Sunday, October 17, 2010

PENDIDIKAN SUFISTIK (Telaah Pemikiran Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, SU)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Salah satu dari hasi penelitian Mc Geoch diperoleh kesimpulan bahwa prestasi belajar pada orang dewasa naik lebih cepat untuk hal-hal yang lebih abstrak, dan naik lambat untuk hal-hal yang bersifat konkrit.[1] Ia juga menyimpulkan bahwa semakin bertambah usia orang dewasa semakin luas, beragam, dan tinggi kualitas prestasinya. Miles menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa latihan dan praktek dapat mempertahankan status mental seseorang.
Hasil penelitian tersebut mengandung pengertian bahwa kualitas prestasi       iman seseorang yang merupakan hal yanga lebih bersifat abstrak, akan dapat semakin meningkatkan lebih cepat dan bahkan memiliki wawasan iman dan taqwa yang lebih luas dan mendalam kalau ia telah dewasa, atau setidak-tidaknya tetap bertahan dalam menghadapi berbagai cobaan hidup, bila mana ia selalu meningkatkannya dalam bentuk praktek (amal saleh) dan latihan-latihan yang bersifat ruhaniyah (riyadlah) seperti halnya puasa, sodaqoh dan lain sebagainya.
Dari penelitian Baharudin diperoleh temuan bahwa manusia itu terdiri atas tiga aspek utama, yaitu: (1) Aspek Jasmiyah, yaiti keseluruhan organ fisik-biologis, sistem kalenjar, dan sistem syaraf. (2) Aspek Nafsiyah, yaitu keseluruhan kualitas insani yang khas dimilik manusia, yang mengandung dimensi al-nafs, al-aql, dan al-qalb,dan (3) Aspek Ruhaniyah yaitu keseluruhan potesi luhur psikis manusia yang memancarkan dari dimensi al-ruh, dan al-fitrah. Secara proporsional maka nafsiyah menempati antara jismiyah, dan ruhaniyah. Karena jismiyah berasal dari benda (materi), maka ia cenderung mengarahkan nafsiyah manusia untuk menikmati kenikmatan yang bersifat material, sedangkan ruhaniyah berasal dari Tuhan, sehingga ia selalu mengajak nafsiyah manusia untuk menuju Tuhan. Orang yang suka berbuat maksiat berarti nafsiyahnya diarahkan ke jismiyah atau kenikmatan material yang bersifat semata. Sedangkan orang yang berusaha meninggalkan maksiat berarti nafsiyahnya diarahkan oleh ruhaniyah yang selalu menuju Tuhannya.[2]
Dengan demikian orang yang selalu meningkatkan prestasi imannya melalui amal saleh dan riyadlah (usaha-usaha yang dilakukan oleh jiwa dan ruhani seseorang agar bisa mengurangi sifat-sifat yang suka terhadap kemewahan dunia) akan diikuti dengan semakin meningkatnya prestasi iman (taqwa), sedemikian dekatnya nafsiyah manusia dengan Tuhannya, dan komitmennya terhadap ajaran-ajaran dan petunjuk-petunjuk-Nya, serta meningkatkan ke ahsan taqwim (kualitas manusia yang terbaik sesuai dengan asal kejadiannya). Sebaliknya jika nafsiyah manusia dalam hidup dan kehidupan lebih tertarik pada dan dikuasai oleh kepentingan jismiyah, sehingga yang diinginkan, diingat-ingat, dipikirkan, dirasakan dan ditingkatkan hanya kenikmatan jismiyah belaka, maka kualitas prestasi iman (taqwa) kedekatan dan keyakinan kapada Tuhan akan semakin merosot, jatuh ke asfala safilin (kualitas terendah) bahkan lebih rendah dari pada binatang.
 Tidak jauh berbeda pemikiran kalangan religius-tradisional dengan pemikiran kalangan tradisional tekstualis (Nakliyyun) atau konserfatif dalam hal relasi pendidikan dengan tujuan agamawi. Ikwan al-Shafa mengakui bahwa semua ilmu dan sastra yang tidak mengantarkan pemiliknya menuju concern terhadap akhirat, dan tidak memberikan makna sebagai bekal disana, maka ilmu demikian hanya akan menjadi bumerang bagi si pemilik tadi kelak diakherat.[3]
Pada era globalisasi, anak-anak di indonesia setelah tahun 2000 akan    menghadapi persoalan yang semakin beragam dilihat dari kontek pertumbuhan dan perkembangan mereka.[4] Perubahan teknologi yang sangat cepat dan disertai adanya semangat globalisasi akan membawa perubahan cara hidup masyarakat. Dalam perubahan itu anak-anak tidak sedikit yang menderita, oleh karena itu, persoalan yang dihadapi anak-anak semakin beragam, dengan hal semacam ini, seharusnya anak-anak disekolah lebih diperbanyak dengan pengetahuan akhlak dan tasawuf.
Pendidikan akhlak dan tasawuf sangat dibutuhkan oleh setiap individu maupun  masyarakat, karena pengaruh positifnya yang indah akan dirasakan oleh individu dan masyarakat dalam porsi yang sama, sebagaimana dampak negatifnya, ketika ia diremehkan, akan menyebar kepada individu dan masyarakat dan bentuk pendidkan sufistik secara vertikal adalah dapat berakhlak dan beribadah dengan baik kapada Allah SWT dan secara horizontal berakhlak baik kepada setiap mahluk. Seperti tawuran para pelajar yang terjadi pada akhir-akhir ini, terjangkit obat-obatan terlarang, dan bergaya hidup bebas dan pergaulan bebas, hal ini yang sangat meresahkan kaum terdidik dan pendidik. Oleh karena itu pendidikan tasawuf ini harus diperhatikan sejak awal marhalah (fase) umur manusia, yaitu dari sejak masa kanak-kanak. Ibnu Qoyyim berkata mengenai hal ini, “ yang sangat dibutuhkan oleh anak adalah perhatiannya kepada akhlak.”[5]
Penyimpangan dan dekadensi akhlak yang terjadi pada kebanyakan manusia itu disebabkan mereka tumbuh dan berkambang dalam atmosfir tarbiyah atau pendidikan yang buruk. Maka dari sini betapa butuhnya kita pada sebuah pendidikan yang mampu membawa kita dan anak cucu kita ke puncak ketinggian akhlak yang menebarkan kebahagiaan dan ketentraman.
Kebutuhan kapada pendidikan sufistik atau moral ini mengharuskan seorang pendidik agar menjauhkan anak didiknya dari kebatilan dan kejelekan, seperti tempat yang menebarkan permusuhan, diskotik, dan tempat yang penuh dengan kemungkaran, karena dalam pendidikan Islam, proses penghayatan sebenarnya terhadap moralitas, (akhlak) menjadi tolak ukur keberhasilan. Memahami moralitas belum tentu secara otomatis dapat menghayatinya. Pemahaman terhadap moralitas bararti segala sesuatu tentang moralitas sudah jelas baik dan pentingnya untuk dimiliki setiap peserta didik. Namun pemahaman tersebut barulah terjadi dalam pemikiran, belum tentu meresap kedalam hati dan perasaan. Tentunya dengan pendidikan sufistik peserta didik kemungkinan tidak akan melakukan perbuatan buruk seperti melakukan kejahatan, kekejaman, dan kesewenang-wenangan, sebab hal-hal yang buruk tersebut apabila telah masuk dan melekat pada pendengarannya (di masa kecil), maka akan sulit lepas dimasa besarnya dan para orang tua atau walinya akan menemui kesulitan dalam menyelamatkan mereka dari hal-hal yang buruk tersebut.
Dari uraian ini merupakan sebuah penjelasan tentang pentingnya pendidikan sufistik, yang realisasinya selain lebih mendekatkan diri kepada Allah, juga dapat menjaga anak dan melindungi mereka agar tidak jatuh dan menjadi manusia yang rendah dan hina, serta tidak tenggelam dalam perkataan maupun perbuatan keji. Penjagaan dan pembekalan seperti ini akan menjadi anak bersih serta siap menerima kebaikan baik berupa ucapan maupun perbuatan.
Salah satu tokoh yang menurut saya sedikit berperan dalam dunia pendidikan sufistik adalah Abdul Munir Mulkhan. Melalui karya-karyanya, kita bisa memahami dunia modern dengan keaneka ragaman personal, serta dapat menyeimbangkan antara mental dan fisik material. Beliau adalah seorang guru besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, di samping itu beliau juga sebagai anggota Komnas HAM.
Satu hal yang membuat penulis tertarik untuk meneliti tentang pemikiran beliau yakni mengenai konsep sufinya yang mana pada umumnya bahwa seorang sufi atau seseorang yang menempuh jalan sufi itu harus melewati tingkatan-tingkatan (fase-fase) tertentu dimana tingkatan tersebut menggambarkan kemampuan spiritual seseorang dalam beribadah kepada Tuhannya, disamping itu sufi yang selama ini berkembang lebih mengarah kepada kesalehan secara individu belum sampai kepada kearifan atau kesalehan secara sosial. Sedangkan menurut Munir Mulkhan sendiri konsep tersebut diperluas tidak hanya pada dataran kearifan atau kesalehan secara individu tetapi juga sampai pada dataran kesalehan sosial.
Berangkat dari hal tersebut, maka penyusun bermaksud untuk mentelaah pemikiran beliau dalam bentuk skripsi dengan judul PENDIDIKAN SUFISTIK (Telaah Pemikiran Prof. Dr.Abdul Munir Mulkhan, SU).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan pokok masalah yang perlu dikaji dalam penulisan ini diantaranya:
1.      Bagaimanakah konsep pendidikan sufistik menurut Abdul Munir Mulkhan?
2.      Bagaimanakah Implikasinya dalam dunia pendidikan Islam?

