Monday, November 1, 2010

PENCATATAN PERKAWINAN SEBAGAI SYARAT SAH PERNIKAHAN DI INDONESIA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


PENCATATAN PERKAWINAN SEBAGAI SYARAT SAH
PERNIKAHAN DI INDONESIA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Oleh: Muh Rofiq Nasihudin

Hukum islam yang diyakini sebagai institusi yang tidak bisa diubah karena berasal dari otoritas teks yang sakral, akan tetapi dalam realitasnya perbenturannya dengan tradisi hukum yang hidup dalam suatu masyarakat – tidak bisa dilepaskan begitu saja, Sebagai salah satu fenomena hukum keagamaan, hukum islam juga mempunyai tawaran tradisinya sendiri “untuk menangkap kualitas kesakralan-namun-bersifat-lokal dalam yurisprudensi.” Fiqih dibangun di atas landasan sejumlah ilmu pengetahuan yang memungkinkan hakim atau ahli hukum berpartisipasi dalam proses pembuatan hukum, dalam arti bahwa hukum islam itu bersifat dinamis. Hal tersebut disebabkan dari tujuan hukum Islam yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia (al-Maslahah).
Sejauhmana arti penting sebuah maslahat, sehingga ia dapat berpengaruh pada perubahan praktik hukum akan diuraikan sebagai berikut.

A.   MASLAHAH SEBAGAI ACUAN FORMAL HUKUM ISLAM DAN POSITIF
Bila kita teliti semua suruhan dan larangan Allah dalam al-Quran, begitu pula suruhan dan larangan Nabi dalam sunnah yang terumuskan dalam fiqih, akan terlihat bahwa semuanya mempunyai tujaun tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah yang mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia, sebagaimana ditegaskan dalam beberapa ayat al-Quran, diantaranya surat al-Anbiya’ (21): 107 tentang tujuan nabi Muhammad diutus yang artinya:
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Rahmat untuk seisi alam dalam ayat diatas diartikan dengan kemaslahatan umat. Para ulama’ sepakat bahwa hukum syara’ itu mengandung kemaslahatan bagi umat manusia. Namun ulama berbeda pedapat dalam menempatkan kemaslahatan itu sebagai tujuan penetapan hukum syara’. Apakah untuk kemaslahatan itu Allah menetapkan hukum. Atau dengan bahasa lain: Apakah kemaslahatan itu yang mendorong Allah untuk menetapkan hukum? Dalam hal ini ada dua pendapat:
1.    Ulama yang berpegang pada prinsip bahwa perbuatan Allah itu tidak terikat kepada apa dan siapa pun (yang dianut oleh ulama kalam Asy’ariyah). Menurut mereka, Allah berbuat sesuai dengan keinginan-Nya sebagaimana firman-Nya dalam surah Hud (11): 107:
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang dia kehendaki.
Mereka berpendapat bahwa bukan untuk memaslahatkan umat itu Allah menetapkan hukum. Jadi, tujuan penetapan hukum syara’ itu bukan untuk kemaslahatan umta, meskipun Allah itu tidak luput dari kemaslahatan umat.
2.    Ulama yang berpegang pada prinsip keadilan dan kasih saying Allah pada hamba-Nya berpenadapat bahwa memang untuk kemaslahatan umat itulah Allah menetapkan hukum syara’.
Sebenarnya perbedaan diatas hanya perbedaan lafdzi saja dan tidak mengakibatkan perbedaan secara praktis dalam penetapan hukum itu sendiri, karena semua sepakat bahwa semua hukum yang ditetapkan Allah ada tujuannya, dan tujuan itu adalah untuk kemaslahatan manusia. Agar pemahaman mengenai maslahah tidak parsial, perlu kita mendiskusikan maslahah lebih jauh.

1.    Pengertian dan Batasan Maslahah
Secara etimologis, maslahah mempunyai makna yang identik dengan manfaat, keuntungan, kenikmatan, kegembiraan, atau segala upaya yang dapat mendatangkan hal itu.[1] Namun dalam terminology syari’at, ulama ushul fiqh berbeda pendapat mengenai batasan dan definisi maslahah. Tetapi pada tataran substansi, mereka boleh dibilang sampai pada suatu kesimpulan bahwa maslahah adalah suatu kondisi dari upaya untuk mendatangkan sesuatu yang berdampak positif (manfaat) serta menghindarkan diri dari hal-hal yang berdimensi negative (madharat).[2] Dalam kaitan ini, asy-Syathibi (W. 790 H) dalam karyanya Al-Muwafaqat, menandaskan bahwa “disyari’atkannya ajaran islam tidak lain hanyalah untuk memelihara ke-maslahatan umat manusia didunia dan diakhirat.[3]
Statemen as-Syathibi yang argumentatif-rasional ini telah mengakhiri perdebatan panjang dikalangan ahli ushul fiqh mengenai ta’lil al-ahkam: apakah hukum-hukum Tuhan mempunyai hubungan kausalitas dengan kepentingan hamba? Apakah hukum-hukum yang tidak disebutkan secara tersurat oleh teks (nash) ajaran agama dapat dianalogikan dengan nash yang mempunyai ‘illat hukum sama? Apakah seorang mujtahid boleh memberikan kesimpulan hukum karena pertimbangan maslahah dengan tanpa pijakan nash?
Statemen asy-Syathibi bukan hanya telah menyentuh premis-premis tersebut, melainkan ia juga dapat ditangkap sebagai sitesis yang mampu mengekomodir perdebatan pendapat dikalangan ahli ushul mengenai ta’lil al-ahkam, dengan tanpa menimbulkan polarisasi.
Yang menarik kemudian adalah substansi manfaat (maslahah) dan madharat (mafsadah) itu sendiri. Para filsuf dan moralis Barat tidak mencapai kata sepakat dalam meletakkan ukuran (nilai) bagi maslahah yang mesti diperoleh manusia. Ada yang mengatakan bahwa nilai dari perbuatan manusia mesti diukur oleh kesempurnaan absolute, namun ada pula yang menetapkan pengetahuan, kedilan, keberanian, serta harga diri sebagai ukuran bagi nilai dari perbuatan manusia. Filsuf lain mensyaratkan bahwa nilai yang diupayakan mencapai derajat maslahah harus diperoleh melalui pengetahuan yang lurus, dan ada pula yang menetapkan bahwa yang menjadi ukuran bagi nilai perbuatan manusia adalah kemoderata diantara dua kutub yang dianggap berbahaya. [4] Dalam islam, tolak ukur (mi’yar) manfaat ataupun madharat, sebagaimana dinyatakan al-Gahazali (W. 505 H), tidak dapat dikembalikan pada penilaian manusia karena rentan akan pengaruh dorongan nafsu insaniyah. Sebaliknya, tolak ukur manfaat dan madharat harus dikembalikan pada kehendak atau tujuan syari’at (maqashid asy-syari’ah) yang pada intinya terangkum dalam al-mabadi’ al-khamsah, yaitu perlindungan terhadap agama (hifzh ad-din), perlindungan terhadap jiwa (hifzh an-nafs), perlindungan terhadap akal pikiran (hifzh al-‘aql), perlindungan terhadap keturunan (hifzh an-nasl),  dan perlindungan terhadap harta benda (hifzh al-mal). Maka segala hal yang mengandung unsur perlindungan terhadap lima hal diatas, disebut maslahah. Sebaliknya semua yang menafikannya bisa disebut mafsadah.[5] Tidak adanya tolak ukur yang pasti untuk menentukan sesuatu sebagai maslahah itulah yang sesuangguhnya membuat diskursus diseputar topik maslahah selalu menarik. Dalam kaitannya dengan ini, asy-Syatibi membuat penyataan yang sangat filosofis: “Tidak ditemukan disunia ini suatu maslahah tanpa dibarengi mafsadah, sebagaimana juga tidak tergambarkan adanya mafsadah tanpa mengandung unsur-unsur maslahah didalamnya. Oleh karena itu, untuk menentukan apakah sebuah peristiwa hukum masuk dalam kategori maslahah atau mafsadah, hal itu harus dikembalikan atau dilihat unsure mana yang menunjukkan angka dominant diantara keduanya.[6]
Asy-Syathibi sebenarnya bukan orang pertaama yang membuat formulasi teori maslahah dengan pendekatan falsafi. Izzudin ibnu Abdissalam (W. 660 H) dan muridnya Al-Qarafi (W. 684 H), sebelumnya juga telah membuat penyataan senada menyangkut teori maslahah dunyawiyyah.[7] Al-Qarafi mendasarkan teorinya pada QS. al-Baqarah (2): 219 :
Lebih jauh Izzudin menyatakan bahwa akal harus diikut sertakan dalam upayanya menelusuri segi-segi yang dominant diantara maslahah dan mafsadah pada suatu peristiwa hukum, terkecuali pada kasus-kasus tertentu yang memang merupakan dari ibadah murni.[8]
Meskipun asy-Syathibi bukan orang pertama yang momformulasikan konsep maslahah dengan pendekatan falsafi, namun tak dapat dipungkiri bahwa ia adalah orang pertama yang mengupas teori maslahah-mafsadah sampai pada struktut terdalamnya dengan tolak ukur maqoshid asy-syari’ah. Simplifikasi pengamatan asy-Syatibi dalam masalah ini boleh dibilang sampai pada kesimpulan akhir bahwa maslahah sebagai pijakan perintah syara’ dan mafsadah sebagai landasan larangan syara’ tidaklah dapat tercampuri satu sama lainnya. Kalaupun terdapat kadar mafsadah dalam suatu maslahah – dan atau sebaliknya – itu tidak lebih sekedar hukum kebiasaan dalam upaya menelusuri segi-segi keduanya. Pada hakikatnya, unsure yang tidak dominant tersebut sama sekali diluar frame maksud pensyari’atan ajaran islam.
Sikap seperti ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya tumpang tindih antara perintah disatu sisi dan larangan disisi lain. Sebab percampuran antara perintah dan larangan bukan saja tidak rasional dalam tataran implementasinya, melainkan juga berada diluar batas kemampuan manusia untuk menjalankan taklif (pembebanan) berupa perintah sekaligus laragan dalam waktu bersamaan.[9]

