Filsafat


BEBERAPA FILSUF, HIDUP DAN KARYANYA

 

Filsuf (atau, filosof) atau disebut juga ahli pikir ialah mereka yang gemar menilik sesuatu realitas dengan kemerdekaan berpikir yang ada padanya sampai sesuatu itu '"terbongkar" sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya. Apa yang dilakukan oleh para filsuf tetap kembali pada suatu usaha menemukan kebenaran, meskipun jalan, metode yang dipakai berbeda-beda antara satu filsuf dengan filsuf yang lain. Oleh karenanya, tak heran bila muncul istilah-istilah seperti "filsafat Plato", "filsafat Thomas", "filsafat Kant", "filsafat Habermas", dan seterusnya, di sampingnya "filsafat Yunani", "filsafat India", "filsafat eksistensialisme", dsb. Itu karena memang produk pemikiran masing-masing filsuf tersebut adalah khas, tiada duanya, baik dari segi: pola pemikirannya, titik tolak di mana bermula, bahasa yang digunakannya, cara penyampaiannya dan posisi (berpikir)nya, meskipun para filsuf sendiri hidup dalam konteks sejarah dengan segala suasana batin dan pemikiran yang melingkupinya.
Apa yang diberikan oleh para filsuf kepada masyarakat dunia, kalau boleh disebut demikian, selalu menarik untuk ditinjau. Bagaimana suatu persoalan dirumuskan, ditelaah, bagaimana jawaban-jawaban dan pertanyaan-pertanyaan selalu diformulasi kembali sepanjang jaman, hanya dalam rangka mencari kebenaran untuk kemaslahatan kehidupan manusia, menurut visi masing-masing. Masalah apakah kemudian suatu pemikiran disepakati sebagai keliru bahkan salah, karena telah dicapai pemikiran lain yang lebih baik, adalah masalah lain. Sejarah adalah sejarah yang tidak mungkin dihapus. Adanya sesuatu hari ini mau tak mau, suka tak suka adalah sebagai akibat dari kontak dengan masa lalu. Di sinilah dialektika terjadi, saling berdebat, saling menanggapi.
Pemikiran para filsuf, apalagi filsuf besar, adalah merupakan harta dunia yang tiada terbilang nilainya. Jelas ia memberi sumbangan bagi kemajuan berpikir berikutnya. Sumbangannya bagi sejarah peradaban dunia patut untuk disampaikan senantiasa oleh kita yang hidup di jaman yang katanya modern ini; minimal sebagai ungkapan terima kasih kita kepada mereka, yang pemikirannya langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kehidupan kita hari ini. Untuk itulah adanya "Filsuf, Hidup dan Karyanya" ini. Kita mau mengenal filsuf dari kehidupan dan karya-karyanya. Insya Allah, bagian ini secara periodik akan membahas filsuf dengan pemikiran-pemikiran dan kehidupannya, sejak filsafat Yunani Klasik hingga filsafat yang berkembang akhir-akhir ini.

 


SOKRATES


Sokrates lahir di Athena tahun 470 S.M. dan meninggal tahun 399 S.M. Masa hidupnya hampir sejalan dengan perkembangan sofisme di Athena. Pada hari tuanya Sokrates melihat kota tumpah darahnya mulai mundur, setelah mencapai puncak kebesaran yang gilang-gemilang. Sokrates bergaul dengan semua orang, tua dan muda, kaya dan miskin. Ia seorang filsuf dengan keunikannya sendiri. Ajaran filosofinya tak pernah dituliskannya, melainkan dilakukannya dengan perbuatan, dengan cara hidup. Menurut teman-temannya: Sokrates demikian adilnya, sehingga ia tak pernah berlaku zalim. Ia begitu pandai menguasai dirinya, sehingga ia tak pernah memuaskan hawa nafsu dengan merugikan kepentingan umum. Ia demikian cerdiknya, sehingga ia tak pernah khilaf dalam menimbang baik dan buruk.
Sokrates mempunyai tujuan, mengajar orang mencari kebenaran. Sikapnya itu adalah suatu reaksi terhadap ajaran sofisme yang merajalela waktu itu. Guru-guru sofis mengajarkan bahwa "kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai." Sebab itu tiap-tiap pendirian dapat "dibenarkan" dengan jalan retorika. Dengan daya kata dicoba memperoleh persetujuan orang banyak. Apabila orang banyak sudah setuju, itu dianggap sudah benar. Dengan cara demikian, pengetahuan menjadi dangkal.
Terhadap aliran yang mendangkalkan pengetahuan dan melemahkan rasa tanggungjawab itulah, Sokrates memberontak. Dengan filosofinya yang diamalkan dengan cara hidupnya, ia mencoba memperbaiki masyarakat yang rusak. Orang diajak memperhitungkan tanggung jawabnya. Ia selalu berkata, yang ia ketahui cuma satu, yaitu bahwa ia tak tahu. Karena itu ia bertanya. Tanya jawab adalah jalan baginya untuk memperoleh pengetahuan. Sesungguhnya inilah permulaan dialektik. Dialektik asal katanya dialog, artinya bersoal jawab antara dua orang.
Guru-guru sofis yang mengobral "ilmu" di tengah-tengah pasar ditantangnya dengan cara ia berguru. Ia sebagai yang tidak tahu itu lalu ingin tahu dan bertanya. Tiap jawaban atas pertanyaannya disusul dengan pertanyaan baru. Demikianlah seterusnya. Pertanyaan itu makin lanjut makin mendesak. Akhirnya guru sofis tidak sanggup lagi menjawab dan mengaku tidak tahu. Lalu Sokrates mengunci tanya-jawab tadi dengan berkata: "Demikianlah adanya, kita kedua-duanya sama-sama tidak tahu."
Dengan caranya yang berani dan jujur itu Sokrates banyak memperoleh kawan. Pemuda Athena sangat cinta kepadanya. Tetapi sebaliknya, lawannya juga banyak, terutama guru-guru sofis serta pengikut-pengikutnya yang berpolitik, yang memperoleh kemenangan dengan jalan retorika. Akhirnya Sokrates diajukan ke muka pengadilan rakyat dengan dua macam tuduhan. Pertama, bahwa ia meniadakan dewa-dewa yang diakui oleh negara, dan mengemukakan dewa-dewa baru. Kedua, bahwa ia menyesatkan dan merusak fiil (tingkah laku, perangai) pemuda.
Namun, pun dalam pembelaannya Sokrates tetap tegas. Melihat susunan mahkamah rakyat itu, sudah terang ia akan disalahkan dan dihukum. Tetapi pantang baginya akan menjilat, beriba-iba mengambil hati para hakim supaya hukumannya diperingan. Dengan tangkas ia mengatakan, bahwa ia tidak bersalah melainkan berjasa pada pemuda dan masyarakat Athena. Bukan hukuman, melainkan upah yang harus diterimanya.
Alangkah terkejutnya kawan-kawannya mendengarkan ucapannya itu. Para hakim tercengang, perasaan mereka tersinggung. Dengan suara terbanyak ia dihukum mati dengan meminum racun. Sokrates sedikitpun tidak gentar. Ia berkata dengan suara tenang, bahwa ia siap dan bersedia menjalani hukumannya.
Dengan hati yang tetap pula ia menolak semua bujukan kawan-kawannya untuk lari dari penjara dan menyingkir ke kota lain. Sokrates, yang selalu patuh kepada undang-undang, tidak mau durhaka pada saat ia akan meninggal. Cara matinya juga memberikan contoh, betapa seorang filsuf setia kepada ajarannya.
Sokrates, seperti tersebut di atas, tidak pernah menuliskan filosofinya. Jika ditilik benar-benar, ia malah tidak mengajarkan filosofi, melainkan hidup berfilosofi. Filosofinya mencari kebenaran. Ia bukan ahli pengetahuan, melainkan pemikir.
Karena Sokrates tidak menuliskan filosofinya, maka sulit sekali mengetahui ajaran otentiknya. Ajarannya itu hanya dikenal dari catatan murid-muridnya, terutama Xenephon dan Plato. Catatan Xenephon kurang bisa diyakini, karena ia sendiri bukan filsuf. Untuk mengetahui ajaran Sokrates, orang banyak bersandar kepada Plato. Tetapi kesukarannya ialah bahwa Plato dalam tulisannya banyak menuangkan pendapatnya sendiri ke dalam mulut Sokrates. Dalam uraian-uraiannya, yang kebanyakan berbentuk dialog, hampir selalu Sokrates yang dikemukakannya. Ia memikir, tetapi keluar seolah-olah Sokrates yang berkata.
Meskipun murid-murid Sokrates memberi isi sendiri-sendiri kepada ajaran gurunya, ada satu hal yang mereka sepakat, yaitu tentang metode Sokrates. Tujuan filosofi Sokrates adalah mencari kebenaran yang berlaku untuk selama-lamanya. Di sinilah letak perbedaannya dengan guru-guru sofis, yang mengajarkan bahwa semuanya relatif dan subjektif dan harus dihadapi dengan pendirian yang skeptis. Seokrates berpendapat, bahwa kebenaran itu tetap adanya dan harus dicari.
Dalam mencari kebenaran itu ia tidak memikirkan dirinya sendiri, melainkan setiap kali ia berdua dengan orang lain, dengan tanya-jawab. Orang kedua itu tidak dipandangnya sebagai lawan, melainkan sebagai kawan yang diajak bersama mencari kebenaran. Ia tidak mengajarkan, melainkan menolong mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa orang.
Sokrates mencari pengertian, yaitu bentuk yang tetap dari segala sesuatu. Karena itu ia selalu bertanya: Apa itu? Apa yang dikatakan berani, apa yang disebut indah, apa yang bernama adil? Pertanyaan tentang "apa itu" harus lebih dahulu daripada "apa sebab". Ini biasa bagi manusia dalam hidup sehari-hari. Anak kecil pun mulai bertanya dengan "apa itu". Oleh karena jawab tentang "apa itu", dicarilah dengan tanya-jawab yang makin meningkat dan mendalam, maka Sokrates diakui pula - sejak keterangan Arsitoteles - sebagai pembangun dialektik pengetahuan. Tanya-jawab, yang dilakukan secara meningkat dan mendalam, melahirkan pikiran yang kritis.
Oleh karena Sokrates mencari kebenaran yang tetap dengan tanya-jawab sana dan sini, yang kemudian dibulatkan dengan pengertian, maka jalan yang ditempuhnya adalah metode induksi dan definsi. Induksi menjadi dasar definisi.
Induksi di sini berlainan artinya dengan induksi sekarang. Menurut induksi paham sekarang, penyelidikan dimulai dengan memperhatikan yang spesifik dan dari sana - dengan mengumpulkan - dibentuk pengertian yang berlaku umum. Induksi yang menjadi metode Sokrates adalah memperbandingkan secara kritis. Ia tidak berusaha mencapai yang umum dari yang spesifik. Ia mencoba mencapai definisi dengan contoh dan persamaan, dan diuji pula dengan saksi dan lawan saksi. Seperti disebut di atas, dari kawan bersoal-jawabnya, yang masing-masing terkenal sebagai ahli dalam vak-nya sendiri-sendiri, dikehendakinya definisi tentang "berani", "indah", dan sebagainya. Pengertian yang diperoleh itu diujikan kepada beberapa keadaan atau kejadian yang nyata. Apabila dalam pasangan itu pengertian itu tidak mencukupi, maka dari ujian itu dicari perbaikan definisi. Definisi yang tercapai dengan cara itu diuji kembali untuk mencapai perbaikan yang lebih sempurna. Demikian seterusnya.
Contoh Sokrates bekerja ini dapat diketahui dari dialog-dialog Plato yang mula-mula, di mana caranya berfilosofi masih dekat sekali dengan Sokrates.
Dengan jalan itu, induksi kepada definisi, hasil yang dicapai tidak lagi takluk kepada paham subjektif seperti yang diajarkan kaum sofis, melainkan umum sifatnya dan berlaku untuk selama-lamanya. Induksi dan definisi menuju pengetahuan yang berdasarkan pengertian.
Dengan caranya itu, Sokrates membangun dalam jiwa orang bahwa kebenaran tidak diperoleh begitu saja, melainkan dicari dengan perjuangan seperti memperoleh barang yang tertinggi nilainya. Dengan cara mencari kebenaran seperti itu terlaksana pula tujuan yang lain, yaitu membentuk karakter. Sebab itu, kata Sokrates, budi ialah tahu. Manusia yang dirusak oleh ajaran sofisme mau dibentuknya kembali.
Budi ialah tahu. Inilah intisari dari etika Sokrates. Maksudnya, budi baik timbul dengan pengetahuan. Orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Maka, siapa yang mengetahui hukum tentulah bertindak sesuai dengan pengetahuannya itu. Tak mungkin ada pertentangan antara keyakinan dan perbuatan. Oleh karena budi berdasar atas pengetahuan, maka budi itu dapat dipelajari. Nyatalah bahwa etika Sokrates intelektual sifatnya, disamping juga rasional. Apabila budi ialah tahu, maka tak ada orang yang sengaja, atas kemauannya sendiri, bebuat jahat. Apabila budi adalah tahu, berdasarkan pertimbangan yang benar, maka "jahat" hanya datang dari orang yang tidak mengetahui, orang yang tidak memiliki pertimbangan atau penglihatan yang benar. Orang yang tersesat adalah korban dari kekhilafannya sendiri. Tersesat bukanlah perbuatan yang disengaja. Tidak ada orang yang khilaf atas kemauannya sendiri.
Oleh karena budi ialah tahu, maka siapa yang tahu akan kebaikan dengan sendirinya terpaksa berbuat baik. Untuk itu orang pandai perlu menguasai diri dalam segala keadaan. Dalam suka mupun duka. Dan apa yang pada hakikatnya baik, adalah juga baik bagi diri kita sendiri. Jadi, menuju kebaikan adalah jalan yang sebaik-baiknya untuk mencapai kebahagiaan hidup.
Apa itu "kebahagiaan hidup", tidak pernah dipersoalkan oleh Sokrates, sehingga murid-muridnya memberi pendapat mereka sendiri-sendiri yang bertentangan.
Menurut Sokrates, manusia itu pada dasarnya baik. Seperti dengan segala sesuatu yang ada itu ada tujuannya, begitu juga hidup manusia. Apa misalnya tujuan meja? Kekuatannya, kebaikannya. Begitu juga dengan manusia. Keadaan dan tujuan manusia ialah kebaikan sifatnya dan kebaikan budinya.
Dari pandangan etika yang rasional itu, Sokrates sampai kepada sikap hidup yang penuh dengan rasa keagaamaan. Menurut keyakinannya, menderita kezaliman lebih baik daripada berbuat zalim. Sikap itu diperlihatkannya, dengan kata dan perbuatan, dalam pembelaannya di muka hakim. Sokrates adalah orang yang percaya kepada Tuhan. Alam ini teratur susunannya menurut ujud yang tertentu. Itu, katanya, adalah tanda perbuatan Tuhan. Kepada Tuhan dipercayakannya segala-galanya yang tak terduga oleh otak manusia. Jiwa manusia itu dipandangnya sebagai bagian dari Tuhan yang menyusun alam. Sering pula dikemukakannya, bahwa Tuhan itu dirasakannya sebagai suara dari dalam, yang menjadi bimbingan baginya dalam segala perbuatannya. Itulah yang disebutnya "daimonion". Bukan ia saja yang dapat demikian, katanya. Semua orang dapat mendengarkan suara daimonion (suara batin) itu dari dalam jiwanya, apabila ia mau.

Juga dalam segi pandangan Sokrates yang berisi keagamaan, terdapat pengaruh paham rasionalisme. Semua itu menunjukkan kebulatan, keutuhan, konsistensi ajarannya, yang menjadikan ia seorang filsuf yang terutama seluruh masa.

 