C. Tujuan dan Kagunaan Penelitian
1.      Tujuan Penelitian
a.       Untuk mengetahui konsep pendidikan sufistik menurut Abdul Munir Mulkhan.         
b.      Untuk mengetehui Implikasinya dalam dunia Pendidikan Islam.
2.      Kegunaan Penelitian
a.   Mengetahui dan memahami konsep Abdul Munir Mulkhan mengenai pendidikan sufistik.
b.   Dapat membantu usaha-usaha pembinaan dalam agama yang berkenaan dengan keimanan dan ketaqwaan.
c.   Memberikan wawasan keilmuan kepada para peneliti, pengamat, dan praktisi pendidikan, terutama dalam mengkaji pendidikan sufistik.

D. Telaah Pustaka
Adapun skripsi yang meneliti tentang Pendidikan Sufistik dengan tokoh Abdul Munir Mulkhan sejauh ini belum ada, namun ada yang meneliti pada tokoh yang sama dengan obyek yang berbeda, diantaranya:
1.      Skripsi yang ditulis oleh saudara fauzan (Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta 2004) dengan Judul Studi Pemikiran Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, SU. Tentang problematika sosial dan dakwah. (upaya membangun manajemen konflik dalam struktur komunikasi) dalam Skripsi ini dijelaskan bahwa factor yang menjadi penyebab adanya problem sosial dan dakwah adalah kesenjangan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan sikap eksklusif umat. Realitas ini menjadi problem serius yang harus segera dicarikan solusi, aktifitas gerakan dakwah tidak bisa dilepaskan dari konflik social masyarakat yang ada. Dakwah dapat dipandang sebagai proses perubahan sosial dan proses komunikasi dakwah harus hadir sebagai mesia penyelesaian masalah yang terjadi dalam masyarakat, sejalan dengan perkembangan zaman dakwah harus ditafsir ulang tidak hanya berisi pesan yang selalu menekankan pada wilayah normatif yang hanya retorika bukannya bentuk tindakan, tapi bagaimana dakwah harus berbentuk aktifitas sosial yang mampu membawa perubahan dalam kehidupan umat yang lebih baik dan ideal.
Selain itu dalam mengatasi konflik sosial dan dakwah adalah dengan membangun manajemen konflik melalui struktur komunitas, bagaimana konflik yang ada dikomunikasikan kemudian dikelola agar bernilai positif. Menurut Abdul Munir Mulkhan, konflik tidak selalu bernilai negatif, dengan konflik manusia dapat melakukan perubahan dalam hidupnya, konflik hanya basa dikelola dengan menggunakan sistem yang ada, konflik selalu berisi ancaman, juga berisi tentang peluang sekaligus pelajaran mengenai sistem yang membuat masalah sosial seperti ketidakadilan, kekerasan dan yang lain. Konflik seharusnya menjadi motivasi pembaharuan, konflik harus dipahami demokrasi akan membuat konflik destruktif tidan berdaya, sebaliknya konflik menjadi energi yang menjadi motivasi perubahan yang lebih bermakna.
2.      Skripsi yang ditulis oleh saudara Waliuddin (Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta 2003) yang berjudul Pendidikan Sebagai Proses Pembudayaan (Telaah Atas Pemikiran Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, SU) yang pada intinya bahwa persoalan utama pendidikan Islam menurut Abdul Munir Mulkhan adalah persoalan metodologis, artinya bagaimana pendidikan dilakukan karena soal metodologi, maka yang perlu mendapat perhatian adalah proses pendidikan tersebut bukan membuat orang menjadi sesuatu melainkan bagaimana memberi ruang bagi setiap orang untuk berproses menjadi dan terus menjadi yang tidak pernah selesai.
Konsep Abdul Munir Mulkhan mengenai pendidikan sebagai proses pembudayaan memandang arti bahwa pendidikan merupakan segala usaha untuk menumbuh kembangkan potensi pembawaan melalui proses sadar diri dan kreatif untuk menggunakan perangkat kemanusiaan yaitu akal termasuk rasa dan hati, segenap usaha/upaya tersebut diletakkan pada basis kebudayaan yang memberi peluang bagi pengembangan kreatifitas intelektual melalui pengenbangan kecerdasan akal dalam pemikiran.
3.      Skripsi yang ditulis oleh saudari Fatmawati (Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta 2004) dengan judul Strategi Pendidikan Islam dalam Menghadapi Perubahan Masyarakat (Studi Atas Pemikiran Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, SU) menurut Abdul Munir Mulkhan tentang konsep pendidikan adalah proses mengetahui yang secara intrinsik akan memunculkan sesuatu pola perilaku melalui instruksionalisasi membentuk suatu aktifitas berpola yang dikenal dengan kepribadian. Kepribadian tersebut bersumber dari kemampuan seseorang memahami dan mengenal dirinya sendiri, kepribadian yang diharapkan adalah kepribadian yang integral, kepribadian yang integral adalah pribadi setiap individu yang terintegrasi kepada setiap pertumbuhan dan perkembangan dirinya. Individu peserta didik ini benar-benar menyadari bahwa hidupnya adalah sebuah proses menjadi, proses berubah, dan proses berkembang. Proses pertumbuhan membentuk pengalaman dan perubahan yang dikehendaki dalam tingkah laku individu dan kelompok melalui interaksi dengan alam dan lingkungan kehidupan. Dalam pembentukan kepribadian yang integral dibutuhkan kerja sama antara guru, masyarakat dan juga lingkungan keluarga. Dalam proses itu  seseorang peserta didik terus berusaha secara sadar memilih berbagai pengalaman yang kondusip atau mendukung perkembangan, perubahan dan pertumbuhan dirinya sendiri. Dalam hubungan dengan keseimbangan kesadaran itu, pendidikan efektif berusaha mengembangkan satu komponen atau lebih dari kepribadian integratif.
Selain itu, konsep strategi pendidikan Islam menurut Abdul Munir Mulkhan terdiri atas:
a.       Tujuan Pendidikan
b.      Isi
c.       Bahan Pendidikan
d.      Dan Metode Pendidikan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Sufistik (Telaah Pemikiran Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, SU) sejauh ini belum ada yang meneliti, meskipun dari sudut pandang yang lain beliau telah menjadi obyek penelitian yang mengarah kepada dimensi yang lain dengan tokoh yang sama. Oleh karena itu penulis akan mencoba meneliti beliau dari sudut pandang Sufistik.


