Thursday, October 21, 2010

LEMBAGA KEPRESIDENAN PASCA SIDANG ISTIMEWA MPR TAHUN 2001

LEMBAGA KEPRESIDENAN
PASCA SIDANG ISTIMEWA MPR TAHUN 2001*)
Oleh : Dr. H. Dahlan Thaib, SH.MSi.**)1

Download selengkapnya: DISINI
I
Berbicara tentang pemerintahan dalam negara demokrasi modern seperti sekarang  ini,  maka  kita  tidak dapat melepaskan diri  dari  teori Trias Politika Montesquieu  yang  dalam bukunya "L' Esprit des Lois" mengemukakan bahwa dalam  pemerintahan  terdapat tiga poros kekuasaan, yaitu kekuasaan Yudikatif (pembuat undang-undang), kekuasaan Eksekutif (pelaksana undang-undang), dan kekuasaan  yudikatif  (peradilan, kehakiman). Menurut Montesquieu tiga  poros kekuasaan tersebut masing-masing terpisah satu sama lain, baik mengenai oranya maupun fungsinya.
            Namun  di  dalam  praktek  ketatanegaraan  konsep  Trias  Politika   yang dikemukakan Montesquieu tidak mungkin dilaksanakan secara murni,  kenyataan menunjukkan bahwa pembuat undang-undang yang seharusnya merupakan  tugas legislatif,  ternyata eksekutif juga diikut sertakan Bahkan Amerika  Serikat  yang dianggap kampiun yang ingin menjalankan konsep pemisahan kekuasaan, ternyata dalam praktek ketatanegaraannya dikenal sistem saling mengadakan perimbangan  (chek  and  balance system) antara kekuasaan-kekuasaan  negara  tersebut.
Adanya hak veto dari Presiden terhadap rancangan undang-undang yang diajukan kongres Amerika pada hakekatnya sudah mengurangi pelaksanaan  teori Trias Politika, karena wewenang menetapkan undang-undang oleh legislatif (kongres) dikurangi.
Jika dikaitkan Trias Politika tersebut dengan ketentuan menurut UUD 1945,  maka  dapat ditarik kesimpulan bahwa Undang-undang Dasar  1945  tidak menganut  sistem  pemisahan kekuasaan. Pembuat Undang-undang Dasar  1945 tidak  menghendaki  agar  sistem  pemerintahannya  disusun  berdasarkan  ajaran pemisahan kekuasaan (Trias Politika) dari Montesquieu karena ajaran itu dianggap sebagai bagian dari paham demokrasi liberal.
Salah seorang anggota Perumus UUD 1945 yaitu Prof. Soepomo  berpendapat bahwa UUD 1945 mempunyai sistem tersendiri yaitu berdasarkan  Pembagian  Kekuasaan. Dalam sistem pembagian kekuasaan ini dimungkinkan  adanya kerjasama  antara Lembaga-lembaga Negara. Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 20 ayat 1 menunjukkan bahwa UUD 1945 menganut asas pembagian kekuasaan.
Undang-undang  Dasar  1945  dalam Pasal 1  ayat  2  menentukan  bahwa kedaulatan   ada  ditangan  rakyat  dan  dilaksanakan  sepenuhnya  oleh Majelis Permusyawaratan   Rakyat.  Ketentuan  tersebut  menunjukkan   bahwa   sumber kekuasaan  itu hanya ada pada rakyat. Selanjutnya sumber kekuasaan itu  melalui Majelis  sebagian dilimpahkan, dibagikan atau didistribusikan  kepada  Lembaga- lembaga Negara yang lain, yang kedudukannya berada dibawah Majelis. Lembaga-lembaga  tersebut  ialah  Presiden  (Pasal 4 ayat  1),  DPR  (Pasal  19),  DPA (Pasal 16) BPK (Pasal 23) dan MA (Pasal 24).
Dengan  demikian berarti pendistribusian kekuasaan oleh  Majelis  kepada Lembaga-lembaga  dibawahnya menunjukkan bahwa poros kekuasaan yang  sejajar  dengan  eksekutif menurut UUD 1945 tidak hanya tiga tapi  ada  lima  poros kekuasaan.
Jika  diteliti  secara  seksama dari segi  hubungan  antar  poros  kekuasaan maka  jelas-jelas UUD 1945 tidak menganut "Separation of Power", yang  dianut oleh UUD 1945 adalah azas pembagian kekuasaan (distribution of power).