2.    Jenis dan Ragam Maslahah
Konsep maslahah dalam syari’at islam dapat dikategorikan menurut sudut padang yang berbeda-beda.
1.    Dilihat dari segi penilaian syari’ (pembuat syari’at) terhadap eksistensi maslahah, ia dapat dibagi menjadi tiga bagian:
a.    Maslahah yang keberadaannya diakui oleh syara’ (al-maslahah al-mu’tabarah). Seperti maslahah yang terkandung dalam pensyari’atan hukum qishas bagi pembunuhan sengaja sebagai symbol pemeliharaan jiwa.[10] Sebagian ulama juga memasukkan produk hukum yang dihasilkan melalui metode qiyas kedalam jenis maslahah ini.[11]
b.    Maslahah yang keberadaannya tidak diakui oleh syara’ (maslahah al-mulghah). Jenis maslahah ini biasanya berhadapan secara kontradiktif dengan bunyi nash, baik berupa al-Quran maupun hadits.
c.     Maslahah yang didiamkan syara’ (al-maslahah al-mursalah), dalam wujud tidak adanya pengakuan maupun pembatalan secara eksplisit dari wahyu.[12] Contohnya sistem pemenjaraan bagi pelaku tindak pidana sebagai wujud pengejawentahan dari ketentuan hukuman pidana dalam islam.
Menurut Amir Syarifuddin Hakikat dari maslahah mursalah adalah sebagai berikut :[13]
P      Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia.
P      Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
P      Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan syara’ tersebut tidak ada petunjuk syara’ secara khusus yang menolaknya, juga tidak ada petunjuk syara; yang mengakuinya.
Ada dua syarat yang harus terpenuhi dalam menggunakan maslahah mursalah: yaitu, syarat umum dan syarat khusus.
Syarat umumnya adaalah bahwa maslahah mursalah itu hanya digunakan pada saat tidak ditemukan nash sebagai bahan rujukan. Syarat khususnya adalah :
o       Maslahah mursalah itu adaalah maslahah yang hakiki dan bersifat umum, dalam arti dapat diterima oleh akal sehat bahwa ia betul-betul mendatangkan manfaat bagi manusia dan menghindarkan madharat dari manusia secara utuh.
o       Yang dinilai akal sehat sebagai suatu maslahah yang hakiki betul-betul telah sejalan dengan maksud dan tujuan syara’ dalam menetapkan setiap hukum, yaitu mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia.
o       Yang dinilai akal sehat sebagai suatu maslahah yang hakiki dan telah sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang telah ada, baik dalam bentuk nash al-Quran dan sunnah, maupun ijma’ ulama’terdahulu.
o       Maslahah mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang seandainya maslahatnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada dalam kesempitan hidup, dengan arti harus ditempuh untuk menghindarkan umat dari kesulitan.
1.    Ditilik dari segi tingkat kekuatan yang dimilikinya, bentuk maslahat terbagi menjadi tiga macam:
a.    Al-Maslahah adh-Dharuriyyah, yaitu maslahah yang bila diabaikan dan divakumkan akan berakibat fatal bagi kehidupan umat manusia, baik didunia maupun diakhirat. Contoh konkrit bentuk maslahat ini adalah pemeliharaan atau perlindungan total terhadap lima prinsip dasar dalam syari’at:
Ø      Perlindungan Agama (hifz ad-din)
Perlindungan agama dalam islam dapat berbentuk aktif-ofensif (ijabi), bisa pula berbentuk pasif-defensif (salbi). Perlindungan secara aktif-ofensif  bisa diwujudkan dalam bentuk penegakan sendi-sendi agama secara maksimal, seperti menyangkut prinsip-prinsip keimanan kepada Allah dan hari kemudian serta penghambaan secara total kepada Allah melalui amalan ritual, semisal shalat, puasa, membayar zakat, dan haji. Sedangkan perlindungan agama secara pasif-defensif dapat dilihat misalnya, dalam anjuran jihad membela agama, pembasmian aliran-aliran sesat pelarangan perbuatan maksiat dan lain sebagainya. Oleh karena itu, perlindungan agama ini sebenarnya meng-cover pula jenis-jenis perlindungan terhadap prinsip-prinsip dasar agama lain.
Ø      Perlindungan jiwa (hifz an-nafs)
Bentuk aktif-ofensif perlindungan jiwa ini berupa pendayagunaan sarana alam yang memang sengaja diproyeksikan untuk kepentingan umat manusia sebagai khalifah Allah untuk mengelolanya. Dari sarana ala mini manusia dapat mengupayakan infrastruktur hidup berupa pangan, papan, dan sandang guna melindungi hidupnya. Secara lebih detail, perlindungan ini dapat dilihat misalnya, dalam sistem pertanggungjawaban (mas’uliyyah) dalam islam. Seorang bapak, misalnya memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan membesarkan anak-anaknya, sebgaimana seorang suami mempunyai tanggung jawab memberikan nafkah kepada iseterinya demi kelangsungan hidup rumah tangga.
Disisi lain, perlindungan jiwa dalam bentuk pasif-defensif dalam islam dapat dilihat misalnya, pada pensyari’atan qishash, diyat, serta sejumlah bentuk hukuman pidana lain yang sengaja diproyeksikan oleh syari’at untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah.
Ø      Perlindungan akal (hifz al-‘aql)
Dalam anatomi manusia, akal merupakan komponen pembeda manusia dari jenis-jenis makhluk lainnya, seperti hewan atau binatang. Sebagai anugerah paling mulia, akal dalam islam diposisikan dalam martabat yang mulia dan strategis. Demi mengoptimalkan fungsi akal dan nalar manusia, isalam secara aktif-ofensif menggalakkan upaya-upaaya pencerdasan kemampuan akal, misalnya melalui penggalian ilmu bagi akal tak ubahnya seperti mengasah sebuah pisau agar lebih mampu menjalankan tugas secara baik dan sempurna. Sebaliknya, secara pasif-defensif, islam mengutuk segala sesuatu yang bisa mengakibatkan tersumbatnya fungsi akal, seperti morfin, narkotika, serta jenis-jenis minuman keras lain yang memabukkan dan mengganggu produktifitas kerja karena tidak berfungsinya akal secara baik dan optimal.
Ø      Perlindungan keturunan (hifz an-nasl)
Bentuk aktif-ofensif perlindungan keturunan dalam islam bisa dilihat misalnya,dalam pesyari’atan nikah. Tujuan asasi anjuran nikah tidak lain adalah demi melestarikan keturunan dan menghindari ketercemaran berupa kesyubhatan dalam penentuan nasab. Tentu saja, tujuan nikah bukan hanya untuk melestarikan keturunan, meskipun hal itu mungkin yang paling pokok. Namun, menurut al-Ghazali, pernikahan juga memiliki tujuan lain yang bersifat semi komplementer, yaitu:
§         Penyaluran nafsu biologis sehingga terhindar dari perangkap perbuatan mesum diluar pagar pernikahan.
§         Menciptakan suasana cinta kasih dan kelapangan hidup dalam wujud keluarga sakinah, keluarga yang bahagia dan sejahtera.
§         Pernikahan yang dilakukan diupayakan dapat membangkitkan suasana baru yang tidak monolog dan monoton demi termotifasi daya kreatifitas keja.
§         Terciptanya sebuah interaksi sosial antara suami isteri dalam rangka melatih saling memenuhi hak dan kewajiban serta menghantarkan mereka menuju jalan yang diridhoi Allah SWT.[14]
Sebagai kebalikan dari disyari’atkannya nikah diatas, islam melarang praktik seks bebas (zina), berikut perbuatan-perbuatan yang secara sangat sensitive dapat merangsang perbuatan zina.
Ø      Perlindungan harta benda (hifz al-mal)
Kebutuhan manusia akan harta benda merupakan keniscayaan femi melangsungkan hidupnya didunia sebagai bekal bagi kehidupan diakhirat. Harta benda ibarat pisau bermata dua: ia berdimensi positif bila penggunaannya sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, namun ia juga dapat berdimensi negative bila digunakan secara zalim dan sewenag-wenang. Oleh karena itu ia juga mempunyai dimensi aktif-ofensif dan bisa pula pasif-defensif.
Dalam upayanya menghadirkan harta benda yang berdimensi positif islam mengajarkan etika bertransaksi dalam praktik mu’amalah demi memperoleh keuntungan, sekaligus melarang pendayagunaan harta benda secara sepihak, seperti penimbunan harta benda yang dapat menghambat sistem sirkulasi secara sehat.
b.    Al-Maslahah al-Hajjiyah. Yakni maslahah yang dibutuhkan umat manusia untuk menciptakan kelapangan dan menghilangkan kesempitan hidup. Bentuk maslahat ini apabila diabaikan maka akan berujung pada kesukaran (masyaqqoh) walaupun tidak sampai pada batas kerusakan (mafsadah). Sebagai contoh adalah shalat qashar bagi orang yang sedang dalam perjlanan, tidak berpuasa bagi orang yang sedang sakit.
c.     Al-Maslahah at-Tahsiniyah. Yakni mengambil ketentuan-ketentuan hukum yang dianggap layak serta menjauhi tingkah laku yang tidak baik dan keji.
2.    Dilihat dari sudut ketercakupannya, maslahah terbagi menjadi tiga bagian.[15]
a.    Maslahah Umum, berupa kepentingan umat manusia secara keseluruhan yang mesti ditegakkan bersama. Seperti pemeliharaan tempat-tempat ibadah dan tempat-tempat suci.
b.    Maslahat yang berkaitan dengan mayoritas umat manusia. Contoh dari maslahah ini adalah keharusan mengganti rugi bagi tenaga kerja yang berbuat kesalahan atau pelanggaran dalam sebuah perusahaan, karena memperhatikan maslahah para pemilik saham beserta elemen organic perusahaan lainnya secara keseluruha.
c.     Maslahat yang berhubungan dengan perorangan dan hanya terjadi pada peristiwa maupun keadaan tertentu. Seperti maslahah yang terkandung dalam upaya men-fasakh (pembatalan dalam bentuk perceraian) perkawinan isteri yang ditinggal pergi lama oleh suami serta tidak diketahui kabar beritanya.
3.           Dilihat dari segi kelenturannya menghadapi perubahan zaman dan lingkungan sosial, mashlahahterbagi menjadi dua macam.[16]
a.    Mashlahah yang berwatak konstan, tidak dapat berubah hanya karena perubahan zaman dan lingkungan sosial. seperti maslahah yang terkandung dalam pengharaman berbuat zalim, pembunuhan, pencurian, zina.
b.    Maslahah yang bisa beradaptasi dengan perubahan zaman dan lingkungan sosial. seperti mashlahah yang terdapat dalam hukum-hukum kebiasaan. Contoh dari mashlahah jenis ini adalah tradisi pernikahan, disuatu masyarakat tertentu mungkin penyerahan maskawin (mahar) dilakukan seketika saat dilangsungkannya akad nikah, sementara dalam masyarakat yang lain tidak demikian.[17] Berkaitan dengan maslahah jenis ini, al-Qarafi mengharamkan fatwa yang menyalahi hukum-hukum kebiasaan suatu Negara. Fatwa semacam itu oleh Qarafi dianggap merusak tatanan ijma’.[18] Statemen Qarafi ini ditujukan bagi hukum-hukum yang tidak dinashkan secara tersurat oleh ajaran agama.