E. Landasan Teori
Landasan teori atau kerangka teoritik ini berisi tentang uraian teori-teori yang relevan dengan masalah yang diteliti yang dapat dijadikan sebagai landasan untuk analisis hasil penelitian.[6] Adapun beberapa teori yang terkait dengan pembahasan skripsi ini, antara lain:
1.      Istilah pendidikan berasal dari kata didik dengan memberinya awalan "pe" dan akhiran "kan" mengandung arti perbuatan (hal, cara dan sebagainya). Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogie, yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan education yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan tarbiyah, yang berarti pendidikan.[7] 1Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan yang dilakukan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[8]
Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya pendidikan yaitu menuntun kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagian yang setinggi-tingginya.[9]
Dari semua definisi itu dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah sebuah kegiatan yang dilakukan dengan sengaja dan terencana yang dilaksanakan oleh orang dewasa yang memiliki ilmu dan keterampilan kepada anak didik, demi terciptanya insan kamil.
Pendidikan yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah pendidikan agama Islam. Adapun kata Islam dalam istilah pendidikan Islam menunjukkan sikap pendidikan tertentu yaitu pendidikan yang memiliki warna-warna Islam. Untuk memperoleh gambaran yang mengenai pendidikan agama Islam, berikut ini beberapa defenisi mengenai pendidikan Agama Islam.
Menurut hasil seminar pendidikan agama Islam se Indonesia tanggal 7-11 Mei 1960 di Cipayung Bogor menyatakan: Pendidikan agama Islam adalah bimbingan terhadap pertrumbuhan jasmani dan rohani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.[10] Sedangkan menurut Ahmad Marimba, pendidikan Agama Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.[11]
Sedangkan menurut Zakiah Daradjat, pendidikan Agama Islam adalah: pendidikan dengan melalui ajaran-ajaran agama Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah diyakininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama Islam itui sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat kelak.[12]
Pendidikan adalah proses menuju kepada kesempurnaan. Proses ini tidak ada batasnya. Dalam proses, manusia mempunyai potensi yang tidak terbatas. Kita semua sedang bergerak menuju Allah. Karena kita akan kembali kepada Tuhan, sebagian besar kembali kepada-Nya persis seperti mereka datang.[13]Pendidikan dan yang dididik adalah mitra dalam kafilah ruhani yang sedang menempuh perjalanan disahara yang tidak berujung. Pendidikan adalah upaya untuk merealisasikan asma Allah kita berubah menjadi wujud yang berbeda. Yang bergerak bukan hanya aradh kita, tetapi juga jauhar kita. Inilah al-harakah al-jauhariyah, yang dikemukakan oleh Mulla Sadra.[14]
Menurut Ibnu Qoyyim pendidikan yang baik adalah yang mampu menciptakan keseimbangan dalam kehidupan manusia, yaitu yang mamberi unsur yang ada dalam diri manusia sebuah pendidikan yang menghantarkannya kepada kesempurnaan, sehingga mampu menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya.
Ruh adalah unsur yang sangat penting dalam penciptaan dan eksistesi manusia. Dia tidak dapat mencapai kesempurnaan kecuali dengan pendidikan yang bersandar pada Tuhan.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa kesempurnaan ruh yang menjamin kebahagiaannya hanya ada pada makrifatnya tentang Allah, mencintai-Nya, lebih mementingkan keridhaan-Nya daripada kesenangan syahwat dan hawa nafsu. Beribadah kepada-Nya dan mentaati seluruh perintah-Nya. Yang demikian itu adalah tujuan tertinggi dari pendidikan ruhaniyyah.
Sarana tarbiyah menurut Ibnu Qoyyim antara lain:
1.      Memperdalam iman kita kepada Allah dan ajaran-ajaran islam.
2.      Kembali kepada Allah dan sibuk dengan hal-hal yang diridhai-Nya.
3.      Mencintai Allah Zat yang menciptakan seluruh jiwa dan makhluk yang ada.
4.      Zikir mengingat Allah dan mendirikan shalat.
5.      Melakukan muhasabah (intropeksi diri) setiap hari sebalum tidur.
6.      Merenungi makhluk Allah yang banyak menyimpan bukti kekuasaan, ketauhidan dan kesempurnaan sifat dan asma-Nya.
7.      Mengagungkan dan mengindahkan seluruh perintah dan larangan Allah.[15]

Dan manfaat-manfaat dari pendidikan ruhaniyyah antara lain:
a.       Menanamkan ilmu makrifat kepada seorang hamba yang bersumber dari cahaya kenabiyan, serta mananamkan kepercayaan atas kebenaran risalah nubuwiyah.
b.      Menjadikan ruh cinta kepeda Allah ,sibuk mengingatnya, lapang dada dalam berzikir kepada-nya, serta mau berkorban mencari keridhaannya.
c.       Menjadikan ruh mampu meraih kemuliaan, kesucian dan kesempurnaan.[16]

Menurut Al-ghazali tujuan pendidikan dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang.
a.       Tujuan pendidikan jangka pendek ialah diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Syarat untuk mencapai tujuan itu manusia mengembangkan ilmu pengetahuan baik yang secara fardhu ‘ain maupun yang fardu kifayah.[17]
b.      Tujuan pendidikan jangka panjang ialah pendekatan diri kepada Allah. Pendidikan dalam prosesnya harus mengarahkan manusia menuju pengenalan dan kemudian pendekatan diri kepada Tuhan pencipta alam.[18]

Di dalam penddikan, seorang pendidik dan pemikir yang sadar akan selalu berusaha mencari solusi dan sumbangan pemikiran yang lebih efektif dan mencari pedoman-pedoman pendidikan yang berpengaruh dalam upaya mempersipkan peserta didik secara mental, moral, saintifikal, dan sosial sehingga peserta didik meraih puncak kesempurnaan, pengenalan jati diri dan tidak mudah terbawa arus era globalisasi yang berdampak negatif.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Agama Islam adalah suatu proses bimbingan jasmani dan rohani yang berlandaskan ajaran Islam dan dilakukan dengan kesadaran untuk mengembangkan potensi anak menuju perkembangan yang maksimal, sehingga terbentuk kepribadian yang memiliki nilai-nilai Islam.
2.      Istilah sufisme memiliki padanan kata dengan istilah tasawwuf. Ada beberapa pengertian tasawwuf. Sebagian orang berpendapat bahwa kata tasawwuf diambil dari kata ashshuf yang berarti bulu domba karena orang-orang tasawwuf itu pada umumnya mengkhususkan dirinya dengan pakaian yang berasal dari bulu domba. Sufi sendiri yang sepadan dengan kata tasawwuf diambil dari perkataan ash shofa, artinya suci dan berhati-hati dari larangan Allah. Kata lain yang bisa mengartikan hal itu adalah Shaffah, yaitu sekelompok orang yang segolongan dengan sahabat-sahabat nabi saw yang menyisihkan dirinya di dalam suatu tempat yang terpencil di samping masjid Nabi, yaitu serambi Masjid Nabawi di Madinah, yang ditempati oleh orang-orang fakir dari golongan Muhajirin dan Anshar.[19]
Menurut Abdul Munir Mulkhan bahwa yang dimaksud dengan istilah sufistik itu adalah sifat seperti pemikiran sufistik artinya pemikiran yang nyufi, sementara sufi itu sendiri adalah sebutan atau nama suatu tindakan atau pandangan, sedangkan sufisme adalah suatu cara pandang atau sikap yang memandang bahwa pencapaian kedekatan pada Tuhan dilakukan tidak hanya dengan ritual ibadah yang kasat mata atau fisik jasmani, melainkan juga sekaligus dengan ritual hati dan keterlibatan hati atau jiwa.[20]
Muhammad Al-Ghazali, tokoh al-Ikhwan, mengajak orang untuk kembali kepada kehangatan pendidikan dan ajaran tasawuf dengan bukunya Rakaiz al-Iman baina al-aql wa al-Qolb. Ia membantu kita untuk mendefinisikan tasawuf lebih terinci. Ajaran tasawuf ditandai tiga hal: Pertama, berusaha menjadikan iman bersifat nalar (nazhri) dari perasaan jiwa yang bergelora, mengubah iman aqli menjadi iman qolb. Kedua, melatih dan mengembangkan diri menuju tingkat kesempurnaan, dengan mengumpulkan sifat-sifat mulia dan membersihkan diri sifat-sifat tercela. Ketiga, memandang dunia ini sebagian kecil dari kehidupan luas yang merentang sampai hari yang baka.[21]
Dan tasawuf  menurut Said Agiel Siradj, pakar tasawuf alumni Universitas Ummul Qurra Makkah mengatakan: Tasawuf sebagai sifat hamba kepada Tuhannya, terhadap dirinya sendiri serta terhadap alam semesta, di sini tasawuf berfungsi sebagai jalan bagi kehidupan. Oleh karena itu tasawuf islam datang sebagai dinamisator terhadap spiritual islam.[22]
3.      Pendidikan sufistik adalah usaha manusia untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi bawaan baik jasmani maupun rohani, dengan pendekatan materi-materi tasawuf atau lebih mengedepankan aspek batin, dari pada lahiriah atau dengan menggunakan materi-materi sufisme, yang di dalamnya terdapat aspek-aspek yang berhubungan dengan akhlak, baik akhlak kepada Allah, Rosulullah, kepada sesama manusia bahkan akhlak kepada semua ciptaan Tuhan seperti (Tawadlu’, ikhlas, tasamuh, kasih sayang terhadap sesama dan lain-lain). Dan pada akhirnya agar manusia dapat mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya, memperoleh rahmat dan kasih sayang disisi-Nya.