          
II

Berbeda   dengan   sistem  pemerintahan   menurut   kabinet   parlementer umumnya  Presiden berfungsi hanya sebagai Kepala Negara, maka dalam  sistem kabinet  presidensial, presiden di samping berfungsi sebagai kepala  negara  juga berfungsi sebagai kepala pemerintahan. Mengenai hal ini pasal 4 ayat 1 UUD 1945 menyatakan Presiden Republik  Indonesia  memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang  Dasar. Begitu pula kalau dilihat Penjelasan Umum pada angka IV ditegaskan bahwa: "dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi". Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggungjawab adalah di tangan Presiden (Concentration of power and responsibility upon the Presiden). Dari apa yang dikemukakan di atas dapat  disimpulkan bahwa Undang-undang Dasar 1945 hanya menyebutkan Presiden sebagai  Kepala  Negara  atau  eksekutif  saja, sedangkan Presiden sebagai kepala negara tidak ditegaskan oleh pasal-pasal di dalam Undang-undang Dasar 1945. Namun demikian konsekuensi bahwa Presiden sebagai kepala negara  kita temukan  dalam penjelasan pasal-pasal UUD 1945 yaitu pasal-pasal 10,  11,  12, 13,  14, 15. Sehingga dapatlah disimpulkan bahwa menurut UUD 1945 kedudukan Presiden disamping kepala pemerintahan adalah juga sebagai kepala negara. Dengan  demikian  jelaslah  bahwa UUD  1945  menganut  sistem  pemerintahan  presidensial  dimana kedudukan Presiden sebagai kepala pemerintahan  dan  juga  sebagai  kepala negara, menunjukkan bahwa UUD 1945 memberikan  kedudukan  sebagai pimpinan nasional kepada Presiden. Sudah  barang  tentu dalam kedudukannya  tersebut  Presiden  mempunyai kekuasaan yang sangat besar dan luas yang meliputi:

1.      Kekuasaan Eksekutif
2.      Kekuasaan Administratif
3.      Kekuasaan Legislatif
4.      Kekuasaan Militer
5.      Kekuasaan Yudikatif
6.      Kekuasaan Diplomatik

Namun untuk memudahkan pembahasan perincian lebih lanjut  tentang  luasnya kekuasaan  Presiden  menurut UUD 1945,  maka  kekuasaan-kekuasaan  tersebut dikelompokkan dalam 3 bidang kekuasaan :

1.      Kekuasaan dalam bidang legislatif

Kekuasaan  Presdien  dalam  bidang legislatif yang  menurut  istilah  C.F.Strong disebut Legislative Power dapat dilihat dari pasal-pasal UUD 1945 sebagai berikut :

   a. Presiden  bersama-sama  dengan  DPR (perubahan  pertama  UUD  1945) membentuk  Undang-undang  (Pasal 5 ayat 1 jo pasal 20 ayat 1  dan  pasal  21 ayat 2 UUD 1945). Perumusan pasal-pasal tersebut di atas  menempatkan  Presiden  pada  peranannya yang lebih  menonjol  dari  pada  Dewan Perwakilan  Rakyat dalam tugasnya di bidang legislatif. Bahwa membuat                  Undang-undang  pada  hakekatnya yang dilakukan oleh  Presiden,  karena dalam penyelenggaraan pemerintahan itu Presidenlah akhir yang  bertanggungjawab  pada Majelis, maka kedudukan Presiden dalam praktek lebih menonjol dari DPR.2
   b. Dalam  keadaan darurat atau kegentingan yang mendesak,  presiden  dapat menetapkan   peraturan  pemerintah  sebagai   pengganti   Undang-undang (pasal 22 ayat 1 UUD 1945),
   c.      Untuk menjalankan undang-undang,  presiden  berwenang   menetapkan peraturan pemerintah (pasal 5 ayat 2 UUD 1945).
d. "Anggaran   pendapatan  dan  belanja  negara  ditetapkan  tiap-tiap tahun dengan  undang-undang.  Apabila DPR tidak  menyetujui  anggaran  yang  diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu (Pasal 23 ayat 1 UUD 1945).

