Saturday, October 2, 2010

NEGARA, HUKUM DAN MASYARAKAT MADANI


Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.SI

 Tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa peristiwa mundurnya Soeharto di atas panggung kekuasaan pada tanggal 21 Mei 1998 merupakan peristiwa historis bagi bangsa Indonesia untuk menemukan kembali hak-hak politiknya dalam negara hukum Indonesia, yang selama tiga dasa warsa lebih direbut dan dikekang oleh rezim yang menamakan dirinya sebagai pemerintah yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Jatuhnya pemerintah Orde Baru ditandai pula oleh antara lain perbincangan tentang peran negara, konsep negara hukum dan pelaksanaan sistem politik demokrasi melalui supremasi sipil serta peran masyarakat madani dalam kehidupan demokrasi.
Memang tidak dapat dipungkiri apabila kita melihat sejarah ketatanegaraan kita pada masa lalu sebelum Orde Lama dan Orde Baru peran masyarakat madani (civic society) cukup kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Karena itu berbicara tentang negara, hukum dan masyarakat madani tidak dapat tidak berarti kita berbicara mengenai pembangunan demokrasi di Indonesia. Pembangunan demokrasi di Indonesia dapat terwujud melalui pembentukan masyarakat madani atau civil society dalam praktek pemerintahan dan ketatanegaraan.
Dalam kaitan ini pertanyaan adalah apakah mungkin dimasa depan kita melaksanakan sistem politik demokrasi dalam negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 lewat pemberdayaan masyarakat madani ?
Dengan segala keterbatasannya tulisan ini mencoba menelaah masalah tersebut dari sudut pandang konstitusi atau aspek ketatanegaraan.