F. Metode Penelitian
Metode penelitian ini merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Untuk mendukung penulisan dan pembahasan skripsi ini agar diperoleh hasil yang komprehensip dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, maka diperlukan metodologi pembahasan yang diharapkan mampu menjadi sarana eksplorasi yang diperlukan dalam penulisan ini. Berdasarkan hal itu terdapat empat kata kunci yang perlu diperhatikan yaitu: cara ilmiah, data, tujuan, dan kegunaan.[23]
Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional, empiris, dan sistematis. Rasional berarti kegiatan penelitian itu dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal, sehingga terjangkau oleh penalaran manusia. Empiris berarti cara-cara penelitian itu dapat diamati oleh indera manusia, sehingga orang lain dapat mengamati dan mengetahui cara-cara yang digunakan. Sistematis berarti proses yang digunakan dalam penelitian itu menggunakan langkah-langkah tertentu yang bersifat logis.
Setiap penelitian tentunya mempungai tujuan dan kegunaan tertentu. Secara umum tujuan penelitian itu ada tiga macam yaitu yang bersifat penemuan, pembuktian dan pengembangan. Penemuan berarti data yang diperoleh dari penelitian itu adalah data yang betul-betul baru yang sebelumnya belum diketahui. Pembuktian berarti data yang diperoleh itu digunakan untuk membuktikan adanya keragu-raguan terhadap informasi atau pengetahuan tertentu, dan pengembangan berarti memperdalam dan memperluas pengetahuan yang telah ada.[24]
Adapun metode yang diperlukan adalah sebagai berikut.
1.      Jenis Penelitian
      Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif[25] yang menggunakan paradigma interpretatif. Cirri-ciri dominan[26] dalam penelitian kualitatif adalah bersifat deskriptif.[27]
Penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam penelitian ini mengacu pada kajian kepustakaan (library reasearct). Oleh karena obyek yang dikaji dalam penelitian ini adalah pemikiran Abdul Munir Mulkhan tentang Pendidikan Sufistik yang bersumber dari berbagai data tulis, baik yang langsung artinya data-data itu dikumpulkan bersumber langsung dari wawancara serta karya Abdul Munir Mulkhan. Ataupun data tak langsung artinya karya orang lain yang berkaitan dengan tema penelitian ini. Data-data tersebut bisa berupa buku-bku, jurnal, majalah dan masmedia yang berkaitan dengan tema.

2.      Pendekatan Penelitian
            Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan filosofis historis. Pendekatan filosofis digunakan untuk merumuskan secara jelas hakekat yang mendasari konsep-konsep pemikiran.[28]

3.      Pengumpulan Data
Karena penelitian ini adalah kajian kepustakaan maka sumber datanya adalah karya yang ditulis oleh tokoh tersebut atau disebut juga dengan data utama (primer). Sedangkan sumber data bantu atau tambahan (sekunder) adalah kajian-kajian yang berkaitan dengan tema ini. Sumber data yang utama (primer) yang berkaitan dengan tema adalah karya beliau diantaranya:
1.      Abdul Munir Mulkhan, Sufi Pinggiran, Menembus Batas-Batas. Impulse-Kanisius, Yogyakarta, 2007.
2.      Abdul Munir Mulkhan, Dari Semar ke Sufi (bab trakhir) Kesalehan Multikultural, Al-ghiyat, Yogyakarta, 2003.
3.      Abdul Munir Mulkhan, Satu Tuhan Seribu Tafsiran (sebagian bab). Impulse-Kanisius, Yogyakarta, 2007.
4.      Abdul Munir Mulkhan, Islam Sejati; Kiai Ahmad Dahlan dalam Kehidupan Petani, Serambi, Jakarta. 2005.
Sedangkan sunber data sekunder diantaranya :
1.  Alfatih Suryadilaga, Miftahus Sufi, Teras, Yogyakarta, 2008.
2.  Idries Shah, Jalan Sufi, Risalah Gusti, Surabaya, 1999.

4.      Metode Analisis Data
Analisis data penelitian merupakan bagian dalam proses penelitian yang sangat peting, karena dengan analisis inilah data yang ada akan nampak manfaatnya terutama dalam memecahkan masalah penelitian dan mencapai tujuan akhir penelitian. Jadi analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat diteruskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.[29] Oleh karena itu setelah data dikumpulkan telah diedit, di coded dan telah diikhtisarkan, maka langkah selanjutnya adalah analisis terhadap hasil-hasil yang telah diperoleh dilakukan analisis secara kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif, dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
a.       Langkah deskriptif analitis yaitu langkah yang bersifat menggambarkan atau menguraikan suatu hal.[30] Metode deskriptif analitis ialah penyelidikan yang kritis terhadap srtuktur kelompok,obyek, self kondisi, suatu sistem pemikiran atau kelas peristiwa untuk membuat paparan, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, akurat tentang fakta, sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.[31] Langkah deskriptif ini digunakan untuk menjelaskan riwayat hidup Abdul Munir Mulkhan, secara obyektif dan Langkah analitis digunakan untuk menganalisis keadaan sosial masyarakat.
b.      Langkah interpretatif yaitu langkah tafsir, penafsiran, atau prakiraan.[32] Langkah interpretatif mencoba menafsirkan pemikiran Abdul Munir Mulkhan yang menjadi obyek penelitian dengan berdasarkan data yang akurat.
c.       Langkah komparatif (perbandingan) yaitu langkah-langkah untuk membandingkan antara pemikiran yang diperoleh dari hasil analisis karya beliau dengan analisis dari referensi/buku-buku yang lain.
d.   Langkah pengambilan kesimpulan yaitu langkah yang digunakan untuk mendapatkan hasil dari ketiga langkah tersebut.
Kemudian dalam penelitian ini metode berfikir yang digunakan adalah metode berfikir deduktif dan induktif. Deduktif adalah pola berfikir yang mencaripembuktian dengan berfikir kepada dalil umum terhadap hal-hal khusus. Sedangkan induktif adalah pila pikir yang mencari pembuktian dari hal-halyang bersifat khusus untuk sampai kepada dalil umum.     

G. Sistematika Pembahasan
Pembahasan dalam skripsi ini akan penulis sajikan dalam bentuk bab-bab yang terdiri dari empat bab, yang masing-masing diperinci dalam sub-sub bab secara sistematis dan saling berkaitan. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut :
Skripsi ini di bagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama, terdiri dari beberpa halaman formalitas penulisan skripsi, yaitu: halaman sampul luar, halaman pembatas, halaman sampul dalam, surat pernyataan keaslian skripsi, halaman nota dinas pembimbing, halaman nota dinas konsultan, halaman pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, kata pengantar, halaman abstraksi, daftar isi, transliterasi, daftar tabel dan daftar gambar dan daftar lampiran.[33]
Bagian Kedua, merupakan isi dari skripsi yang terdiri dari empat bab, yaitu:
BAB I. Pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika pembaasan.
BAB II. Biografi Abdul Munir Mulkhan, berisi tentang: tempat lahir dan latar belakang kelurga serta akademisnya, jenjang pendidikan Abdul Munir Mulkhan, pengalaman pekerjaan Abdul Munir Mulkhan, pengalaman organisasi Abdul Munir Mulkhan, pengalaman penelitian Abdul Munir Mulkhan, publikasi/karya tulis Abdul Munir Mulkhan dan yang terakhir adalah mainstream pemikiran Abdul Munir Mulkhan.
BAB III. Adalah bab yang mengupas tentang Konsep Pendidikan Sufistik Menurut Abdul Munir Mulkhan, yakni: Pengertian Pendidikan Sufistik Menurut Abdul Munir Mulkhan, Signifikansi Pendidikan Sufistik Menurut Abdul Munir Mulkhan, Metode Pendidikan Sufistik Menurut Abdul Munir Mulkhan, Materi Pendidikan Sufistik Menurut Abdul Munir Mulkhan, dan Implikasi Pendidikan Sufistik Abdul Munir Mulkhan Dalam Pendidikan Islam.
BAB IV. Adalah bab Penutup yang terdiri dari Kesimpulan, Saran-saran dan Kata Penutup.
Bagian ketiga merupakan akhir dari skripsi ini, didalamnya terdapat Daftar Pustaka dan Lampiran-lampiran.