P L A T O


Plato dilahirkan di Athena, di tengah kekacauan perang Peloponesos tahun 427 S.M., dan meninggal di sana tahun 347 S.M. Ia berasal dari keluarga aristokrat yang turun-temurun memegang peranan penting dalam politik Athena. Ia pun bercita-cita sejak mudanya untuk menjadi orang negara. Tetapi perkembangan politik di masanya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk mengikuti jalan hidup yang diinginkannya itu. Sejak berumur 20 tahun Plato mengikuti pelajaran Sokrates. Pelajaran itu yang memberi kepuasan baginya. Pengaruh Sokrates semakin lama semakin mendalam padanya. Ia menjadi murid Sokrates yang setia. Sampai akhir hayatnya, Sokrates tetap menjadi pujaannya. Sokrates bagi Plato adalah seorang yang sejujur-jujurnya dan seadil-adilnya, orang yang tak pernah berbuat salah. Hukuman yang ditimpakan kepada Sokrates dipandangnya suatu perbuatan zalim semata-mata. Ia sangat sedih dan menamakan dirinya sebagai seorang anak yang kehilangan bapak. Ia sedih, tetapi terpaku karena pendirian Sokrates yang menolak kesempatan untuk melarikan diri dari penjara, dengan memperingatkan ajarannya, "Lebih baik menderita kezaliman daripada berbuat zalim."
Plato mempunyai kedudukan istimewa sebagai seorang filsuf. Ia pandai menyatukan puisi dan ilmu, seni dan filosofi. Pandangan yang dalam dan abstrak sekalipun dapat dilukiskannya dengan gaya bahasa yang indah. Tidak ada seorang filsuf sebelumnya yang dapat dibandingkan dengannya dalam hal ini. Juga sesudahnya tak ada.
Sesudah Sokrates dihukum mati, Plato bersama teman-teman yang sealiran pindah ke Megara untuk meneruskan cita-cita guru mereka. Pada umur 40 tahun Plato pindah ke istana Dionysios I di kota Sirakus, Sisilia. Melalui raja itu ia ingin merealisasikan cita-citanya tentang penguasa yang adil. Namun, ia gagal total dan hampir saja dijual sebagai budak di pasar kota Aegina andaikata tidak kebetulan dilihat dan ditebus oleh seorang temannya. Plato akhirnya kembali ke Athena. Waktu temannya itu menolak untuk menerima kembali uang tebusan, Plato memakai uang itu untuk mendirikan Akademia, sekolah tersohor tempat ia mengajar. Karena itu, dapat dikatakan bahwa universitas Eropa pertama didirikan dengan uang harga penjualan seorang filsuf. Plato kembali ke Sisilia dua kali dan mencoba untuk mempengaruhi para penguasa di sana, tetapi selalu gagal. Tahun-tahun terakhir hidupnya dipergunakannya untuk mengajar di Akademia.
Selama kehidupan yang cukup ramai itu, Plato rajin menulis. Hampir semua tulisan Plato berupa dialog; dalam dialog itu pada umumnya Plato memakai Sokrates untuk mengemukakan pandangan-pandangannya. Semua karya Plato, lebih dari 25 jumlahnya, masih ada. Yang paling terkenal adalah 10 buku (atau bab) Politeia ("Negara"), yang memuat ajaran Plato yang termasyur tentang negara. Tulisan-tulisan itu amat berpengaruh terhadap pemikiran Eropa selanjutnya. Pernyataan Alfred N. Whitehead bahwa seluruh filsafat pasca-Plato hanyalah sekadar catatan kaki terhadap karya Plato tidak jauh dari kebenaran.
Filsafat Plato yang sampai kepada kita melalui karyanya itu bertitik pangkal pada adanya pertentangan antara Ada dan Menjadi, antara Satu dan Banyak, antara Tetap dan Berubah-ubah. Manakah dari kedua alternatif tersebut dapat dipilih sebagai titik pangkal filsafat yang memang sedang mencari satu asas utama? Manakah dari kedua alternatif itu dapat dianggap sebagai kenyataan (dan pengetahuan) yang sejati (Yunani: "ontos on", "benar-benar ada"), manakah yang semu (Yunani: "doza", "perkiraan" atau "maya")? Dalam dialog-dialognya, Plato menampilkan Sokrates beserta cara kerjanya supaya mereka yang menjadi kawan dialognya menemukan dalam diri mereka suatu kepastian pengetahuan. Pengetahuan itu berasal dari dalam jati dirinya yang bersifat bawaan (Inggris: Innate) sejak lahir. Pengetahuan itu mengalahkan segala keragu-raguan yang muncul berdasarkan segala penampilan dan pengalaman jasmani atau inderawi yang bermacam-macam (berganti-ganti, berubah-ubah). Oleh karena itu, terdapatlah pertentangan antara jati diri dengan penampilan yang dialami setiap manusia
Pemecahan atau pencairan pertentangan itu dirumuskan Plato lebih lanjut dengan memakai suatu istilah yang seakan-akan berasal dari dunia pengetahuan dalam arti amat luas. Istilah itu adalah idea. Kata Yunani itu mempunyai akar "Wid" dengan arti "melihat" dengan mata kepala (Latin: "Videra", Inggris: "Vision") maupun menatap dengan mata batin sampai "mengetahui" (Jerman: "Wissen"; Inggris: "Wisdom"). Menurut Plato, pada awalnya, jati diri atau jiwa manusia hidup di "dunia idea-idea" atau surga, dan dunia itu jauh dari dunia fana ini. Sejak awal jiwa berada di dunia fana - maka secara bawaan - ia menatap dengan batinnya idea-idea sempurna dan abadi; umpamanya idea tentang kebaikan, kebenaran, keindahan, keadilan, tetapi juga idea manusia atau kuda. Entahlah karena peristiwa apa, jiwa manusia itu "jatuh" dari dunia idea-idea itu ke dalam dunia ini sampai ke dalam "penjara" yaitu tubuh manusia. Melalui indera tubuhnya (terutama mata) ia melihat dan menatap dunia fana yang terdiri atas bayang-bayang atau "bayangan" dari idea-idea yang "semula" pernah ditatapnya secara murni. Lalu manusia ingat akan idea-idea murni itu yang "dahulu kala" ditatapnya dan yang secara bawaan memang menemaninya secara terselubung.
Untuk lebih memahami pikiran Plato tentang idea, kita dapat memakai perumpamaan yang terdapat di buku ketujuh Politeia, yaitu "perumpamaan tentang gua". Bayangkan sebuah gua; di dalamnya ada sekelompok tahanan yang tidak dapat memutarkan badan, duduk, menghadap tembok belakang gua. Di belakang para tahanan itu, di antara mereka dan pintu masuk, ada api besar. Di antara api dan para tahanan (yang membelakangi mereka) ada budak-budak yang membawa berbagai benda, patung, dan lainnya. Yang dapat dilihat oleh para tahanan hanyalah bayang-bayang dari benda-benda itu. Karena itu, mereka berpendapat bahwa bayang-bayang itulah seluruh realitas. Namun, ada satu dari para tahanan dapat lepas. Ia berpaling dan melihat benda-benda yang dibawa para budak dan api itu. Sesudah ia susah payah keluar dari gua dan matanya membiasakan diri pada cahaya, ia melihat pohon, rumah, dan dunia nyata di luar gua. Paling akhir ia memandang ke atas dan melihat matahari yang menyinari semuanya. Akhirnya ia mengerti, bahwa apa yang dulunya dianggap realitas bukanlah realitas yang sebenarnya, melainkan hanya bayang-bayang dari benda-benda yang hanya tiruan dari realitas yang sebenarnya di luar gua.
Plato memakai perumpamaan itu dalam rangka usahanya untuk menerangkan apa yang terjadi pada saat manusia mengenal atau mengetahui sesuatu. Sesuatu yang bukan lagi realitas inderawi, yang hanya cerminan realitas yang sebenarnya dalam medium materi (patung-patung yang meniru apa yang nyata-nyata ada). Melainkan sesuatu realitas yang sebenarnya, yang bersifat rohani. Pengetahuan sebagai hasil mengingat (anamnesis) akan suatu lapisan kesadaran bawaan dalam jati diri manusia itu, dicirikan oleh filsuf-filsuf modern sebagai pengetahuan berdasarkan intuisi. Melalui kesan dan pengamatan intuitif, manusia merasa bahwa ia sudah tahu, tanpa merasa perlu melakukan suatu pengamatan, penelitian atau penalaran lebih lanjut. Dan apabila seorang manusia sudah lebih dalam terlatih dalam hal intuisi, ia akan sanggup menatap dan seakan-akan memiliki sejumlah idea, "melihat matahari", misalkan tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, tetapi juga tentang pemerintahan, negara, pendidikan, sampai idea-idea itu tampil di hadapannya secara berjenjang-jenjang atau hierarkis, yaitu: jenjang kebenaran, jenjang nilai-nilai, dan lain-lain. Berdasarkan nilai tertinggi kebenaran hingga nilai terendah maka dapat "ditarik" suatu kesimpulan deduktif, seperti yang terdapat dalam matematika. Manurut Plato, matematika adalah bentuk pengetahuan yang paling sempurna. Tak seorangpun ia ijinkan masuk ke dalam Akademia-nya kalau belum terlatih dalam matematika, terlatih dalam hal "menurunkan" kebenaran dan nilai partikular dari kebenaran dan nilai yang lebih umum.
Filsafat manusia Plato bersifat dualistis. Jiwa itu paling utama, "dipenjarakan" dalam tubuh. Uraian-uraian Plato harus dimengerti sebagai usaha berbentuk sastra untuk mengungkapkan suatu intuisi tentang hakikat manusia. Tetapi juga dalam usaha-usaha lainnya Plato tidak seluruhnya luput dari dualisme, umpamanya dalam perumpamaan tentang penunggang kuda dan kudanya, atau tentang manusia bersayap yang kehilangan sayap-sayapnya. Jasa Plato terletak dalam upayanya menyatupadukan pertentangan-pertentangan para filsuf pra-Sokrates. Namun ia belum selesai menyajikan suatu gambaran tentang pengetahuan manusia dan tentang manusia itu sendiri sebagai suatu gejala yang tunggal dan esa. 
Etika Plato, yang didasarkan pada etika Sokrates, amat menekankan unsur pengetahuan. Bila orang sudah cukup tahu, pasti ia akan hidup menurut pengetahuannya itu. Oleh karena itu, dalam rangka dialog-dialognya Sokrates seringkali cukup bagus menyadarkan orang akan adanya suara batin. Pendapat Plato seterusnya tentang etika bersendi pada ajarannya tentang idea. Tanda dunia idea adalah tidak berubah-ubah, pasti dan tetap dan merupakan bentuk yang asal. Itulah yang membedakannya dari dunia yang nyata, yang berubah senantiasa. Dalam perubahan itu dapat ditimbulkan bentuk-bentuk tiruan dari bangunan yang asal, dari dunia idea. Sebab itu ada dua jalan yang dapat ditempuh untuk melaksanakan dasar etika:
Pertama, melarikan diri dalam pikiran dari dunia yang lahir dan hidup semata-mata dalam dunia idea. Kedua, mengusahakan berlakunya idea itu dalam dunia yang lahir ini. Dengan perkataan lain: melaksanakan "hadirnya" idea dalam dunia ini. Tindakan yang pertama adalah ideal, yang kedua kelihatan lebih riil. Kedua jalan itu ditempuh oleh Plato. Pada masa mudanya, seperti tersebut dalam bukunya Phaedros, Gorgias, Thaetet dan Phaedon, ia melalui jalan pertama. Pelaksanaan etikanya didasarkan pada memiliki idea sebesar-besarnya dengan menjauhi dunia yang nayata. Hidup diatur sedemikian rupa, sehingga timbul cinta dan rindu kepada idea.
Plato mungkin merasakan kemudian, bahwa ideal itu sukar dilaksanakan. Dalam bagian kedua hidupnya ia berpaling ke jalan yang kedua. Sungguhpun bangunan-bangunan tiruan dari idea jauh lebih sempurna, sikap hidup diatur sedemikian rupa, supaya dunia yang lahir "ikut serta" pada idea. Cara itu dibentangkan di dalam bukunya Republik, dengan menciptakan suatu negara ideal.
Filsafat Negara Plato menjadi amat terkenal. Pemikirannya tentang filsafat negara malah menjadi acuan atau motivasi untuk mengembangkan epistemologi, filsafat manusia maupun etikanya lebih lanjut. Dapat digambarkan sebagai berikut:
SUSUNAN MANUSIA
KEUTAMAAN-KEUTAMAAN
SUSUNAN NEGARA
akal budi
kehendak yang kuat
tubuh
kebijaksanaan
keberanian
keadilan
keugaharian
para pemimpin
para prajurit
para hakim
petani dan tukang
Seperti halnya akal budi dan pengetahuan manusia adalah sumber hikmat dan kebijaksanaan yang menentukan segala keutamaan etis yang hendak dikembangkan, demikianlah para filsuf hendaknya dijadikan pemimpin negara dengan para prajurit, dan, pada tahap yang lebih rendah, para petani dan tukang di bawah mereka. Dan sama seperti keseimbangan, antara segala keutamaan diatur keadilan, demikianlah para hakim menjamin kekuatan dan kemakmuran negara di bawah pimpinan para filsuf.
Tentang filsafat ketuhanan, Plato tidak mempunyai kedudukan yang jelas. Meskipun Plato seringkali membicarakan atau menyinggung Yang Ilahi (paling bagus dalam dialog yang berjudul Symposium), dan meskipun ia jelas sekali tidak setuju dengan adanya para dewa dan dewi mitologi Yunani yang disembah khalayak ramai, namun paham tentang Allah Pencipta dan Yang Esa tidak ditemukan dalam karya Plato; ada "Demiurg" yang pandai mengatur segala apa yang kita saksikan, tetapi bukan sebagai pencipta. Dunia idea-idea tentu saja tempat di mana Yang Ilahi itu muncul dalam filsafat Plato, maka manusia yang melalui filsafat berusaha mendekati idea-idea itu, mendekati Yang Ilahi itu juga. Dari hal ini, filsafat ketuhanan Plato kemudian berpengaruh menjadi penunjuk dan pintu menuju berbagai bentuk mistik dan kebatinan.


ARISTOTELES

 

Ilustrasi AristotelesAristoteles lahir tahun 384 S.M. di Stagyra di daerah Thrakia, Yunani Utara. Delapan belas tahun kemudian ia masuk Akademia di Athena dan sampai 347 S.M. menjadi murid Plato. Pada 342 S.M. ia diangkat menjadi pendidik Iskandar Agung muda di kerajaan Raja Philippus dari Makedonia. Tahun 335 ia kembali ke Athena dan mendirikan sekolah yang namanya Lykaion, nama salah satu gelar dewa Apolo. Karena caranya mengajar dan caranya bertukar pikiran dengan kelompok-kelompok kecil, berlangsung sambil berjalan-jalan, maka sekolahnya dijuluki juga peripatetik, yang sebenarnya adalah pusat penelitian ilmiah. Tahun 332, setelah kematian Iskandar Agung, ia harus melarikan diri dari Athena karena ia, seperti Sokrates 80 tahun sebelumnya, dituduh menyebarkan ateisme. Ia meninggal tahun 322 S.M.
Meskipun 20 tahun menjadi murid Plato, Aristoteles menolak ajaran Plato tentang idea. Menurutnya, tidak ada idea-idea abadi. Apa yang dipahami Plato sebagai idea sesungguhnya adalah bentuk abstrak yang tertanam dalam realitas inderawi sendiri. Dari realitas inderawi konkret, akal budi manusia mengabstraksikan paham-paham abstrak yang bersifat umum. Begitu, misalnya, akal budi mengabstraksikan paham "orang" atau "manusia" dari orang-orang konkret-nyata yang kita lihat, yang masing-masing berbeda satu sama lain. Akal budi mampu untuk melihat bahwa si Azis, si Tuti, Profesor Aleksander, dan Ibu Meli sama-sama manusia, manusia dalam arti yang sepenuhnya, sepenuhnya manusia. Menurut Aristoteles, ajaran Plato tentang idea-idea merupakan interpretasi salah terhadap kenyataan bahwa manusia dapat membentuk konsep-konsep universal tentang hal-hal yang empiris. Untuk menjelaskan kemampuan itu tidak perlu menerima alam idea-idea abadi. Aristtoteles menjelaskannya dengan kemampuan akal budi manusia untuk membuat abstraksi, untuk mengangkat bentuk-bentuk universal dari realitas empiris individual. Pendekatan Aristoteles adalah empiris. Ia bertolak dari realitas nyata inderawi. Itulah sebabnya ia begitu mementingkan penelitian di alam dan mendukung pengembangan ilmu-ilmu spesial.
Begitu pula, Aristoteles menolak paham Plato tentang idea Yang Ilahi, dan bahwa hidup yang baik tercapai dengan kontemplasi atau penyatuan dengan idea yang ilahi itu. Menurut Aristoteles, paham Yang Ilahi itu sedikitpun tidak membantu seorang tukang untuk mengetahui bagaimana ia harus bekerja dengan baik, atau seorang negarawan untuk mengetahui bagaimana ia harus memimpin negaranya. Jadi, tidak ada gunanya. Apa yang membuat kehidupan menusia menjadi bermutu harus dicari dengan bertolak dari realitas manusia sendiri, harus mulai dengan suatu pengamatan.
Salah satu pengantar dan prasyarat filsafat pengetahuan yang dihargai dan dikembangkan Aristoteles ialah logika. Logika dimengerti sebagai kerangka atau peralatan teknis yang diperlukan menusia supaya penalarannya berjalan dengan tepat. Dasar logika Aristoteles adalah uraian keputusan yang kita temukan dalam bahasa "the analysis of the judgement as found and expressed in human language". Uraian keputusan itu mencakup penegasan - pemungkiran - universal - partikular dan beberapa pertanyaan berikut ini. Bagaimana dan mengapa subjek dan predikat boleh atau tidak boleh, dan mengapa demikian? Manakah syarat-syarat yang harus dipenuhi agar serangkaian proposisi secara sah dan tepat memungkinkan suatu kesimpulan baru ditarik? Seluruh logika tradisional Aristoteles itu mempunyai keistimewaan ganda. Di satu pihak, berasal dari pengamatan yang teliti tentang susunan bahasa (Yunani). Di lain pihak sekaligus mengangkat unsur-unsur keniscayaan (necessity) dalam uraian bahasa itu. Dalam bahasa modern dapat dikatakan bahwa dalam logikanya, Aristoteles menggabungkan unsur empiris-induktif dan rasional-deduktif. Selain itu dalam Topyka, karyanya dalam bidang logika, ia merintis penyelidikan tentang cara kerja ilmu-ilmu empiris dalam mencari hukum-hukum universal berdasarkan pengamatan.
Selain uraian mengenai teknik pengembangan pengetahuan dalam logika, Aristoteles berjasa juga dalam usahanya untuk menggambarkan tahapan-tahapan kemajuan pengetahuan manusia. 
Sokrates mulai dari pengetahuan inderawi yang selalu partikular. Kemudian melalui abstraksi menuju pengetahuan akal budi yang bercirikan universal. Dalam hal filsafat pengetahuan, Aristoteles merupakan kebalikan dari filsafat pengetahuan Plato. Dasar filsafat pengetahuan Aristoteles bukanlah intuisi melainkan abstraksi.
Titik pangkalnya filsafat manusia Aristoteles adalah manusia sebagai subjek pengetahuan. Aristoteles menentang dualisme Plato tentang manusia. Sebenarnya bukan hanya pandangan Plato mengenai manusia yang ditentangnya, ia mengembangkan juga apa yang dinamakan "hylemorfisme". Artinya, ia beranggapan bahwa apa saja yang kita jumpai di bumi kita ini secara terpadu merupakan pengejawantahan material ("hyle") sana-sini dari bentuk-bentuk ("morphe") yang sama. Umpamanya, pohon cemara, sapi, manusia. Dengan demikian pertentangan-pertentangan "klasik" dari masa pra-Sokrates dipecahkan Aristoteles dengan membedakan maupun menegaskan kesatuan unsur materi dan bentuk dalam setiap makhluk (sekaligus "materialized form" dan "formed matter"). Dengan demikian ia berusaha menerangkan banyaknya individu yang berbeda-beda, dalam satu "jenis" ("spesies"). "Bentuk" ("morphe", "form") dianggapnya sebagai yang memberi "aktualitas" pada individu yang bersangkutan. Sedangkan "materi" ("Hyle", "matter") seakan-akan menyediakan "kemungkinan" (Yunani: "dynamis", Latin: "potentia") untuk pengejawantahan bentuk dalam setiap individu dengan cara yang berbeda-beda. Bentuk dalam hal makhluk hidup diberi nama "jiwa" (Yunani: "psyche", Latin: "anima", yang berlaku sama saja untuk tetumbuhan, hewan dan manusia. Hanya jiwa manusia yang mempunyai kedudukan istimewa, karena manusia berkat jiwanya yang khas itu tidak hanya sanggup "mengamati" dunia di sekitar secara inderawi, tetapi sanggup juga "mengerti" dunia maupun dirinya. Di samping itu adalah karena jiwa manusia dilengkapi "nous" (Latin: "ratio" atau "intellectus") yang menerima, dan malahan mengucapkan "logos" (sabda, pengertian) yang pada gilirannya menjelma dalam sabda-sabda "jasmani" yang diberi nama bahasa.
"Nous" atau akal budi merupakan bagian paling mulia dalam diri manusia. Tak mengherankan kalau sesuai dengan keyakinan itu, unsur-unsur filsafat ketuhanan yang kita temukan dalam karya Arsitoteles, bertitik pangkal pada uraian kemampuan akal budi itu. Namun, berbeda dari kontemplasi terhadap idea-idea gaya Plato, Aristoteles dalam hal ini juga mencari dasar uraiannya dalam pengamatan inderawi di dunia yang berubah-ubah ini. Umpamanya pengamatan mengenai gejala adanya gerak-gerak fisik saja. Secara spontan kita mencari penggeraknya, yang pada giliranya tidak bebas dari gerak (dan perubahan) juga. Mungkin kita bisa maju sampai sederetan besar gerak dan penggerak. Hampir-hampir tanpa ada habisnya (deretan tak berhingga). Lambat laun muncullah keyakinan dalam diri manusia pengamat bahwa deretan macam itu belum memuaskan keinginannya untuk mengetahui dan terutama untuk mengerti. Sadarlah manusia bahwa ia "harus berhenti" dalam penyelidikan terhadap mata rantai berikutnya dan berikutnya lagi dan lagi. Ia merasa perlu memandang rantai, rangkaian atau deretan itu sebagai deretan. Dari manakah adanya deretan yang tak berhingga itu? Menurut Aristoteles, "nous" pada lapisan atau tahapnya yang tertinggi memahami bahwa kemampuannya untuk menatap deretan itu sebagai deretan, yang mengandung kemampuannya untuk menegaskan adanya "yang menggerak tanpa digerakkan sendiri" ("motor immobilis"). Keyakinan itu dihasilkan "nous" bukan sebagai "nous pathetikos" ("intellectus passivus" atau "possibilis") yang terutama dipengaruhi oleh kesan-kesan inderawi, melainkan sebagai "nous poietikos" ("intellectus agens") yang ikut menentukan isi pemahamannya secara aktif, karena suatu "daya pencipta" yang ternyatalah termuat di dalamnya. Jalan pikiran Aristoteles itu diterapkan Thomas Aquinas dalam "panca marga"-nya ("quinque viae") guna menyatakan adanya Tuhan berdasarkan pengalaman dan penalaran filosofis.
Cukup banyak uraian terdalam Aristoteles ditemukan dalam karyanya yang diberi judul Metafisika. Asas-asas terdalam yang digarap filsafat mengenai berbagai gejala, digarapnya dalam karya itu. Malahan judul (bukan dari Aristoteles sendiri) dari buku itu - yang berarti "sesudah fisika" - telah menjadi nama dari cabang filsafat yang sampai sekarang disebut metafisika. Buku Fisika karya Aristoteles memuat cara pendekatannya pada gejala-gejala alam guna dipelajari dari sudut filsafat. 
dipelajari dari sudut filsafat. Misalnya, mengenai gejala perubahan di mana Aristoteles memakai lagi kedua istilah "kemungkinan" (Yunani: "dynamis", Latin: "potentia") dan aktualitas (Latin: "actus"), yang sudah disinggung di atas ini, sehubungan dengan susunan individu sebagai anggota dari suatu "jenis" atau "spesies". Maka dari itu, dalam wilayah tinjauan terhadap pertentangan antara "tetap" (Parmenides) dan "berubah-ubah" (Herakleitos), Arsitoteles berusaha mengatasi masalahnya dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala itu. Baik di dalam karya Parmenides maupun Herakleitos sama-sama termuat uraian termasyur mengenai apa itu waktu. Kontinuitas maupun "keterpecahan" atau "ketersebaran" yang menjadi ciri waktu dianalisis oleh Aristoteles.
Masih ada satu bidang lain dari filsafat Aristoteles yang amat mempengaruhi filsafat seterusnya, yakni etika, dan sebagai lanjutannya filsafat negara. Etika Aristoteles bertitik pangkal pada kenyataan bahwa manusia hendak mengejar kebahagiaan ("eudaimonia"). Sarana-sarana dan upaya-upaya yang dipilih manusia, dinilai berdasarkan tujuan tersebut. Kebahagiaan itu menyangkut manusia jiwa-raga sebagai anggota masyarakat, karena manusia ialah makhluk yang "hidup ber-polis" (polis: kota sebagai kesatuan negara pada masa Yunani kuno, sudah lama sebelum Aristoteles). Manusia ialah "zoon politikon". Ciri manusia sebagai makhluk hidup adalah hidup dalam polis, maka Aristoteles sangat menekankan sosialitas manusia. Masyarakat dalam bentuk negara itu dilihat Aristoteles sebagai suatu lembaga kodrati ("natural institution"), yaitu bukan berdasarkan persetujuan ("convention") saja seperti diajar oleh para sofis dan skeptikus pada masa itu. Dengan demikian semua warganegara wajib takluk pada negara, kepada para pemimpin dan kepada undang-undang. Dalam filsafatnya, Aristoteles mempunyai kecenderungan ke arah suatu totalitarisme negara. Negara itu di atas keluarga dan negara pun menyelenggarakan pendidikan. Pemimpin negara dapat dibentuk menurut beberapa pola berdasarkan pengamatan dan data-data yang diperoleh Aristoteles, antara lain melalui para muridnya. Monarki ialah cara pemerintahan di bawah satu ("monos") orang saja, yang dapat merosot menjadi tirani. Aristokrasi merupakan cara pemerintahan di bawah sekelompok orang yang dinilai sebaik yang terbaik ("aristoi"), dan dapat merosot menjadi oligarki (dikuasai oleh "segerombolan" orang yang bersekongkol). Demokrasi yang diberi juga nama "politeia" berada di bawah kuasa rakyat ("demos"), yang dapat merosot menjadi anarki (tanpa "arkhe" atau asas). Aristoteles tidak memilih salah satu dari ketiga bentuk dasar itu. Ia juga tidak suka memakai perbandingan dengan susunan manusia seperti Plato.
Meskipun tidak akan diuraikan panjang lebar, pengaruh filsafat keindahan dan estetika Aristoteles perlu disinggung di sini. Anggapan Aristoteles mengenai "katharsis" (pemurnian) yang terjadi dalam diri para penonton drama, merupakan suatu tinjauan atas apa yang ternyata berlangsung, lalu diusahakan agar diberi terang teoretis atas peristiwa yang telah diamati itu.
Akhirnya, dalam segala cabang filsafat yang sudah secara singkat kita tinjau, Aristoteles bertitik tolak pada apa yang diamati dalam hidup manusia dan hidup masyarakat. Katakanlah dari perbuatan-perbuatan dan tingkah laku mereka. Artinya dari "praxis" yang nyata, berdasarkan data-data yang banyak itu, ia berusaha maju sampai pada suatu "theoria" yang meliputi segala data pengamatan itu. Kemudian teori tersebut mudah-mudahan dapat menyediakan suatu "terang teoretis" atas data-data itu sedemikian rupa sehingga karena teori itu praksis tadi lebih masuk akal dan malahan mungkin untuk seterusnya dapat direncanakan dengan lebih teratur dan lebih sempurna. Demikianlah "perjalanan mondar-mandir" mengenai logika Aristoteles. Berkat Aristoteles kedua kata Yunani, praksis atau praktek dan teori telah menjadi milik ratusan bahasa di permukaan bumi. Dan, latar belakang pikirannya pun meresap.
Akhirnya patut dicatat bahwa Aristoteles berbeda dari Plato. Ia menjadi perintis pemeriksaan dalam ilmu-ilmu alam, termasuk ilmu hayat. Banyak hasil penelitian dan pengamatannya tampak ditegaskan kembali oleh pemeriksaan-pemeriksaan pada abad ke-20.