2.      Kekuasaan dalam bidang Eksekutif (executive power)

a.   Presiden  memegang  kekuasaan  pemerintah  (eksekutif)  tertinggi  dalam negara (pasal 4 ayat 1).
b.   Presiden  memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan  Darat,  Angkatan Laut,  dan Angkatan Udara (Pasal 10 UUD 1945).  Dalam  perkembangan ketatanegaraan selanjutnya presiden dinyatakan sebagai Panglima Tertinggi  Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sehingga tidak hanya  angkatan perang tetapi juga polisi (POLRI).
c.   Dengan persetujuan DPR Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain (Pasal 11 UUD 1945)
d.   Mengangkat  Menteri-menteri  dan memberhentikannya (Pasal  17  ayat  2 UUD 1945).
e.   Presiden  menyatakan  keadaan  bahaya,  dalam  mana  syarat-syarat   dan akibat  keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang (pasal 12  UUD 1945).

3.      Kekuasaan dalam bidang Yudikatif (Judicial power)

 - Presiden  berwenang  memberikan grasi, amnesti,  abolisi  dan  rehabilitasi pasal 14 UUD 1945).  Pasal  14  UUD  1945 adalah merupakan kekecualian dari  pasal  24  UUD  1945  yang  dalam penjelasannya berbunyi: "Kekuasaan kehakiman ialah                kekuasaan yang  merdeka;  artinya  terlepas  dari   pengaruh   kekuasaan  pemerintah".  Hal kekecualian tersebut dipertegas oleh Pasal 4 ayat 3  UU No.14  Tahun  1970  yang menentukan:  "Segala  campur  tangan  urusan peradilan oleh pihak-pihak lain luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam undang-undang dasar."

 - Disamping  itu  pasal  31  UU  No.14/1970  menyatakan  bahwa:"Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Negara". Bila  kita teliti lebih lanjut Penjelasan UUD 1945 juga terdapat  beberapa  kekuasaan, kewenangan dan wewenang Presiden, antara lain :
   
a.  Presiden  yang  menjalankan haluan Negara menurut garis-garis  besar  yang telah ditetapkan oleh MPR.
b.  Presiden, yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggungjawab  kepada MPR.
c.  Presiden, mandataris MPR, wajib menjalankan putusan-putusan MPR.
d.  Presiden  ialah penyelenggara Pemerintahan Negara yang  tertinggi dibawah MPR.
e.  Presiden tidak neben akan unter-geordnet kepada MPR.
f.   Dalam  menjalankan  pemerintahan  negara,  kekuasaan  dan  tanggungjawab adalah  ditangan  Presiden (Concentration of power and  responsibility upon the presiden).

Terhadap  butir-butir  penjelasan  UUD 1945  tersebut  diatas  sebenarnya  dibawah  sistem UUD 1945 dapat tercipta pemerintahan yang  bertanggungjawab (responsible  goverment). Dengan demikian sekaligus dapat kita sanggah  pendapat  yang  menyatakan  Indonesia menganut "non  responsible  system".  Bahkan lebih  konkrit lagi bahwa Presiden dalam kedudukan sebagai eksponen  Mandaratis Majelis dengan sistem pemerintahan presidential yang terdapat dalam kerangka  UUD  1945  adalah  kombinasi sistem yang sangat  tepat  dan  serasi  sebagai  intrumen  yang  stabil dan dinamis untuk mewujudkan cita-cita dan  tujuan  yang termaktub dalam UUD 1945.