BAB II
BIOGRAFI  PROF. DR. ABDUL MUNIR MULKHAN, SU

A.  Tempat Lahir dan Latar Belakang Keluarga serta Akademisnya
Sebelum pemikiran Abdul Munir Mulkhan diuraikan lebih lanjut, terlabih dahulu diungkapkan riwayat hidup, latar belakang akademis maupun karya-karyanya, hal tersebut sangat membantu dalam memahami dialektika pemikiran tokoh tersebut.
Abdul Munir Mulkhan lahhir di Desa Wuluhan Kecamatan Wuluhan Kabupaten Jember Jawa Timur tanggal 13 November 1946. Ayah dari Fitri, Lulu dan Ayu ini pernah mengalami masa-masa sulit dalam hidupnya.  Selepas Abdul Munir lulus PGAN (Pendidikan Guru Agama Islam) Malang, kedua orang tuanya (Ayah: Kiai Abul Qosim dan ibu: Mudlikah) mengalami kehidupan pahit (pailit ). Rumah dan sawah habis dijual. Mereka lalu pindah ke lampung untuk membuka kehidupan baru yang lebih menjanjikan.[34]
Kesulitan ekonomi yang melilitnya tidak membuat Abdul Munir Mulkhan muda patah arang dalam menuntut ilmu. Ia tetap bertahan di Jember dan dengan biaya sendiri kuliah di IAIN Sunan Ampel Jember (sekarang STAIN Jember). Ketika tingkat pertama dilalui, akhirnya Abdul Munir muda tidak kuat hidup di Jember dan harus hengkang pula mengikuti orang tua ke Lampung.
Namun yang pasti semangat belajarnya tidak pernah hengkang dari dirinya. Di Lampung beliau melanjutkan kuliahnya di IAIN Raden Intan Metro Lampung dan lulus sarjana muda pada tahun 1972.[35] Semangat belajar dan kerja keras menuntunnya kuliah dengan biaya dari hasil keringatnya sendiri. Pria berkumis tebal ini menuturkan bahwa jika tidak sambil bekerja ia tidak bisa kuliah. Beliau  pernah menjadi guru SD di Lampung.
Lagi-lagi karena semangat belajar itu,beliau memilih meninggalkan Lampung. Berangkatlah  menuju Yogyakarta. Di kota pelajar ini beliau mendaftar didua perguruan tinggi, IAIN (sekarang menjadi UIN) dan UGM. “Khawatir tidak diterima”, katanya. Di UIN boleh dibilang hanya singgah saja, karena disini beliau diterima di tingakat tiga dan diselesaikannya hanya sampai sarjana muda.
Di Universitas Gajah Mada Fakultas Filsafat dan lulus dengan predikan cum laude pada tahun 1982. Disini sesungguhnya almamaternya. Karena di UGM ini satu demi satu jenjang kesarjanaan dilalui dan diraihnya. S1 filsafat UGM (1982), S2 sosiologi diperoleh tahun 1988 dengan predikat cum laude dibawah bimbingan Dr. J. Nasikun dengan Dr. Muhtar Mas’ued tesisnya yang berjudul “Pandangan Politik Santri Pada Masa Orde Baru” selesai dalam 27 bulan dari masuknya Abdul Munir dalam program S2 tersebut.[36]
Semula, tesis tersebut berjudul: “ Perubahan PerilakuPolitik Umat Islam 1965-1987”. Dalam perjalanan penyelesaian selanjutnya, laporan awal dari tesis tersebut mangalami perubahan yang mendasar, sehingga judulnya pun dirubah seperti tersebut diatas. Laporan awal tesis inilah yang kemudian diterbitkan oleh penerbit Rajawali pada tahun 1989 dengan judul: “ Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Umat Islam 1965-1987 Dalam Perspektif Sosiologi”.[37]
Mengikuti hasil akhir laporan tesis diatas reletif berbeda dengan laporan awal, kemudian dipertimbangkan untuk diterbitkan secara tersendiri. Setelah dikembangkan lebih lanjut, penerbit Sipress kemudian menerbitkan laporan akhir tersebut pada tahun 1992 dibawah judul: “Runtuhnya Mitos Politik Santri”.
Di UGM pulalah gelar Doktor (S3) diraihnya dengan predikat cum laude. Buku  “Islam Murni Dalam Masyarakat Petani” yang semula berjudul “Gerakan Pemurnian Islam di Pedesaan (Kasus Muhammadiyah Kecamatan Wuluhan Jember Jawa Timur) merupakan disertasi beliau untuk memperoleh gelar Doktor dalam bidang sosiologi dan berhasil dipertahankan dalam sidang senat dan guru besar Universitas Gajah Mada terbatas pada tanggal 1 Desember 1999.[38] Laporan penelitian tersebut diterbitkan oleh Bentang Budaya bekerjasama dengan yayasan Ford Foundation dibawah judul “Islam Murni dalam Masyarakat Petani”  pada tahun 2000.


B.  Jenjang Pendidikan Abdul Munir Mulkhan
Adapun jenjang pendidikan yang dilalui Abdul Munir, ringkasnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
Ø      1953-1959 : SRN, Wuluhan, Jember
Ø      1959-1962 : SMP Pancasila, Wuluhan, Jember
Ø      1959-1963 : PGAP Muhammadiyah, Wuluhan, Jember
Ø      1963-1965 : PGAAN Malang
Ø      1967-1968 : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Cabang Jember
Ø      1971-1974 : Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Cabang Metro
Ø      1974-1975 : Fakultas Hukum Universitas Negeri Lampung
Ø      1979-1981 : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Ø      1979-1982 : Fakultas Filsafat UGM
Ø      1986-1988 : S-2 Sosiologi UGM
Ø      1995-1999 : S-3 Sosiologi UGM
Ø      2002    : Program Post Doktoral MacGill University, Montreal, Canada
Ø      2006    : Visiting Research Fellow pada Institute of Defence and  Strategic Studies   
Ø      2006    : Nanyang Technological University Singapore.
Ø      2007-2012 : Anggota Komnas HAM RI 2007-2012

C.  Pengalaman Pekerjaan Abdul Munir Mulkhan
Secara ringkas pekerjaan yang sudah dilakukan Abdul Munir adalah sebagai berikut:
·        1965-1966 : Guru Agama Swasta MIM Ampel, Wuluhan, Jember
·        1966-1967 : Guru PGAP Muhammadiyah Kalirejo, Lampung Tengah
·        1967-1968 : Guru Agama Negeri di SD Muhammadiyah Gumelar, Jember
Guru Agama Negeri Madrasah Ibtidaiyah Sti’biyah, Gugut, Rambi, Jember Guru Agama Negeri SD Negeri Wirolegi, Jember
·        1968-1971 : Guru Agama Negeri MIM Hadimulyo, Metro, Lampung Tengah
·        1970-1971  : Wakil Kepala Sekolah SMP M Hadimulyo, Metro, Lampung Tengah
·        1971-1973  : Guru Negeri PGA YPI Metro, Lampung Tengah
·        1973-1974  : Pegawai pada Kantor Depag Kab Lampung Tengah
·        1974-1976 : Kasubsi Doktik Seksi Urusan Agama Islam Depag Kab Lampung Tengah
·        1976-1978  : Kepala Urusan Umum Kantor Depag Kab Lampung Tengah
·        1978-1979  : Kepala KUA Kecamatan Sekampung Kab Lampung Tengah
·        1978-1984  : Pegawai pada Kanwil Depag Provinsi DIY
·        1984-1985  : Pegawai Humas Kanwil Depag Provinsi DIY
·        1985-1987 : Kepala Seksi Kemasjidan Bidang Urais Kanwil Depag Provinsi DIY
·        1987-1991 : Kepala Seksi Publikasi Dakwah Bidang Penais Kanwil Depag Provinsi DIY
·        1991- kini  : Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta          