 


EPIKUROS


Epikuros lahir pada 314 SM di Samos, Yunani dan meninggal di Athena pada 270. Ia seorang pribadi yang halus, luhur, dan memikat. Ia dipuji karena kesederhanaannya, sikapnya yang lemah lembut, kebaikan hatinya, dan paham persahabatannya yang mendalam. Ucapan-ucapannya boleh dibilang dikeramatkan oleh murid-muridnya. Sayangnya, lebih dari 300 tulisannya yang tidak hilang hanyalah beberapa potongan. Lain halnya dengan Plato dan Aristoteles, Epikuros dan murid-muridnya tidak berminat memikirkan apalagi terjun ke dalam bidang politik. Sekitar tahun 300 SM, Epikuros mendirikan sebuah sekolah filsafat Athena dengan nama "Epikureanisme". Nama ini kemudian akan menjadi salah satu aliran besar filsafat Yunani sesudah Aristoteles, di mana proses perjalanan dalam panggung sejarah filsafat Barat Klasik diakhiri pada masa Hellenis. Zaman Epikuros adalah permulaan Hellenisme. Masa ini ditandai dengan kehadiran Alexander Agung pada abad IV yang menjadikan Yunani sebagai bangsa besar lengkap dengan kebudayaannya yang menghilangkan posisi polis.
Berbeda dengan para filsuf zaman pra-Sokratik yang memusatkan perhatiaannya kepada alam atau para filsuf Klasik dengan fokusnya manusia, filsafat Hellenis memberi titik perhatian kepada etika. "Apakah tujuan hidup manusia?" dan "Apakah yang baik dan buruk baginya?" adalah beberapa pertanyaan yang muncul di dalamnya.

Inti Ajaran
"Kebahagiaan hidup adalah kenikmatan," demikian inti ajaran yang disampaikan oleh Epikuros. Kenikmatan adalah satu-satunya yang baik, sekaligus awal dan tujuan hidup yang membahagiakan. Maka segala macam keutamaan hanya berarti sejauh membawa seseorang kepada kenikmatan.
Apa itu kenikmatan? Kenikmatan, menurut Epikuros, sebagai keadaan tidak adanya rasa sakit dan kegelisahan. Memang kenikmatan yang perlu diperoleh ialah inderawi juga namun yang lebih utama adalah ketenangan jiwa. Selanjutnya, ia menganjurkan agar untuk mencapai ketenangan jiwa, seseorang perlu menjauhkan diri dari hidup berpolis (Tentang hidup berpolis, silakan membaca Aristoteles). Polis memiliki risiko tinggi terhadap ketenangan jiwa. Sebaliknya, dengan menjalin relasi dan persahabatan dengan rekan-rekan akan lebih menunjang tercapainya ketenangan jiwa. Epikuros juga tidak segan-segan menyarankan seseorang untuk mati raga dalam memuaskan kenikmatan yang bersifat sementara untuk mencapai kenikmatan yang bersifat "lebih menguntungkan".
Paham kenikmatan Epikuros adalah kenikmatan rasionalis. Dengan demikian bila seseorang menonton film dan kemudian melupakan segalanya termasuk jumlah uang yang dimilikinya sekarang maka sikap semacam ini adalah sikap hedonis yang tidak rasionalis.

Basis Argumen
Agar kenikmatan tercapai maka perlu disingkirkan beberapa hal. Pertama, dengan berangkat dari teori atom Democritos yakni bahwa seluruh realitas terbentuk dari gugusan atom, Epikuros menambahkan bahwa tidak semua atom-atom itu bergerak membentuk garis linear ke bawah. Ini berarti bahwa ada atom-atom yang entah mengapa jatuh dengan gerak yang melenceng. Di satu pihak, pelbagai kejadian alam berlangsung mekanis. Sedangkan di lain pihak, adanya atom yang bergerak melenceng membuktikan adanya takdir. Takdir yang dimaksud sebagai ketentuan dewata yang secara mutlak mengarahkan gerak segala sesuatu termasuk tindakan dan nasib manusia.
Kedua, sikap takut kepada para dewa dan kepada kematian juga perlu disingkirkan sebab keduanya tidaklah beralasan. Para dewa tidak memiliki hubungan dengan segala kejadian di dunia ini termasuk dengan manusia. Mereka adalah makhluk abadi yang tinggal di alam "sana". Maka manusia tidak perlu takut kepada para dewa hanya untuk mendapatkan kenikmatan. Demikian juga rasa takut kepada kematian. Kemampuan untuk merasakan sesuatu ialah ciri dari hal yang bersifat sementara. Dengan ini, bila terjadi kematian, maka secara total manusia mengalami ketidakmampuan untuk merasakan sesuatu. Selama kita masih hidup kita masih hidup dan merasakan sesuatu. Sedangkan saat kematian tiba maka kita sudah tidak mampu lagi merasakan apa pun.

Evaluasi
Ajaran etika Epikuros memang menjawab kerinduan manusia akan apa yang perlu dicapai dalam hidup, yakni ketenangan jiwa. Ketenangan jiwa yang dimaksud tercapai ketika manusia menjalin relasi bersama orang lain. Ketenangan itu bukanlah rasa stress melainkan ketentraman batin yang tidak lagi tercengkeram oleh rasa takut.
Sayangnya, etika Epikuros bersifat privatistik. Yang diusahakan manusia adalah kebahagiaan pribadi. Dalam konteks waktu itu solusi yang ditempuh adalah dengan menarik diri dari polis. Apakah suatu kebahagiaan yang menjamin ketenangan batin dapat sungguh-sungguh membahagiakan orang? Bukankah dalam pengalaman, orang akan berbahagia manakala ia berhasil membahagiakan orang lain, meskipun ia sendiri terkadang harus berkorban? (Dalam bahasa Aristoteles, kebahagiaan akan tercapai justru ketika kita peduli dan ambil bagian dalam hidup ber-polis).
(V. Haryanto)