III
Konsekuensi logis dari azas concentration of power and responbility  upon  the   Presiden,  sebagaimana  tercantum  dalam  Penjelasan  UUD   1945, telah menempatkan posisi presiden sebagai Top Manajer dan Top Administrator dalam memanage  atau mengelola kehidupan nasional yang meliputi  kehidupan  negara dan  bangsa. Oleh karena itu semua aparat eksekutif mulai dari  tingkat  menteri, ketua-ketua lembaga non departemen sampai kepada gubernur, bupati, camat dan lurah-lurah, adalah tanggungjawab presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara.
Secara  yuridis konstitusional maupun dalam peraturan-peraturan  organik lainnya, prinsip tersebut diatur dengan jelas, sehingga benar-benar secara sentral kekuasaan  ditangani presiden sebagai mandataris majelis yang  bertindak dalam kedudukan dan tanggungjawab, baik selaku kepala negara maupun kepala pemerintahan.
Sebagaimana  kita  ketahui UUD 1945  menggariskan  bahwa  pemerintah dalam  bentuk  lembaga negara itu hanyalah presiden dan wakil presiden sesuai dengan ketentuan pasal 4 ayat 1 dan 2, dimana ayat 2 berbunyi, "Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden". Pasal 4 ayat 2  ini presiden dalam bidang kekuasaan pemerintahan (eksekutif). Jika  demikian pertanyaan bisa timbul, apakah kementerian itu bukan pemerintah ? Jawaban  atas  pertanyaan  ini bisa  ditentukan  didalam  penjelasan  UUD 1945  pada  sub judul "Menteri-menteri negara bukan pegawai tinggi  biasa".  Di sana  disebutkan  bahwa,  meskipun kedudukan menteri  negara  tergantung  dari pada  presiden,  akan  tetapi  mereka  bukan  pegawai  tinggi  biasa  oleh  karena menteri-menterilah  yang terutama menjalankan kekuasaan  pemerintah  (pouvoir executief)  dalam  praktek.  Dengan  demikian ada  tiga  lembaga  negara  secara konstitusional yang berstatus sebagai pemerintah Indonesia yaitu presiden, wakil presiden dan menteri-menteri: dua yang terakhir berkedudukan sebagai pembantu sebagai pembantu presiden.
Di  dalam menjalankan kekuasaan pemerintah kedudukan  menteri-menteri adalah sebagai "pembantu presiden" (vide pasal 17 ayat 1 UUD 1945).  Menteri-menteri  bertanggungjawab  kepada  Presiden,  bukan  kepada DPR atau MPR. Presidenlah  yang mempertanggungjawabkan segala tindakan pemerintah  kepada MPR. Presiden  dalam  mengangkat, memberhentikan  dan  mengganti  menteri-menteri  berkuasa  penuh  dan tidak diperlukan adanya  badan  formatur,  karena formatur adalah presiden sendiri. DPR tidak dapat menggulingkan kabinet yang dipimpin presiden, kendatipun  DPR tidak menyetujui kebijaksanaan menteri-menteri seperti  dalam  sistem pemerintahan parlemanter. Dengan demikian segala program pembangunan yang telah dirancangkan oleh pemerintah akan dapat dilaksanakan dengan tenang tanpa dihantui  ancaman  mosi tidak percaya dari DPR. DPR boleh setuju  boleh  tidak            tetapi  pemerintah jalan terus, karena memegang UUD 1945 memberikan  kedudukan  kepada  pemerintah tidak tergantung kepada  vertrounwensvotum  (kepercayaan) dari DPR, maka dewan hanya bersifat sebagai "legislative council" saja.
Sebagai contoh yaitu persetujuan yang dimintakan oleh pemerintah kepada DPR  menganai  anggaran  pendapatan dan belanja negara,  DPR  belum  pernah menolaknya,  kendatipun dibenarkan (vide pasal 23 ayat 1 UUD  1945),  kecuali pada   tahun  1960  yang  mengakibatkan  dibubarkannya  DPR   oleh   presiden. Memang  di  dalam bidang legislatif kedudukan pemerintah sangat  kuat,  karena setiap  produk legislatif memerlukan pengesahan dari presiden.  Jadi  seolah-olah undang-undang  tidak dibuat oleh DPR, melainkan oleh pemerintah  (wethgevinginomge  keerde  rechting),  Dengan demikian dalam  praktek  ketatanegaraan  RI presiden juga menjadi "Chief legislator".
Berikutnya dalam kerangka azas kesatuan sebagaimana disebut dalam pembukaan  UUD 1945 dan azas kepentingan nasional yang tanggungjawabnya terletak ditangan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, maka selain menteri-menteri  sebagai pembantu  eksekutifnya  ditingkat  pemerintahan pusat, maka jalur kekuasaan eksekutif presiden secara vertikal adalah gubernur-gubernur, bupati-bupati, camat-camat  sebagai  kepala daerah/wilayah yang mewakili pemerintah usat yang bertugas memimpin pemerintahan,  mengkoordi- pembangunan dan membina kehidupan masyarakat di segala bidang, dan sekaligus mereka adalah administratur yang meneruskan keadministrasian yang ditanggungjawabkan oleh Presiden selaku administratur tertinggi di tingkat pusat.
                Dari apa yang dikemukakan di atas merupakan perihal mekhanisme pelaksanaan kekuasaan pemerintah oleh Presiden, berdasarkan UUD 1945 dan keten-           tuan-ketentuan perundang-undangan. Dengan demikian cakupan dari ketentuan-           ketentuan kekuasaan presiden menurut UUD 1945 dan mekhanisme pelaksanaan            kekuasaan pemerintahan oleh Presdien, sebagaimana diulas diatas kiranya dapat            memperjelas tentang konsep Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah            negara dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
Bukanlah tindakan diktatur atau absolutisme jika Presiden melaku-          kan/menggunakan kekuasaan-kekuasaan itu, sebab kekuasaan itu diberikan oleh            UUD 1945. Permasalahannya adalah bagaimana kekuasaan konstitusional yang            ada pada Presiden tidak bersalah guna atau tidak disalahgunakan. Apabila hal ini            menjadi  masalah  maka issu ketatanegaraan pasca Sidang Istimewa  MPR  2001,            adalah menyangkut pembatasan kekuasaan Presiden.