3.    Perubahan Hukum Karena Perubahan Maslahah
Dalam menyikapi kebenaran sebuah produk hukum, pendapat ahli hukum islam terbelah menjadi dua aliran pemikiran :
a.    Aliran kelompok pembenar, yakni aliran yang cenderung menganggap benar semua istinbath hukum para mujtahid. Bagi aliran pertama ini, hukum Allah terjadi (turun) pada setiap terjadi peng-istinbath-an hukum. Oleh karena itu, seluruh hasil instinbath hukum mereka sungguh pun telah terjadi kontradiksi satu sama lain, dapat mencapai tingkat kebenaran hakiki karena itulah hukum Tuhan. Munculnya perdebatan dan perbedaan tajam tidak dapat dimaknai dengan rendahnya derajat hasil ijtihad yang satu disbanding yang lain. Sebaliknya, perbedaan tersebut lebih tidak samanya visi para mujtahid dalam peng-istinbat-an kandungan maslahah pada setiap peristiwa hukum yang terjadi. Dengan kata lain aliran ini mengabsahkan pluralisme hukum pada setiap peristiwa hukum yang terjadi karena perbedaan pengamatan seorang mujtahid dengan mujtahid lainnya manyangkut kadar maslahah yang dikandungnya.
b.    Aliran kelompok pengeliru, yakni aliran yang beranggapan bahwa kebenaran dari suatu istinbath hukum yang dilakukan oleh para mujtahid hanyalah satu, sementara hasil istinbath hukum lainnya dianggap keliru walaupun secara akademik masih dapat dipertanggung jawabkan.[19] Aliran ini mendasarkan argumennya pada sebuah hadits yang menyatakan bahwa seorang mujtahid yang benar dalam melakukan istinbath hukum akan mendapatkan dua pahala, sementara yang keliru hanya mendapatkan satu pahala.[20]
Aliran kedua tidak mengakui adanya pluralisme hukum. Bagi aliran ini, sebelum para mujtahid melakukan istinbath hukum, Allah (sebagai pembuat syari’at) telah menggariskan sebuah ketentuan hukum bagi setiap kejadian maupun peristiwa. Oleh karena itu menurut aliran ini, diferensiasi pendapat para mujtahid bukan berarti secara otomatis membenarkan adanya pluralisme hukum. Sebaliknya, hukum tuhan melekat pada setiap peristiwa tetaplah tunggal. Jadi yang memicu perbedaan adalah metode yang digunakan oleh para mujtahid dalam meng-istisbath-kan hukum dan juga perbedaan antar mereka dalam bergumul dengan sumber-sumber ajaran agama maupun realitas yang ada dilapangan.
Dari uraian diatas, baik aliran pertama maupun kedua sesungguhnya sama-sama mengakui prinsip perbedaan hukum karena perbedaan maslahah. Sebab, betapapun aliran kedua menolak pluraliseme hukum, namun mereka tetap menghargai perbedaan hasil ijtihad sebagai wacana pemikiran yang dapat dipertanggung jawabkan. Dengan kata lain relativitas maslahah telah menjadi pemicu bagi munculnya perbedaan persepsi diantara para mujtahid dalam melahirkan produk ijtihadnya. Dalam konteks ini, perbedaan sosio-historis yang mengitari juga turut mempengaruhi terjadinya perbedaan diatas.
Dalam kaitan ini, Ibnu Qayyim al-jauziyah (W. 751 H), pernah membuat statemen yang kemudian amat popular yakni, “Perubahan fatwa disebabkan karena terjadinya perubahan waktu, tempat dan keadaan”.[21]
Dalam sejarah hukum islam sering kita temui perubahan ketetapan hukum karena pertimbangan maslahah. Khalifah Umar ibnu Abdul Aziz miaslnya, ketika menjabat Gubernur di Madinah ia hanya mau memberi keputusan hukum bagi gugatan penggugat bila ia dapat mengajukan dua orang saksi atau seorang saksi yang disertai dengan sumpah penggugat. Sumpah tersebut dimaksudkan sebagai pengganti dari kedudukan seorang saksi yang lain. Akan tetapi, setelah beliau menjabat khalifah yang berkedudukan di Ibu Kota Negara Syam, dia enggan memberikan ketetapan hukum atas pengajuan formula saksi yang sama. Ketika ditanya tentang pendiriannya tersebut, ia menjawab: “Kami melihat orang Syam berbeda dengan orang Madinah.”[22]
Imam asy-Syafi’i dalam pengembaraan ilmunya pernah meninggalkan pendapat lamanya (qaul qadim) yang dengan susah payah ia bangun sewaktu berada di Baghdad Irak. Namun setelah hijrah ke Mesir, ia membangun paradigma fiqh baru yang kemudian lazim disebut qaul jaded. Perbedaan kedua paradigma fiqh ini tidak lepas dari pengaruh pengamatan Imam asy-Syafi’i terhadap kandungan maslahah pada setiap komunitas maupun lingkungan yang berbeda.
Pada masa sahabat, Khalifah Umar bin Khattab adalah orang yang sering menggunakan ketetapan hukum berdasarkan pertimbangan maslahah. Hal ini, bisa dilihat dari kebijakan Umar bin Khattab yang tidak menerapkan hukum potong tangan bagi pencuri. Kebijakan Umar tersebut tentu bertentangan dengan zhair Nash al-Quran yang secara tegas menyatakan bahwa hukuman bagi seorang pencuri adalah potong tangan.[23] Bahkan ayat ini juga diperkuat dengan sunnah fi’liyyah, yakni bahwa Rasulullah sendiri pernah melakukan praktik hukum potong tangan bagi para pencuri. Pertimbangan Umar dengan tidak menerapkan jenis hukuman ini adaalah bahwa kondisi masyarakat pada saat itu tidak memungkinkan diterapkannyahukum potong tangan. Dengan kata lain, maslahah yang menjadi pijakan ketetapan hukum menuntut adanya jenis hukuman lain untuk londisi yang serba kekurangan.[24]
Berbagai contoh aplikatif diatas menyisakan sebuah refleksi dan renungan bagi kita semua. Sejak periode awal islam, semangat dan ruh ajaran agama sudah ditegakkan untuk mengantisipasi kandungan maslahah yang tidak sama pada setiap peristiwa hukum yang terjadi dimasyarakat. Oleh karena itu, pada abad teknologi informasi saat ini, dimana laju perubahan masyaraakat begitu cepat, semangat untuk berpegang teguh pada ruh ajaran agama harus tetap dipegang teguh. Sebab perkembangan masyarakat dan dunia iptek akan berimplikasi pada dinamisasi maslahah yang melekat pada setiap peristiwa hukum.

B.   MERUMUSKAN MASLAHAH; TELAAH KASUS PERKAWINAN DAN PERCERAIAN DI BAWAH TANGAN
Sebagaimana telah dijelaskan panjang lebar diatas, Allah Swt dalam al-Quran surat An-Nisa ayat 3 menyatakan seorang laki-laki boleh melaksanakan perkawinan dengan dua, tiga, atau empat wanita sekaligus, tetapi jika khawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukup satu saja. Begitu juga dalam hadits Nabi Saw. yang berbunyi “ Nikah itu adalah sunahku, barang siapa yang tidak mencintai sunahku maka dia bukan termasuk golonganku”. Dengan demikian jika ditanyakan apa motif beristri lebih dari satu orang, kebanyakan orang akan menjawab adalah sunnah Nabi, karena Nabi juga beristri lebih dari satu orang. Argumentasi tersebut, hanya sekedar untuk membela diri untuk beristri lebih dari satu orang, kalau diteliti secara mendalam, Nabi bersitri lebih dari satu orang hanya untuk berdawah mengembangkan agama Islam atau melindungi hak-hak wanita setelah ditingal mati suaminya dari medan perang.
Perkawinan Nabi dengan Siti Khadijah, karena Siti Khadijah orang kaya dan terpandang yang bisa dijadikan sebagai tulang punggung untuk berdakwah, perkawinan Nabi dengan Siti Aisyah, karena Siti Aisyah orang yang cerdas dan masih muda, sehingga dari Siti Aisyah diharapkan bisa melahirkan keturunan, dari Siti Aisyah pula terkumpul hadits-hadits hukum. Perkawinan Nabi dengan Mariah Al-Qibtiyah adalah untuk menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan Romawi di Mesir, karena Mariyah Al-Qibtiyah adalah hadiah dari Gubernur Mukaukis di Mesir, dengan hubungan persahabatan tersebut yang akhirnya Islam begitu mudah masuk Mesir. Begitu juga perkawinan Nabi dengan Siti Saodah, hanya sekedar melindungi hak-haknya karena Siti Saodah telah ditinggal mati oleh suaminya di medan perang.
Jika kita dapat dengan bijak memahami dari perkawinan Nabi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pekawinan Nabi Saw. lebih dari satu wanita (pilogami) bukan karena seks, tetapi karena ada tujuan-tujuan tertentu, yaitu untuk berdakwah, memajukan Islam dan memperkuat barisan Islam, karena pada saat itu umat muslim masih sedikit. Sedangkan perkawinan lebih dari satu wanita yang dilakukan pria sekarang hanya karena seks, hal itu bisa dilihat karena pria sekarang yang melakukan perkawinan lebih dari satu wanita biasanya memilih wanita yang lebih muda atau lebih cantik dari istri pertama. Oleh karena itu tujuan poligami yang dilakukan oleh pria sekarang berbeda dengan tujuan poligami pada jaman Nabi. Saw. Begitu juga poligami yang diajarkan oleh Nabi bersifat terbuka, artinya perkawinan-perkawinan Nabi selalu diketahui dan diizinkan oleh istri-istri sebelumnya, sedangkan poligami pria sekarang biasanya untuk istri ke dua, ke tiga dan seterusnya secara sembunyi-sembunyi (tidak dicatatkan di KUA), yang istilah populernya disebut dengan perkawinan di bawah tangan/kawin siri.
Persoalan nikah sirri ini, menjadi sebuah problematika hukum apabila kasus ini menjadi gejala massif dan bersinggungan dengan keadilan. Sebagaimana telah disebutkan dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, yaitu “ tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Begitu juga pada pasal 4 dan 5 dalam undang-undang yang sama berbunyi “ Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang (poligami), maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya, dengan ketentuan jika istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang sulit untuk disembuhkan dan istri tidak dapat melahirkan keturunan, disamping itu harus ada persetujuan dari istri pertaman. Atau ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak mereka.[25]
Selama ini perkawinan di bawah tangan (kawin siri) banyak terjadi di Indonesia, baik dikalangan masyarakat biasa, para pejabat ataupun para artis, istilah populernya disebut istri simpanan. Perkawinan di bawah tangan sebenarnya tidak sesuai dengan “maqashid asy-syariyah”, karena ada beberapa tujuan syariah yang dihilangkan, diantaranya:
1.    Perkawinan itu harus diumumkan (diketahui halayak ramai), maksudnya agar orang-orang mengetahui bahwa antara A dengan B telah terikat sebagai suami istri yang syah, sehingga orang lain dilarang untuk melamar A atau B, tetapi dalam perkawinan di bawah tangan, selalu disembunyikan agar tidak diketahui orang lain, sehingga perkawinan antara A dengan B masih diragukan,
2.    Adanya perlindungan hak untuk wanita, dalam perkawinan di bawah tangan pihak wanita banyak dirugikan hak-haknya, karena kalau terjadi perceraian pihak wanita tidak mendapatkan apa-apa dari mantan suaminya,
3.    Untuk kemaslahatan manusia, dalam perkawinan di bawah tangan lebih banyak madlaratnya dari pada maslahatnya, seperti anak-anak yang lahir dari perkawinan dibawah tangan lebih tidak terurus, sulit untuk bersekolah atau untuk mencari pekerjaan karena orang tuanya tidak mempunyai surat nikah dan seandainya ayahnya meninggal dunia/cerai, anak yang lahir di bawahtangan tidak mempunyai kekuatan hukum untuk menuntut harta waritsan dari ayahnya,
4.    Harus mendapat izin dari istri pertama, perkawinan ke dua, ke tiga dan seterusnya yang tidak mendapat izin dari istri pertama biasanya dilakukan di bawahtangan, sehingga istri pertama tidak mengetahui bahwa suaminya telah menikah lagi dengan wanita lain, rumah tangga seperti ini penuh dengan kebohongan dan dusta, karena suami selalu berbohong kepada istri pertama, sehingga perkawinan seperti ini tidak akan mendapat rahmat dari Allah.
Kalau kita telusuri eksistensinya secara luas dan mendalam, serta direnungkan dalam konteks kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara, baik secara sosiologis, psikologis, maupun yuridis dengan segala akibat hukum dan konsekwensinya, tentu sangat luas obyek yang ditimbulkan dari model pernikahan dibawah tangan/ nikah sirri yang berpengaruh besar dalam perkembangan peradaban manusia dengan teknologi dewasa ini, baik dalam hubungan anggota masyarakat, bahkan dapat mempengaruhi bentuk masyarakat serta suatu Negara. Karena hukum menentukan bentuk masyarakat, masyarakat yang belum dikenal dapat dicoba mengenalnya dengan mempelajari hukum yang berlaku dalam masyarakat itu, sebab hukum mencerminkan masyarakat. Dari seluruh sistem hukum, maka perkawinan yan menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan dan hukum yang berlaku dalam masyarakat.[26]
Suatu bentuk perkawinan yang telah menjadi model masa kini yang timbul dan berkembang diam-diam pada sebagian masyarakat islam di Indonesia yakni nikah dibawah tangan, dimana mereka berusaha menghindari diri dari sistem dan cara pengaturan pelaksanaan perkawinan menurut UU No. 01 tahun 1974, yang terlalu birokratis dan berbelit-belit serta lama pengurusannya. Untuk itu mereka menempuh cara tersendiri yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Dalam ilmu hukum cara seperti itu dikenal dengan istilah “penyelundupan hukum”, yaitu suatu cara menghindari diri dari persyaratan hukum yang ditentukan oleh undang-undang dan peraturan yang berlaku dengan tujuan perbuatan bersangkutan dapat menghindarkan suatu akibat hukum yang tidak dikehendaki atau untuk mewujudkan suatu akibat hukum yang dikehendaki.[27]
Kebanyakan orang meyakini bahwa perkawinan di bawah tangan sah menurut Islam karena telah memenuhi rukun dan syaratnya, sekalipun perkawinan tersebut tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama, atau perceraian itu telah sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya, sekalipun perceraian itu dilakukan di luar sidang Pengadilan. Akibat pemahaman tersebut maka timbul dualisme hukum yang berlaku di negara Indonesia ini, yaitu di satu sisi perkawinan itu harus dicatatkan di Kantor Urusan Agama dan disisi lain tanpa dicatatkanpun tetap berlaku dan diakui dimasyarakat, atau di satu sisi perceraian itu hanya sah bila dilakukan di depan sidang Pengadilan, di sisi lain perceraian di luar sidang Pengadilan tetap berlalu dan diakui di masyarakat. Kemudian pertanyaannya adalah, Apakah benar rukun perkawinan yang berlaku dan diyakini sekarang ini mutlak adanya, atau ia masih ada kemungkinan dapat berubah? Apakah benar perkawinan dan perceraian di bawah tangan sesuai dengan tujuan-tujuan hukum Islam yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya yakni untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia (al-Maslahah)? Kemudian siapakah sebenarnya yang berwenang untuk menikahkan atau menceraikan seseorang yang melakukan perkawinan menurut hukum Islam ?
Untuk menemukan jawabannya, hanya dengan berpikir secara bijak dalam mendialektikannya untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia.