AUGUSTINUS

Ilustrasi AugustinusMarkus Aurelius Augustinus (354-430) lahir dan hidup dalam kondisi jaman yang sudah berkembang, di wilayah sekitar Laut Tengah sampai sebelah timur Teluk Persia. Dalam masa tersebut ada tiga unsur pokok yang mewarnai dan menentukan, yaitu tersebarnya kebudayaan Helenisme, muncul dan meluasnya Kerajaan Roma, dan tampilnya Gereja Kristiani. Meski pengaruhnya positif luar biasa, gaya hidup, kebudayaan, pemikiran dan cara bernegara dari Helenisme mempunyai unsur negatif juga, yakni hilangnya kedaulatan sebagian besar "negara kota" (polis), dengan seluruh adat-istiadat, ketatanegaraan, undang-undang, logat bahasa, agama dengan dewa-dewanya.
Pada awalnya, Helenisme tidak langsung mengarah ke rasa keterlibatan untuk mempertahankan dan meneruskan kesatuan wilayah raksasa yang telah didirikan oleh Iskandar Agung. Kenyataan historis menunjukkan bahwa kesatuan dan keterlibatan itu tetap kondusif dan semakin kuat kalau diwujudkan atas dasar kesatuan kebudayaan, bukan kesatuan negara. Helenisme mengakibatkan lunturnya adat istiadat dan agama lokal yang sudah mapan. Dalam masa itu bermunculanlah aliran-aliran yang mengacu pada pandangan hidup, keagamaan, filsafat, "kebatinan" khususnya di kalangan para cendikiawan dan petugas tinggi pemerintahan dan tentara. Pada saat itu ada dua aliran yang berpengaruh luas dan lama yaitu Stoa dan Epikurisme. Para penganut aliran tersebut merasa telah mendapatkan dasar pandangan hidup untuk bisa bertahan dalam gejolak-gejolak politik yang baru. Dewa-dewi kuno diganti dengan keyakinan pada penyelenggaraan akal ("logos") yang "ilahi", di luar dan di atas semua peristiwa dan semua manusia. Penyelenggaraan itu malah sudah terpantul dan dapat ditemukan pada setiap manusia secara mikrokosmis. Untuk itu, manusia harus mencapai ketenangan batin dengan melaksanakan askesis.
Sekitar abad pertama Sebelum Masehi, terjadi pergeseran titik besar peta kekuasaan politik dari Timur ke Barat dengan pusat di Roma. Kerajaan Roma mencapai jaman keemasannya sekitar abad pertama Masehi sampai pertengahan abad ketiga (1000 tahun kota Roma). Bahasa Latin cukup mendukung juga karena cocok sebagai bahasa hukum yang seragam, bahasa pemerintahan yang tegas, dan bahasa tentara yang patuh. "The Roman Genius" berhasil menciptakan suatu kesatuan politik yang menjamin keamanan dan kemakmuran selama beberapa abad untuk wilayah yang luas (sekitar 2000 kali 5000 km²). Aliran-aliran kebudayaan, filsafat dan pandangan hidup yang sudah lama berkembang dalam Heleneisme tetap bertahan. Di samping itu pemerintah Roma memberikan kebebasan besar kepada semua aliran, asal tidak membahayakan keamanan dan kesatuan negara. Saat itu juga ada pejabat tinggi negara yang sekaligus filsuf terkenal, yaitu kaisar Markus Aurelius (121-180) penganut Stoa dan pengarang dalam bahasa Yunani. Muncul juga aliran filsafat kuno yang terakhir, yaitu Neo-Platonisme dengan pendirinya Plotinos (205-270). Aliran ini berasal dari Mesir dengan dipengaruhi alam pikiran Timur (India) dan cepat berpengaruh di Roma. Plotinos ingin memperbarui filsafat Plato yang dianggapnya cocok bagi kebutuhan religius pada jamannya, sekaligus belajar dari aliran Stoa. Dibandingkan dengan filsafat Plato (dan Aristoteles), Neo-Platonisme lebih dinamis.
Secara singkat bisa dikatakan, aliran Neo-Platonisme berpandangan bahwa semua yang ada dan yang dapat disaksikan, termasuk manusia sendiri, berasal dari "Yang Esa", dan terus menerus mengalir ("emanasi") dari Yang Esa itu tanpa ada batas yang jelas antara keduanya (selain emanasi dipakai juga istilah "perilampsis", "penyinaran". Oleh karena itu selain lambang air dipakai juga lambang sinar cahaya dan terang). Apa saja yang berasal dari Yang Esa itu tidak bisa lain kecuali mau kembali kepada-Nya. Semuanya merupakan suatu lingkaran besar yang bersifat ilahi. Manusia tergoda untuk "berhenti" di tengah jalan, melekat pada materi (ingat "hyle"-nya Aristoteles) yang paling jauh dari Yang Esa, seakan-akan seperti "titik balik" dari gerak "keluar kembali". Kemacetan itu bisa dihindari dengan askesis sehingga di tengah jalan manusia dapat memperoleh ekstasis berhadapan dengan Yang Esa yang mungkin hanya sekejap saja.
Pada pertengahan abad pertama muncul juga Gereja Kristiani. Penyebaran ajaran iman Kristiani dan kesatuan umatnya cukup didukung dengan adanya kebudayaan Helenisme dan kesatuan serta semua fasilitasi (misalnya perjalanan) dalam Kerajaan Roma. Meskipun demikian, terjadi pertentangan juga karena orang Kristiani tidak ikut dalam pendewaan kaisar yang dituntut bagi semua warga demi kesatuan dan kemuliaan Kerajaan Roma. Ini mengakibatkan pengejaran dan penganiayaan atas orang Kristiani. Meskipun demikian, selama beberap periode, Gereja cukup berkembang di seluruh wilayah Roma (dan di sebelah Timur: Persia, India). Setelah penganiayaan hebat pada permulaan abad IV, akhirnya pada tahun 313 Kaisar Konstantinus mengeluarkan maklumat di kota Milano yang memberi kebebasan beragama kepada semua penduduk Kerajaan Roma. Sebelum meninggal, ia sendiri dibaptis menjadi Kristiani. sesudah itu, kedudukan dan peranan Gereja Kristiani menjadi sangat mencolok, bukan hanya dalam penghaytan iman dan ibadat, tetapi juga dalam refleksi atas iman baik dalam tukar pikiran dengan orang-orang bukan Kristiani (cendikiawan, filsuf dan sebagainya) maupun usaha orang Kristiani sendiri untuk memperdalam unsur pengetahuan atas iman.
Refleksi itu sebenarnya sudah dirintis dalam lingkungan Yahudi di wilayah yang dipengaruhi Helenisme. Misalnya tokoh Filo dari Aleksandria di Mesir (20 S.M.-50 M.) yang berkeyakinan bahwa ada kesinambungan antara iman dengan akal karena kedua-duanya berasal dari Allah sebagai satu-satunya sumber kebenaran, yang dikenal baik melalui iman maupun akal. Pemikiran seperti itu juga masih muncul dalam umat Kristiani purba antara lain dari Yustinus (100-165) dan dari sekelompok pengajar Kristiani di Mesir seperti Clemnes (150-212) dan Origenes (185-254), yang sebangsa dengan Plotinos. Pada saat yang sama, muncul juga pemikiran yang menantang dengan keras, khususnya Tertulianus (160-223), dan juga dari Afrika utara (Kartago, wilayah Tunisia sekarang) yang sangat menekankan perbedaan dasar antara iman Kristiani dengan akal, baik karena Allah itu tak terjangkau oleh akal yang lemah, maupun karena manusia berdosa secara menyeluruh sehingga hasil akal budinya tidak bisa diandalkan: "credo quia absurdum" (aku percaya justru karena tidak masuk akal).
Setelah tahun 313, dalam lingkungan Gereja Kristiani muncul puluhan pemikir besar yang berusaha menyoroti pokok-pokok iman Kristiani dilihat dari sudut pengertian dan akal budi. Mereka sering dinamai "pujangga Gereja" dan dianggap sebagai teolog, dengan akibat filsafat yang termuat dalam ajaran mereka kurang diangkat meskipun tetap sejalur dengan lanjutan Neo-Platonisme. Salah satu dari antara mereka adalah Augustinus.
Augustinus berasal dari wilayah yang sama dengan Tertulianus, propinsi Numidida di Afrika Utara dengan ibukota Kartago. Ia mendapat pendidikan Kristiani dari Monika, ibunya. Tetapi sejak usia muda, iman sudah tidak berarti baginya, terutama setelah ia belajar di Madaura. Kemudian ia ke Kartago untuk mempelajari tata bahasa, sastra, retorika. Tujuannya agar ia mampu berbicara di muka umum, menyatakan apa saja yang ingin didengar orang, karena ia memiliki keinginan yang besar untuk menjadi orang penting dan duduk di lapisan teratas masyarakat. Ia memang sangat berbakat.
Menurut pengakuannya sendiri, selama masa muda itu, ia hidup berfoya-foya. Ia mempunyai latar belakang pemikiran filsafat dari aliran Manikeisme yang mempunyai pandangan hidup dualistis. Filsafat ini memberikan toleransi besar terhadap segala kelemaham manusia dengan beranggapan bahwa kaum "jasmani" atau para "pendengar" tidak dapat lain daripada berharap bahwa pada penitisan kembali, mereka akan lahir sebagai yang "terpilih" dan mendapatkan keselamatan. Untuk sementara waktu dalam hidup "jasamani" ini mereka memberi toleransi kepada kejasmanian dan kelemahan mereka.
Beberapa waktu kemudian ketika sudah pindah ke Roma dan mengalami kegagalan dalam mencapai sukses yang diharapkan, ia pindah ke aliran skeptisisme yang menganggap dirinya sebagai ahli waris terakhir dari Akademia Plato. Aliran ini sedikit berbeda dengan Plato karena mempunyai anggapan bahwa tidak mungkin manusia mencapai kepastian atau suatu kebenaran yang tetap (mirip dengan para Guru Sofis pada masa Sokrates). Mereka menganut relativisme mutlak dalam bidang pengetahuan maupun penilaian norma-norma etika
Usahanya mendirikan perguruan di Roma gagal. Bermodalkan pengalaman hidupnya sendiri dan berdasarkan skeptisisme para penganut Akademia, seakan-akan ia tak sanggup lagi mengejar kebenaran atau menyetujui adanya pedoman hidup yang baik. Akhirnya ia mendapat undangan untuk mengajar di Milano.
Di tengah kemerosotan yang telah dialaminya, keinginannya untuk mengetahui masih membara dalam hatinya. Dalam situasi seperti itu ia berkenalan dengan karya Plotinos yang digubah oleh Porfirius (233-304) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Marius Victorinus. Semula Augustinus merasa sangat terkesan karena ajaran Neo-Platonisme itu menjadi sistem filsafat pertama yang diperkenalkan kepadanya. Dalam ajaran tersebut terdapat pemikiran yang konsisten dan bukan dualistis. Misalnya, tidak ada suatu asas dari segala yang jahat di samping asas dari segala yang baik. Yang jahat itu ada karena kekurangan dari yang baik. Augustinus juga diperkenalkan dengan filsafat yang menguraikan secara meyakinkan adanya nilai-nilai rohani yang dapat ditemukan manusia di dalam hatinya sendiri. Meskipun mengesankan Augustinus, ajaran ini belum memepunyai dampak atau pengaruh lebih mendalam baginya.
Pada saat tersebut, melalui beberapa temannya (di samping ibu Monika yang dengan setia mengikuti putranya), ia diharapkan kembali pada iman Kristiani. Di samping itu ia juga berkenalan dengan Uskup Ambrosius di Milano yang pemikirannya sangat dipengaruhi oleh Origenes. Menurut pengakuannya sendiri, ia semakin sanggup melihat bahwa keyakinan intelektual yang telah diperoleh melalui Neo-Platonisme seakan-akan menuntut suatu kelanjutan dalam praktik hidup yang kiranya tidak berasal dari filsafat tersebut.
Ia dibaptis menjadi seorang Kristiani oleh Ambrosius pada malam Paskah tahun 387. Dari masa dua tahun di sekitar peristiwa tersebut, kita mempunyai banyak karya filsafat dari Augustinus; meskipun jarang hanya filsafat semata-mata, karena karyanya waktu itu cukup dilatarbelakangi dan diwarnai oleh pengalaman pertobatannya. Salah satu rumus refleksi Augustinus mengenai perjalanannya menuju iman Kristiani termuat dalam karyanya yang termasyur, "Confessiones" ("Pengakuan" sekaligus "Puji-pujian kepada Allah"). Augustinus menggoreskan kekagumannya ketika membaca karya Plotinos, sekaligus menggoreskan perasaannya bahwa seakan-akan "belum sampai" kepada "sesuatu", yang baru sanggup dirumuskannya sesudah ia mulai beriman. Ialah bahwa "Nomen Christi non erat ibi" (nama Kristus belum terdapat dalam tulisan Neo-Platonisme itu). Demikian ringkasan atau kunci pemikiran dan filsafat Augustinus yang tetap bertahan untuk seterusnya dan yang termuat dalam karya besar dan khotbah-khotbahnya (ia menjadi imam tahun 391, lalu menjadi Uskup kota Hippo di Afrika Utara tahun 396 sampai akhir hidupnya). Perpisahan Augustinus dengan filsafat gaya Neo-Platonisme murni, terdapat dalam Confessiones (9, 100) mengenai hari terakhir sebelum Monika meninggal. Di situ terdapat percakapan mereka mengenai pengalaman hidup di bumi ini dan mengenai kebahagiaan di surga yang dijanjikan Tuhan. Peristilahan dalam percakapan itu secara mendalam bernada Neo-Platonisme sekaligus seluruhnya bernafaskan iman Krsitiani. Berikut ini disampaikan anggapan pandangan Augustinus mengenai sejumlah bidang dan cabang filsafat.
Epistemologi Augustinus bersifat iluminisme. Augustinus berkeyakinan bahwa manusia tidak sanggup mencapai kebenaran tanpa terang ("lumen") khusus dari Allah. Dari sudut yang lain, ia juga berkeyakinan bahwa dalam diri manusia secara alamiah terdapat suatu benih kebenaran yang tidak dapat padam atau mati. "Apabila tidak ada kebenaran, kiranya benar juga bahwa tidak ada kebenaran. Dengan itu adanya kebenaran sudah ditegaskan". Hal yang mirip dengan itu diuraikan Augustinus juga dalam wawancara "De Magistro" (Guru). Dikemukakannya bahwa proses belajar-mengajar itu dimungkinkan hanya karena ternyata dalam diri murid terdapat suatu "dasar pengetahuan" atau "pengertian" yang tinggal dihidupkan oleh perkataan dan penjelasan guru. Hal ini tidak bisa dibandingkan dengan "memberikan" pengetahuan seperti memberikan sebuah jeruk (merujuk pemikiran Sokrates). Itu semua terjadi dalam rangka pengetahuan iman. 
Unsur-unsur filsafat manusia muncul dalam karya Augustinus saat ia memandang manusia sebagai ciptaan Allah. Dalam hal ini, ia menentang ajaran Neo-Platonisme yang tidak memakai istilah penciptaan ("creatio"), tidak membicarakan Allah sebagai Pencipta ("Creator"), dan yang tidak sanggup membedakan ciptaan dengan penciptanya (monisme yang bercorak panteisme). Menurut Augustinus, segala makhluk merupakan "vestigia Dei" ("jejak-jejak Allah") yang memaklumkan bahwa "Allah telah lewat". Manusia menjadi "vestigium Dei" sedemikian istimewa, sehingga disebut "imago Dei" ("citra Allah"). Manusia memantulkan siapa Allah itu dengan lebih jelas daripada segala ciptaan lainnya.
Dalam rangka itu, Augustinus menguraikan gejala manusia dengan memakai tiga istilah, yaitu mens - notitita -amor, sekali-kali juga memoria - intellectus - voluntas. Yang pertama, ("mens", "memoria") bukan hanya berarti ingatan saja, melainkan juga dasar segala kegiatan dan tindakan manusia sebagai makhluk yang sadar akan dirinya sendiri. Maka boleh dikatakan bahwa itu merupakan sumber kegiatannya, kekayaan dasarnya sebagai pribadi. Yang kedua, ("notitia", "intellectus") berkaitan dengan kegiatan pengetahuan. Yang ketiga, ("amor", "voluntas") menunjukkan kegiatan kehendak yang memuncak dalam cinta murni. Tritunggal seperti itu tidak asing dalam konteks pemikiran Neo-Platonisme dalam rangka irama keluar kembali berlingkaran, tetapi oleh Augustinus dalam De Trinitate, secara khusus hal tersebut dipergunakan untuk menggambarkan manusia sebagai ciptaan Allah sesuai dengan rumus yang ditemukannya dalam Kitab Suci Perjanjian Baru.
Usaha yang mirip dengan itu diucapkannya dengan perkataan lain yang bergema sampai dewasa ini yaitu, "Tuhanku, Engkaulah lebih tinggi daripada apa yang paling dalam dalam batinku" ("Deus meus superior summo meo; et interior intimo meo") ("Confessiones", 3, 6, 11) . Ini merupakan ungkapan yang merangkum pengalaman manusia tentang transendensi dan imanensi Allah dalam satu rumus. Inilah beberapa pokok filsafat ketuhanan Augustinus.
Dalam bidang etika, perlu diingat bahwa Augustinus bertahun-tahun lamanya mengalami ketidakmampuan untuk menyelenggarakan hidupnya dengan baik dengan latar belakang dualisme manikeisme. Sesudah menjadi Kristen dan Uskup, Augustinus menabrak keras anggapan Pelagius (350-425) dan pelagianisme yang beranggapan bahwa manusia sendiri karena ketegasan dan kerajinannya dapat berbuat baik dan menyelamatkan diri. Manusia tetap membutuhkan rahmat dari Allah. Dengan demikian ada kesejajaran iluminismenya tentang pengetahuan dengan ketidakmampuan manusia, dalam bidang etika, tanpa rahmat Allah.
Filsafat negara Augustinus menjadi terkenal juga. Baginya, filsafat negara tidak bisa lepas dari etika. Filsafat negaranya termuat dalam "Civitas Dei" ("Negara Allah") yang lebih merupakan teologi sejarah dengan beberapa pokok mengenai filsafat sejarah. Karya ini harus ditempatkan dalam konteks sejarah selama 20 tahun terakhir kehidupan Augustinus. Kegemilangan dan kekuatan politik Kerajaan Roma sudah mulai merosot karena kemewahan dan kelaliman para pemimpin dan karena penyerbuan bangsa-bangsa sebelah Timur, Timur Laut dan Utara.
Situasi tersebut ditanggapi Augustinus dalam konteks akhirat. Negara dan masyarakat yang kita alami merupakan pertempuran terus-menerus antara kekuatan buruk yang duniawi ("civitas terrena") dengan kekuatan baik dari Allah ("civitas Dei"). Akhirnya yang akan menang adalah kekuatan baik dari Allah. Perlu dihindari pengertian bahwa civitas terrena itu negara dan civitas Dei itu Gereja, karena keduanya mempunyai kedua unsur, baik dari civitas terrena maupun civitas Dei. Civitas Dei pun akan menang dalam diri manusia karena kekuatan Allah dan bukan semata-mata kekuatan manusia. 
Akhirnya, Augustinus dan karyanya, yang menjadi milik kebudayaan Barat dan yang dipengaruhi oleh iman Kristiani, kiranya lebih mendalam daripada Plato dan Aristoteles dalam batas-batas tertentu. Karya-karyanya mempengaruhi sejumlah besar filsuf dan teolog. Misalnya, Anselmus (abad XI), seluruh kelompok filsuf dan teolog sekolah Saint Victor di Paris (abad XII), Bonaventura, maupun Thomas Aquinas (abad XIII), Martin Luther, Malebranche, Pascal, Jansenisme, ?Maurice Blondel (abad XX). Dalam peringatan 1500 tahun wafatnya Augustinus, terjadi diskusi hebat mengenai ada tidaknya apa yang dinamakan "filsafat Kristiani".
Dalam arus filsafat jamannya, Augustinus menawarkan pemikiran baru yang tidak ditemukan pada filsuf-filsuf sebelumnya. Ia melihat bahwa filsafat selama itu lebih menempatkan yang ilahi dalam tanda kurung sehingga menempatkan filsafat sebagai "profan". Agustinus memang mengagumi pemikiran-pemikiran filsafat, tetapi seabagai orang Kristiani ia melihata ada sesuatu yang kurang, yaitu bahwa Kristus tidak ditemukan di sana.
Augustinus juga menyadari bahwa manusia tidak sanggup mencapai kebenaran sejati kalau tidak diterangi oleh yang ilahi. Meskipun demikian dalam diri manusia sudah ada benih kebenaran yang memungkinkannya untuk menguak kebenaran. Benih inilah yang ia sadari sebagai pantulan Allah sendiri, sehingga manusia merupakan citra Allah. Inilah yang menurutnya merupakan kedalaman yang paling dalam dalam diri manusia.

 


THOMAS AQUINAS


Ilustrasi AugustinusThomas Aquinas adalah filsuf dan teolog Abad Pertengahan Eropa terbesar. Abad Pertengahan di Eropa adalah zaman keemasan bagi kristianitas. Alam pikir dalam masa ini juga kerap mendapat reaksi keras dari masa-masa sesudahnya, yaitu abad-abad modern. Salah satu usaha yang menjadi minat besar para filsuf abad ini adalah menyelaraskan iman dan rasio. Thomas Aquinas berhasil mempersatukan ajaran-ajaran Augustinus yang sampai saat itu menentukan pemikiran di Eropa, dengan filsafat Aristoteles, dan dengan demikian memberikan impuls-impuls baru bagi kehidupan intelektual di Barat. Sejak Thomas Aquinas, filsafat mulai berkembang sebagai ilmu tersendiri.
Thomas dilahirkan di Rocca Sicca di Italia pada 1225. Di masa sekolahnya, tubuhnya yang berat dan lamban menyebabkan dia mendapat julukan "lembu bebal". Di tahun-tahun kemudian tulisan-tulisannya sangat banyak, sangat luas dalam jangkauan maupun tingkat kepentingannya, sehingga ia memperoleh sebutan Doktor Malaikat (Angelic Doctor). Pengaruhnya telah menjadi sangat luas sehingga pada waktu-waktu kemudian ia disebut sebagai Doktor Umum (Common Doctor) dari Gereja Katolik.
Menjelang usia 20 tahun ia bergabung dengan tarekat Santo Dominikus dan menjadi murid Albertus Magnus di Paris dan Kِln. Setelah studinya selesai ia mengajar teologi di Universitas Paris dan Kِln dan di berbagai tempat lain di Italia. Ia meninggal dalam usia 49 tahun pada 1274 di biara Fossanuova dalam perjalanannya ke Muktamar Gereja di Lyon. Thomas Aquinas menjadikan Aristoteles dasar pemikirannya tetapi dengan tidak menyingkirkan gagasan-gagasan dasar Augustinus. Ia memperlihatkan bahwa atas dasar kerangka pikiran Aristoteles, teologi Augustinus dapat diberi pendasaran yang lebih mantap.
Pengaruh Thomas amat besar. Berkat dia, Aristoteles menjadi "sang filsuf" (the philosopher) di Barat sampai abad ke-17. Pendekatan Aristoteles yang bertolak dari realita di dunia memungkinkan perkembangan ilmu-ilmu alam yang selama seribu tahun seakan-akan dilupakan di Barat dan dengan demikian menempatkan Eropa Barat pada jalur kerohanian yang akan menghasilkan budaya modernitas.
Dua karya utama Thomas adalah berupa Summae, artinya ikhtisar teologi dan filsafat yang sangat luas. Summae contra Gentilis disusun dan dimaksudkan sebagai sebuah buku pelajaran (textbook) bagi para misionaris. Summae Theologiae (yang edisi kritis terkahirnya sampai terdiri dari 60 jilid) telah digambarkan sebagai "prestasi tertinggi dari sistem teologis Abad Pertengahan dan dasar yang diterima untuk teologi Katolik Roma modern". Memang, karya-karya Thomas termasuk sebagai karangan-karangan terpenting dari seluruh kesusasteraan kristiani. Dalam karya-karyanya yang kebanyakan bersifat teologis, terdapat suatu sintesis filsafat yang mencolok, sintesis yang belum pernah ada.
Meskipun Thomas mempunyai maksud utama untuk menciptakan suatu teologi, ia tetap mengakui otonomi filsafat yang mendasarkan diri kepada kemampuan akal budi yang dimiliki manusia demi kodratnya. Menurutnya, akal memampukan manusia untuk mengenali kebenaran dalam kawasannya yang alamiah. Sedangkan teologi memerlukan wahyu adikodrati. Berkat wahyu adikodrati, teologi dapat mencapai kebenaran yang bersifat misteri dalam arti ketat (misalnya, hal trinitas, inkarnasi, sakramen). Oleh karena itu teologi memerlukan iman. Iman adalah suatu sikap penerimaan atas dasar wibawa Allah. Dengan beriman manusia dapat mencapai pengetahuan yang mengatasi akal, pengetahuan yang tidak dapat ditembus oleh akal semata. Meskipun misteri ini mengatasi akal, ia tidak bertentangan dengan akal. Ia tidak anti akal. Dan meskipun akal tidak dapat menemukan misteri, akal dapat meratakan jalan yang menuju ke misteri (prae-ambulum fidei).
Dengan perkataan lain, Thomas memperlihatkan adanya dua macam pengetahuan yang tidak saling bertentangan melainkan berdiri sendiri secara berdampingan. Pengetahuan itu adalah pengetahuan alamiah dan pengetahuan iman. Pengetahuan alamiah berpangkal pada terang akal budi dan yang sasarannya adalah hal-hal yang bersifat insani dan umum. Pengetahuan iman berpangkal pada wahyu adikodrati dan yang sasarannya adalah hal-hal yang diwahyukan Allah secara khusus, yang disampaikan kepada kita melalui kitab suci di dalam tradisi Gereja. Meskipun begitu perlu dicatat juga bahwa ada hal-hal yang termasuk baik bidang filsafat maupun teologi (misalnya, pengetahuan tentang Allah dan jiwa). Karena itu, filsafat dan teologi dapat diumpamakan dengan dua buah lingkaran yang - sekalipun yang satu berada di luar yang lain - bagian tepinya ada yang bertindihan.
Dua pokok pengajaran yang berhubungan dengan diskusi-diskusi sekarang ini adalah: Pertama, bukti-bukti tentang keberadaan Allah (supaya tahu bahwa Allah itu ada), dan Kedua, ajarannya mengenai analogi (supaya tahu beberapa sifat Allah).