Negara dan Hukum
Agenda pembicaraan tentang masyarakat madani (civil society) tidak dapat dipisahkan dari bahasan tentang negara. Perbincangan tentang negara dalam konteks pemberdayaan masyarakat madani menjadi penting, karena negara merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan yang sangat besar yang melayani dan menyalurkan berbagai kepentingan yang ada di masyarakat. Negara dapat memaksakan kehendaknya kepada warga atau kelompok yang ada di masyarakat. Bahkan kalau perlu, negara dapat memaksakan kekuasaannya untuk menggunakan Kekerasan fisik dalam memaksa kepatuhan masyarakat terhadap perintah-perintah yang dikeluarkannya. Kekuasaan yang sangat besar ini diperoleh karena negara merupakan pelembagaan dari kepentingan umum.1
Karena itu sebagai lembaga yang mewakili kepentingan umum, negara dapat memaksakan kehendaknya melawan kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok di masyarakat. Pandangan inilah yang dominan di Indonesia selama lebih kurang tiga dasa warsa pemerintahan Orde Baru.
Dari apa yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya negara adalah organisasi kekuasaan. Oleh karena itu masalah kekuasaan, terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan negara selalu aktual untuk menjadi bahan pemikiran dan renungan. Dalam rangka pembatasan kekuasaan negara agar tidak bertindak sewenang-wenang terhadap warganya, perlu ada aturan main yang diwujudkan melalui seperangkat kaedah hukum yang dalam kehidupan bernegara dituangkan dalam sebuah konstitusi. Dengan demikian negara  dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.2
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, sejauhmana hukum atau konstitusi mampu membatasi kekuasaan. Salah satu contoh menurut konstitusi kita UUD 1945, DPR berfungsi untuk mengontrol pemerintah, namun fungsi kontrol itu tidak dapat dilaksanakan secara efektif selama pemerintahan Orde Baru. Demikian juga kemerdekaan berserikat seperti tercantum dalam pasal 28 UUD 1945 sebagai basis bagi masyarakat madani untuk menjalankan fungsinya sebagai kekuatan pengontrol bagi jalannya pemerintahan dipasung dan dibelenggu.
Kini setelah berakhirnya era orde baru dan memasuki era reformasi, masalah  klasik tetap timbul yakni masalah penegakan hukum disatu pihak dan pembatasan kekuasaan di pihak lain. Tidak berlebihan apabila kita dikemukakan, justru di era reformasi dewasa ini gema untuk menegakkan rule of law kembali bergaung dengan nyaringnya, sehingga tuntutan reformasi hukum merupakan sesuatu yang mutlak harus dilaksanakan.
Gema tuntutan penegakan supremasi hukum dewasa ini tidak hanya sekedar dilatar belakangi oleh praktek-praktek politik pada masa lalu dikala hukum tidak berdaya berhadapan dengan kekuasaan, tetapi terlebih karena secara konstitusional prinsip negara hukum, bukan negara kekuasaan, merupakan prinsip-prinsip konstitusi yang harus ditegakkan. Secara tegas konstitusi kita UUD 1945 dalam penjelasannya menyebutkan bahwa; negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtstaat).
Dari prinsip Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum dapat dikemukakan dua pemikiran yaitu : Pertama, bahwa kekuasaan tertinggi di dalam negara Indonesia ialah hukum yang dibuat oleh rakyat melalui wakil-wakilnya dilembaga legislatif. Jadi suatu kedaulatan hukum sebagai penjelmaan lebih lanjut dari paham kedaulatan rakyat.
Kedua, dari apa yang tersirat dalam sistem pemerintahan negara yang pertama ialah bahwa sistem pemerintahan negara atau cara-cara pengendalian negara memerlukan kekuasaan (power/macht). Namun dari anak kalimat yang berbunyi “….., tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka”, dapat kita simpulkan bahwa tidak ada sesuatu kekuasaan pun di Indonesia yang tidak berdasarkan hukum.3
Berdasarkan ketentuan konstitusi tersebut berarti pemerintah mempunyai kekuasaan yang terbatas dan tidak dibenarkan sewenang-wenang. Asas yang dianut dalam konstitusi tersebut haruslah tercermin dalam praktek penyelenggaraan negara. Artinya dalam praktek penyelenggaraan negara Indonesia, hukum harus mengendalikan kekuasaan, bukan sebaliknya hukum dipecundangi oleh kekuasaan.
Oleh karenanya, maka demi tegaknya hukum dan demi terlaksananya cita-cita negara hukum dan demokrasi yang seleras dengan cita-cita dan tujuan reformasi dewasa ini maka penyelenggaraan negara Indonesia harus sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi yang telah ditetapkan, sehingga tegaknya hukum dan kepastian hukum dalam menuju kepada keadilan hukum oleh rakyat dapat dirasakan.
Tegasnya dalam praktek ketatanegaraan ketentuan-ketentuan konstitusi harus dihormati, harus ditegakkan oleh penyelenggara negara. Namun demikian satu hal yang tidak dapat disangkal betapapun bagusnya konstitusi, dengan segala macam aturan permainan, namun akhirnya konstitusi tidak berdaya apabila menghadapi power play yang tidak mengindahkan konstitusi. Disinilah letaknya semangat atau moral penyelenggara negara.
Selama tiga dasa warsa semangat atau moral penyelenggara negara yang corrupt atau bersalah guna telah menempatkan hukum tidak berdaya menghadapi kekuasaan. Karena itu apabila kita membicarakan pemberdayaan masyarakat madani sebagai implementasi kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi kita UUD 1945, maka haruslah terlebih dahulu menempatkan hukum dalam posisi yang supreme dan menentukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.