A.   Menginterpretasikan perjanjian (al-mithaq)
Dalam al-Quran ada sebuah ayat yang sangat penting untuk kita ketahui maknaya sesuai dengan konteks sekarang ini. Yang didalamnya menerangkan tentang perjanjian perkawinan yang terdapat terdapat dalam firman Allah :
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (Qs. An-Nisa’ [4]: 20-21).
Dalam ayat diatas jelas, bahwa daalam perkawinan terdapat sebuah perjanjian yang kuat yang diambil oleh para isteri dari pada suami mereka, dan tidak terdapat dalam posisi milk al-yamin. Dari Firman istibdala zawjin makana zawjin pada potongan ayat diatas, kami memahami bawa isteri hanyalah seorang saja dan bahwa perkawinan yang kedua terwujud setelah menceraikan yang pertama, sejalan dengan ayat poligami dalam surat an-Nisa’ ayat 3 yang memerintahkan untuk menikahi para janda karena anak-anak yatim mereka, sehingga dalam kondisi demikian, janda tersebut menjadi isteri kedua karena keberadaan anak-anak dan keluarga. Kemudian apakah (al-mithaq al-ghalidz) perjanjian yang kuat itu?
Kata al-mithaq berasal dari kata dasar wathaqa. Dari kata dasar ini juga muncul kata ath-thiqah, al-wathaqah, al-wathaq, dan at-tauthiq. Ketika terjadi kesepakatan diantara kedua belah pihak atas dasar kepercayaan, maka itulah yang disebut al-mithaq, akan tetapi jika terjadi kesepakatan atas dasar keterpaksaan dan pemaksaan, maka ia disebut al-wathaq, seperti yang terdapat dalam Firman Allah :
Maka pada hari itu tiada seorangpun yang menyiksa seperti siksa-Nya. Dan tiada seorangpun yang mengikat seperti ikatan-Nya. (Qs. al-Fajr [89]: 25-26).
Perjanjian tersebut telah membingkai kehidupan sosial-kemasyarakatan bersama bagi seorang suami dan iseteri secara khusus, dan keluarga secara umum. Al-Mithaq adalah perjanjian dengan Allah melalui sumpah, seperti dalam Firman-Nya:
(yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian. (Qs. ar-Ra’d [13]: 20).
Oleh karena itu, al-mithaq al-ghalidz yang diambil oleh dua belah pihak sumai isteri tersebut adalah janji kepada Allah untuk menunaikannya, dan ia telah membingkai 98% dalam kehidupan bersama diantara kedua suami-iseteri, dan mengandung aspek-aspek kemanusiaan dan kemasyarakatan selama masa menempuh kehidupan bersama. Al-mithaq tersebut barangkali dapat disusun dalam item-item berikut ini:
1.    Kedua belah pihak berjanji untuk jujur satu sama lain dan tidak saling membohongi.
2.    Kedua belah pihak berjanji untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan keji (mengkhianati perkawinan)
3.    kedua belah pihak berjanji untuk saling menjaga kesehatan dan harta yang lainnya, dan tetap bersabar dalam keadaan lapang, sempit, sehat dan sakit.
4.    kedua belah pihak berjanji untuk menjaga dan mendidik anak-anak dengan baik.
5.    kedua belah pihak berjanji untuk saling menjaga privasi yang lainnya, dan tidak menyebarluaskan privasi tersebut kepada orang lain.
Demikianlah pandangan penting dari al-mithaq al-ghalidz menurut Muhammad Shahrur[28], dimana kedua belah pihak wajib menepatinya dan keduanya dinyatakan sah menjadi suami isteri.
Menurut Mahamud Syaltut berpendapat bahwa lafdz  ميثقا غليظا kontrak perkawinan dan janji yang berat, ia bukan sekedar pengertian hubungan dan bersatu padu seperti hubungan persahabatan, hubungan diantara anak dan bapak atau yang dipahami oleh banyak orang suatu perjanjian unyuk mengambil manfaat, memiliki dan mengeksploitasi. Oleh karena itu, untuk menjaga kesakraalan nilai pernikahan haruslah dicatatkan dalam akta resmi. Al-Quran memandang perkawinan itu dalam kedudukan yang tinggi baik dalam kehidupan pribadi, kekeluargaan, maupun kehidupan berbangsa. Penghargaan dan pengangkatan derajat perkawinan merupakan semacam persetujuan yang mesti disempurnakan segala tugas kewajibannya dengan ijab dan qabul, dan kesaksian beberapa orang saksi. Disamping itu al-Quran pun menganggap perkawinan itu sebagai suatu kontrak yang memikulkan kepada hati yang mengerti makna perkontrakan itu, akan tanggung jawab dari perkawinan tersebut. Sedangkan hati orang yang demikian itu senantiasa berjuang sekuat tenaganya untuk memelihara kontrak itu dan selalu setia kepanya meskipun terjadi hal-hal yang mengganggunya, yang berupa kesukaran-kesukaran serta berbagai ragam kesulitan  menilai [29]
Dari penafsiran al-mithaq al-ghalidz yang dimaknai sebagai perjanjian yang sangat kuat dengan semua aspek tanggung jawab dan penghargaan terhadap hak-hak antara satu sama lain dalam kehidupan keluarga yang mengandung nilai ibadah dan sosial-kemasyarakatan diatas hanya dapat terwujud dalam wujud tulisan, jika dikontekskan dengan hari ini khususnya di Indonesia dalam wujud akta nikah.