 

Lima Jalan (Quinque Viae, The Five Ways)

Thomas memang berpendapat bahwa rasio insani dapat mengenal adanya Allah, meskipun secara tidak langsung melainkan hanya melalui ciptaan-ciptaan. Oleh karena itu ia menolak pembuktian yang diberikan oleh Anselm dengan argumentasi "ontologis"-nya yang bersifat apriori.
[ Istilah ontologi merupakan cabang filsafat mengenai keberadaan. Tetapi istilah argumentasi ontologis biasanya digunakan untuk argumentasi akan perlunya keberadaan Allah, yang tidak bergantung atas fakta-fakta yang nampak atau kelihatan melainkan atas implikasi dari ide-ide tertentu. Pernyataan Anselm mengenai hal itu muncul dalam Proslogion-nya. Di sini Anselm berusaha menyusun suatu pemaparan logis tentang eksistensi (keberadaan) Allah. Ia menggambarkan Allah sebagai Yang terbesar yang dapat dipikirkan (tidak ada yang lebih besar dari-Nya yang dapat dipikirkan). Argumentasinya biasa dipikirkan sebagai suatu usaha menarik kesimpulan tentang keberadaan Allah dari gagasan mengenai keberadaan yang paling sempurna. Tidak dapat disangkal bahwa orang-orang memiliki konsep mengenai satu keberadaan yang sempurna seperti itu di dalam pikiran mereka. Maka bagaimana mungkin konsep semacam demikian bisa muncul kalau tidak ada keberadaan yang seperti itu? Kalau itu hanya suatu konsep di dalam pikiran dan tidak benar-benar ada, maka itu tidak mungkin keberadaan yang paling sempurna. Sebab mengurangi kualitas eksistensi akan berarti bahwa pribadi itu tidak sempurna. Menurut tafsiran umum, Anselm menerima sebagian dari teologi natural/kodrati/metafisik (natural theology-cabang filsafat; artinya bukan teologi/teologi wahyu/revealed theology-bukan cabang filsafat). Ia berusaha membuktikan keberadaan Allah tanpa memperhatikan iman serta pengajaran kristen. Ia mencoba menemukan beberapa konsep umum di mana baik orang-orang percaya maupun tidak percaya dapat diteguhkan dengan harapan: "memenangkan" mereka yang tidak percaya, dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa percaya terhadap Allah bukanlah sesuatu khayalan belaka. Sikapnya ialah: Buktikan dulu kemudian Anda boleh percaya. Ini mengambil semacam proses dua langkah dalam apologetika. Langkah pertama adalah memakai filsafat untuk meletakkan dasar-dasar; langkah kedua adalah memperkenalkan iman Kristen di atas kekuatan argumentasi-argumentasi filsafat. Kesulitannya memang, jika langkah pertama gagal, langkah kedua akan tinggal terkatung-katung di udara, dan kita dibiarkan berpikir-pikir apakah ada alasan-alasan yang tepat untuk menerimanya. ]
Thomas sendiri memberikan lima bukti tentang adanya Allah. Titik tolaknya adalah keyakinan bahwa Allah tidak terbukti atau nyata dengan sendirinya kepada manusia. Itu menuntut bukti
1.       Bukti dari gerak yang ada di dunia jasmani ini
Sebagaimana suatu sebab dapat diketahui paling tidak sebagian melalui akibatnya, demikian pula Kausa Pertama alam semesta dapat diketahui melalui tatanan ciptaan. Setiap gerak di alam selalu memiliki sebab. Segala sesuatu yang bergerak pasti harus digerakkan oleh sesuatu yang lain. Hal ini juga berlaku untuk hal-hal yang menggerakkan dirinya sendiri, karena "hal yang menggerakkan dirinya sendiri" itu pun memiliki sebabnya. Artinya, ia digerakkan oleh sebabnya itu. Gerak dan menggerakkan itu tidak dapat berjalan tanpa batas sampai tak terhingga. Harus ada penggerak pertama. Penyebab atau penggerak pertama itu adalah Allah.
2.      Bukti dari tertib sebab-sebab yang berdayaguna
Di dalam dunia yang diamati ini, tidak pernah ada sesuatu yang menjadi sebab yang menghasilkan dirinya sendiri. Karena seandainya hal itu ada, hal yang menghasilkan dirinya sendiri itu tentu harus mendahului dirinya sendiri. Hal ini tidak mungkin. Oleh karena itu, semua sebab yang berdayaguna menghasilkan sesuatu yang lain. Mengingat bahwa sebab yang berdayaguna itu juga tidak dapat ditarik hingga tiada batasnya, kesimpulannya harus ada sebab berdayaguna yang pertama. Sebab berdayaguna yang pertama itu adalah Allah.
3.      Bukti dari keniscayaan segala sesuatu di dunia ini
Segala sesuatu yang ada di dunia ini dapat saja tidak ada. Jadi, pada saat ini juga bisa jadi tidak ada sesuatu. Padahal, apa yang tidak ada hanya dapat mulai berada jika diadakan oleh sesuatu yang telah ada. Jika segala sesuatu yang di dunia ini hanya mewujudkan kemungkinan saja, "ada" yang terakhir harus mewujudkan suatu keharusan (keniscayaan). Hal yang mewujudkan sesuatu keniscayaan ini ini "ada-nya" dapat disebabkan oleh sesuatu yang lain atau memang berada sendiri. Seandainya ia disebabkan oleh sesuatu yang lain, sebab-sebab itu tidak dapat ditarik hingga tiada batasnya. Oleh karena itu harus ada sesuatu yang perlu mutlak, yang tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain. Inilah Allah.
4.      Bukti dari derajat-derajat dalam perwujudan nilai
Di dunia ini ada hal-hal yang lebih atau kurang baik, lebih atau kurang adil, benar, dst. Untuk menentukan derajat kebaikan, keadilan, dst tersebut kita mengukurnya dengan memakai yang terbaik, yang paling adil, dst sebagai ukurannya. Jadi, adanya yang terbaik diharuskan oleh karena adanya yang kurang baik, yang baik dan yang lebih baik. Oleh karena itu harus ada sesuatu yang menjadi sebab dari segala yang baik, adil, benar, mulia, dst. Yang menyebabkan semua itu adalah Allah.
5.      Bukti dari finalitas (keterarahan pada akhir dan tujuannya)
Di dunia ini segala sesuatu yang tidak berakal berbuat menuju kepada akhirnya. Ini tampak dari cara hal-hal tak berakal itu berbuat, yaitu selalu dengan cara yang sama untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Jadi memang tidak secara kebetulanlah bahwa semua itu mencapai akhirnya. Mereka memang dibuat begitu. Yang tak berakal itu tidak mungkin bergerak menuju akhirnya jika tidak diarahkan oleh suatu tokoh yang berakal, berpengetahuan. Inilah Allah.
Kelima bukti tersebut dapat menunjukkan bahwa Allah itu ada, bahwa ada suatu Tokoh yang menyebabkan segala sesuatu dan yang berada karena diri-Nya sendiri. Tetapi di samping itu, manusia dapat juga mengetahui sedikit tentang sifat-sifat Allah. Untuk itu Thomas mengembangkan jalan Triganda (Triplex Via).

 

Ajaran tentang Analogi

Thomas Aquinas memaparkan bahwa pada waktu kita membuat pernyataan-pernyataan tentang Allah, berarti kita sedang menggunakan bahasa secara agak khusus. Kata-kata itu tidak memiliki arti univocal (kesatuan suara) maupun equivocal (kesamaan suara). Dalam hal yang pertama, kata-kata kita akan berarti secara teppat sama kapan pun kita menggunakannya. Namun, pada waktu orang-orang Kristen berbicara mengenai Kristus sebagai Anak Domba Allah, mereka tidak berpikir tentang seekor binatang berkaki empat dan bebulu halus. Pada saat mereka menyebut Allah sebagai Bapa mereka, mereka tidak bermaksud berkata bahwa Dia adalah seorang manusia, berada di dalam waktu dan ruang, yang telah melahirkan anak-anak ke dalam dunia ini melalui proses kelahiran alamiah. Sebaliknya, orang-orang Kristen percaya bahwa mereka tidak sedang menggunakan bahasa secara equivocal, sehingga kata-kata mereka bermakna sesuatu pada tingkat atau level manusia, namun semua kata itu bermakna sesuatu yang berbeda sama sekali pada level agama.
Jika pernyataan-pernyataan agama termasuk kategori yang pertama, seorang akan menurunkan Allah ke tingkat objek atau ciptaan, yang berada di dalam waktu dan ruang. Kalau semua itu termasuk kategori yang kedua, bahasa agama akan tidak bermakna. Sebab apapun yang kita katakan, maksud kita akan agak berbeda dari kata-kata itu. Aquinas menjelaskan bahwa pernyataan sah tentang Allah adalah bersifat analogis. Dengan perkataan lain, waktu seorang Kristen menyebut Allah sebagai Bapa, Dia tidak sepenuhnya menyerupai dan juga tidak sepenuhnya berbeda dengan apa yang terbaik dalam bapak-bapak manusia, tapi ada hal yang benar-benar mirip.
Ketiga jalan manusia untuk dapat mengenal Allah didasarkan pada hal tersebut, bahwa ada sekaligus kesamaan dan perbedaan dalam cara berada antara Allah dan makhluk-Nya. Analogi ini bukan mengenai perkara-perkara yang sampingan, melainkan mengenai perkara paling hakiki yaitu mengenai ada-nya Allah dan ada-nya makhluk (analogia entis). Di satu pihak analogi ini menunjuk kepada adanya jarak tak terhingga antara Allah dan makhluk, di lain pihak analogi ini juga menunjukkan bahwa para makhluk itu sekadar menampakkan kesamaannya dengan Allah.
Berdasar analogi entis ini Thomas melukiskan ketiga jalan yang harus ditempuh bila mau memperoleh pengetahuan tentang Allah:
1.       Via Positiva atau Via Affirmativa
Mengingat "analogia entis", yang mana berarti bahwa ada kesamaan antara Allah dan makhluk (Allah memberikan kebaikan-Nya juga kepada makhluk), dapat dikatakan bahwa segala sesuatu yang bersifat baik pada makhluk dapat juga dikenakan kepada Allah.
2.      Via Negativa
Sebaliknya juga harus dikatakan, mengingat bahwa "analogia entis" pun mengimplikasikan perbedaan antara Allah dan makhluk, bahwa segala yang ada pada makhluk tidak berada pada Allah dengan cara yang sama.
3. Via Eminentiae
Apa yang baik pada makhluk tentu berada pada Allah dengan cara yang jauh melebihi keadaan para makhluk, bahkan tak terhingga jauhnya kelebihan tersebut.

 

Ajaran mengenai Penciptaan

Ajaran ini berkisar pada konsep partisipasi atau hal mengambil bagian. Gagasan ini berasal dari Plato serta Augustinus. Pendirian Thomas adalah: segala sesuatu yang diciptakan mengambil bagian dalam adanya Allah. Partisipasi ini buka secara kuantitatif, seolah-olah tiap makhluk mewakili sebagian kecil dari tabiat ilahi. Melainkan partisipasi ini secara dependensi, semua ciptaan menurut adanya adalah tergantung pada Allah; dan juga secara analogis terdapat pula kesamaan maupun perbedaan dalam cara Allah berada dan cara makhluk berada.
Thomas juga mempertahankan bahwa Allah bebad dalam menciptakan dunia. Untuk melawan teori emanasi dari filsuf-filsuf Neo-Platonis yang menganggap dunia mengalir dari Allah bagaikan air yang mengalir dari sumbernya, Thomas memgemukakan ajaran tentang creatio ex nihilo, penciptaan "dari yang tidak ada". Dengan ajaran ini Thomas mau menekankan dua hal. Pertama, dunia tidak diadakan dari semacam bahan dasar yang sudah tersedia, entah bahan itu Allah sendiri (melawan panteisme) entah bahan itu merupakan sebuah prinsip kedua di samping Allah (melawan dualisme). Ciptaan-ciptaan menurut adanya adalah tergantung pada Allah, dan bukan menurut salah satu aspeknya saja. Kedua, penciptaan tidak terbatas pada satu saat saja seakan-akan sesudah saat itu dunia tidak tergantung lagi pada Allah Pencipta. Sebaliknya, penciptaan adalah perbuatan Allah yang terus-menerus (creation continua atau conservatio). Dengan perbuatan penciptaan itu Allah terus-menerus menghasilkan dan memelihara segala yang bersifat sementara.
Segala sesuatu diciptakan menurut bentuknya atau idea-nya yang berada di dalam roh Allah. Idea-idea tersebut bukan berada di samping Allah, melainkan identik dengan Dia. Idea tersebut adalah satu dengan hakikat-Nya. Namun ini tidak berarti bahwa dunia suda ada sejak kekal. Dunia ada awalnya. Secara filosofis memang tidak mustahil bahwa dunia diciptakan dari kekal. Hanya saja, filsafat tidak bisa membuktikan bahwa dunia mempunyai permulaan dalam waktu. Atas kesaksian kitab sucilah kita tahu bahwadunia memiliki permulaannya.

 

Filsafat Manusia

Thomas sangat menekankan bahwa manusia adalah suatu kesatuan yang terdiri dari jiwa dan badan. Plato menganggap jiwa sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, sebuah substansi lengkap yang ada di dalam penjara tubuh jasmani manusia. Melawan anggapan Plato ini, Thomas mengajarkan bahwa pertautan antara jiwa dan tubuh manusia harus dilihat antara bentuk (jiwa) dan materi (tubuh). atau, hubungan jiwa dan badan tersebut juga bisa dilihat dalam hubungan antara aktus (perealisasian) dan potensi (bakat). Jadi, manusia itu satu substansi saja. Satu substansi sedemikian rupa sehingga jiwalah yang menjadi bentuk badan (anima foma corporis). Dengan perkataan lain, jiwalah yang membuat tubuh menjadi realitas.
Jiwa menjalankan aktivitas-aktivitas yang melebihi sifat badani belaka. Aktivitas itu adalah berpikir dan berkehendak. Keduanya itu merupakan aktivitas rohani. Ini sesuai dengan prinsip agere sequitur esse yang artinya cara bertindak itu sesuai dengan cara beradanya. Karena jiwa bersifat rohani, maka setelah manusia mati, jiwanya hidup terus. Dalam kesimpulan ini Thomas mempertahankan adanya kekekalan jiwa (melawan pendapat Aristoteles).
Thomas mengajarkan bahwa setelah kematian jiwa akan hidup terus dalam wujudnya sebagai bentuk. Ini berarti bahwa jiwa tetap mempunyai keterarahan kepada badan (materi). Dan, hal ini rupanya cocok dengan ajaran kristiani mengenoi adanya kebangkitan badan. Ajaran ini jelas akan sulit dibenarkan oleh seorang filsuf yang mencari kebenaran atas dasar rasio belaka.
Menurut Thomas, setiap perbuatan - termasuk juga kegiatan berpikir dan berkehendak - adalah perbuatan dari segenap pribadi manusia. Setiap perbuatan manusia adalah perbuatan "aku", yaitu jiwa berubuh atau tubuh berjiwa. Kesatuan manusia ini mengandaikan bahwa tubuh manusia hanya dijiwai oleh satu bentuk saja, yaitu bentuk rohani. Bentuk rohani inilah yang sekaligus membentuk hidup lahiriah dan batiniah manusia. Jiwa yang satu ini memiliki lima daya, yaitu: daya vegetatif, merupakan daya yang bergubungan dengan pergantian zat dan pembiakan; daya sensitif, merupakan daya yang behubungan dengan keinginan; daya yang menggerakkan; daya untuk memikir; dan daya untuk mengenal.
Untuk dapat memikir dan mengenal, dalam diri manusia tersedia akal dan kehendak. Menurut Thomas, akal adalah daya tertinggi dan termulia dari manusia. Akal lebih penting daripada kehendak karena yang benar (kebenaran) itu lebih tinggi daripada yang baik (kebaikan). Oleh karena itu juga, mengenal adalah perbuatan yang lebih sempurna daripada menghendaki.
Pandangan Thomas mengenai pengenalan ini berhubungan erat sekali dengan pandangannya tentang pertautan antara jiwa dan tubuh. Pada dirinya sendiri jiwa bersifat pasif, baik dalam pengenalan iderawi maupun dalam pengenalan akali. Pelaku atau subjek dalam pengenalan adalah kesatuan jiwa dan tubuh yang berdiri sendiri. Proses pengetahuan berlangsung dalam tingkat sebagai berikut:
Yang pertama adalah pengetahuan pada tingkat inderawi. Pengetahuan pada tingkat ini bertitik pangkal pada pengalaman inderawi, lewat benda-benda yang ada di luar. Penginderaan dengan daya-daya indera ini akan menghasilkan gambaran-gambaran yang diberikan kepada akal.
Yang kedua adalah pengetahuan pada tingkat akali. Menurut Thomas, akal pada dirinya sendiri hanyalah seperti sehelai kertas yang belum ditulisi. Akal tidak mempunyai idea-idea sebagai bawaannya. Sasaran pengenalan akal diterima dari luar melalui gambaran-gambaran iderawi. Hakikat itu kemudian diubah menjadi suatu bentuk yang dapat dikenal. Pengetahuan terjadi jika akal berhasil memungut bentuk itu dan berhasil mengungkapkannya. Jadi, pengetahuan akali ini tergantung kepada benda-benda yang diamati oleh indera.

