Thursday, October 21, 2010

ARTIKULASI SYARI`AH ISLAM DALAM KONSTITUSI DI INDONESIA

ARTIKULASI SYARI`AH ISLAM DALAM KONSTITUSI DI INDONESIA*
Oleh : Prof. Dr. Dahlan Thaib, MSi
Selengkapnya Download> DISINI

I

            Diskusi panjang dan perdebatan tajam tentang Islam dan negara dikalangan para pakar pemikiran Islam telah bergulir lama di negeri ini jauh sebelum kemerdekaan. Bahkan perbedaan persepsi tentang Konsepsi Islam dan kenegaraan dan kemungkinan menuangkan materi muatan Syariat Islam dalam konstitusi Indonesia tidak hanya berhenti pada tataran teoritis konsepsional, tetapi juga telah memasuki tataran politik praktis.
            Secara formal perjuangan memasukkan syariat Islam dalam konstitusi diawali lewat persidangan BPUPKI antara bulan Mei, Juni dan Juli 1945 yang terulang kembali dalam sidang-sidang konstituante 1956-1959. Perjuangan yang ditempuh secara formal lewat persidangan BPUPKI dan Konstituante telah memunculkan persaingan antara gagasan negara Islam di satu pihak dan negara nasional berdasarkan Pancasila di lain pihak.
            Terakhir Sidang  Umum Tahunan (SUT) MPR bulan Agustus 2000 beberapa waktu yang lalu kembali bergetar ketika fraksi PBB dan PPP kembali menggugat sejarah tentang hilangnya 7 patah kata Piagam Jakarta dan mengamandemen Pasal 29 (1) UUD 1945 agar formulasinya menjadi “Negara berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
            Apa yang diperjuangkan oleh Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam forum Sidang Tahunan MPR tersebut dari sudut pandang Hukum Tata Negara adalah sah dan konstitusional.
            Sikap politik fraksi PBB dan PPP dalam forum MPR tersebut adalah cermin dari sikap politik ummat Islam yang diwakilinya diluar parlemen. Karena itu tidaklah berkelebihan apabila kita katakan bahwa dewasa ini dalam kehidupan politik ketatanegaraan Indonesia kita menyaksikan kebangkitan ummat Islam yang berkeinginan besar untuk menetapkan kembali identitas mereka secara konstitusional dalam bidang ketatanegaraan dan pemerintahan sesuai dengan konsep dan contoh yang diberikan oleh Islam.