B.   Berdialektika Dalam Rukun Dan Syarat Perkawinan
Sebagaimana dijelaskan pada bab terdahulu, untuk dikatakan sahnya perkawinan, adalah apabila perkawinan itu telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Berikut adalah Rukun perkawinan yang tercantum dalam pasal 14 Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut:
1.    Calon mempelai suami
2.    Calon mempelai istri
3.    Wali Nikah
4.    Dua orang saksi
5.    Ijab kabul.[30]
Sedangkan Syarat perkawinan sebagai mana tercantum dalam pasal 6 UU. RI. Nomor 1 tahun 1974 adalah sebagai berikut:
  1. Perkawina harus didasarkan atas persetujuan ke dua calon mempelai
  2. Kedua mempelai mencapai umur 21 tahun, jika kurang dari umur 21 tahun harus mendapat izin dari ke dua orang tua, jika wanita kurang dari umur 16 tahun dan pria kurang dari umut 19 tahun, maka harus mendapat izin dari Pengadilan (dispensasi kawin)
  3. Tidak ada larangan menurut hukum Islam.[31]
Masyarakat Muslim Indonesia sangat meyakini bahwa rukun perkawinan adalah sebagaimana tersebut di atas, sehingga perkawinan (pernikahan) yang sudah memenuhi rukun tersebut di atas, maka perkawinan tersebut sudah dikatakan syah menurut hukum Islam, padahal ulama mazhab berbeda pendapat mengenai rukun perkawinan itu sendiri seperti telah diuraikan diatas, perbedaan itu diantaranya:
Ø      Menurut Imam Malik rukum pernikahan ada lima, diantaranya 1). Wali dari pihak perempuan, 2). Mahar (maskawin), 3). Calon mempelai laki-laki, 4). Calon mempelai perempuan, 5). Sighat akad nikah.[32]
Ø      Menurut Ulama Syafiiyyah rukun pernikahan ada lima, diantaranya 1). Calon mempelai laki-laki, 2). Calon mempelai perempuan, 3). Wali, 4). Dua orang saksi, 5). Sighat akad nikah.[33]
Ø      Menurut Ulama Hanafiyah rukun perkawinan hanya ijab dan qabul saja. 7
Imam Malik menjadikan mahar sebagai rukun perkawinan sedangkan saksi bukan sebagai rukun pekwinan, ulama Syafiiyah dua orang saksi dijadikan sebagai rukun pernikahan sedangkan mahar bukan sebagai rukun pernikahan, begitu juga ulama Hanafiyah yang menyatakan bahwa rukun perkawinan hanya ijab qabul saja, sedangkan yang lainnya bukan sebagai rukun perkawinan. Imam Syafii sendiri dalam Al-Umm tidak menjelaskan tentang rukun pekawinan.
Secara sederhana dapat diketahui bahwa diantara ulama Mazhab sendiri tidak ada kesepakatan tentang rukun perkawinan, oleh karena itu rukun perkawinan yang sudah masyhur di masyarakat atau segaimana yang tercantum pada pasal 14 Kompilasi Hukum Islam bukanlah suatu hal yang sudah final, akan tetapi ada kemungkinan untuk berubah baik ditambah atau dikurang sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan bagi masyarakat itu sendiri. Calon mempelai pria dan calon mempelai wanita dijadikan sebagai rukun perkawinan, bukan karena ada petunjuk dari Al-Quran atau Al-Sunnah, akan tetapi semata-mata hasil ijtihad ulama, Al-Quran dan Al-Sunnah tidak menjelaskan adanya calon mempelai pria dan calon mempelai wanita yang mengarah untuk dijadikan sebagai rukun pernikahan. Oleh karena itu Imam Hanafi tidak menjadikan calon mempelai pria dan calon mempelai wanita sebagai rukun perkawinan.
Sedangkan wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi dijadikan sebagai rukun perkawinan karena ada petunjuk hadits Nabi yang berbunyi:[34]
لانكاح الا بولي وشا هد عدل (رواه احمد و الاربعه)
Artinya : "Tidak syah nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang adil."
Ulama Syafi’iyyah dan Imam Hambali menerima hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan menurut mereka hadits tersebut kuat, oleh karena itu wali dan dua orang saksi dijadikan sebagai rukun perkawinan, tetapi Imam Malik hanya menerima hadits tentang wali dan tidak menerima hadits tentang saksi, oleh karena itu Imam Malik menyatakan saksi tidak termasuk rukun perkawinan. Sedangkan Imam Hanafi menyatakan hadist tersebut kurang kuat, oleh karena itu Imam Hanafi menyatakan wali nikah dan dua orang saksi tidak dijadikan sebagai rukun perkawinan. Ulama Syafiiyah telah menjadikan wali dan dua orang saksi sebagai rukun perkawinan serta Imam Malik menjadikan wali sebagai rukun perkawinan, oleh karena itu perlu dijelaskan pengertian wali dan dua orang saksi itu sendiri. Wali menurut bahasa artinya amat dekat atau yang melindungi, sedangkan yang dimaksud wali nikah adalah orang yang berhak untuk menikahkan seorang perempuan kepada pria pilihannya karena ada hubungan darah. Oleh karena itu orang yang tidak mempunyai hubungan darah tidak berwenang atau tidak berhak untuk menikahkan seseorang perempuan dengan pilihannya. Sebagaimana telah disepakati para ulama fiqh, urutan wali adalah dari yang paling dekat seperti ayah, kakek, saudara pria sekandung, saudara pria sebapak dan seterusnya, yang kesemuanya itu dari garis keturunan pria.
Yang jadi masalah adalah bagaimana jika wanita itu tidak mempunyai wali, maka sesuai hadits Nabi dari Siti Aisyah yang berbunyi :[35]
فان استخرجوا فالسلطان ولى من الاو لى لها وفي روايه اخرى انا ولي لمن لاولي لها (اخرجه الاربعه)
Artinya : "Apabila wali-wali itu menolak untuk menikahkannya, maka pemerintah (raja) yang menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali, dalam riwayat hadits lain disebutkan Nabi yang menjadi wali bagi orang yang tidak memiliki wali."
Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa wali nikah bagi wanita yang tidak mempunyai wali adalah Nabi Saw sendiri, dalam hal ini Nabi Saw berkedudukan sebagai pemimpin, atau sulthan (pemerintah) atau disebut juga dengan wali hakim. Jika kita kontekskan dengan kondisi di Indonesia, pengertian sulthan dalam negara kesatuan Republik Indonesia bisa diartikan Presiden, jadi yang berhak untuk menikahkan wanita yang tidak memiliki wali adalah Presiden, akan tetapi di Indonesia Presiden telah mendelegasikan kekuasaanya bagi yang beragama Islam kepada Departemen Agama dalam hal ini Kantor Urusan Agama (KUA).
Dengan demikian “Wilayatul Hukmi Linnikah” (kekuasaan hukum untuk menikahkan) ada pada Kantor Urusan Agama, oleh karena itu tidak sah nikah seorang wanita yang dilakukan oleh tokoh masyarakat atau ulama tertentu disuatu daerah, karena mereka tidak memiliki wilayatul hukmi linnikah. Begitu juga tidaklah sah seorang wali yang memiliki kekuasaan untuk menikahkan putrinya mewakilkan kepada tokoh masyarakat atau ulama, kecuali dilakukan dihadapan Pejabat Pencatat Nikah (KUA) dan atas izin Pejabat tersebut. Sedangkan dua orang saksi yang dimaksud disini adalah dua orang saksi yang adil. Untuk mengetahui serta menilai apakah saksi-saksi itu bisa berbuat adil atau tidak, dalam hal ini harus ada suatu lembaga/institusi yang bertugas untuk mengontrol keadilan saksi-saksi tersebut. Oleh karena itu KUA adalah suatu lembaga yang sah untuk mengontrol dan menetapkan saksi-saksi dalam pernikahan, karena lembaga ini telah diberi wewenang oleh Sulthan (Presiden) untuk menyelesaikan masalah pernikahan bagi orang yang beragama Islam. Dengan demikian dua orang saksi dalam pernikahan bukan sembarang saksi, tetapi saksi-saksi yang telah ditunjuk dan ditetapkan oleh Petugas Pencatat Nilkah Kantor Urusan Agama pada saat akad pernikahan.
Imam Syafii menjelaskan pernikahan harus disaksikan oleh dua orang saksi yang adil, apabila hanya satu saja saksi yang hadir maka pernikahan tersebut adalah bathal, saksi-saksi tersebut adalah saksi-saksi yang telah ditunjuk oleh sulthan, bukan sembarang saksi, karena sembarang saksi tidak bisa dijamin keadilannya.[36]
Dari uraian tersebut di atas, pada dasarnya rukun perkawinan yang lima sebagaimana telah dijelaskan di atas, tidak disepakati oleh imam mazhab, hanya ijab qabul saja yang telah disepakati sebagai rukun perkawinan oleh sebagian besar ulama mazhab, sedangkan yang lainya masih diperselisihkan. Oleh karena masih diperselisihkan, akibatnya dapat disimpulkan rukun perkawinan yang lima itu belum final (masih ijtihadi), oleh karenanya ada kemungkinan rukun pernikahan bisa bertambah atau bisa berkurang dari yang lima, sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan umat manusia, khususnya masyarakat Indonesia. Inilah yang dimaksud dengan perubahan hukum sesuai dengan perubahan maslahah.
Atas dasar itu menurut hemat penulis rukun perkawinan itu ada enam, dengan menambahkan pencatatan sebagai rukun perkawinan. Dasar pencatatan sebagai rukun perkawinan adalah sebagai berikut :
1.    Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 59 yang berbunyi :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.[37]
Ahmad Musthafa Al-Maraghi menjelaskan yang dimaksud dengan “Ulil Amri” adalah pemerintah (Pemimpin), baik pemerintah pusat ataupun menerintah dibawahnya, dimana tugasnya adalah memelihara kemaslahatan umat manusia. Dengan demikian aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah untuk kemaslahatan manusia wajib ditaati selama aturan-aturan tersebut tidak bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah.[38]  Menurut Mujahid, Atha dan Hasan Basri yang dimaskud dengan “Ulil amri” adalah pemimpin yang ahli dalam agama. Oleh karena itu aturan-aturan yang dibuat oleh pemimpin yang ahli dalam agama wajib ditaati, sedangkan aturan-aturan yang bertentangan dengan hukum Allah dan Rasulnya tidak perlu ditaati, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang artinya “ Sesungguhnya taat itu hanya untuk yang baik sedangkan untuk kemaksiatan tidak wajib taat”[39]
Dengan demikian yang dimaksud dengan “Ulil Amri Minkum” adalah pemimpin-pemimpin yang diangkat oleh masyarakat itu sendiri atau yang dinobatkan sebagai raja, untuk mengatur kehidupan masyarakat. Aturan-aturan yang dibuat oleh pemimpin atau raja untuk kemaslahatan manusia harus ditaati, selama aturan-aturan itu tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah. Aturan-aturan yang dimaksud adalah yang dibuat oleh pemenitah/raja, atau aturan-aturan yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu/para ulama yang kemudian dijadikan sebagai kebijakan dalam pemerintahannya. Kalau dilihat dari ilmu ushul fiqh, firman Allah tersebut di atas mengandung arti Amr (perintah), yaitu perintah untuk mentaati Allah, mentaati Rasul dan mentaati Pemimpin, sedangkan amr (perintah) ada yang mengandung wajib, ada yang mengandung Nadb dan ada juga yang mengandung kebolehan.
Untuk mengatahui katagori perintah apakah mengandung wajib, mengandung Nadb atau mengandung kebolehan, hal ini perlu diketahui dari kepentingan perintah itu sendiri, jika perintah itu dijalankan akan membawa kemaslahatan kepada umat manusia dan kalau ditinggalkan akan membawa kemadlaratan serta kekacauan kepada umat manusia, maka amr (perintrah) itu menunjukan wajib. Sedangkan jika perintah itu ada qarinah lain yang menunjukan tidak mendesak dan tidak membawa kemadlaratan kalau titinggalkan, maka amr (perintah) itu menunjukan kepada nadb atau kebolehan. Dengan demikian karena perintah pencatatan dalam perkawinan akan membawa kepada kemaslahatan bagi umat manusia serta akan membawa kepada kemadlaratan jika ditinggalkan, maka dapat ditafsirkan perintah mentaati ulil amri dalam firman Allah tersebut di atas menunjukan kepada wajib.
2.    Sunnah Rasul Banyak Sunnah Nabi yang menerangkan tentang perintah mentaati pemimpin, diantaranya hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Ra.
من اطا عني فقد اطا ع الله ومن عصاني قثد عصا الله ومن اطاع أميرى فقد اطا عني ومن عصا أمري فقد عصاني
Artinya : “Barang siapa yang mentaatiku maka ia telah mentaati Allah, barang siapa yang membantah kepadaku maka ia telah membantah kepada Allah, barang siapa yang mentaati pemimpin maka ia telah mentaatiku, dan barang siapa yang membantah pemimpin maka ia telah membantah kepadaku.”
Hadits-hadits yang menerangkan tentang perintah mentaati pemimpin pada umumnya masih besifat umum, tetapi sudah dapat dipastikan yang dimaksud dengan mentaati pemimpin disini adalah apabila perintah-perintah itu tidak bertenangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Ulama telah sepakat bahwa aturan-aturan yang telah di buat oleh pemimpin Muslim di negara yang mayoritas penduduknya Muslim wajib ditaati apabila perintah itu untuk kemaslahatan manusia serta tidak bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah, sedangkan terhadap aturan-aturan yang dibuat oleh pemimpin yang non Muslim, ulama berbeda pendapat, sebagian golongan ada yang berpendapat boleh mentaati aturan-aturan yang dibuat oleh pemimpin yang non Muslim jika aturan tersebut tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah, sedangkan sebagian lagi berpendapat tidak boleh mentaati aturan-aturan yang dibuat oleh pemimpin non Muslim sekalipun aturan-aturan tersebut tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah, karena aturan-aturan yang dibuat oleh Non Muslim adalah bathal.
Dengan demikian dapat disimpulkan aturan-aturan yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini Departemen Agama RI. yang mana aturan-aturan tersebut dibuat oleh orang-orang Muslim untuk kemaslahatan Umat Islam, maka peraturan-peraturan itu wajib untuk ditaati.
3.    Untuk Kemaslahatan Umat Manusia Pada jaman Rasulullah Saw. setiap kejadian pernikahan, thalak, ruju dan lain sebagainya selalu diahadapkan kepada Rasulullah, kemudian Rasulullah menghukum begini dan begitu, ini menandakan bahwa setiap peristiwa perkawinan dan perceraian selalu diketahui oleh Rasulullah, karena kedudukan Rasulullah sebagai Ulama dan Umara. Memang pada jaman Rasulullah perkawinan dan perceraian tidak dicatatkan, hal itu dapat dimaklumi karena pada waktu itu umat Islam masih sedikit dan cukup hanya diingat saja oleh Rasulullah.
Sedangkan pada jaman sekarang penduduk manusia sudah banyak sekali, maka jika perkawinan itu tidak dicatatkan akan terjadi kekacauan dan kemadaratan yang akan menimpa umat manusia, karena kemungkinan besar perkawinan itu tidak akan terkontrol, banyak orang kawin cerai-kawin cerai, atau telah berkali-kali menikah akan mengaku belum pernah menikah, yang pada akhirnya mengakibatkan kemadaratan yang amat besar bagi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan, serta tidak diketahui siapa ayah kandung yang sebenarnya, karena tidak akan bisa diingat lagi siapa yang sudah menikah dan yang belum menikah, tetapi kalau dicatatkan akan diketahui pernikahan seseorang dan akan terkontrol serta dapat diketahui pula nama orang tua seseorang.
Pada jaman kekuasaan kerajaan Islam semakin luas dan umat Islam semakin banyak, permasalahan-permasalahan umat Islam baik menganai Pidana maupun Perdata selalu dihadapkan kepada pemerintah (raja), maka sejak jaman kerajaan Umaiyyah maupun Abasiyah sudah memulai pencatatan mengenai keperdataan serta menyelesaikannya melalui Pengadilan, terbukti dengan putusan-putusan Qadi Syureh mengenai perdata, karena jika tidak dicatatkan dengan baik dan rapi akan menimbulkan kemadaratan bagi kelangsungan kehidupan rumah tangga. Oleh karena pencatatan pernikahan dapat menegakan kemaslahatan bagi umat manusia, maka sudah sepatutnya pencatatan pernikahan dijadikan sebagai rukun perkawinan pada jaman sekarang ini, karena pada dasarnya pencatatan perkawinan itu ada dasar hukumnya dari Al-Quran dan As-Sunnah serta dapat menegakan kemaslahatan bagi umat manusia.

