dirinya aman dari perbuatan zina. Apabila ia merasa tidak aman, mungkin jatuh dalam perbuatan zina, maka baginya menikah adalah keharusan, apabila merasa aman tetapi nafsunya cenderung untuk menikah dan  memiliki bekal, maka menikah adalah sunnah, tetapi kalau tidak mempunyai bekal maka sebaiknya menahan diri sekuat mungkin dengan berpuasa, karena puasa, seperti disebutkan dalam sebuah hadits adalah bisa menjadi kendali bagi dirinya”.


C. Ayat dan hadits yang terkait

Seperti yang dikatakan oleh al-Jashshâsh bahwa ayat ini memberikan motivasi kepada kehidupan perkawinan, maka beberapa ayat lain dan hadits-hadits juga bisa dikaitkan dengan ayat tersebut dan bisa menjadi dasar untuk motivasi dan hukum perkawinan dalam Islam. Yaitu ayat yang menegaskan perkawinan sebagai salah satu sunnah para rasul (QS. Al-Ra’d, 13: 38), pasangan lelaki dan perempuan merupakan salah satu tanda kebesaran dan keagundan Allah Swt (QS. Al-Rûm, 30: 21), disamping perintah menikah dalam surat al-nisa’, ayat ketiga.

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُم أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَن يَّأْتِيَ بِآيَةٍ إِلاَّ بِإِذْنْ اللهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ.
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mu`jizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”, (QS. Al-Ra’d, 13: 38).

وَمِن ءَايَاتِهِ أَن خَلَقَ لَكُم مِّن أَنفُسِكُم أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً إِنَّ فِي ذلِكَ لآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُونَ.

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Al-Rûm, 30: 21).

وَإِنْ خِفْتُم أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي اليَتَامَى فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِن خِفْتُم أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم ذلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا.

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”, (QS. Al-Nisa’, 4: 3).
            Sedangkan hadits-hadits yang berkaitan dengan permaslahan ini, disamping yang telah disebutkan di atas, adalah hadits berikut ini:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: ‘‘جاء ثلاثة رهط إلى بيوت أزواج النبي صلى الله عليه وسلم، يسألون عن عبادة النبي صلى الله عليه وسلم، فلما أخبروا، كأنهم تقالوها، قالوا: فأين نحن من رسول الله صلى الله عليه وسلم، وقد غفر له ما تقدم من ذنبه وما تأخر؟ قال أحدهم: أما أنا فأصلي الليل أبدا، وقال الآخر: وأنا أصوم الدهر ولا أفطر، وقال الآخر: وأنا أعتزل النساء، ولا أتزوج أبدا. فجاء رسول الله صلى الله عليه وسلم إليهم، فقال: ‘‘أنتم الذين قلتم كذا كذا؟ أما والله، إني لأخشاكم لله، وأتقاكم له، ولكني أصوم وأفطر، وأصلي وأرقد، وأتزوج النساء، فمن رغب عن سنتي فليس مني’’. أخرجه البخاري ومسلم والنسائي.
Dari Anas bin Malik ra berkata: “Ada tiga orang datang ke rumah isttri-istri baginda Nabi Saw menanyakan perihal ibadaha baginda. Ketika mereka diberitahu, mereka merasa tertinggal jauh dari ibadah baginda. Mereka berkata: “Jauh sekali kita dari baginda Rasulullah Saw, padahal baginda telah diampuni segala dosa-dosanya”. Seseorang diantara mereka berkata: “Aku akan sembahyang sepanjang malam selamanya”. Seorang yang lain berkata: “Aku akan puasa sepanjang tahun dan tidak berbuka seharipun”. Yang lain lagi berkata: “Aku akan meninggalkan perempuan (untuk beribadah) dan tidak akan kawin selamanya”. Kemudian datang baginda Rasulullah Saw seraya berkata: “Kenapa kamu berkata demikian?, ingatlah, demi Allah, aku adalah orang yang paling takut diantara kalian kepada Allah, dan paling bertakwa diantara kalian kepada-Nya, tetapi aku terkadang berpuasa dan terkadang berbuka, sembahyang (malam) dan juga tidur, aku juga mengawini perempuan, maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnah (amalan)-ku ini, ia tidak termasuk golonganku”. HR. Bukhari, Muslim dan al-Turmudzi (lihat: Ibn al-Atsîr, 1984: I/200).