          

IV

Sebagaimana  telah  dikemukakan pada bagian pertama tulisan  ini  bahwa            dalam  konsep ketatanegaraan Indonesia, MPR tidak melaksanakan sendiri  selu-           ruh  kekuasaannya,  tetapi  kekuasaan tersebut  didistribusikan  kepada  lembaga-           lembaga tinggi negara dibawahnya. Dengan  dianutnya  konsep  pembagian kekuasaan  tersebut,  maka  dalam struktur ketatanegaraan Indonesia antara lembaga-lembaga negara di bawah MPR kedudukannya sederajat. Kesederajatan  tersebut memberikan fungsi pada lembaga  tertentu  seperti misalnya  DPR sebagai pengawas terhadap Presiden, fungsi  pertimbangan  DPA terhadap   Presiden,  dan  MA  dapat  memberikan   pertimbangan-pertimbangan hukum kepada lembaga-lembaga tinggi negara lainnya.
Pengalaman membuktikan bahwa dalam praktek ketatanegaraan, pelaksa-           naan fungsi dan tugas-tugas  masing-masing  lembaga  negara  tersebut sering            menimbulkan konflik antar lembaga negara. Dalam konteks tulisan ini misalnya            pada era Orde Baru, yang paling banyak menimbulkan permasalahan adalah            pelaksanaan tugas antara Presiden dan DPR. Di satu pihak, masih dominannya            Presiden dalam penyelenggaraan negara sementara DPR sangat lemah baik dari            aspek  pengawasan  maupun legislatif sehingga terkesan  hanya  sebagai  stempel            atau legitimasi bagi eksekutif.
Dan  sebaliknya  pada  era  reformasi  dewasa  ini,  posisi  Presiden   atau            eksekutif  bila  dibandingkan dengan DPR cenderung lebih lemah, hal  ini  dapat            kita  saksikan  dengan keberhasilan DPR menekan Presiden dalam  berbagai  bi-           dang,  antara lain misalnya dalam bidang pengawasan DPR mempergunakan  hak            interpelasi  pada  bulan  Juli  Tahun  2000,  dan  kemudian  dilanjutkan   dengan            memorandum  pertama dan memorandum kedua pada bulan Maret dan Juli  2001            dan kemudian berakhir dengan diberhentikannya Presiden dalam Sidang  Istime-           wa MPR pada akhir Juli 2001 yang telah lalu.
Fenomena   ketatanegaraan  di  atas  menunjukkan  betapa  sistem   politik            Indonesia atau sistem ketatanegaraan Indonesia yang menyangkut lembaga kepre-           sidenan  belum  ada  kepastian hukum di  dalam  praktek  ketatanegaraan.  Tidak            jelasnya  sistem  Presidensiil  yang diimplementasikan,  masih  dominan  terlihat            dengan ikut campurnya sistem parlementer. Dari berbagai konflik yang ada, tampaknya terjadi perbedaan tafsir konstitusi  antara lembaga kepresidenan dan parlemen dalam melihat  suatu  persoalan.
Dengan   melihat  kenyataan-kenyataan  diatas  maka  tidak  dapat  tidak   proses            amandemen UUD 1945 yang bermaksud membangun sistem Presidensiil  sebagai            suatu kesepakatan politik harus diupayakan secara optimal.