 

Ajaran mengenai Etika

Kita harus melakukan yang baik dan menghindari yang jahat. Namun, darimana kita mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat. Menurut Thomas, kita mengetahuinya dari Hukum Kodrat, yang dapat kita ketahui melalui akal budi kita. Dari Hukum Kodrat kita mengetahui perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk. Hukum Kodrat mengacu kepada kodrat. Kodrat adalah realitas, atau struktur realitas, kahikat realitas yang ada. Apa pun yang ada memiliki kodratnya; kodratnya itu memuat semua ciri yang khas bagi masing-masing pengada. Dalam bahasa kita, segenap makhluk ada struktur-strukturnyal kegiatan dan perkembangannya mengikuti struktur-struktur itu. Pengembangan kodrat merupakan tujuan masing-masing makhluk.
Hukum Kodrat sebenarnya dapat dipahami dengan mudah. Gagasan dasarnya berbunyi: Hiduplah sesuai dengan kodratmu! Nah, Hukum Kodrat itu muncul dalam dua bentuk. Yang pertama, hukum alam. Bagi semua makluk bukan manusia di dunia ini hujkum kodrat itu sama dengan hukum alam. Artinya, mereka itu lahir, tumbuh, berkembang, dan mati menurut hukum alam masing-masing. Hukum alam itu memuat hukum alam fisika dan kimia, hukum perkembangan organik dan vegetatif, serta struktur-struktur kesadaran seperti insting pada binatang. Pada manusia pun lapisan-lapisan fisiko-kimia, vegetatif, dan instingtual berkembang menurut hukum alam. Makhluk dengan sendirinya mengikuti hukum alam, dan ia tidak dapat menyeleweng darinya.
Namun, manusia adalah makhluk rohani dan karena itu ia bebas. Artinya, ia dapat menentukan sendiri apa yang dilakukan. Dalam bertindak manusia tidak ditentukan oleh Hukum Kodrat. Karena itu bagi manusia kodrat merupakan hukum dalam arti sesungguhnya, yaitu sebuah norma yang diharuskan yang dapat diketahui, dan di situ manusia harus menentukan sendiri apakah mau taat atau tidak padanya. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat menyeleweng dari kodratnya, yang dapat bertindak tidak sesuai dengan kodratnya, melawan kodratnya. Bagi manusia Hukum Kodrat sama dengan hukum moral. Hukum Kodrat adalah apa yang sekarang kita sebut sebagai prinsip-prinsip dan norma-norma moral. Jadi, bagi manusia Hukum Kodrat betul-betul berupa hukum dalam arti normatif.
Menurut Thomas, manusia hidup dengan baik apabila ia hidup sesuai dengan kodratnya, buruk apabila tidak sesuai. Mengapa demikian? Karena manusia hanya dapat mengembangkan diri, hanya dapat mencapai tujuannya apabila ia hidup seusai dengan kodratnya. Orang yang hidup berlawanan dengan kodratnya tidak akan mencapai tujuannya, tidak akan mengembangkan dan mengaktualisasikan seluruh potensinya. Karena itu, moralitas terdiri dalam tindakan yang mengembangkan dan menyempurnakan kodratnya.
Apa artinya hidup seusai dengan kodrat? Gagasan dasarnya, yang diambil dari Aristoteles, adalah bahwa manusia memiliki kecenderungan vegetatif, sesnsitif (perasaan, emosi, kesadaran, instingtual), dan rohani. Yang khas bagi manusia adalah kerohaniannya. Manusia bertindak sesuai dengan kodratnya, apabila ia menyempurnakan diri sesuai dengan kekhasannya, jadi dengan kerohaniannya. Ia harus mengembangkan diri sebagai makhluk rohani, sedangkan penyempurnaan kekuatan-kekuatan emosional dan vegetatif harus dijalankan sedemikian rupa sehingga menunjang penyempurnaannya sebagai makhluk rohani. Hierarki dalam hakikat manusia sendiri perlu dijaga.
Setiap tindakan manusia akan sesuai atau tidak sesuai dengan akal budi, maka secara moral mesti bersifat baik atau buruk, tidak ada yang netral. Moral diturunkan dari cara beradanya manusia diciptakan oleh Allah, yakni sebagai makhluk berakal budi yang bersifat sosial. Tujuan terakhir hidup manusia adalah memandang Allah, di mana Allah sebagai Hukum Abadi yang merupakan sumber Hukum Kodrat itu sendiri. Hukum Kodrat mencerminkan dan mengungkapkan Hukum Abadi yaitu kebijaksanaan Ilahi. Dengan menaati Hukum Kodrat, kita sekaligus menaati Hukum Abadi, jadi kita taat kepada kebijaksanaan Ilahi. Itulah sebabnya hidup sesuai dengan kodrat bukan sekadar perbuatan yang bijaksana, melainkan suatu keharusan. Oleh karena itu hidup perseorangan harus diarahkan ke situ. Harus, karena Allah menghendakinya. Seluruh masyarakat harus diatur sesuai dengan tuntutan tabiat manusia. Dengan itu masyarakat akan membantu orang perorangan untuk menaklukkan nafsu-nafsunya kepada akal dan kehendak. Menurut Thomas, nafsu pada dirinya sendiri baik. Tetapi nafsu menjadi jahat kalau melanggar kawasan masing-masing dan tidak mendukung akal dan kehendak (terkena distorsi). Cita-cita kesusilaan bukanlah untuk mematikan nafsu, melainkan untuk mengaturnya sedmikian rupa sehingga nafsu tersebut dapat membantu manusia dalam usahanya merealisasikan tugas terakhir hidupnya. Bagaimanapun juga kejahatan tidak berada sebagai kekuatan yang berdiri sendiri. Kejahatan tidak diciptakan oleh Allah. Kejahatan muncul dan ada di mana tiada kebaikan.
Dalam etikanya, Thomas melampaui metode filosofis murni dan berbicara sebagai orang beriman, sebagai orang Kristen. Dalam arti ini etika Thomas memiliki unsur teologis. Namun, tentu tidak dalam arti eksklusif. Karena unsur teologis itu tidak menghilangkan cirinya yang khas filosofis, bahwa etika itu memungkinkan orang menemukan garis hidup yang masuk akal, tanpa mengandaikan kepercayaan atau keyakinan agama tertentu.
Etika Thomas tidak sekadar merupakan etika peraturan, yang mendasarkan kewajiban moral manusia pada kehendak Tuhan yang mereduksikan sikap moral manusia pada pertanyaan: boleh atau tidak boleh? Pertanyaan itu tidak memberi ruang kepada salah satu paham moral yang paling penting dan paling dibutuhkan pada jaman pascatradisional, yaitu tanggung jawab. Thomas mengatasi kelemahan itu karena Hukum Abadi yang diperintahkan oleh Tuhan adalah pengembangan dan penyempurnaan manusia sendiri. Jadi, ada Rasionalitas Internal: hidup menurut Hukum Kodrat bukan hanya memenuhi perintah Tuhan, melainkan memang sesuai dengan dinamika internal manusia sendiri. Dengan demikian, manusia menemukan diri, menjadikan diri nyata. Ketakwaan dan kebijaksanaan menyatu: takwa karena taat kepada Tuhan (yang menjadikan manusia bahagia, karena ia menemukan kepenuhan dan kesempurnaannya), bijaksana karena memang demi keutuhan manusia sendiri (yang menjadikan manusia semakin pandai dalam cara mengurus hidupnya, sehingga maju, bermakna, terasa bermutu - berseni, bukan tenggelam dalam pola etika kewajiban semata seperti dicanangkan Kant).



DESCARTES


Renè Descartes (Latin: Renatus Cartesius) hidup di Perancis (1596-1650). Dia hidup sejaman dengan Raja Charles I dan Oliver Cromwell, dengan Kepler, Galileo dan Harvey. Descartes mendapat pendidikannya bukan di sebuah universitas tetapi di sebuah kolese Jesuit. Namun ini ternyata bukan kerugian, sebab dia menerima suatu dasar yang lebih baik dalam matematika daripada yang dapat diterimanya di kebanyakan universitas pada masa itu. Dalam usahanya mencari kehidupan yang menyenangkan, Descartes mulai merintis karier di bidang militer. Dia mencoba memasuki beberapa ketentaraan di Eropa, selalu berhati-hati pindah ke tempat manapun waktu peperangan berkobar. Dia pergi ke Swedia atas permintaan Ratu Christina yang, sebagaimana ditegur Bertrand Russel, berpikir bahwa, sebagai penguasa, ia berhak menghamburkan waktu orang-orang besar.
Nampaknya Descartes telah terus menerus berupaya untuk memelihara penampilannya sebagai seorang amatir yang sopan. Dia dikatakan telah bekerja secara singkat dan membaca sedikit. Dia mencoba tidak serius dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, termasuk ilmu kedokteran. Tetapi sumbangsihnya yang utama dilakukan dalam bidang ilmu ukur (geometri) dan filsafat. Dalam bidang geometri dia menemukan geometri koordinat. Dalam bidang filsafat dia merintis rasionalisme yang didahuluinya dengan kesangsian Cartesian. Dia digelari "Bapak filsafat modern". Dua karyanya yang utama dalam filsafat adalah "Discourse de la Methode" (Uraian tentang Metode, 1637) dan "Méditations" (1641).
Di dalam Discourse, Descartes melukiskan perkembangan intelektualnya. Dia teringat bagaimana dalam musim dingin 1619-1620 dia memasuki suatu "tungku perapian" (suatu ruangan yang dihangati oleh sebuah tungku atau perapian) dan melewatkan hari itu dengan bermeditasi. Pada waktu dia masuk, filsafatnya masih tergarap setengah. Waktu dia keluar kembali, filsafatnya yang paling esensial tergarap sepenuhnya. Di mana prinsip pertamanya memutuskan "tidak akan pernah mau menerima atau menganggap benar sesuatu yang saya tidak tahu dengan jelas itu memang benar demikian." Dalam bidang ilmiah tidak sesuatupun yang dianggapnya pasti; semuanya dapat dipersoalkan dan pada kenyataannya memang dipersoalkan juga kecuali ilmu pasti. Karena itu, cita-cita Descartes adalah memperbarui filsafat dan ilmu pengetahuan.

Epistemologi: Metode Kesangsian
Untuk dapat memberikan dasar kokoh-kuat pada filsafat dan ilmu pengetahuan yang ingin diperbaruinya itu, yang pertama-tama diperlukan adalah suatu metode yang baik. Cita-cita dan metodenya meniru matematika. "Rantai panjang", selanjutnya dia berkata, "dari pertimbangan yang sederhana dan mudah yang biasa dipakai oleh para ahli ilmu ukur untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan dari dari pemaparan-pemaparan mereka yang paling sulit, telah memimpin saya membayangkan bahwa segala sesuatu, sejauh pengetahuan manusia sanggup mencapainya, saling berhubungan dengan cara yang sama, dan bahwa tidak ada sesuatu pun yang terlalu terpencil dari kita sehingga berada di luar jangkauan kita, atau terlalu tersembunyi sehingga kita tidak dapat menemukannya, asal saja kita menghindarkan diri dari menerima hal yang salah sebagai benar, dan senantiasa melindungi dalam pikiran kita aturan yang perlu untuk pengambilan kesimpulan (deduksi) mengenai satu kebenaran dari yang lainnya." Descartes berpendapat bahwa ia telah menemukan metode yang dicarinya itu, yaitu dengan menyangsikan segala-galanya. Ia bermaksud menjalankan metode ini seradikal mungkin.
Descartes menganggap bahwa pengetahuan memang dihasilkan oleh indera, tetapi karena dia mengakui bahwa indera itu bisa menyesatkan (seperti dalam mimpi atau khayalan), maka dia terpaksa mengambil kesimpulan bahwa data keinderaan tidak dapat diandalkan. Dia kemudian menguji kepercayaannya kepada Tuhan Yang Mahakuasa, tetapi di sini pun dia menemukan, bahwa dia dapat membayangkan Tuhan yang mungkin bisa menipu manusia. 
Dalam kesungguhannya mencari dasar yang mempunyai kepastian mutlak ini, Descartes meragukan adanya surga dan dunia, pikiran dan badani. Satu-satunya hal yang tak dapat dia ragukan adalah eksistensi dirinya sendiri; dia tak meragukan lagi bahwa dia sedang ragu-ragu. Bahkan jika kemudian dia disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada, dia berdalih bahwa penyesatan itu pun merupakan bukti bahwa ada seseorang yang sedang disesatkan. Batu karang kepastian Descartes ini diekspresikan dalam bahasa Latin "Cogito ergo sum". Saya berpikir, karena itu saya ada.
Yang dimaksudkan Descartes dengan istilah "berpikir" adalah "menyadari". Pikiran memang merupakan salah satu bentuk kesadaran, dan dalam arti itu kesangsian metodis tadi disebutnya "saya berpikir", dan karena saya berpikir, jelaslah saya ada. Itulah kebenaran yang bagaimanapun tak dapat disangkal.
Mengapa kebenaran ini bersifat pasti sama sekali? Menurut Descartes, karena saya mengerti itu dengan jelas dan terpilah-pilah (Inggris: "celarly and distinctly"). Jadi hanya hal-hal yang saya mengerti dengan jelas dan terpilah-pilah itulah harus diterima sebagai benar. Dengan demikian Descartes berkeyakinan bahwa ia telah menemukan norma untuk menentukan kebenaran.

Idea-idea Bawaan
Menurut Descartes, apa yang jelas dan terpilah-pilah itu tak mungkin didapatkan dari apa yang berada di luar diri kita. Coba kita memperlihatkan lilin dan sarang madu. Dalam mengamati sebuah sarang madu ada beberapa hal masuk dalam indera kita, lidah kita merasakan madunya, hidung mencium baunya, mata melihat rupa dan warnanya, jari terasa keras dan dinginnya. Tetapi jika sarang madu itu kita masukkan ke dalam sebuah wadah dan kita panaskan di atas api, sifat-sifatnya berubah walaupun lilinnya tetap ada. Sifat-sifat itu sekarang cair, lunak, lemah, lentur, mudah dibentuk, dan sebagainya.
Jadi, demikianlah kesimpulan Descartes, yang tampak dan dapat kita amati bukanlah lilin itu sendiri. Adanya lilin kita ketahui dengan rasio atau akal kita. Benda yang disebut lilin itu pada dirinya tidak dapat diamati. Yang kita amati itu bukanlah benda (nomena) melainkan penampakannya (fenomena-nya) saja. Pengetahuan kita tentang benda itu sendiri (lilin) bukan karena wahyu, bukan karena pengamatan atau sentuhan atau khayalan, melainkan karena pemeriksaan oleh rasio. Apa yang kita duga kita lihat dengan mata itu hanya dapat kita ketahui dengan kuasa penilaian kita yang terdapat di dalam rasio dan dan akal. Pengetahuan melalui indera adalah kabur. Dalam hal ini kita sama dengan binatang.
Justru karena kesaksian apa pun dari luar tidak dapat dipercayai, menurut Descartes, seseorang mesti mencari kebenaran-kebenaran dalam dirinya, sambil menggunakan norma tersebut di atas ("jelas dan terpilah-pilah"). Descartes berpendapat bahwa di dalam diri kita terutama dapat ditemukan tiga idea bawaan, tiga idea yang sudah ada dalam diri saya sejak kita lahir, yakni:
1.       Idea Pemikiran. Justru karena saya mengerti diri saya sebagai makhluk yang berpikir, maka harus diterima bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
2.      Idea Allah sebagai "wujud yang seluruhnya sempurna". Saya mempunyai idea sempurna. Maka disimpulkan bahwa mesti ada suatu penyebab sempurna untuk idea itu, karena suatu akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak bisa lain daripada Allah. Karena Allah itu sempurna, Dia juga tidak akan terus-menerus memperdaya saya. Dengan demikian juga, objek-objek yang saya lihat selagi sadar pasti sungguh-sungguh ada.
3.      Idea Keluasan. Saya mengerti materi sebagai keluasan atau ekstensi, sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli ilmu ukur.

Ontologi: Substansi-Atribut-Modus
Yang disebut "substansi" yaitu apa yang berada sedemikian rupa sehingga tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk berada. Substansi yang dipikirkan seperti itu sebenarnya hanya ada satu saja, yaitu Allah. Segala sesuatu yang lain hanya dapat dipikirkan sebagai berada dengan pertolongan Allah. Jadi, sebutan substansi sebenarnya tidak dapat dengan cara yang sama diberikan kepada Allah dan kepada hal-hal lain.
Sambil menyadari perbedaan ini, hal-hal rohani dan bendawi yang diciptakan memang dapat juga dimasukkan dalam pengertian substansi itu. Dan memang Descartes menyimpulkan bahwa selain Allah masih ada dua substansi, yaitu jiwa dan materi.
Selain pengertian substansi, masih ada dua pengertian lain yang dipergunakan Descartes untuk menentukan hakikat segala sesuatu, yaitu pengertian "atribut" dan "modus".
Yang disebut atribut ialah sifat asasi. Tiap substansi memiliki sifat asasinya sendiri, yang menentukan hakikat substansi itu. Sifat asasi itu mutlak perlu dan tidak dapat ditiadakan. Adanya sifat asasi diandaikan oleh segala sifat yang lain. Segala substansi bendawi memiliki keluasan sebagai atribut atau sifat asasinya. Begitu pula jiwa atau roh mempunyai atributnya sendiri, yakni pemikiran.
Selain atribut, tiap-tiap substansi memupunyai juga modi (tunggal: modus), artinya sifat-sifat substansi yang tidak mutlak perlu dan yang dapat berubah-ubah. Jiwa memiliki sebagai modinya yaitu pikiran-pikiran individual, gagasan-gagasan dan gejala-gejala kesadaran yang lain. Substansi bendawi atau materi memiliki sebagai modinya yaitu bentuk dan besarnya yang lahiriah serta gerak dan perhentiannya. Dengan demikian segala benda tidak memiliki ketentuan yang kualitatif, yang menunjukkan kualitas atau mutunya. Seluruh realitas bendawi diisapkan ke dalam kuantitas atau bilangan. Oleh karena itu segala benda yang bersifat bendawi pada hakikatnya adalah sama. Perbedaan-perbedaan antar-benda bukan mewujudkan hal yang asasi, melainkan hanya tambahan saja.
Sebaliknya, yang berbeda secara asasi adalah roh (jiwa) dan benda (materi), sebab jiwa pada hakikatnya adalah pemikiran dan materi pada hakikatnya adalah keluasan. Roh dapat dipikirkan dengan jelas dan terpilah-pilah, tanpa memerlukan sifat asasi benda. Ini berarti bahwa, menurut Descartes, jiwa dan materi tidak hanya berbeda secara hakiki tetapi juga terpisah satu sama lain. Oleh karena itu secara a priori tidak ada kemungkinan bahwa yang satu mempengaruhi yang lain, sekalipun dalam praktik tampak ada pengaruhnya.
Jiwa telah memiliki sebagai bawaannya yakni pengertian-pengertian yang tunggal tentang substansi bendawi (seperti juga tentang substansi rohani dan substansi yang tiada batasnya, yaitu Allah). Tetapi karena Descartes telah menyangsikan dunia di luar diri saya, sekarang ia mengalami kesulitan untuk membuktikan bahwa idea materi itu juga ada. Artinya idea itu mempunyai eksistensi, tetapi "terwujud" dalam realitas ekstra-subjek. Bagi Descartes, satu-satunya jalan untuk menerima adanya dunia material adalah bahwa Allah akan menipu saya kalau sekiranya Ia memberi saya idea keluasan, sedangkan di luar diri saya tiada sesuatu pun yang sesuai dengannya. Nah, tidak mungkin bahwa Wujud yang sempurna menipu saya. Jadi, di luar saya sungguh-sungguh ada suatu dunia material.