Masyarakat Madani
Pembicaraan tentang masyarakat madani (Civil Society) sedikit tidaknya dapat kita kaitkan dengan bahasan negara dan hukum sebagaimana telah dikemukakan di atas. Sebatas yang kita ketahui, orang yang pertama kali membicarakan tentang “pemerintahan sipil (Civilian government) adalah seorang filosof Inggris John Locke, yang telah menulis buku Civilian Government pada tahun 1690. Buku tersebut mempunyai misi menghidupkan peran masyarakat dalam menghadapi kekuasaan-kekuasaan mutlak para raja dan hak-hak istimewa para bangsawan.
Dalam misi pembentukan pemerintahan sipil tersebut John Locke membangun pemikiran otoritas rakyat untuk merealisasikan kemerdekaan dari kekuasaan elite yang memonopoli kekuasaan dan kekayaan. John Locke berpendapat bahwa semuanya itu dapat direalisasikan melalui demokrasi parlementer. Dalam hal ini, keberadaan parlemen sebagai wakil rakyat dan pengganti otoritas raja.4
Setelah John Locke, di Perancis muncul J.J. Rousseau, yang terkenal dengan bukunya The Social Contract (1762). Dalam buku tersebut Rousseau berbicara tentang pemikiran otoritas rakyat, dan perjanjian politik yang harus dilaksanakan antara manusia dan kekuasaan.
John Locke dan Rousseau membuka jalan pemberontakan terhadap berbagai dominasi kekuasaan dan kesewenang-wenangan, yang akhirnya melahirkan revolusi Perancis pada 1789 dan memasyarakatkan kesadaran baru. Sehingga pada permulaan abad XIX muncul pemikiran-pemikiran cemerlang yang mengobarkan pembentukan masyarakat madani. Masyarakat Madani akhirnya menjadi simbol bagi realitas yang dipenuhi dengan berbagai kontrol yang bersifat fakultatif, yang mencakup banyak partai, kelompok, himpunan, ikatan dan lain sebagainya dari berbagai corak di luar struktur kekuasaan, yang mengekspresikan kehadirat rakyat, yang mana hal itu mengakibatkan didirikannya berbagai macam lembaga swasta dalam masyarakat, untuk mengimbangi/melawan terhadap lembaga kekuasaan.5
Dari apa yang dikemukakan di atas jelaslah bahwa sejak awal sampai sekarang ini pemikiran masyarakat madani bertujuan untuk menolak kesewenang-wenangan kekuasaan elite yang mendominasi kekuasaan negara, dan hal itu merupakan salah satu dari manifestasi penanaman demokrasi.
Para pendiri negara Indonesia sejak awal telah bersepakat untuk menciptakan masyarakat Madani, hal ini terbukti dengan dituangkannya pemikiran tersebut dalam beberapa pasal UUD 1945, seperti prinsip kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat 2), kebebasan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat (pasal 28), persamaan di depan hukum dan pemerintahan (Pasal 27), sistem negara hukum (Penjelasan UUD 1945), demokrasi ekonomi (Pasal 33) dsb.
Ternyata ketentuan-ketentuan konstitusional tersebut selama 30 tahun tidak terealisasi sebagaimana mestinya. Dengan runtuhnya Orde Baru dan munculnya Orde Reformasi menimbulkan harapan baru dari sebagian besar masyarakat Indonesia bahwa kebangkitan dan pertumbuhan masyarakat madani telah tiba. Sehubungan dengan hal tersebut banyak gagasan dan perbincangan yang mendalam tentang pengembangan masyarakat Madani (Civil society), terutama dikalangan akademi.
Kalau kita berpatokan pada sejarah masa lalu ketika masyarakat madani cukup kuat memberikan andilnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan sekaligus juga berpakotan pada ketentuan konstitusi paling tidak ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan masyarakat madani.
Pertama, sistem perekonomian yang baik dan demokratis, sehingga masyarakat tidak tergantung pada pemerintah (Pasal 33 UUD 1945).
Kedua, faktor kecerdasan bangsa (kualitas intelektual), yang menumbuhkan komitmen masyarakat untuk bersikap independen (alinea IV Pembukaan UUD 1945, tentang tujuan negara), dan yang ketiga adalah perwujudan kedaulatan rakyat dan strategi demokratisasi (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945).
Dari apa yang dikemukakan di atas, maka pertama-tama diharapkan agar kaum intelektual/cendekiawan dapat memerankan diri sebagai aktor utama dalam proses perubahan sosial politik, karena fungsi sosial setiap cendekiawan ialah bertindak sebagai penyampai gagasan di masyarakat madani dan sebagai penghubung antara pemerintah dan masyarakat madani.
Dengan kadar keilmuan kaum cendekiawan menjadi harapan peran dalam kehidupan bermasyarakat yang dinamis. Cendekiawan hendaknya menjadi kelompok masyarakat yang dinamis dan mampu mengarahkan kehidupan masyarakat menuju tatanan yang adil dan teratur serta membawa masyarakat bangsa menuju kehidupan yang lebih religius berperadaban. Dan masyarakat seperti inilah yang disebut masyarakat madani.
Dalam banyak peristiwa sejarah di Indonesia mengambarkan betapa para cendekiawan berjuang keras melawan kekuasaan tirani di Indonesia.
Daftar Pustaka :
1.     Arief Budiman, Teori Negara; Negara Kekuasaan dan Ideologi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996.
2.     Fahmi Huwaydi, Demokrasi Opisisi dan Masyarakat Madani: Isu-isu Politik Islam, Penerbit Mizan, Bandung, 1996.
3.     Padmo Wahyono, Negara Republik Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1982
4.     Sri Soemantri M, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987


                1 Arief Budiman, Teori Negara; Negara, Kekuasan dan Ideologi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, Hal.3.
                2 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987, Hal. 1-2
                3  Padmo Wahyono, Negara Republik Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1982, Hal.17-18
                4 Fahmi Huwaydi, Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madani: Isu-isu Politik Islam, Penerbit Mizan, Bandung, 1996, Hal.295.

No comments:

Post a Comment