C.   Membincangkan Rumusan Maslahah Dalam Perkawinan Dan Perceraian

1.    Hikmah Perkawinan
Tujuan perkawinan dalam pandangan Islam adalah untuk memenuhi perintah agama, dalam rangka mendirikan rumah tangga yang harmonis, sejahtra dan bahagia. Harmonis dalam hal menjalankan hak dan kewajiban yang seimbang antara suami istri, sehingga tercipta kerelaan dan sepenanggungan dalam rumah tangga. Sejahtra dalam hal terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan hajat hidup berumah tangga yang biasanya berbentuk materi, sehingga dengan meteri ini bisa membangun rumah tangga yang berkecukupan. Bahagia dalam hal terciptanya ketenangan lahir dan bathin, ketenangan lahir akan timbul bila mana telah terpenuhi kebutuhan lahir yang berupa sandang pangan dan papan, sedangkan ketenangan bathin akan timbul bila mana telah terpenuhi kebutuhan bathin yang berupa hubungan suami istri atau hubungan biologis (seks).
Manusia diciptakan oleh Allah mempunyai tugas yang amat penting, yaitu sebagai khalifah fil ardh, kedudukanya sebagai khalifah tidak lain adalah untuk menjalankan misi-misi Allah di muka bumi, karena manusia diciptakan untuk mengabdikan dirinya kepada sang Khaliq dengan segala aktivitas kehiduannya. Karena sangat pentingnya missi-missi Allah di muka bumi ini, maka Allah memerintahkan kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan bilogisnya dengan jalan perkawina, sehingga dengan perkawinan akan melahirkan keturunan yang akan melanjutkannya missi Allah di muka bumi ini. Allah mengatur kehidupan manusia dengan jalan perkawinan, karena perkawinan dalam agama Islam merupakan tuntunan agama, sehingga tujuan perkawinan hendaknya ditujukan untuk memenuhi petunjuk agama.
Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah 1). Untuk mendapatkan dan melangsungkan keturunan, 2). Untuk menyalurkan sahwatnya dan menumpahkan kasih sayang, 3). Untuk memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan, 4). Menimbulkan kesungguhan untuk bertanggungjawab dalam memenuhi hak dan kewajiban serta memperoleh kekayaan yang halal, 5). Untuk membangun rumah tangga/masyarakat atas dasar cinta dan asih sayang.[40]
Pada intinya maqasidhus syariah dari perkawinan adalah agar manusia hidupnya damai penuh dengan kasih sayang satu dengan yang lainnya, karena unsur dari kejadian manusia adanya pemenuhan kebutuhan biologis untuk malanjutkan keturunan, sehingga dengan perkawinan itu manusia akan terhindar dari perbuatan yang keji dan kotor yang bisa menimbulkan kejahatan dan kerusakan. Keturunan yang diharapkan oleh syariah adalah keturunan yang dapat menjalankan aturan-arturan Allah yang berupa perintah dan larangan. Sebab terlaksananya perintah-perintah Allah akan terciptanya kemaslahatan dan kedamaian dalam dunia ini, sedangkan dengan tidak terlaksananya perintah-perintah Allah akan terciptanya kerusakan dan kemadlaratan dalam dunia ini. Seorang pria mempunyai naluri seks yang lebih dibandingkan dengan wanita, oleh karena itu Allah membolehkan seorang pria untuk beristri lebih dari satu orang istri sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam surat An-Nisa ayat 3. Dengan naluri biologis seorang pria boleh menikahi wanita kapan saja ia mau dan dimana saja ia kehendaki, selama istri itu tidak melebihi empat orang, dengan naluri biologisnya pula seorang pria akan berbohong bahwa ia belum beristri, atau sudah beristri tetapi belum melebihi dari empat istri. Oleh karena itu tujuan syariah tidak akan tercapai jika tidak ada keterlibatan pihak lain yang berupa lembaga yang telah diberi wewenang oleh pemerintah untuk menanganinya. Dengan lembaga tersebut perkawinan seorang pria dengan seorang wanita akan tercatat rapi, sehingga tidak ada lagi penipuan dan kebohongan dalam perkawinan, yang kesemuanya itu akan merugikan pihak wanita.
Tujuan syariah lainnya adalah terpeliharanya turunan-turunan yang akan melanjutkan missi Allah di muka bumi, perkawinan seorang pria yang dilatar belakangi hanya karena kebohongan belaka atau karena memenuhi nafsu biologis saja, akan mengakibatkan tidak terpeliharanya turunan-turunan baik dari segi pendidikan, agama ataupun mental, sehingga akan mengakibatkan timbulnya kerusakan dan kemadharatan bagi anak-anak itu sendiri. Dengan adanya pencatatan maka kedudukan anak serta status anak akan semakin jelas yang bisa diketahui turunannya, sehingga ia berhak untuk mendapatkan atau menuntut sesuatu dari ayahnya, sedangkan apabila perkawinan itu tidak dicatatkan maka hak-hak anak akan terabaikan.
Dengan demikian dapat disumpulkan bahwa tujuan perkawinan dalam syariah adalah agar hidup manusia di dunia ini penuh dengan kedamaian dan kasih sayang antara yang satu dengan yang lainnya, manusia yang mempunyai tugas sebagai khalifah fil ard untuk tetap menjalankan missi-missi Allah di muka bumi ini dengan menjalankan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah ataupun Rasul-Nya yang berupa Al-Quran dan Hadits, sehingga dunia ini penuh dengan kedamaian dan kemaslahatan bagi umat manusia. Akan tetapi kedamaian dan kemaslahatan tidak akan tercapai jika tidak ada aturan-aturan pendukung lainya yang lebih spesipik yang berupa al-Maslahah al-Mursalah, oleh karena itu Pemerintah Republik Indonesia telah membuat aturan-aturan yang berupa UU. Nomor 1 tahun 1974, PP. nomor 9 tahun 1975, UU. Nomor 7 tahun 1989, Kompilasi Hukum Islam dan lain sebagainya.
2.    Hikmah Thalak
Melalui perkawinan Allah menginginkan agar manusia hidup di dunia ini penuh dengan kedamaian, tetapi tidak selamanya pasangan suami istri akan tetap utuh dan harmonis, kadang kala terjadi perselisihan dan percekcokan yang sulit dihindarkan, kian hari semakin manjadi-jadi sehingga terjadi kekerasan yang bisa membahayakan jiwa, baik jiwa istri maupun jiwa suami ataupun jiwa anak-anaknya. Pertengkaran tersebut bukan saja terjadi antara suami istri tetapi sudah melebar kepada keluarga istri ataupun keluarga suami, sehingga rumah tangga bukan lagi sebagai tempat yang aman tetapi penuh dengan ancaman, rumah tangga bukan lagi seperti surga tertapi laksana neraka. Allah Maha Bijaksana sehingga telah memberikan jalan keluar bagi mereka yang perkawinannya penuh dengan penderitaan dan ancaman melalui penghalalan thalak sekalipun di benci, kehalalan tersebut hanya digunakan ketika rumah tangga sudah madharat, yang penggunaannya hanya untuk kepentingan istri, suami, atau keduanya, atau juga untuk kepentingan turunannya.
Begitu juga jika perkawinan itu tidak menghasilkan keturunan/anak, padahal dengan keturunan dunia ini menjadi makmur, dengan keturunan itu pula rumah tangga menjadi lengkap dan sempurna. Tujuan rumah tangga untuk melahirkan keturunan tidak tercapai yang disebabkan karena pihak istri ataupun pihak suami tidak bisa melahirkan keturunan (mandul), sehingga keberadaan rumah tangga penuh dengan kejenuhan. Kita bisa melihat pasangan suami istri yang mandul meskipun dulunya penuh dengan cinta kasih dengan faktor penyebab kebahagiaan dan kekayaan yang memperkuat hubungan mereka berdua, namun kenikmatan yang berupa anak tidak pernah mereka rasakan, padahal anak adalah kesempurnaan kebahagiaan dunia bahkan anak merupakan yang terpenting bagi suami istri.
Oleh karena itu Allah Swt. menberi jalan keluar bagi mereka yang tidak mempunyai keturunan (mandul) dengan jalan thalak jika ingin mengakhiri perkawinannya. Sekalipun Allah telah menghalalkan thalak dan Allah telah memberikan hak thalak pada suami, akan tetapi suami tidak diperkenankan untuk menggunakan thalaknya tanpa alasan yang jelas dan tanpa sebab. Kehalalan thalak berlaku selektif yang harus dilakukan di depan Pengadilan, sebab perceraian yang dilakukan di depan Pengadilan hak-hak istri, hak-hak anak ataupun hak-hak suami istri akan terjamin keberadaannya. Sebagai contoh ketika suami menceraikan istrinya di depan Pengadilan, maka Pengadilan akan menghukum suami untuk membayar uang iddah, uang mutah, maskan, biaya anak-anak, dan lain sebagainya sesuai dengan kemampuan suami, kewajiban-kewajiban suami tersebut akan dituangkan dalam putusan Pengadilan, sehingga suami tidak bisa mengelak dari kewajiban-kewajiban tersebut. Begitu juga kalau terjadi perceraian yang diajukan oleh pihak istri di depan Pengadilan (cerai gugat), maka hak-hak suami istri seperti harta bersama akan dijamin keberadaannya dan akan dituangkan dalam putusan Pengadilan bahwa harta bersama harus dibagi dua, bagi pihak yang tidak bisa menjalankan putusan tersebut maka dapat dilakukan sita/eksekusi, perceraian seperti inilah yang akan membawa kemaslahatan baik untuk mantan istri, anak-anaknya ataupun mantan suami dan itulah yang dikehendaki oleh syariah. Oleh karena itu kalau ada orang yang membolehkan perceraian di luar Pengadilan itu hanya pendapat orang yang picik, orang yang hanya menuruti keinginan hawa nafsunya saja, dalam fikirannya hanya terlintas bagaimana cara mendapatkan perempuan-perempuan cantik dan lebih muda, diceraikan bila sudah bosan diganti dengan yang baru begitu seterusnya, dalam fikirannya tidak terlintas bagaimana nasib istri-istri yang dicerai di luar Pengadilan dan bagaimana pula nasib anak-anak yang diceraikan di luar Pengadilan. Perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan tidak ada kepastian hukum untuk anak-anak dan istri-istriya, sehingga hak-hak anak atau hak-hak istri tidak bisa dijamin keberadaannya, pendidikan anak akan terbengkalai. Perceraian seperti inilah yang akan membahawa kepada kemadharatan bagi perempuan ataupun anak-anak, serta tidak dikehendaki oleh syari’ah.
Menurut Imam Asy-Syathibi “jika aturan/hukum itu membawa kepada kemaslahatan, maka aturan /hukum itu harus dijadikan sebagai pegangan, dengan kriteria:
1.    Tidak bertentangan dengan maqashid al-syariah yang dharuriyyah, hajiyyat dan tahsiniyyat,
2.    Rasional, dalam arti bisa diterima oleh orang cerdik-cendikiawan (ahl al-dzikr),
3.    Menghilangkan raf al haraj “.[41] 
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hikmah perceraian di depan Pengadilan, adalah akan membawa kepada kemaslahatan, karena akan terjamin hak-hak anak, hak-hak istri atau hak-hak suami istri, sedangkan perceraian di luar Pengadilan akan membawa kepada kemadharatan, karena hak-hak anak dan hak-hak istri akan terabaikan.