Antropologi
Ajaran Descartes tentang manusia sesuai dengan pandangannya yang dualistis mengenai keterpisahan antara substani rohani dan substansi bendawi
Manusia terdiri dari kedua substansi ini. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keleluasaan. Sebenarnya tubuh tidak lain daripada suatu mesin yang dijalankan oleh jiwa.
Descartes, dengan memisahkan secara radikal jiwa dan tubuh, menganut dualisme tentang manusia. Ia mendapat banyak kesulitan ketika harus mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan sebaliknya pengaruh jiwa atas tubuh. Satu kali ia mengatakan bahwa kontak antara jiwa dan tubuh berlangsung dalam glandula pinealis (sebuah kelenjar kecil yang letaknya di bawah otak kecil). Tetapi akhirnya pemecahan ini tidak memadai bagi Descartes.
Akhirnya, arti Descartes terletak dalam kenyataan bahwa ia telah memberi arah yang pasti kepada pemikir modern. Kesangsian Cartesian mencakup mulai dari pertimbangan falsafi serius akan segala sesuatu tentang apa kesangsian boleh dimiliki. Rasionalisme memungkinkan para filsuf menggapai kunci yang tidak saja menjamin metode ilmiah modern, tetapi juga membuka kunci seluruh realitas. Sebab, ternyata, keyakinan atas penelitian dan pengalaman dapat memperdaya, namun argumentasi rasional tidak terguncangkan. Selanjutnya, ajarannya membuat orang dapat mengerti aliran-aliran filsafat yang timbul pada abad-abad sesudahnya, khususnya idealisme di satu pihak dan positivisme dan materialisme di lain pihak. Pertentangan antara kedua kutub filosofis abad ke-19 ini sudah didahului oleh pertentangan pada abatd ke-17 dan ke-18 antara rasionalisme dan empirisme, yang kemudian diusahakan sintesisnya oleh Immanuel Kant dalam "kritisisme"-nya.
Descartes juga telah mewariskan kepada pemikir-pemikir modern persoalan-persoalan yang harus dibawa sepanjang abad hingga kini. Sebagai orang yang baru membuka jalan dan yang mendapatkan pendidikannya dari Skolastik juga, sudah barang tentu ia tidak sepenuhnya bebas dari tradisi seperti yang ia duga. Cita-cita Descartes untuk mulai dari nol kiranya tak mungkin dilaksanakan oleh manusia yang pada hakikatnya merupakan makhluk menyejarah. Hal yang kemudian dikritik oleh orang-orang empirisis di Inggris. Jika Descartes benar-benar ingin mulai dengan kesangsian, dasar pikiran awalnya seharusnya "Ada keragu-raguan atau kesangsian". Dia tidak mungkin mengambil kesimpulan dari keberadaan diri pribadi ini, seorang "saya" dengan segala kualitas (sifat) yang kita abaikan dalam kehidupan sehari-hari. Dapat dipertanyakan juga apakah seorang yang sangat skeptis sekalipun dapat dengan jujur tidak mulai dengan apa-apa kecuali keragu-raguan ataupun kesangsian sebagai data utamanya. Bagaimanapun sulit merumuskannya, kita semua sangat menyadari bahwa kita tidak seorang diri dengan keragu-raguan kita. Kita hidup dalam suatu lingkungan sosial, dan lingkungan sosial itu terdiri dari orang-orang lain, hal-hal lain, dan Allah.
Aliran filsafat yang langsung berasal dari Descartes ialah rasionalime yang mementingkan akal. Dalam akal terdapat idea-idea dan dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas di luar rasio. Dalam aliran ini terutama ada dua masalah yang diwariskan oleh Descartes: pertama masalah substansi, dan kedua, masalah hubungan antara jiwa dan tubuh. Adapun beberapa tokoh rasionalisme adalah Nicolas Malebranche (1638-1715), Barukh de Spinoza (1632-1670), Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) dan Christian Wolf (1679-1754).

Pemikiran Jean-Paul Sartre dalam

“Existentialism and Humanism 1


Filsuf eksistensialis Jean Paul Sartre lahir di Paris tanggal 21 Juni 1905. Karir filsafatnya baru mendapatkan perhatian yang besar dari publik intelektual setelah ia menulis dan menerbitkan L’être et le néant. Essai d’ontologie phénomenologique (1943). Dengan buku ini segera Sartre menjadi filsuf ternama dan diidolakan sebagai salah seorang pemimpin gerakan filosofis yang disebut eksistensialisme. Meskipun buku ini mengorbitkan nama Sartre namun toh harus diakui bahwa tidak begitu banyak orang yang memahami pemikirannya yang memang rumit, khususnya yang berbicara tentang kesadaran. Untuk mempopulerkan idenya itu, maka tiga tahun kemudian Sartre mengeluarkan buku kecil berjudul L’existentialisme est un humanisme (1946). Lewat buku ini Sartre menyingkatkan pemikirannya sekaligus berupaya menanggapi sejumlah kritik yang dialamatkan kepadanya[3], khususnya dari kaum komunis dan pihak Kristen.
Buku itulah yang kini ingin kami eksplorasi dalam tulisan singkat ini. Adapun tujuan dekat dari penulisan ini adalah untuk memberikan sekelumit gambaran yang lebih terang mengenai eksistensialisme sebagaimana dimaksud Sartre dan dari situ kita bisa belajar sejumlah tema umum eksistensialisme seperti liberté (kebebasan), engagement (komitmen), angoisse (kecemasan), responsibilité (tanggungjawab), subjectivité (subjektivitas) dan bahwa ‘eksistensi mendahului esensi.’ Tujuan jauh dari tulisan ini adalah agar pembaca tergerak untuk langsung membaca dari sumber-sumber pertama dan bukan melulu tergantung dari keterangan yang diberikan dalam buku Sejarah Filsafat atau kritik atasnya. Selanjutnya diharapkan agar kita dapat menjadi kritis terhadap situasi dunia di sekeliling kita, kritis terhadap ideologi-ideologi yang bertebaran di sana-sini dan tidak lupa untuk menjadi kritis terhadap pemikiran Sartre dan terhadap diri sendiri. Tulisan akan dibagi menjadi 3 bagian pokok yang satu dengan lainnya saling berkaitan, walaupun mungkin secara longgar. Bagian pertama akan berbicara tentang eksistensialisme itu sendiri dengan keberagaman nuansanya. Dalam bagian kedua, penulis akan melihat apa yang dimaksud Sartre dengan humanisme. Pada bagian ketiga akan disampaikan sejumlah kritik atas pandangan Sartre. Mengingat keterbatasan ruang pengungkapan, tidak semua tema menarik yang dihantar oleh Sartre dalam bukunya tersebut akan penulis uraikan di sini.

 

Penjernihan istilah Eksistensialisme oleh Sartre

Atas sekian banyak tuduhan yang dialamatkan kepadanya, atau kepada aliran pemikiran yang ia geluti, yaitu Eksistensialisme, Sartre menanggapinya dengan menggunakan cara menidak, “Eksistensialisme itu tidak seperti ini dan tidak seperti itu.” Eksistensialisme, misalnya dituduh sebagai nama lain dari pesimisme, quietisme[4], bahkan filsafat keputus-asaan yang sama sekali tidak memberikan gambaran yang positif tentang hidup manusia melainkan sisi gelap dan jahat darinya[5]. Dengan agak berlebihan bahkan Sartre mengatakan bahwa kejelekan atau keburukan itu diidentikkan dengan eksistentialisme[6]. Dari pihak Komunis, Eksistensialisme juga dituduh sebagai sebuah filsafat kontemplatif yang berarti suatu kemewahan dan itu identik dengan filsafat kaum bourgeois
Dari pihak Katolik, seperti Mlle. Mercier, dilancarkan tuduhan bahwa eksistensialisme itu hanya menggarisbawahi hal-ihwal yang memalukan, yang rendah, yang patut dicela, yang menjijikkan dalam situasi konkret manusia dan Sartre cenderung mengabaikan pesona, keindahan dan hal-hal yang baik dari kodrat manusia. Lebih jauh lagi, eksistensialisme dianggap menyangkal realitas dan kesungguhan perikehidupan antar manusia karena ia mengabaikan Perintah Tuhan dan nilai-nilai yang dalam pandangan Kristen disakralkan dan dipercaya sebagai abadi. Singkatnya, eksistensialisme itu melulu voluntary. Artinya, bahwa tiap orang dapat berbuat semaunya seturut apa yang ia sukai.
Ada lagi yang berkomentar bahwa eksistensialisme itu sama sekali tidak menyinggung soal solidaritas umat manusia dan menelaah manusia dalam ke-terisolir-annya. Dan ini, dalam pandangan kaum komunis, dikarenakan eksistensialisme mendasarkan ajarannya pada subjektivitas murni---seperti yang diajarkan oleh Descartes dengan cogito-nya---karenanya, eksistensialisme dengan ego-nya, tidak akan sanggup menjangkau sesamanya, apalagi berpikir tentang tentang solidaritas.
Namun, apakah memang tepat tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada Sartre dan eksistensialisme ini? Bagaimana Sartre membela dirinya dan membela paham yang ia anut? Pertama, ia sendiri juga menyayangkan bahwa istilah “eksistensialisme” dipakai secara teramat longgar untuk menamai apa-apa saja yang tampil sedikit berbeda, dan radikal sehingga istilah “eksistensialisme” nyaris tidak punya arti apa-apa lagi[7]. Kedua, guna meluruskan salah-kaprah seputar peristilahan dan aplikasinya, pertama-tama Sartre mulai mendefinisikan eksistensialisme sebagai suatu ajaran yang menyebabkan hidup manusia itu menjadi mungkin. Selain itu, eksistensialisme juga merupakan suatu ajaran yang mengafirmasi bahwa setiap kebenaran dan setiap tindakan itu mengandung di dalamnya sebuah lingkungan dan suatu subjektivitas manusia. Definisi yang terakhir ini kelak akan ia elaborasi dengan peristilahan a human universality of condition[8]. Dua definisi yang baru saja disebut di sini hanyalah awalan saja. Ketiga, definisi Sartre yang paling terkenal tentang eksistensialisme dirumuskannya sebagai berikut: Bahwa eksistensi itu (hadir) mendahului esensi[9] dan karenanya kita harus mulai dari yang subjektif. Apa maksud Sartre dengan proposisi ini?
Secara sederhana, Sartre mengambil contoh dari kehidupan sehari-hari untuk menerangkan maksud dari “bahwa eksistensi itu hadir mendahului esensi.” Ia mengajak pembaca untuk membayangkan sebuah buku atau pisau kertas (paper knife).[10] Seorang pembuat pisau kertas, disebut artisan, tentu mempunyai konsepsi terlebih dahulu di benaknya apa yang mau ia buat, kegunaannya dan bagaimana prosedur pembuatannya. Esensi dari pisau kertas itu, yaitu keseluruhan dari rumusan pembuatan (formulae) serta kualitas-kualitas tertentu yang membuat terproduksinya dan definisinya menjadi mungkin, mendahului eksistensinya. Dengan kata lain, produksinya mendahului eksistensinya. Di sini, kita memandang dunia dari sudut pandang teknis. Namun, hal itu berbeda tatkala kita membayangkan Allah sebagai Sang Pencipta yang berarti mengatribusikan padaNya kualitas “seorang” supernatural artisan. Apapun doktrin yang kita anut mengenai penciptaan ini, kita selalu mengandaikan bahwa tatkala Allah menciptakan, Ia tahu persis apa yang sedang Ia ciptakan. Dengan begitu,  tiap individu manusia adalah realisasi dari konsepsi tertentu yang berada dalam pengertian ilahi. Dengan begitu, manusia memiliki kodrat tertentu (human nature). Artinya konsepsi tentang esensi dirinya, di mana masing-masing manusia adalah sebuah contoh khusus dari suatu konsepsi universal: konsepsi tentang Manusia, entah itu animal rationale (Aristoteles), atau wild man of the woods (Rousseau), man in the state of nature (Thomas Hobbes), dan the bourgeois (Karl Marx).
Justru pandangan di mana “esensi manusia mendahului eksistensinya” seperti ini yang keliru dan dikritik tajam oleh Sartre. Bagi Sartre, jika Allah tidak eksis, setidaknya ada satu makhluk yang eksistensinya ada sebelum esensinya, sebuah makhluk yang eksis sebelum ia dibatasi oleh macam-macam konsepsi tentang eksistensinya itu. Makhluk itu adalah manusia
Sekali lagi ditegaskan Sartre bahwa yang dimaksud dengan “eksistensi mendahului esensi” adalah bahwa pertama-tama manusia itu eksis (ada, hadir), menjumpai dirinya, muncul (Inggris: surges up; Jawa: mentas) di dunia dan baru setelah itu mendefinisikan dirinya itu siapa. Jika manusia sebagai eksistensialis melihat bahwa dirinya itu belum ditentukan, hal itu adalah karena pada permulaannya dia itu memang bukan apa-apa (nothing). Dia tidak akan menjadi apa-apa sampai tiba saatnya ketika ia menjadi apa yang ia tentukan sendiri. Oleh karenanya, tidak ada itu yang dinamakan kodrat manusia, sebab tidak ada Allah yang mempunyai konsepsi tentang dia (manusia). Singkatnya, Manusia adalah[11].
Pandangan ini mencengangkan, namun inilah prinsip pertama dari eksistensialisme: Manusia tak lain tak bukan adalah dia yang menentukan dirinya sendiri mau menjadi apa. Apakah pandangan ini tidak terlalu subyektif? Lalu, di mana tempat orang lain dalam eksistensi si individu itu? Bagaimana dengan hal-hal tertentu yang tidak bisa kita tentukan sendiri misalnya: kita lahir di mana, dalam keluarga apa, dibesarkan dalam lingkungan berbahasa apa, dan macam-macam hal lainnya?
Mengenai subjektivitas ini, Sartre mengakuinya. Namun bukan subjektivitas sebagaimana dimaksud oleh para pengkritiknya. Subjektivitas yang dimaksud Sartre dalam pengertiannya tentang eksistensi adalah bahwa manusia itu mempunyai martabat yang lebih luhur daripada, katakanlah, batu atau meja. Subjektivitas yang dimaksud Sartre adalah bahwa manusia pertama-tama eksis----bahwa manusia adalah manusia (man is), sesuatu yang mendesak, bergerak maju menuju masa depan dan bahwa ia menyadari apa yang ia lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi itu mendahului esensi, maka manusia itu bertanggungjawab atas mau menjadi apa dia (what he is). Inilah dampak paling pertama dari eksistensialisme yaitu bahwa manusia dengan menyadari bahwa kontrol berada penuh di tangannya, ia memikul beban eksistensinya itu, yaitu tanggungjawab, di pundaknya. Namun hal ini tidak lantas berarti bahwa ia bertanggungjawab hanya atas individualitasnya sendiri. Melainkan bahwa ia bertanggungjawab atas semua umat manusia. Kita tentu bertanya, bagaimana bisa demikian?
Untuk menjawab ini, Sartre mengadakan dua distingsi atas subyektivisme. Pengertian yang pertama adalah kebebasan subjek individu. Pengertian kedua adalah bahwa manusia tidak bisa melampaui subjektivitas kemanusiaannya (human subjectivity). Pengertian kedua inilah yang pengertian yang lebih mendalam dari eksistensialisme. Pengertian yang kedua inilah yang memberikan gambaran kepada kita mengenai sifat dasar manusia yang kreatif, yang terus menerus mencipta dan menjadi apa yang dia inginkan. Mencipta ini berarti juga memilih dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan yang terbentang luas di hadapannya. Memilih antara ini atau itu pada saat yang bersamaan juga berarti mengafirmasi nilai dari apa yang dipilih. Dan yang kita pilih itu tentu apa yang kita anggap lebih baik, dan yang lebih baik bagi kita tentu juga kita anggap baik untuk semua. Tanggungjawab kita lantas terletak pada kualitas pilihan kita ini. Pilihan-pilihan yang kita buat itu menyangkut kemanusiaan sebagai suatu keseluruhan. Berangkat dari pengertian ini, kita siap memasuki dimensi kedua dari eksistensialisme yang mau dibuktikan Sartre dalam tulisannya ini yaitu tentang humanisme.