D.  Pengalaman Organisasi Abdul Munir Mulkhan
Abdul Munir Mulkhan adalah orang yang aktif dalam organisasi, terutama dalam organisasi muhammadiyah. Abdul Munir juga dikenal sebagai tokoh yang merasa prihatin dengan kondisi muhammadiyah akhir-akhir ini. Menurutnya, organisasi yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan ini nampak telah bergeser dari paradigma semula, yaitu sebagai gerakan pembaharu sosial-budaya serta untuk kemaslahatan umat terutama “wong cilik”. Kini muhammadiyah telah menjadi gerakan elitik, dan banyak disibukkan persoalan-persoalan fiqih, sehingga semakin jauh dari masyarakat golongan bawah dan menjadi gerakan yang mandul.[39] Demikianlah salah satu otokritik Abdul Munir atas organisasi yang selama bertahun-tahun digelutinya, selengkapnya pengalaman organisasi Abdul Munir adalah sebagai berikut:
v   1966-1967 : Ketua Pemuda Muhammadiyah Cabang Kalirejo Lampung Tengah
v   1972-1974    : Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Cabang Metro
v   1974-1978    : Sekretaris MUI Kabupaten Lampung Tengah
v   1974-1978    : Ketua Pemuda Muhammadiyah Daerah Kabupaten Lampung Tengah
v   1974-1978 : Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah Wilayah Provinsi Lampung
v   1978-1985  : Sekretaris Biro Kader PP Muhammadiyah
v   1978-1994  : Wakil Sekretaris Majelis Tabligh PP Muhammadiyah
v   1980-1982  : Ketua Perwakilan Mahasiswa Fak Filsafat UGM
v   1985-1987  : Wakil Sekretaris MUI Provinsi DIY
v   1986-2000    : Anggota Majelis Pendidikan Tinggi dan Pengembangan PP Muhammadiyah
v   1994-1995 : Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah
v   1995-2000 : Wakil Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah
v   2000-sekarang : Wakil Sekretaris PP Muhammadiyah

E.   Pengalaman Penelitian Abdul Munir Mulkhan
Adapun penelitian-penelitian yang telah dihasilkan Abdul Munir  yang diuraikan berdasarkan tahun penelitian adalah sebagai berikut:
· Pendidikan Agama dalam Kehidupan Keluarga (1974)
· Akal dalam Pemikiran Imam Al-Ghazali (1980)
· Nilai Keberagaman dalam Pancasila dan GBHN (1982)
· Partisipasi Umat dalam Kegiatan Masjid di DIY (1987)
· Perubahan Perilaku Politik Umat Islam 1966-1987 (1987)
· Posisi Muballigh dalam Kehidupan Umat di DIY (1990)
· Pemikiran Metafisika Imam Al-Ghazali (1992)
· Pengenbangan Pendidikan Teknologi di Madrasah (1997)
· Dualitas Kebaragaman Petani (1997)
· Pemurnian Islam Dalam Masyarakat Desa (1997)
· Islam Inklusif dalam Masyarakat Sipil (1999)
· Pola Pendidikan Tauhid dalam Buku Teks Pendidikan Agama Islam (2001)
· Islam Liberal dalam Perkembangan Gerakan Keagamaan di Indonesia (2003)
· Liberalisasi Pendidikan Agama dan Dakwah (2003)