D.   Beristinbath Tentang Tugas Dan Kewenangan Yang Menangani Perkawinan Dan Perceraian
1.    Tugas dan Kewenangan Yang Menangani Perkawinan
Sebagai mana telah disebutkan pada pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yaitu “ Tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, atau sesuai dengan pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Kompilasi Hukum Islam/Inpres RI. Nomor 1 tahun 1991, ayat (1) berbunyi “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam harus dicatat, sedangkan ayat (2) berbunyi “Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah”. Pada ayat (1) pasal 5 KHI disebutkan ada kata harus dicatat, kata harus disini berarti wajib atau rukun, karena dengan pencatatan itu akan mendatangkan kemaslahatan, sedangkan kalau tidak dicatatkana akan mendatangkan kekacauan dan kemadlaratan, mendirikan kemaslahatan dan menolak kemadlaratah hukumnya wajib.
Dengan demikian karena pencatatan perkawinan mendatangkan kemaslahatan, maka sudah seharusnya pencatatan perkawinan itu dijadikan salah satu rukun perkawinan pada jaman sekarang ini, oleh karena itu perkawinan yang tidak dicatatkan berarti tidak memenuhi rukun perkawinan, karena tidak memenuhi rukun perkawinan, maka sudah dipastikan perkawinan yang tidak dicatatkan tidak sah menurut hukum Islam. Pada ayat dua (2) Kompilasi Hukum Islam disebutkan “Sahnya pencatatan itu harus dilakukan oleh Petugas Pencatat Nikah (KUA)”, analoginya jika pencatatan itu dilakukan oleh bukan Petugas Pencatat Nikah, maka nikahnya tidak sah, karena selain PPN (KUA) tidak memiliki kewenangan untuk mencatatkan atau melangsungkan pernikahan. Begitu juga pada pasal 6 ayat (1) KHI berbunyi “ untuk memenuhi ketentuan pasal 5 KHI, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah”. Kata “harus” juga diartikan wajib, artinya perkawinan itu wajib dilakukan dihadapan Petugas Pencatat Nikah, oleh karena itu perkawinan yang dilakukan diluar Petugas Pencata Nikah maka nikahnya tidak sah pula menurut hukum Islam.
Kantor Urusan Agama (KUA) adalah lembaga yang telah ditunjuk (tauliyyah) oleh Presiden Republik Indonesia untuk menangani masalah perkawinan bagi orang yang beragama Islam, sehingga para Petugas Pencatat Nikah KUA telah disumpah oleh Pemerintah agar mereka dapat menjalankan tugas sesuai yang diamanatkan dan sesuai dengan jabatan yang diembannya. Dengan tauliyyah itu KUA mempunyai kewenangan yang mutlak untuk menangani masalah pernikahan bagi yang beragama Islam, dengan demikian lembaga-lembaga lain baik yang dibuat oleh pemerintah ataupun lembaga swasta, golongan ataupun pribadi tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan pernikahan.
Pada jaman Daulah Umayyah organisasi negara dan susunan pemerintahan sudah sangat rapi, sehingga ada beberapa departemen yang membidangi masing-masing, diantaranya An-Nidhamus Siyasy (Organisasi Piolitik), An -Nidhamul Irady (Organisasi Tatausaha Negara), An-Nidhamul Maly (Organisasi Keuangan), An-Nidhamul Harby (Organisasi Pertahanan), An-Nidhamul Qadhai (Organisasi Kehakiman). Organisasi/Departemen ini mempunyai tugas dan kewenangan yang berbeda, sehingga masing-masing organisasi tidak boleh mengurus bidang lain yang bukan menjadi kewenagannya. Pada masa ini pula organisasi kehakiman telah tersusun rapi perkara-perkara yang diputuskan oleh Pengadilan telah dicatatkan dan dibukukan dengan rapi .[42] Dengan jelas pada jaman daulat Amawiyah terutama pada jaman Khalifah Umar Bin Abdul Aziz sekitar tahun 99 hijriyah telah diadakan pencatatan yang sangat rapi, tujuannya agar segala urusan dapat dikontrol dengan baik sehingga kemaslahatan dan ketertiban warganya akan terjamin.
Sudah dapat dibayangkan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz pencatatan sudah begitu ketat, padahal pada waktu itu penduduknya masih sedikit bila dibandingkan dengan sekarang, oleh karena itu pencatatan pada jaman sekarang ini sangat mendesak untuk dilakukan. Penduduk Indonesia yang mencapai 205 juta lebih dan merupakan populasi Muslim terbesar di dinia, jika masalah perkawinan tidak dicatatkan dengan rapi dan tertib, akan menjadi preseden yang tidak baik bagi negara Islam lainnya di dunia, yang seharusnya Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia menjadi contoh yang baik bagi negara lainnya di dunia. Suatu saat kemadlaratan akan timbul bagi bangsa Indonesia bila perkawinan tidak dicatatkan. Kerugian yang diakibatkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan adalah, pertambahan penduduk yang tidak terkontrol, kemiskinan akan bertambah, kawin cerai akan terjadi di mana-mana, hak-hak anak dan wanita akan terabaikan, pendidikan akan terbelakang dan pengangguran semakin bertambah. Di Indonesia perkawinan di bawah tangan (kawin siri) diakui keberadaannya, sehingga di Indonesia ada dua pilihan hukum untuk melangsungkan perkawinan (pernikahan):
o       Pertama : pernikahan yang dilangsungkan melalui Pegawai Pencatat Pernikahan Kantor Urusan Agama, yang dikenal dengan perkawinan secara resmi.
o       Kedua : perkaswinan yang dilangsungkan diluar Pegawai Pencatat Pernikahan, biasanya dilakukan dihadapat tokoh masyarakat/ulama, yang dikenal dengan perkawinan tidak resmi/dibawah tangan/ siri.
Perkawinan tidak resmi/sirri biasanya dilakukan oleh pria yang ingin melangsungkan pernikahan untuk istri ke dua dan seterusnya, karena untuk beristri lebih dari satu orang, seorang pria harus mendapatkan izin dari Pengadilan, sedangkan untuk mendapatkan izin dari Pengadilan harus ada beberapa syarat yang harus dipenuhi serta ada izin dari istri pertama. Oleh karena itu pria yang ingin beristri lebih dari satu orang mereka lebih suka mendatangi tokoh masyarakat/ulama karena tidak ada syarat-syarat yang ditentukan. Jika perkawinan di bawah tangan /siri tidak dicegah, maka tokoh masyarakat/ustadz/orang-orang tertentu akan berlomba-lomba untuk menikahkan sebanyak mungkin, serta akan dijadikan sebagai ladang bisnis yang menggiurkan untuk mendatangkan uang, perkawinan seperti ini bukan yang dikehendaki oleh syariah, karena tidak akan mendatangkan kemaslahatan.
Muhammadiyah dalam sidang Tarjih (disidangkan pada: Jum’at, 8 Jumadal Ula 1428 H / 25 Mei 2007 M), memutuskan pencatatan perkawinan wajib hukumnya. Berikut uraian singkat pendapat Muhammadiyah.[43]
Hukum perkawinan karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di antara sumai isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara mereka. Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya Undang-undang atau peraturan lainnya, adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
لاينكر تغيّر الاحكم بتغيّر الازمنه 
Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.
Ibnu al-Qayyim menyatakan :
تغيّر الفتوي واختلافها بحسب تغيّر الازمنه والامكنه والاحوال والنيات والعوا ئد
Artinya: Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat [I'lam al-Muwaqqi'in, Juz III, hlm. 3].
Selain itu pencatatan perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan. Tidak terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya dilarang melakukan akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak. Tindakan preventif ini dalam peraturan perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkawinan oleh Pegawai Pencatat, seperti yang diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975.
Keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan, dalam hukum Islam, diqiyaskan kepada pencatatan dalam peroalan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya, seperti disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya … .
Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 21:
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.
Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam qaidah:
تصرّف الامام علي الرّعية منوط بالمصلحة 
Artinya: Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.
Oleh karena itu perlu ditanamkan kepada masyarakat bahwa perkawinan di bawah tangan atau kawin siri tidak syah menurut hukum Islam, karena tokoh masyarakat/ustadz/ulama tidak mempunyai kewenangan untuk melangsungkan pernikahan.