D. Kesimpulan hukum ayat

Dari pembahasan di atas beberapa hal yang berkaitan dengan hukum fikih dari surat al-Nûr ayat 24 bisa disimpulkan sebagai berikut:
1.        Menikah adalah termasuk hal yang baik dan terpuji dalam Islam, karena itu perlu disosilasikan segala hal yang akan memotivasi orang untuk melangsungkan perkawinan.
2.        Adalah merupakan kewajiban bersama untuk mendorong orang hidup berumah tangga.
3.        Hukum menikah adalah sunnah mengikut pendapat mayoritas ulama fikih, mubah bagi mazhab Syafi’i dan wajib bagi mazhab Zahiri.
4.        Kefakiran dalam perspektif al-Qur’an tidak semestinya menjadi penghalang untuk memulai hidup berumah tangga, karena dengan perkawinan mungkin akan menjadi motivasi besar bagi lelaki atau perempuan untuk bekerja lebih keras bagi memeperoleh rizki Allah Swt, Tuhan Maha Pemberi dan Pemurah.[]




ur من Èe@à2 >äóÓx« $oYø)n=yz Èû÷üy`÷ry ÷/ä3ª=yès9 tbr㍩.xs? ÇÍÒÈ
Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Qs. Al-Dzariyat (51): 49)

ª!$#ur Ÿ@yèy_ Nä3s9 ô`ÏiB ö/ä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& Ÿ@yèy_ur Nä3s9 ô`ÏiB Nà6Å_ºurør& tûüÏZt/ Zoyxÿymur Nä3s%yuur z`ÏiB ÏM»t6Íh©Ü9$# 4 È@ÏÜ»t6ø9$$Î6sùr& tbqãZÏB÷sムÏMyJ÷èÏZÎ/ur «!$# öNèd tbrãàÿõ3tƒ ÇÐËÈ
Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?" (Qs. Al-Nahl (16): 72)

ôs)s9ur $uZù=yör& Wxßâ `ÏiB y7Î=ö6s% $uZù=yèy_ur öNçlm; %[`ºurør& Zp­ƒÍhèŒur 4 $tBur tb%x. @AqßtÏ9 br& uÎAù'tƒ >ptƒ$t«Î/ žwÎ) ÈbøŒÎ*Î/ «!$# 3 Èe@ä3Ï9 9@y_r& Ò>$tGÅ2 ÇÌÑÈ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu). (Qs. Al-Ra’d (13): 38)

Tujuan ayat ini pertama-tama adalah untuk membantah ejekan-ejekan terhadap Nabi Muhammad Saw dari pihak musuh-musuh beliau, karena hal itu merendahkan martabat kenabian. Selain itu, juga untuk membantah pendapat mereka bahwa seorang Rasul itu dapat melakukan mukjizat yang diberikan Allah kepada rasul-Nya bilamana diperlukan, bukan untuk dijadikan permainan. bagi tiap-tiap Rasul itu ada kitabnya yang sesuai dengan keadaan masanya.







[1] Al-Muthî’î, Takmilat al-Majmû’, (Jeddah: Maktabah al-Irsyâd, tt), juz XV, h. 58.
[2] Al-Kâsânî, Badâi’ al-Shanâ’i’, juz VII, h. 175-176.
[3] Al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, (1997) juz IX, h. 6691.
[4] Al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, (1997) juz IX, h. 6685-6686.
[5] Ibid, juz IX, h. 6567.
[6] Ibn Majah, Al-Sunan, kitab: al- Thalaq, no. hadits: 2043, juz I, h. 659. Al-Bayhaqî, al-Sunan al-Kubrâ, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), juz VI, h. 88.
[7] Al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, (1997) juz IX, H. 6567.

No comments:

Post a Comment