F.   Publikasi/Karya Tulis Abdul Munir Mulkhan
Abdul Munir Mulkhan dikenal sebagai orang yang sangat produktif. Beliau menulis banyak hal yang dipublikasikan lewat dua hal yaitu diberbagi artikel dan buku-buku.
Karya-karya yang beliau publikasikan lewat berbagai artikel diantaranya :
1.       1996, Futurologi dari Pandangan Islam, Jurnal Gema Universitas Duta Waca­na, No. 51 Tahun 1996, Yogyakarta.
2.       1996, Neo-Sinkretisme Petani Muhammadiyah, Journal On Islamic Studies Al-Jami’ah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, No. 59, Th. 1996.
3.       1996, Spiritualisasi Lingkungan Material dan Moral Kenabian dalam Moderni­tas, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Unisia, No. 30 Th 1996.
4.       1997, Pemihakan Kemanusiaan dalam Keberagamaan Profetik, Jurnal Shabran Media Pengkajian dan Dakwah Islam, No. 02 Th XI, 1997, Surakarta.
5.       1997, Pendidikan Islam dalam GBHN dan Realitas Kebangsaan, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Unisia, No. 33/XVIII/1/1997.
6.       1997, Moral Kenabian: Paradigma Intelektual Pembangunan, Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 4/VII/1997. 
7.       1999, Akar Fundamentalisme dalam Gerakan Islam di Indonesia, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif Wcana, No. II, 1999, Yogyakarta.
8.       2000, Mencari Dasar Etik Kebangkitan Kaum Santri, Jurnal Studi dan Dakwah Islam, Shabran, Edisi 01, Vol XIV, 2000.
9.       2000, “Teologi” Petani: Respon Masyarakat Petani Terhadap Islam Murni, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Unisia, No. 41/XXII/IV/2000.
10.   2000, Etika Kerja dalam Teologi Petani, Jurnal Dialog, Litbang Depag, No. 52 Th, XXIII, Desember 2000.
11.   2000, Jalan Baru Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, Jurnal Inova­si UMY, No.2 Th. X/2000.
12.   2000, Kebudayaan Sebagai Jalan Mencapai Tuhan, Bestari, No. 30 Th. XIII, 2000.
13.   2000, Islam dalam Realitas dan Dinamika Sosial, Jurnal Ihya’ Ulum Al Din, IAIN Walisanga, Vol 2/ 2000.
14.   2000, Peran TNI dalam Mendukung Terwujudnya Masyarakat Madani, Jurnal Akademi Militer, Panca Arga, Edisi 1/ Juni 2000.
15.   2000, Pencerahan Fungsi TNI dalam Kemandirian Lokal Indonesia Baru, Jur­nal Akademi Militer, Panca Arga, Edisi 2/Th I/ Nopember 2000.
16.   2001, Penerapan HAM dalam Etika Prajurit dan Tugas TNI, Jurnal Akademi Militer, Panca Arga, Edisi 3/Th II/ Maret 2001.
17.   2001, Jatidiri TNI dalam Dinamika Politik Nasional, Jurnal Akademi Militer, Panca Arga, Edisi 4/Th II/ Agustus 2001.
18.   2001, Agama Publik dalam Sufisme, Jurnal Inovasi UMY, No.3 Th. X/ 2001.
19.   2001, Modernisasi Pendidikan Islam dan Pergeseran Elite Lokal, Jurnal Studi Islam Profetika, Magister Studi Islam, UMS, Vol. 3, No. 1 Januari 2001.
20.   2001, Refleksi Humanisasi Tauhid dalam Reformasi Ontologis Pendidikan Islam, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Vol. 2, No. 1, Juli 2001.
21.   2001, Islam di Tengah Konflik dalam Dinamika Perkembangan Iptek dan Ke­budayaan, Jurnal Bestari, No. 31 Th. XIV, 2001.
22.   2001, Kebenaran Ilmu dan Pendidikan dalam Gagasan Kiai Ahmad Dahlan, Jurnal Varidika, No. 22/Th XIII/2001.
23.   2003, Makna Kemahatunggalan Tuhan dalam Keyakinan Iman Muslim, Jurnal Teologi Gema, Fak Theologia UnKris Duta Wacana, Edisi 58 Th. 2003.
24.   2004, Mustadl’afin dan Kaum Proletar dalam Elitisme Pengingkar Tuhan, Jurnal Pemikiran dan Gerakan Muhammadiyah Tajdida, Vol 2 No. 2 Desember 2004.
25.   2005, Islam dalam Kesadaran Orang Jawa, Majalah Syir’ah, edisi khusus ulang
26.   2009, Islamic Education and Da’wah Liberalization Investigating Kiai Ahmad Dahlan  Ideas, Al-Jamiah, Vol 46, Number 2, 2008/1429, p.401-430
Sedangkan karya-karya beliau yang diterbitkan dari berbagai penerbit seperti: Bumi Aksara, Sipress, Persatuan, Pustaka Pelajar, Bentang budaya, Kreasi Wacana dan lain-lain diantaranya:
1.        1985, Syeh Siti Jenar dan Ajaran Wihdatul Wujud, Persatuan, Yogyakarta.
2.       1985, Perkembangan Pemikiran Muhammadiyah Dari Masa Ke Masa, Dua Dimensi, Yogjakarta (karya bersama Sukrianto, A.R.)
3.       1986, Tinjauan dan Prespektif Ajaran Islam, Bina Ilmu, Surabaya.
4.       1987, Warisan Intelektual Kiai Ahmad Dahlan, Persatuan, Yogyakarta.
5.       1990, Pergumulan Pemikiran dalam Muhammadiyah, Sipres, Yogyakarta. (karya bersama Sukrianto A.R.)
6.       1990, Pemikiran Kiai Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial, Bumi Aksara, Jakarta.
7.       1991, Yogyakarta Selintas dalam Peta Dakwah, Depag DIY, Yogyakarta.
8.       1991, Perubahan Perilaku Politik Islam dalam Perspektif Sosiologis, Rajawali, Jakarta.
9.       1992, Khutbah-Khutbah Islam, Sipres, Yogyakarta.
10.   1992, Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan Kebebasan, Esai Pemikiran Imam Al Ghazali, Bumi Aksara, Jakarta.
11.   1992, Pancasila Dasar Filsafat Negara; Prinsip-prinsip Pengembangan Kehi­dupan Beragama, UMM Press, Malang. (karya bersama; A. Malik Fadjar, Dimjati Achijat, Agus Tinus)
12.   1993,  Pak AR Menjawab dan 274 Permasalahan dalam Islam, Sipres, Yogyakarta.
13.   1994, Paradigma Intelektual Muslim; Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, Sipres, Yogyakarta.
14.   1995, Teologi Kebudayaan dan Demokrasi Modernitas, Pustaka Pelajar, Yog­yakarta.
15.   1996, Ideologisasi Dakwah; Episod Kehidupan M. Natsir dan Azhar Basyir, Sipres, Yogyakarta.
16.   1997, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Sipres, Yogyakarta.
17.   1997, Teologi dan Fiqh dalam Tarjih Muhammadiyah, Sipres, Yogya­kar­ta.
18.   1998, Bisnis Kaum Sufi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. (karya bersama Radjasa Mu’tasim)
19.   1998, Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren dalam Religiusitas Ip­tek, Pustaka Pelajar-Fak Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogjakarta, Yogyakarta. (editor; karya bersama)
20.   1999, Studi Islam dalam Percakapan Epistemologis, Sipres, Yogyakarta (editor). 
21.   2000, Islam Murni Dalam Masyarakat Petani, Bentang Budaya-Ford Foundation, Yogyakarta-Jakarta.
22.   2000, Menggugat Muhammadiyah, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta.
23.   2000, Neo-Sufisme dan Pudarnya Fundamentalisme, UII Press, Yogyakarta.
24.   2000, Kearifan Tradisional, Agama untuk Tuhan atau Manusia, UII Press, Yogyakarta.
25.   2001, Syekh Siti Jenar; Pergumulan Islam-Jawa, Bentang Budaya, Yogyakarta. (kini cetakan ke-16)
26.   2001, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta. (kini cetakan ke-12)
27.   2001, Kekerasan dan Konflik; Tantangan Bagi Demokrasi, Forum LSM DIY-Yappika, Yogyakarta. (karya bersama)
28.   2001, Kiai Presiden, Islam dan TNI di Tahun-tahun Penentuan, UII Pres, Yogjakarta.
29.   2002, Jawaban Kyai Muhammadiyah (edisi revisi), Kreasi Wacana, Yogyakarta.
30.   2002, Nalar Spiritual Pendidikan, Solusi Problem Pendidikan Islam, Tiara Wacana, Yogyakarta.
31.   2002, Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian John P. Miller, Kreasi Wacana, Yogjakarta (karya saduran).
32.   2002, Pendidikan Liberal  Berbasis Sekolah Stevan M. Chan, Kreasi Wacana, Yogjakarta (karya saduran bersama Umi Yawisah).
33.   2002, Teologi Kiri; Landasan Gerakan Membela Kaum Mustadl’afin, Kreasi Wacana, Yogjakarta (edisi revisi).
34.   2003, Strategi Sufistik Semar; Aksi Santri Merebut Hati Rakyat, Kreasi Wacana, Yogyakarta. 
35.   2003, Dari Semar ke Sufi; Kesalehan Multikultural, Al-Ghiyat, Yogjakarta
36.   2003, Burung Surga dan Ajaran Kasampurnan Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta (kini cetakan ke-4).
37.   2003, Nyufi Cara Baru Kiai Ahmad Dahlan dan Petani Modernis, Serambi, Jakarta.
38.   2003, Revolusi Kesadaran Dalam Serat-Serat Sufi, Serambi, Jakarta.
39.   2003, Moral Politik Santri; Agama dan Pembelaan Kaum Tertindas, Erlangga, Jakarta.
40.   2004, Kecerdasan Makrifat; Jalan Pembebasan Manusia dari Mekanisme Konflik, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (pidato pengukuhan sebagai guru besar).
41.    2005, Makrifat Siti Jenar; Teologi Pinggiran dalam Kehidupan Wong Cilik, Grafindo Khazanah Ilmu, Jakarta (cet ke 3).
42.   2005, Kesalehan Multikultural Ber-Islam Secara Autentik-Kontkestual di Aras Peradaban Global, PSAP, Jakarta.
43.   2005, Kisah dan Pesan Kiai Ahmad Dahlan, Pustaka Scripta Perenia, Yogyakarta.
44.   2005, The Power Of Angel, Membela Sesama Mengapai Surga, Scripta Perenia, Yogya
45.   2005, Islam Sejati; Kiai Ahmad Dahlan dalam Kehidupan Petani, Serambi, Jakarta.
46.   2005, Teologi & Fiqh dalam Tarjih Muhammadiyah, (edisi revisi), Roykhan, Yogya.
47.   2006, Bijak & Jenaka, Melipur Jiwa dengan Kisah Sarat Makna, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta.
48.   2007, Sufi Pinggiran; Menembus Batas-Batas, cet kedua, Impulse-Kanisius, Yogyakarta
49.    2007, Satu Tuhan; Seribu Tafsir, cet kedua, Impulse-Kanisius, Yogyakarta.
50.    2007, Kisah dan Pesan Kiai Ahmad Dahlan; Hikmah Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, Yogyakarta.
51.    2007, Manusia Alquran; Jalan Ketiga Religiusitas di Indonesia, cet pertama, Impulse-Kanisius, Yogyakarta.
52.    2007, Ajaran dan Jalan Kematian Syech Siti Jenar, cet ke-22, Kreasi Wacana, Yogyakarta.
53.    2008, Syekh Siti Jenar; Pergumulan Islam-Jawa, cet ke 19, Bentang, Yogyakarta.
54.    2008, Makrifat Burung Surga, Ilmu Kasampurnan Syech Siti Jenar, cet ke-11, Kreasi Wacana, Yogyakarta.
55.    2008, Api Pembaharuan Muhammadiyah,; Etika Welas Asih, Multi Presindo, cet pertama, Yogyakarta.
56.    2008, Bijak & Jenaka, Melipur Hati dengan Kisah Bergizi (edisi revisi), Zaman, Jakarta.
57.    2009, Merebut Hati Rakyat, Cara Menang Politik Santri, Impulse-Kanisius, Yogya (dalam proses).
58.    2009, Guru Sejati Syekh Siti Jenar Guru Sejati; Pemimpin dalam Makrifat Jawa, Epistema, Yogyakarta (dalam proses).
59.    2009, Misteri Kematian Syekh Siti Jenar, Mizan, Bandung (dalam proses).
60.    2009, Kesetiaan Perempuan dalam Makrifat Syekh Siti Jenar dan Burung Surga, Impulse-Kanisius, Yogyakarta (dalam proses).[40]