2.    Tugas dan Kewenangan yang Menangani Perceraian
Perkawinan adalah ikatan yang sangat kuat (mithaqan ghlidza) sebagaimana interpretasi diatas, yang bertujaun untuk mentaati perintah Allah dalam rangka melanjutkan keturunan, tujuannya untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Oleh karena perkawinan itu suatu kontrak yang sangat kuat, ikatan lahir dan bathin yang sangat kuat, maka tidak semua orang bisa melepaskan ikatan itu atau tidak sembarang orang yang berwenang untuk melepaskan ikatan itu, hadits Nabi Saw menjelaskan Perceraian itu halal tapi dibenci. Ikatan perkawinan itu bisa dilepaskan apabila sudah dalam keadaan darurat atau dalam keadaan terpaksa, untuk membuktikan apakah sudah darurat atau belum, maka perlu adanya ketentuan atau kaidah-kaidah atau syarat-syarat yang mengaturnya, disamping itu perlu adanya lembaga khusus yang diberi kewenangan untuk meneliti darurat dan tidaknya, yaitu lembaga Pengadilan.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa perkawinan di bawah tangan/perkawinan siri tidak sah menurut hukum Islam, maka dengan sendirinya perceraian di luar Pengadilan tidak sah pula menurut hukum Islam, karena kewenangan untuk memutuskan perkawinan yang beragama Islam ada pada Pengadilan Agama. Sebagaimana diuraikan dalam pasal 39 ayat (1) Undang-undang nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan ke dua belah pihak”. Yang dimaksud Pengadilan adalah Pengadilan Agama bagi orang yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi orang yang beragama selain Islam seperti diperjelas oleh pasal 115 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
Jadi yang mempunyai kewenangan untuk membuka ikatan pekawinan (perceraian) hanya lembaga Pengadilan, karena lembaga ini yang telah ditunjuk (tauliyyah) oleh Pemerintah (Presiden) untuk menangani masalah perceraian, selain Pengadilan tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan perkawinan. Dalam al-Quran banyak sekali ayat yang menerangkan tentang perceraian, surat Al-Baqarah dari ayat 227 sampai ayat 241, surat At-Thalaq ayat 1 sampai ayat 7, surat Al-Maidah ayat 35 dan lain sebagainya.
Pada dasarnya ayat-ayat yang menerangkan thalak ada keterlibatan orang lain, artinya thalak itu tidak saja dilakukan oleh suami istri tetapi diketahui/disaksikan juga oleh orang lain terutama dihadapan Rasulullah. Kejadian-kejadian thalak selalu dihadapkan kepada Rasulullah, oleh karena itu turunnya ayat-ayat thalak adalah untuk mengoreksi dan meluruskan cara-cara thalak yang salah yang dilakukan oleh shahabat-shahabat Rasulullah. Sebagai contoh sebab turunnya ayat 230 surat Al-Baqarah adalah “ berkenaan dengan pengaduan Aisyah binti Abdurrahman bin Atik kepada Rasulullah saw. bahwa ia telah dithalak oleh suaminya yang ke dua (Abdurrahman bin Zubair) dan akan kembali kepada suaminya yang pertama (Rifaah bin wahab) yang telah menthalak bain, Aisyah berkata bolehkah saya kembali kepada suami yang pertama padahal saya belum digauli oleh Abdurrahman bin Zubair?, Nabi menjawab tidak boleh kecuali kamu telah digauli oleh suami yang pertama”.[44]  Begitu juga hadits-hadits nabi yang menerangkan tentang thalak, kejadiannya selalu dihadapan Rasulullah saw. seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Dari Ibnu Abbas yang artinya “sesungguhnya Rakanah telah mentthalak istrinya dengan thalak tiga pada tempat yang satu, ia merasa sangat sedih atas perceraian itu, kemudian Rasulullah bertanya kepadanya bagaimana caramu menthalak isterimu? Rakanah menjawab thalak tiga sekaligus, Rasulullah bersabda sesungguhnya thalak yang demikian itu adalah thalak satu, rujuklah engkau kepadanya”.[45] Dengan demikian setiap peristiwa thalak yang dilakukan oleh shahabat-shahabat Rasulullah selalu dihadapkan kepada Rasulullah, sehingga seandainya Rasulullah belum mengtahui hukumnya, Rasulullah akan mengadukannya kepada Allah maka turunlah ayat-ayat thalak, sedangkan apabila Rasulullah sendiri telah mengetahui hukumnya maka itulah hadits-hadits Rasulullah. Rasulullah sendiri kedudukan adalah sebagai Pemimpin/Raja/Sulthan.
Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa thalak itu harus diucapkan/ dijatuhkan dihadapan pemimpin/ sulthan/ raja, bukan dihadapan sembarang orang. Kalaulah thalak itu boleh dijatuhkan kapan saja dan dihadapan sembarang orang, maka kaum laki-laki dengan nafsu serakahnya akan bebas menceraikan istri dimana saja dan kapan saja serta bebas pula untuk menikah lagi dengan siapa saja yang ia inginkan, setiap ia menginginkan wanita yang satu, maka ia akan menceraikan isterinya yang lain begitu seterusnya. Jelas perkawinan seperti ini bukan menjadi maslahat bagi kehidupan manusia, justru sebaliknya akan membawa madharat dan ini bertentang dengan “maqaashid as-syariah”, oleh karena itu perceraian seperti ini tidak sesuai dengan hukum Islam.
Begitu juga masalah saksi dalam perceraian apakah perlu dihadirkan, mengenai hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama ulama-ulama fiqh baik dari golongan ulama salaf maupun golongan ulama khalaf bahwa dalam perceraian (thalak) tidak perlu saksi, dengan alasan thalak adalah hak suami, sedangkan golongan kedua yang terdiri dari Ali bin Abi Thalib, Imran bin Husein, Muhammad Baqir, Zafar Shadiq, ‘Atha, Ibnu Zuraid, Ibnu Sirin, Syiah Imamiyah bahwa dalam perceraian (thalak) wajib adanya saksi, dengan alasan berdasarkan firman Allah dalam surat At-Thalak ayat dua.[46]  Dalam firman Allah ayat dua surat At-Thalak disebutkan “ Apabila telah habis masa Iddah, maka rujuklah mereka dengan baik atau lepaskan (thalak) mereka dengan baik pula dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil”. Menurut Imam Suyuthi dan Ibnu Katsir “ ketika nikah harus dihadirkan dua orang saksi yang adil , ketika bercerai harus dihadirkan dua orang saksi yang adil dan ketika rujupun harus dihadirkan dua orang saksi yang adil pula. Sedangkan untuk mengetahui keadilan saksi, maka saksi tersebut harus disumpah di depan sidang Pengadilan, karena Pengadilan yang mempunyai kekuasaan (wewenang) untuk mengusu masalah perceraian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendapat yang lebih kuat adalah perceraian harus disaksikan oleh dua orang saksi di depan sidang Pengadilan, oleh karena itu jika terjadi perceraian tanpa dihadiri oleh dua orang saksi, maka perceraian itu tidak syah menurut hukum Islam.


[1]  Said Rahman al-Buthi, Dhawabith al-Maslahah, (Beirut: Dar al-Fikr) hlm.27.
[2]  Lihat Ahmad ar-Raisuni, Nazhariyyah al-Maqashid ‘Inda asy-Syathibi, (Riyadh: Dar al-Alamiyah, 1992), hlm. 234.
[3]  Abu Ishaq asy-Syathibi, Al-Muwaqat fi Ushul asy-Syari’ah, Juz II, (Beirut: dar al-Ma’rifah), hlm. 6.
[4]  Lihat Muhammad Abu Zahrah, Tanzhim al-Islam li al-Mujtama’, hlm. 54.
[5]  Abu Hamid Muhammad ibnu Muhammad al-Ghazali, Al-Mustashfa min ‘ilm al-Ushul, Juz I, hlm. 266.
[6]  Abu Ishaq asy-Syathibi, Al-Muwaqat fi Ushul asy-Syari’ah, Juz II, (Beirut: dar al-Ma’rifah), hlm. 25-26.
[7]  Lihat Izzudin ibnu Abdissalam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz I, (Beirut: Mu’assasah ar-Rayyan), hlm. 7 dan Ahmad ibnu Idris al-Qarafi, Syarh Tanqih al-Fushul, (Mesir: Maktabah al-Kulliyah al-azhariyyah, 1973), hlm. 38.
[8]  Izzudin ibnu Abdissalam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz I, hlm. 10.
[9]  Abu Ishaq asy-Syathibi, Al-Muwaqat fi Ushul asy-Syari’ah, Juz II, (Beirut: dar al-Ma’rifah), hlm. 25-28.
[10]  Abu Ishaq asy-Syathibi, Al-I’tisham, Juz II (Beirut: dar al-Ma’rifah), hlm. 11.
[11]  Musa Ibrahim al-Ibrahim, Al-Madkhal ila Ushul al-Fiqh, (Dar Amar, 1989), hlm. 70.
[12]  Fakhr ad-Din ar-Razi, al-Mahsul fi Ushul al-Fiqh, Juz II, hlm 230.
[13]  Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana 2008), hlm. 334.
[14]  Lihat Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, (Beirut: Dar al-Ma’rifah), Juz II, hlm. 24-31.
[15]  Ahli ushul yang melakukan pembagian maslahah seperti ini adalah al-Ghazali (W. 505 H) seperti tercermin dalam karyanya Syifa’ al-‘Alil. Sementara ulama ushul lain pada umumnya, hanya sebatas memberikan kilasan komentar terhadap bentuk maslahat ini ketika mereka terlibat secara intens dalam pembahasan tentang fenomena tarjih (seleksi pendapat) terhadap antagonisme beberapa bentuk maslahah. Dalam hal ini, mereka memprioritaskan maslahah umum ketimbang maslahah perorangan. Lihat Abu Hamid al-Ghazali, Syifa’ al-‘Alil, hlm. 184.
[16]  Mushtafa Syalabi, Ta’lil al-Ahkam, (Beirut: dar an-Nahdhal al-Arabiyyah), hlm. 282.
[17]  Lihat Yusuf hamid al-‘Alim, al-Maqashid al-‘Ammah li asy-Syari’ah al-Islamiyyah. Hlm. 179.
[18]  Ahmad ibnu Idris al-Qarafi, al-Furuq, Juz I, (Beirut: Dar al-Ma’rifah li ath-Thiba’ah wa an-Nasyr) hlm. 45.
[19] Lihat Wahbah az-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, Juz II, hlm. 1096.
[20]  Bunyi teks hadits tersebut adalah:
اذاحكم الحا كم فاجتهد ثم اصا ب فله اجران واذا حكم فا جتهد ثم اخطاْ فله اجر واحد (رواه مسلم)
[21]  Lihat Ibnu Qayyim al-jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an rabb al-‘Alamin, Juz II, (Beirut: dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991), hlm. 11.
[22]  Mukhtar Yahaya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1986), hlm. 387.
[23]  Qs. al-Ma’idah [5]: 38.
[24]  Lihat Faisal Oman, Islam dan Perkembangan Masyarakat, (Utusan Publication &Distributors SDN BHD, 1997), hlm. 129.
[25] Abdul Gani Abdullah Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama . PT. Intermasa: tahun 1991. Hal. 187
[26]  Hzairin, Kewarisan Bilateral, Menurut al-Quran dan Hadits, Penerbit Tintamas, Jakarta 1hlm. 9.
[27]  Gouw Giok Siong, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku ke empat, Jakarta, PT Kinta, 1964, hlm. 201.
[28]  Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer (نحو أصول جديده للفقه ألاسلامي), diterjemahkan oleh Sahiron Syamsudin (ELSAQ: YoGyakarta 2004), hlm. 438-439.
[29]  Mahmoed Syaltut, al-Islam ‘Aqidah wa Syari’atuhu, (Dar al-Qalam: 1966), hlm.152-154
[30]  Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: 2001. Hal 321.
[31]  Ibid, Hal. 133.
[32]  Abd, Rahman Ghazaly. Fiqh Munakahat. Prenada Media. Jakarta: Th. 2003. Hal. 47-48.
[33]  Abu Yahya Zakariya Al-Anshari. Fathul Wahab. Darul Fikri: Juz 2. hlm. 34 7. Abd. Rahman Ghazaly. Op-cit : Hal. 45.
[34]  Muhammad Ibnu Rusy- .Bidayatul Mujtahid . Darul Fikri. Bairut Libanon. Juz 2. Hal. 9.
[35]  Muhammad Ismail Al-Kahlani. Subulus Salam. Dahlan Bandung. Juz 3, Hal 18.
[36]  Muhammad Idris As-Syafii. Al-“umm. Dsarul Fikri Bairut: Libanon . Jilid 3. Hal 24.
[37]  Departemen Agama RI. Al-Quran dan Tarjemahannya .Gema Risalah Press. Bandung: Th.1992. Hal. 128.
[38]  Ahmad Musthafa Al-Maraghi. Tafsir Al-Maraghi. Al-Maktabah At-Tijariyah. Makkatul Mukaramah: Jiilid 2. Juz.5. Hal 72.
[39]  Ismail Ibnu Katsir. Tafsri Quran Ibnu Katsir. Sirkatun Nuur Asiya. Surabaya: Juz 1 Hal. 518.
[40]  Imam Ghazali. Ihya „Ulumuddin. Usaha Keluarga. Semarang: Juz 2. Hal. 25.
[41]  Asy-Syathibi. Al-Muwafaqat fi Ushulisy Syariah. Al-Maktabah al-Tijariyah Mesir: hal 172.
[42]  A. Hasymy. Sejarah Kebudayaan Islam. Bulan Bintang. Jakarta: Cet Ke 5 Th. 1995. Hal. 176
[43]  
[44]  KH. Qomaruddin Shaleh Dkk. Asbabun Nuzul Latar belakang Historis Turunnya ayat-ayat Al-Quran. CV.Diponegoro. Bandung: Cet. Ke 6 Tahun 1985. Hal 79
[45]  Imam Muslim. Shahih Muslim. CV. Dahlan. Bandung: Juz I Hal. 629-630
[46]  Syekh Sayyid Sabiq. Fiqh As-Sunnah. Darul Fikri. Bairut Libanon: Jilid 2. Hal 220