II

            Sebelum dibahas mengenai artikulasi syariat Islam dalam konstitusi Indonesia, perlu dipahami lebih dahulu bahwa dalam khasanah ilmu ketatanegaraan konsep negara adalah konsep modern yang pada umumnya di yakini konsep tersebut berasal dari konsepsi pemikiran dunia barat.
            Ada beberapa ciri khas sistem ketatanegaraan modern dan ciri-ciri khas itu dituangkan dalam suatu konstitusi. Dengan demikian dalam tata hukum suatu negara modern tersimpul satu bagian yang secara khusus mengatur organisasi kenegaraan, bagian ini disebut konstitusi.
            Di dalam teori-teori ketatanegaraan dikemukakan bahwa dalam suatu konstitusi tidak dapat tidak harus memuat sekurang-kurangnya tiga macam materi muatan pokok yang mendasar yaitu1) :
1.      Jaminan Hak-hak Asasi Manusia
2.      Susunan Ketatanegaraan yang bersifat mendasar.
3.      Pembagian dan pembatasan kekuasaan.
Dalam sistem demokrasi yang berdasarkan atas hukum (Constitutional Democracy) ketiga materi muatan konstitusi itu menjadi desain utama dalam pengaturan kehidupan ketatanegaraan di dalam suatu negara, yang secara keseluruhannya membentuk suatu kesatuan sistem hubungan antara rakyat di satu pihak dan penguasa di lain pihak.
            James Bryce sebagaimana dikutip C.F. Strong dalam bukunya “Modern Political Constitutions” menyatakan konstitusi adalah2):
            “A frame of political Society, organized through and by Law, that is to say on in Which Law has established permanent institutions with recognised function and definite rights”.
Dalam definisi di atas, pengertian konstitusi dapat dirumuskan sebagai suatu kerangka negara yang terorganisir dengandan melalui hukum, dalam hal mana hukum menetapkan :
1.  Pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanen
2.  Fungsi dari alat-alat kelengkapan negara
3.  Hak-hak tertentu yang telah ditetapkan.
Dari apa yang dikemukakan oleh CF. Strong, maka dapat disimpulkan bahwa posisi atau kedudukan konstitusi adalah dimaksudkan untuk membatasi wewenang pemerintah dan penguasa, mengatur jalannya pemerintahan dan menjamin hak-hak rakyat.
            Karena itu dalam ajaran ilmu hukum sebuah konstitusi di pandang sebagai perjanjian masyarakat yang berisikan bahwa masyarakat atau warga negara menentukan arah penguasa. Apabila pandangan hukum tentang konstitusi sebagaimana dikemukakan tersebut, maka dalam sebuah masyarakat modern tidak dapat tidak warga masyarakat yang tergabung dalam partai politik menentukan kebijaksanaan yang diambil oleh penguasa melalui Badan Perwakilan Rakyat.
            Sehubungan dengan itu konstitusi jaman modern tidak hanya memuat aturan hukum, melainkan juga memformulasikan prinsip-prinsip hukum, haluan negara dan patokan kebijaksanaan yang semuanya bermuara pada hak-hak dan kepentingan rakyat.
            Karena itu tidak ada alasan menafikan perjuangan sekelompok masyarakat untuk memformulasikan hak-haknya dalam konstitusi. Selagi perjuangan tersebut ditempuh pula lewat saluran yang konstitusional, misalnya perjuangan umat Islam lewat partai politik Islam di Indonesia memasukkan Syariat Islam dalam Undang-Undang Dasar melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dewasa ini, maupun melalui konstituante sekitar tahun 1955 s/d tahun 1959, dan juga lewat BPUPKI pada saat-saat menjelang kemerdekaan.