 

Humanisme dalam pandangan Sartre

Di atas sudah kita singgung secara sepintas bahwa Sartre menempatkan martabat manusia lebih luhur daripada benda-benda. Dengan ini saja kita bisa beranggapan bahwa yang menjadi pusat perhatian Sartre adalah manusia dengan segala kompleksitas eksistensinya. Pandangan Humanisme yang kalau kita lacak dalam sejarah pemikiran Barat sebenarnya bertolak dari gerakan Humanisme di Eropa pada abad ke-15 dengan tokohnya yaitu Erasmus Huis. Gerakan Humanisme ini mencapai puncaknya pada saat Revolusi perancis (k.l. 1789-1799) di mana kebebasan (liberté), kesetaraan (egalité) dan persaudaraan (fraternité) menjadi tiga pilar pokok yang mendasari kesadaran tidak hanya manusia sebagai individu yang bebas dan otonom (dalam artian menentukan dirinya sendiri), namun juga kesadaran akan nilai intrinsik dari manusia itu sendiri dan tempatnya sebagai pusat dari realitas. Lalu, apakah Sartre sebenarnya hanya mengulangi apa yang sudah didengung-dengungkan beberapa ratus tahun sebelumnya dengan mengatakan humanisme? Apa yang baru dalam konsepsi Sartre tentang humanisme? Apa hubungannya eksistensialisme dengan humanisme?
Dalam pandangan Sartre, yang membedakan humanisme-nya dengan humanisme yang sudah digagas oleh banyak filsuf yang mendahuluinya terletak pada radikalitasnya[12].  Nilai humanisme pada era sebelumnya oleh Sartre dianggap belum radikal karena masih mengandaikan adanya nilai-nilai yang ditentukan dari luar diri manusia itu sendiri, entah itu Tuhan, Realitas Tertinggi, ataupun norma-norma buatan manusia yang dilanggengkan. Individu tidak mendapatkan tempat untuk menciptakan sendiri nilai-nilai yang ia percayai dan yang ia libati (engagement). Baginya, tidak akan ada satu perubahan apapun jika kita masih menganggap bahwa Tuhan itu ada. Kita seharusnya menemukan kembali norma-norma seperti kejujuran, kemajuan dan kemanusiaan, dan untuk itu Allah harus dibuang jauh-jauh sebagai sebuah hipotesis yang sudah usang dan yang akan mati dengan sendirinya. Bagi Sartre, mengutip Dostoevsky[13], “Jika Allah tidak eksis, maka segala sesuatu akan diizinkan.” Inilah titik berangkat dari eksistensialisme yang diacu Sartre. Manusia lantas tidak bisa lagi menggantungkan dirinya erat-erat pada kodrat manusia yang spesifik dan tertentu. Tidak ada determinisme. Manusia itu bebas, manusia adalah bebas. Tidak ada lagi excuse, manusia ditinggalkan sendirian. Manusia dikutuk, terhukum untuk menjadi bebas. Terkutuk sebab ia tidak menciptakan dirinya sendiri namun sungguh-sungguh bebas. Dan terhitung sejak ia terlempar ke dunia ini ia bertanggungjawab atas segala sesuatu yang ia lakukan. Action (tindakan), itulah kata kunci yang mau ditunjukkan Sartre kepada kita guna memberi makna pada kemanusiaan. Action dan bukan quietism. Dengan kata lain, “Man is nothing else but what he purposes, he exists only in so far as he realises himself. He is therefore nothing else but the sum of his actions, nothing else but what his life is.”[14] Jadi, jelas di sini bahwa realisasi diri manusia lewat tindakan adalah yang sesungguhnya membuat dirinya menjadi manusia. Namun tindakan ini jangan dimengerti sebagai tindakan tunggal pada saat tertentu saja. Tindakan di sini dimengerti sebagai totalitas dari rangkaian tindakan-tindakan yang sudah, sedang dan akan dilakukannya sepanjang hidupnya. A man is no other than a series of undertakings that he is the sum, the organisation, the set of relations that constitute these undertakings. Lewat itulah muncul apa yang kita sebut komitmen. I ought to commit myself and then act my commitment. Dan komitmen itupun perlu dipahami sebagai komitmen total dan bukan komitmen kasus-per-kasus atau tindakan tertentu. Inilah yang membedakan Humanisme Sartre dengan humanisme sebelumnya. Konsepsi humanisme Sartre tidak hanya bermain di level abstrak-spekulatif, namun lebih pada etika tindakan dan self-commitment.
Konsepsi humanisme Sartre yang kedua menyangkut martabat manusia itu sendiri, satu-satunya hal yang tidak membuat manusia menjadi sebuah objek. Dengan mengkritik materialisme yang  mendasarkan segala realitas (termasuk manusia di dalamnya) pada materi[15], Sartre mau membangun kerajaan manusia (bukan Kerajaan Allah!) sebagai sebuah pola dari nilai-nilai yang berbeda dari dunia materi. Subyektivitas sebagaimana sudah disinggung pada bagian satu di atas tidak bisa dipersempit artinya menjadi individual subjectivism. Sebabnya apa? Meminjam istilah yang digunakan Descartes, namun sekaligus mengoreksinya, dalam kesadaran cogito, aku berpikir, tidak hanya diri sendiri yang ditemukan namun juga orang lain. Manusia tidak bisa menjadi apapun kecuali kalau orang lain mengakui (bukan menentukan) dirinya secara demikian. Penyingkapan jati diriku pada saat yang bersamaan berarti penyingkapan diri orang lain sebagai sebuah kebebasan yang berhadapan dengan kebebasanku. Berhadapan baik dalam artian “bagi” atau “melawan.” Dengan begitu, kesadaran akan diriku dalam dunia ini sifatnya adalah inter-subjectivity. Berkenaan dengan itu, meskipun menyangkal adanya kodrat manusia, Sartre mengakui adanya a human universality of condition. Tanpa bermaksud masuk ke dalam detil dari uraian ini, cukuplah dikatakan di sini bahwa human universality ini bukan sesuatu yang sudah jadi (given), namun yang harus senantiasa dibuat oleh manusia yang melakukan tindakan pemilihan lagi dan lagi selama hidupnya.
Sebagai penutup dari bagian ini, kiranya pantas diajukan argumen ketiga yang memberikan ciri pada humanisme Sartre. Berangkat dari keberatan yang diajukan pada Sartre, “nilai-nilaimu itu tidaklah serius sebab bukankah kamu sendiri yang memilih mereka,”[16] Sartre menyanggahnya demikian. Pertama, Sartre sudah menekankan bahwa tidak ada Tuhan yang menciptakan nilai-nilai bagi manusia. Manusia sendirilah yang harus menemukan (invent dan bukan create) nilai-nilai bagi dirinya sendiri. Dan penemuan nilai-nilai ini berarti bahwa tidak ada yang à priori dalam hidup. Hidup belumlah apa-apa jika belum dihayati. Dan penghayatan ini, engkau sendirilah yang menetukannya. Dan nilai atau makna atas kehidupan ini tak lain tak bukan adalah sesuatu yang engkau pilih. Karenanya menjadi jelas bahwa selalu ada kemungkinan untuk menciptakan sebuah komunitas manusia. Dengan itu, Sartre mau menegaskan bahwa yang ia maksud dengan humanisme di sini bukanlah humanisme dalam kerangka teori yang meninggikan manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan sebagai nilai tertinggi (supreme value).[17] Bagi Sartre ini humanisme yang absurd sebab hanya anjing atau kuda yang paling mungkin berada dalam posisi untuk melontarkan penilaian umum atas apa manusia itu. Seorang eksistensialis tidak pernah menganggap manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri sebab manusia masih harus ditentukan[18]. Humanity yang absurd semacam ini akan menggiring manusia pada pengkultusan, suatu sikap tertutup-pada-dirinya-sendiri sebagaimana sudah dirintis oleh Auguste Comte (Comtian humanism), dan berpuncak pada Fascisme.
Pengertian humanisme yang diikuti Sartre adalah pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang mampu mengejar tujuan-tujuan transenden. Karena manusia adalah makhluk yang mampu melampaui dirinya sendiri, self-surpassing, dan mampu meraih obyek-obyek hanya dalam hubungannya dengan ke-self-surpassing-annya, maka ialah yang menjadi jantung dan pusat dari transendensinya (bukan dalam pengertian bahwa Tuhan adalah Yang Transenden, namun dalam pengertian self-surpassing). Dan relasi antara transendensi manusia dengan subjectivitas (dalam pengertian bahwa manusia tidak tertutup dalam dirinya sendiri melainkan selalu hadir dalam semesta manusia) itulah yang disebut Sartre dengan existential humanism. Ini disebut humanisme karena mengignatkan kita bahwa manusia adalah legislator bagi dirinya sendiri; betapapun ditinggalkan (abandoned) ia harus memutuskan bagi dirinya sendiri. Bukan dengan berbalik pada dirinya sendiri, namun dengan mencari, sembari melampaui dirinya, tujuan yang berupa kemerdekaan atau sejumlah realisasi tertentu, manusia bisa sampai pada kesadaran bahwa dirinya adalah sungguh-sungguh manusia. Yang manusia butuhkan bukanlah bukti dari eksistensi Tuhan, namun penemuan dirinya kembali dan untuk memahami bahwa tidak ada satupun yang dapat menyelamatkan dirinya kecuali dirinya sendiri. Dalam terang pengertian inilah Sartre berani mengatakan bahwa eksistensialisme itu optimistis, bukan sebuah ajaran untuk menarik diri dari dunia ramai dan masuk ke pertapaan guna menemukan kedamaian jiwa, melainkan sebuah ajaran untuk bertindak[19] secara konkret dalam dunia nyata, dunia sehari-hari, dunia umat manusia.

 

Kritik dan tanggapan atas pandangan Sartre

Jeff Mason dalam tulisannya di philosophers.net[20] pernah mengatakan bahwa lebih indah dan lebih aman bagi manusia jika ia memiliki esensi lebih dulu daripada eksistensi. Ia dapat beristirahat dengan damai dalam relung nasib dan tidak perlu berjuang dengan susah-payah untuk mendefinisikan diri. Kalau itu yang terjadi, tidak perlu ada pilihan-pilihan eksistensialis, tidak akan ada tanggungjawab yang tak terpikul, tidak akan ada kecemasan yang mengalir. Kiat tinggal berharap akan imortalitas dan dunia “di sana.” Namun justru di sinilah kritik Sartre masuk dan mengena. Kita tidak bisa menipu diri sendiri (self-deception atau istilah Sartre mauvaise foi) dengan menghindar dari tanggungjawab pelibatan (engagement), lebih-lebih dalam artian sosial-politis. Walter Kaufmann bagaimanapun juga menafsirkan situasi manusia yang Sartre bangun dengan filsafatnya sebagai situasi yang absurd dan tragis. Dunia Sartre lebih dekat dengan dunia Shakespeare yang tragis-melankolis daripada dunia dalam pandangan Buddhist di mana life follows on life and salvation remains always possible[21].
Ada situasi-situasi tertentu di mana apapun keputusan dan pilihan yang kita buat, kita tidak bisa lari dari rasa bersalah. Walau demikian, dalam rasa bersalah dan kegagalan itu manusia tetap dapat mempertahankan integritasnya dan memberontak terhadap kungkungan-kungkungan maupun ancaman-ancaman yang datang dari dunia.[22]
Mengenai kebebasan sebagaimana didewakan Sartre dalam mengartikan eksistensi eksistensi=kebebasan), kita mungkin bisa meratap bersama John Macquarrie yang mengatakan bahwa semakin kita berbicara tentang kebebasan, semakin kebebasan itu tidak menjadi jelas artinya karena sifatnya yang elusif[23]. Sudah barang tentu, Sartre agak naïve saat mengatakan bahwa manusia itu bebas secara total dan sepenuhnya menentukan dirinya sendiri. Frederick Copleston lebih realistis tatkala berkomentar bahwa kebebasan kita itu sudah barang tentu dibatasi oleh segala macam faktor-faktor baik internal maupun eksternal. Apa saja misalnya? Faktor-faktor fisik dan psikis, lingkungan, pemeliharaan, pendidikan, tekanan sosial yang dihimpitkan pada kita secara terus menerus tanpa kita sadari[24] (atau bagi saya, lebih tepatnya, tatkala kita masih belum sampai pada tahap kesadaran untuk menyadari sesuatu yang membentuk diri kita). Mungkin yang baik saya anjurkan di sini, belajar dari Sartre, adalah  bahwa manusia itu dalam menentukan dirinya, ia terbuka terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan (opennes to possibilities). Dalam ruang kemungkinan-kemungkinan yang tanpa batas itulah manusia eksis, bertindak, mewujudkan dirinya dan setia terhadap janjinya (komitmen) dalam mewujudkan suatu tatanan kehidupan yang lebih baik dan manusiawi. Dalam konteks sejarah di mana Sartre hidup (dunia yang dicabik-cabik oleh dua perang dunia, invasi tentara Jerman ke kota Paris pada tahun 1940, kekejaman NAZI atas nama ‘kemanusiaan’ demi pemurnian ras yang berujung pada puncak tragedi kemanusiaan selama abad ke-20 yaitu peristiwa Holocaust.) kritik dan filsafat Sartre ini memang kuat bersuara dan dengan lantang mengkritik orang-orang yang menipu dirinya sendiri, khususnya para penguasa/régime yang menyalahgunakan kekuasaannya dan melecehkan harkat kemanusiaan, entah dengan excuse ilmiah dan demi kemajuan (lalu bertindak kejam dan absurd) maupun dengan menghindar dari tanggungjawab sosial sembari berkata “kami tidak bisa berbuat apa-apa. Itu di luar kuasa kami. Itu sudah merupakan keniscayaan sejarah.”
Kini, puluhan tahun sesudah Sartre menerbitkan bukunya Existentialism and Humanism, kita dipanggil untuk menemukan otentisitas (authenticité) diri kita sebagai individu di tengah kepungan fenomena massa yang tanpa identitas dan juga dalam arus kemajuan teknologi-informasi yang semakin cepat berkembang di satu sisi namun juga semakin cepat mendevaluasi martabat manusia di sisi lain; dalam budaya pop yang menyetir keinginan-keinginan manusia dan pada gilirannya menentukan diri manusia (dan berarti merampas hak manusia untuk menentukan dirinya sendiri: self-determination). Bagaiamanapun, pesan filosofis dan analisis Sartre atas situasi manusia pada zamannya masih tetap relevan hingga kini.

Hendar Putranto

(Mahasiswa STF Driyarkara Jakarta)


Daftar Pustaka:

Acuan Utama:
Sartre, Jean-Paul. Existentialism and Humanism. (Translated from ‘L’Existentialisme est un humanisme’, Paris: Les Editions Nagel (1946), Introduction by Philip Mairet). London: Eyre Methuen Ltd (1948).
Acuan Sekunder:
Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX Jilid II: Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama (1996), hlm. 81-120.
Copleston, Frederick. A History of Philosophy: From Bergson to Sartre; Chapter XVI ∓mp; XVII: The Existentialism of Sartre. Garden City, Doubleday Co.: Image Books. 1962. Hlm. 340-389.
Kaufmann, Walter. Existentialism from Dostoevsky to Sartre. Cleveland: The World Publishing Company. 1956.
Macquarrie, John. Existentialism. Middlesex-England: Penguin Books. 1972.
Mason, Jeff. Sartre"s Existential Humanism Part 1 taken from http://www.philosophersnet.com/article.php?id=172

Catatan Kaki

1. Jean-Paul Sartre, Existentialism and Humanism. Translated from ‘L’Existentialisme est un humanisme’, Paris: Les Editions Nagel (1946), Translation and Introduction by Philip Mairet, London: Eyre Methuen Ltd, 1948.
3. Keyakinan ini sudah dikatakan oleh Sartre di bagian paling awal dari bukunya tersebut, “Tujuan saya menulis buku ini adalah untuk membela eksistensialisme dari sejumlah kritik yang ditujukan padanya.” (ibid. hlm. 23)
4 Pengertian Quietisme di sini, sebagaimana disebutkan Sartre sendiri, adalah sikap orang yang berkata “biarkan orang lain mengerjakan apa yang tidak bisa kukerjakan.” (ibid. hlm. 41) Quietisme di sini dekat dengan pengertian non-doing, atau bahkan, seperti yang sering dikritik Sartre, cara hidup abad pertengahan: via contemplativa. Dan bukan via activa, hidup yang melibatkan diri dengan persoalan real yang dihadapi masyarakat, termasuk menceburkan diri ke dalam alam politik. Untuk pembedaan yang lebih terelaborasi mengenai tema ini (via activa vs. via contemplativa), lihat karya Hannah Arendt, The Human Condition, New York: Double Day Press, 1957.
5 Ibid., hlm. 24, “The essential charge laid against us is that of over-emphasis upon the evil side of human life.” Di tempat lain ia mengatakan bahwa ada sejumlah orang yang mengeluh, “that existentialism is too gloomy a view of things.” (ibid., hlm. 25)
6 Ibid. Di sini Sartre agak humoris dengan mengambil contoh dari seorang wanita yang saat terkaget atau sedang stress lalu mengumpat dengan kata-kata vulgar,  dan setelahnya memaafkan dirinya dengan berkata “I believe I am becoming an existentialist.”
7 Ibid.,  hlm. 25-26.  
8 Ibid.,  hlm. 46.   
9 Ibid., hlm. 26.
10 Yang dimaksud dengan paper knife ini bisa jadi berupa cutter (pemotong kertas) atau pembuka surat yang bentuknya memang seperti pisau tetapi ujungnya majal. Namun yang penting di sini bukan contoh benda konkretnya melainkan bagaimana Sartre menjelaskan analogi eksistensi dan esensi dengan menggunakan contoh benda-benda konkret.
11 Ibid., hlm. 28. pantas dikutip secara panjang lebar di sini apa yang dikatakan Sartre, yang menurut hemat saya, menjadi  pemikiran sentral Sartre atas siapakah manusia itu. Dikatakan, “What do we mean by saying that existence precedes essence? We mean that man first of all exists, encounters himself, surges up in the world---and then defines himself afterwards. If man as the existentialist sees him is not defineable, it is because to begin with he is nothing. He will not be anything until later, and then he will be what he makes of himself. Thus, there is no human nature, because there is no God to have a conception of it. Man simply is.”
12 Ibid., hlm. 33
13 Dostoevsky dalam The Brothers Karamazov sebagaimana diucapkan oleh tokoh utama dalam cerita itu, Ivan.   
14 Ibid., hlm. 41.
15 Ibid., hlm. 45. Dikatakan di situ, “All kinds of materialism lead one to treat everyman including oneself as an object---that is a set of pre-determined reactions, in no way different from the patterns of qualities and phenomena which constitute a table, or a chair or a stone.”   
16 Ibid., hlm. 54.
17 Ini kritik Sartre atas humanisme à la Era Pencerahan (Aufklنrung) yang terutama berpuncak pada imperatif kategoris Kant yang kedua yang kira-kira berbunyi demikian, “Perlakukanlah manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan bukan sebagai sarana atau alat untuk mencapai sesuatu”
18 oleh dirinya sendiri dan bukan oleh kategori-kategori yang dipaksakan dari luar dirinya seperti dari tradisi atau pepatah bijak masa lalu.   
19 Sartre, op. cit., hlm. 56.
20 Jeff Mason, Sartre"s Existential Humanism Part 1 taken from http://www.philosophersnet.com/article.php?id=172
21 Walter Kaufmann, Existentialism from Dostoevsky to Sartre, Cleveland: The World Publishing Company, 1956, hlm. 47
22 Bisa dibandingkan dengan integritas tokoh Ibbieta yang teruji di hadapan maut (regu tembak) dalam Novel “Dinding” (Le Mur, Editions Gallimard, 1939, hlm. 9-35) karya Sartre
23 John Macquarrie, Existentialism , Middlesex-England: Penguin Books, 1972, hlm. 138. Dikatakan di situ, “But how can we talk at all of freedom or try to conceptualize it? However we try to grasp it, it seems to elude us. However precious we may esteem it, by its very nature it is insubstantial and fleeting.”
24 Frederick Copleston, A History of Philosophy: From Bergson to Sartre; Chapter XVI ∓mp; XVII: The Existentialism of Sartre, Garden City, Doubleday Co.: Image Books, 1962, hlm. 355.