V

Berkaitan  dengan  persoalan  yang  diuraikan  di  atas,  maka  salah   satu            agenda besar di bidang hukum pasca Sidang Istimewa MPR 2001 adalah  bagai-           mana  merealisasi  ide  demokrasi dan  pembatasan  kekuasaan  Presiden.  Tidak            dapat  dipungkiri  untuk  merealisasi ide demokrasi  dan  pembatasan  kekuasaan            terletak  pada  kelembagaan  konstitusi atau Undang-undang  Dasar.  UUD  1945            yang  selama  ini  tidak terjamah oleh ide perubahan,  ternyata  di  era  reformasi            dewasa ini telah dua kali diubah melalui naskah perubahan pertama dan  peruba-           han  kedua,  dan  akan dilanjutkan dengan  perubahan  berikutnya  sampai  tahun            2002.
Sekarang,   pasca  Sidang  Istimewa  MPR  2001  lembaga   kepresidenan            personalianya telah berganti, Presiden dan Wakil Presiden telah berubah,  namun            pertanyaan besar apakah Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu institusi  akan            pula terjadi perubahan yang berarti, baik yang tercermin dalam berbagai perang-           kat peraturan perundang-undangan maupun dalam mekhanisme kerja dan  kinerja            konkrit   lembaga  Kepresidenan  dalam  praktek   ketatanegaraan.   Sehubungan            dengan  persoalan tersebut paling tidak pasca Sidang Istimewa MPR  2001  yang            perlu diperhatikan adalah : menyangkut lemahnya sistem politik yang  diterapkan            di  negeri  ini. Sebagaimana di ketahui, perubahan rezim yang terjadi  tiga  tahun            lalu  diikuti  oleh  keinginan untuk membentuk pemerintahan  baru  yang  benar-           benar demokratis. Dalam hal ini kekuasaan Presiden yang dahulu dirasakan terla-           lu  absolut,  harus  dibatasi,  termasuk  membatasi  hak-hak  istimewa  Presiden.
Dalam  mengangkat dan memberhentikan KAPOLRI, Pimpinan TNI dan  pejabat negara harus dengan persetujuan DPR. Dengan  demikian presiden tidak lagi bertindak sewenang-wenang  karena kekuasaannya akan dibatasi, dan pembatasan kekuasaan Presiden harus dilakukan secara legal konstitusional.

No comments:

Post a Comment