III

            Dari apa yang telah dikemukakan di atas, maka pertanyaan yang perlu dikemukakan adalah apakah Islam mempunyai konsep atau prinsip-prinsip tentang konstitusi modern yang mengandung dan menjamin hak-hak asasi manusia.
            Untuk menjawab pertanyaan tersebut sebagai contoh perlu dikemukakan tentang Islam dan ketatanegaraan modern dengan memperlihatkan formulasi konstitusi Medinah sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia layaknya konstitusi modern. Konstitusi Medinah telah terlebih dahulu dikenal sebagai usaha civilize bangsa manapun; American Declaration of Independence (1776), French Revolution (1778), dan Declaration of Human Rights of the UNO (1948).
Untuk pertama kalinya  dalam  konstitusi Medinah disebutkan  dasar-dasar  masyarakat  partisipatif   dan egaliter.  Ciri utamanya, pengakuan terhadap  hak-hak  asasi manusia tanpa diskriminasi baik Muslim, Yahudi maupun Nasrani.
Jika  kita  mengkaji muatan materi  konstitusi  Medinah secara mendalam, kita akan mendapat gambaran tentang  karakteristik masyarakat (Ummah) dan negara Islam pada  masa-masa awal kelahiran dan perkembangannya :
1.      Masyarakat pendukung piagam ini adalah masyarakat  majemuk, terdiri atas berbagai suku dan agama. Konstitusi Medinah secara tegas mengakui eksistensi suku bangsa  dan agama dan memelihara  unsur  solidaritasnya. Konstitusi Medinah menggariskan kesetiaan kepada  masyarakat  yang lebih luas lebih penting daripada kesetiaan yang  sempit kepada suku, dengan  mengalihkan  perhatian suku-suku itu pada pembangunan negara, yang warganegaranya bebas dan merdeka dari pengaruh dan kekuasaan  manusia lainnya (Pasal 1). Adapun tali persatuannya adalah politik dalam rangka mencapai cita-cita bersama.  (Pasal 17,  23 dan 42). Bandingkan dengan Pasal 1(1) UUD  1945 dan alinea ke IV Pembukaan UUD 1945 "cita-cita nasional adalah mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur".
2.      Semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama,  wajib saling  menghormati  dan wajib kerjasama antara sesama mereka, serta tidak seorang pun yang diperlakukan secara buruk (pasal 12, 16). Bahkan orang yang lemah di  antara mereka harus dilindungi dan dibantu (pasal 11).  bandingkan  dengan  UUD 1945 pasal 27 (1) "semua warga negara mempunyai  kedudukan yang sama". Dan Pasal 34  UUD 1945 yang  menegaskan "Fakir miskin dan  anak-anak  terlantar dipelihara oleh negara".
3.      Negara mengakui, melindungi dan mejamin kebebasan menjalankan  ibadah  dan agama baik bagi orang-orang  muslim maupun non muslim (Pasal 25-33). Bandingkan dengan pasal 29(2) UUD 1945 "negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk   untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu ?"
4.      Setiap  warga  negara mempunyai kedudukan yang  sama  di depan  hukum (pasal 34, 40). Bandingkan dengan pasal  27 UUD 1945 "Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum ....."
5.      Hukum  adat  (kelaziman mereka pada masa lalu),dengan berpedoman pada kebenaran dan keadilan, tetap diberlakukan  (pasal  2, 10 dan 21). Bandingkan dengan UUD 1945 pasal  18  tentang pemerintahan daerah"  ......   dengan memandang dan mengikuti hak-hak asal-usul dalam  daerah-daerah ....". Dan pasal 32 UUD 1945 "pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia". Penjelasan pasal 32 UUD 1945" .... Kebudayaan lama dan asli yang terdapat di daerah-daerah  diseluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa".
6.      Semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap negara. Mereka berkewajiban membela dan mempertahankan  negara dengan harta, jiwa mereka  dan mengusir setiap agresor yang mengganggu stabilitas negara (Pasal 24,36,37,38). Bandingkan dengan UUD 1945 pasal 30 ayat 1 "tiap-tiap  warga  negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara"
7.      Sistem pemerintahan adalah desentralisasi, dengan  Medinah  sebagai pusatnya (pasal 39). Bandingkan dengan  UUD 1945  pasal 18 "Pembagian daerah Indonesia  atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan  pemerintahannya  ditetapkan  dengan undang-undang ....".
Dari apa yang dikemukakan di atas sebagai kajian terhadap  beberapa pasal dari 47 pasal konstitusi Madinah  terlihatlah  beberapa  gambaran  tentang  prinsip-prinsip negara modern  pada  masa  awal kelahirannya dengan Nabi sebagai Kepala  Negara, yang warganya terdiri dari berbagai macam aliran,  golongan,  keturunan,  budaya, maupun agama yang dianutnya.
      Menurut  A.  Shiddiqi3), lewat konstitusi Madinah Nabi telah membina watak masyarakat dengan ciri sbb:
1.      Berpegang pada prinsip kemerdekaan berpendapat
2.      Menyerahkan urusan kemasyarakatan (duniawi) kepada ummat sendiri  pada  hal-hal yang berkaitan dengan perincian pelaksanaan  kehidupan  masyarakat  yang  tidak termasuk masalah yang bersifat 'ubudiyah'.
Dengan demikian konstitusi Madinah telah mendahului  konstitusi-konstitusi lainnya di dalam meletakkan dasar pengakuan terhadap  hak-hak asasi manusia khususnya hak-hak asasi di bidang  politik  yang merupakan prinsip utama  dalam  sistem ketatanegaraan modern.
Tentang bagaimana konsepsi Islam mengenai hak-hak politik rakyat, Abdul Karim Zaidan4), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hak politik adalah hak-hak yang dinikmati oleh  setiap  rakyat sebagai anggota dalam suatu lembaga politik,  seperti hak memilih, hak dipilih, hak  mencalonkan diri  untuk menduduki jabatan-jabatan politik dan hak  memegang  jabatan-jabatan  umum dalam negara atau hak-hak yang menjadikan  seseorang ikut serta dalam mengatur  kepentingan negara  dan  pemerintahan. Maka menurutnya hak-hak politik yang  diakui  di  dalam syari'at Islam adalah antara lain seperti:
1.      Hak  memilih;  setiap warga negara memiliki  hak memilih kepala negara. Siapa saja yang mereka pilih untuk jabatan ini,  maka menurut Syara' dia adalah kepala  negara yang sah. Ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah; Imamah-yaitu kepemimpinan  negara dikukuhkan melalui bai'at (prasetia) semua orang  (baginya), bukan dengan penunjukan  pendahulunya". Jadi  kepala  negara adalah seseorang  yang  dipilih  dan disetujui oleh rakyat dan kekuasaanya berasal dari  kerelaan  dan  pemilihan ini. Hak memilih kepala negara ini berdasarkan  prinsip  musyawarah  yang  telah  ditetapkan syari'at  dan prinsip tanggungjawab masyarakat (jamaah) dalam  melaksanakan  hukum syara'  dan  mengelola urusan mereka sesuai dengan hukum ini. Prinsip musyawarah merupakan prinsip yang telah disebutkan Al-quran, Allah berfirman: Artinya "Urusan mereka dimusyawarahkan diantara mereka" (Syura, ayat 38)
2.      Hak  kontrol rakyat (pengawasan); umat atau rakyat memiliki  hak  mengawasi kepala negara  dan  seluruh  pejabat dalam  semua pekerjaan dan tingkah laku mereka yang menyangkut urusan negara. Umat atau rakyat mendapat hak ini karena hubungannya dengan kepala negara sangaterat, yaitu hubungan wakil dengan orang yang diwakilkan. Hak  pengawasan ini dimaksudkan untuk  meluruskan kepala negara  jika  ia menyimpang dari jalan yang lurus jalan Islam dalam memerintah. Dalam  kaitan dengan hak kontrol (pengawasan), Nabi  bersabda,  "agama itu nasehat, kami berkata : untuk siapa  ? Nabi berkata: untuk Allah, KitabNya, Rasulnya, bagi para pemimpin umat islam dan orang awam."
Hak umat atau rakyat untuk mengontrol kepala negara dan semua  penguasa sangat  dipelihara pada masa awal Islam. Kebanyakan,  para kepala negara meminta umat untuk mengawasi dan mengevaluasi mereka.

IV

            Dari apa yang dikemukakan di atas tulisan ini mencoba mengetengahkan artikulasi Syari’atau Islam dalam konstitusi Indonesia. Untuk membahas masalah tersebut penulis akan mempergunakan pendekatan historis, yakni pendekatan yang sedikit tidaknya harus menyentuh peristiwa-peristiwa sejarah yang berkaitan dengan proses pembicaraan tentang Dasar Negara dan Undang-Undang Dasar Negara yang berlangsung sekitar bulan Mei, Juni, Juli dan Agustus Tahun 1945 oleh para negarawan-negarawan pemimpin bangsa yang tergabung dalam BPUPKI dan PPKI. Dan selanjutnya ditambah debat dalam konstituante antara dua kubu, yakni kubu Islam dan kubu nasionalis tentang bentuk negara dan dasar-dasarnya yang akan dituangkan dalam konstitusi.
            Tulisan ini tidak akan menguraikan secara panjang lebar tentang debat mengenai dasar negara dan undang-undang dasar negara (konstitusi) baik yang muncul dalam persidangan BPUPKI maupun persidangan konstituante antara kubu Islam dan kubu nasionalis.
            Sebagaimana kita ketahui negarawan-negarawan yang menjadi anggota BPUPKI dan PPKI baik dari Golongan Islam maupun Nasionalis pada akhirnya bersepakat untk menerima Pancasila sebagai Dasar Negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi negara.
            Di dalam persidangan konstituante pihak Islam (Masyumi, NU, PSII, dll) mendasar sikap, bahwa mengajukan dasar lain selain Pancasila mengenai dasar negara boleh-boleh saja dan itu dibenarkan oleh UUD sementara 1950 sebagai aturan bermain berbangsa dan bernegara diwaktu itu.
            Sedangkan blok lain yakni pihak nasionalis (PNI, PSI, Murba dll) tetap menginginkan dasar negara Pancasila tercantum dalam konstitusi. Di tengah-tengah perdebatan seru yang masing-masing pihak tidak mencapai quorum 2/3 suara untuk menentukan dasar-dasar negara, muncullah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menyatakan “Kembali ke UUD 1945” ……. dan kedua belah pihak setuju.
            Seharusnya, sesudah kedua persitiwa bersejarah ini dapat mencapai konsensus nasional, sebaiknya kita tidak mempersoalkan upaya mencari alternatif lain tentang format ketatanegaraan Indonesia yakni, Pancasila yang tercantum dalam konstitusi Indonesia (Pembukaan UUD 1945). Dan ternyata kesepakatan politik yang muncul dewasa ini di MPR dalam rangka amandemen UUD 1945, adalah tidak akan merubah Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat Dasar Negara Pancasila. Disamping itu kesepakatan politik lainnya di MPR dalam rangka perubahan UUD 1945 adalah tidak akan merubah sistem negara kesatuan dan sistem Presidensial.
            Namun begitu sebagai wacana, pembicaraan tentang masalah kenegaraan dari pandangan Islam merupakan suatu keharusan, toh tidak perlu identik dengan usaha-usaha ngotot mendirikan Negara Islam, sehingga dapat mengancam eksistensi atau keutuhanNegara Republik Indonesia yang adanya pun sejak awal sudah didukung oleh para Pemimpin Islam.
            Masalah kenegaraan atau konstitusi termasuk masalah duniawi, yang penyelenggaraannya diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan : “Kalian lebih tahu mengenai urusan dunia”. Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan Pancasila sebagai Dasar Negara, sebenarnya sudah klop dan tidak bertentangan dengan ide negara Islam itu sendiri.
            Dalam hal ini kita tidak terpaku kepada istilah atau nama yang mengatakan, hanya satu saja bentuk negara yang dinamakan negara Islam, selain itu telah keluar dari model yang dinamakan dengan negara Islam.
            Dari apa yang dikemukakan, maka dalam rangka membicarakan artikulasi syariat Islam dalam konstitusi Indonesia, sangat relevan melakukan penilaian terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang sekarang menjadi Dasar Negara dan konstitusi negara. Secara substantif negara kita RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 tidak berlawanan dengan konsepsi negara menurut ajaran Islam, Negara Pancasila adalah “Negara Islami”.
            Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pancasila dan UUD 1945 mengandung substansi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam seperti nilai tauhid, kemanusiaan persamaan, persaudaraan, musyawarah, demokrasi, negara hukum dan keadilan. Lebih dari itu dalam Negara Republik Indonesia yang berdasatkan Pancasila dan UUD 1945, agama mendapat tempat yang khusus dan terhormat. Hal ini didasarkan kepada jaminan konstitusional, bahwa negara menjamin kemerdekaan warganegara untuk beragama dan memberikan kebebasan bagi para pemeluk agama-agama untuk menjalankan ibadat sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Karena itu tidaklah berlebihan apabila dikatakan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 rujukkannya adalah model konstitusi Madinah sebagaimana telah dikemukakan di atas.






* Disampaikan dalam Sarasehan “Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya”,  yang diselenggarakan oleh Komisi Pemuda GKI Gejayan Yogyakarta, 26 April 2002.
1) Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni Bandung, 1979, Hal. 136.
2) C.F. Strong, Modern Political Constitutions, London, Sidgwick & Jackson Limited, 1966, Hal. 11.
3) Shiddiqi, Piagam madinah, 1983, hal.34-35.
4) Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan Dalam Pandangan Islam, Alih bahasa Drs. Aziz, Yayasan Al-Amin, jakarta, 1984, Hal.17-18.

No comments:

Post a Comment