Selain aktif menulis buku-buku yang diterbitkan, Abdul Munir juga merupakan kontributor bagi sejumlah buku dengan beragam tema. Buku-buku tersebut diantaranya:
ü      Kelompok studi lingkaran, Intelektualisme Muhammadiyah Menyongsong Era Baru, Bandung: Mizan, 1995.
ü      Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ, Pendidikan Islam Dalam Peradaban Industrial, Yogyakarta: Aditya Media, 1997.
ü      M. Amin Abdullah, Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000.
ü      Maryadi (ed), Muhammadiyah Dalam Kritik, Yogyakarta: Muhammadiyah University Press, 2000.
ü      H.M Amin Abdullah dkk, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multikultural, Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2001.
Abdul Munir Mulkhan Yang Menulis Kata pengantar untuk sejumlah buku diantaranya adalah:
§         Muhammad Damami, Akar Gerakan Muhammadiyah, Yogyakarta: Pajar Pustaka Baru, 2000.
§         Haifan A. Jawwad. Perlawanan Wanita: Sebuah pendekatan otentik religius, terjemah, Moh. Salik, Yogyakarta: Cendekia Para Mulya, 2002.
§         Akhmad Kusuma Jaya (Peny) Jalaluddin Rumi: Kearifan Cinta (Renungan Sufistik sehari-hari Kutipan Fihi Ma Fihi). Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002.
§         Th. Sumartana, dkk. Pluralisme, Konkrit dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
§         Lukman Hakim, Revolusi Sistemik, Solusi Stagnasi Reformasi dalam Bingkai Sosialisme Religius, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003.
G.   Mainstream Pemikiran Abdul Munir Mulkhan

Abdul Munir Mulkhan dikenal sebagai tokoh pemikir yang aktif dan produktif. Selain sebagai guru, dosen, beliau juga aktif di berbagai kegiatan organisasi Muhammadiyah. Abdul Munir Mulkhan dikenal sebagai penulis, baik berupa artikel di media masa maupun menulis puluhan buku. Beberapa pemikiran yang menarik pernah dikemukakan Abdul Munir Mulkhan. Misalnya: soal pemahaman yang keliru tentang hubungan antara agama dan kebudayaan. “Agama ya Kebudayaan Itu Sendiri”, katanya. Agama yang dari Tuhan memang bukan kebudayaan, tapi karena watak-Nya yang absolut, oleh karenanya hal itu “Bukan Menjadi Urusan Kita”. Namun yang jelas tambah Abdul Munir Mulkhan, ketika agama masuk dalam struktur kesadaran manusia maka agama adalah kebudayaan. Konsekuensinya agama menjadi dinamis  negotiable dan karena tidak kebenaran mutlak. Agama adalah tafsir, yang sangat dipengaruhi oleh kondisi di mana seseorang manusia hidup, oleh hubungan-hubungan sosial. Perkembangan intelektualitasnya dan seterusnya.

Untuk memahami hal ini perlu dikemukakan pendapat Lorens Bagus dalam buku kamus filsafat, bahwa pembagian agama sering dibedakan menjadi dua macam: agama kodrati-natural, dan agama wahyu. agama kodrati-natural bertumbuh dari kodrat manusia yang rohani dan yang diciptakan. Agama wahyu memperlihatkan dengan jelas bagaimana kehidupan riligius bertumbuh dan berkembang. Dasar kehidupan ini adalah iman, harapan dan cinta. Agama adalah kebudayaan yang merupakan ragam agama yang pertama.
Dalam kajian Islam agama natural tersebut dikenal dengan istilah agama watsaniyyah atau wadhiyyah, yaitu yang dihubungkan kepada bumi dan bukan dihubungkan kepada langit, dihubungkan kepada manusia dan bukan kepada Allah, seperti agama Budha, Hindu dan Majusi, adapun agama wahyu disebut agama samawi atau kitabi yaitu agama yang memikili kitab suci Wahyu Ilahi  yang turun dari langit membawa petunjuk Allah bagi manusia seperti agama Yahudi, Nasrani dan Islam.
Dalam wacana agama sebagai intelektual, Abdul Munir Mulkhan mengimpikan terwujudnya cara agama yang santun dan dinamis di tengah masyarakat. Kita membutuhkan konsep tentang Tuhan yang manusiawi, agar Tuhan tidak terus bertempur dengan Tuhan-Tuhan yang lain perlu dikemukakan bahwa konsep tentang Tuhan dalam ilmu kalam seperti dikemukakan oleh Harun Nasution dalam buku Teologi Islam: Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan Tuhan bersifat absolut dalam kehendak dan kekuasaan-Nya. Tuhan adalah Maha Pemilik (Al-Malik) yang bersifat absolut dan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya didalam kerajaan-Nya dan tak seorang pun yang dapat mencela perbuatan-Nya apalagi bertempur dengannya.
Selain itu pemikiran beliau juga dilandaskan dengan tiga hal yakni: Filosofis, Sosiologis dan Religius. Filosofis karena memang beliau selalu menggunakan sudut pandang filosofis dalam menelurkan pemikiran-pemikirannya dan di samping itu beliau juga  mendapat gelar guru besar filsafat di universitas islam negeri yogyakarta. Sosiologis hal itu terbukti dengan peran beliau selama ini yang beberapa kali menjabat di selah satu organisasi ternama di negeri ini yang tak lain adalah organisasi muhammadiyah. Religius seperti halnya karya-karya beliau yang rata-rata bertemakan keagamaan.

BAB III
PENDIDIKAN SUFISTIK MENURUT PROF. DR. ABDUL MUNIR MULKHAN, SU.

  1. Pengertian Pendidikan Sufistik Menurut Abdul Munir Mulkhan
Membahas masalah pendidikan sufistik tidak akan terlepas dari pengertian pendidikan islam, sehingga akan diperoleh batasan-batasan pengertian pendidikan secara lebih jelas.[41] Namun sebelum penulis paparkan pengertian pendidikan sufistik menurut Abdul Munir Mulkhan terlebih dahulu penulis akan mengetengahkan beberapa pesrspektif pengertian pendidikan dan sufistik.
Para ahli pendidikan Indonesia, mendefinisikan pendidikan dengan berbagai coraknya. Menurut Hasan Langulung pengertian pendidikan itu dapat ditinjau dari dua segi, yaitu dari sudut pandang masyarakat secara umum dan dari segi pandangan individu.[42] Lanjut Langulung, masyarakat memandang pendidikan sebagai pewarisan kebudayaan atau nilai-nilai budaya baik yang bersifat intelektual, ketrampilan, keahlian dari generasi tua kepada generasi muda agar masyarakat tersebut dapat memelihara kelangsungan hidupnya atau tetap memelihara kepribadiannya. Sedangkan dari segi pandangan individu pendidikan berarti upaya pengembangan potensi-potensi yang dimiliki individu yang masih terpandang agar dapat teraktualisasi secara konkrit, sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh individu dan masyarakat. Hal ini senada dengan pendapat Ishaq al-Shu’aibi yang membagi pendidikan menjadi pendidikan individu, yang bertujuan untuk terbinanya personal yang membuat peradaban, dan pendidikan masyarakat, yang berusaha untuk terbinanya ikatan kebudayaan di masyarakat yang baik.
Pendidikan merupakan usaha sadar bertujuan, yaitu menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan juga latihan bagi peranan dimasa yang akan datang. Pendidikan memperhatikan perkembangan selalu pribadi anak, hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional kita yaitu: [43]
“Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani serta tanggung jawab kemasyarakatan  dan kebangsaan.”
Erat kaitannya dengan pendidikan disekolah adalah motivasi, karena motivasi merupakan daya pendorong yang menggerakkan seseorang untuk bertindak dalam pencapaian suatu tujuan. Begitu pula motivasi sangat penting bagi anak dalam menempuh pendidikkannya juga dalam tempat belajarnya. Dalam pendidikan anak inilah ada tujuan yang hendak dicapai sebagaimana yang diungkapan Al-Ghazali dalam tujuan pendidikan Islam:
1.      Kesempurnaan manusia yang puncaknya adalah dekat dengan Allah.
2.      Kesempurnaan manusia yang puncaknya adalah kebahagiaan dunia dan akhirat.[44]
Dalam Islam, istilah pendidikan, Setidaknya mengacu dari 3 kata dasar yang ada dalam bahasa Aarab yaitu: tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib.[45] Ketiga istilah tersebut mempunyai arti yang berbeda, adapun tarbiyah mengandung arti suatu proses menumbuh kembangkan anak didik secara bertahap dan berangsur-angsur menuju kesempurnaan, sedangkan ta’lim merupakan usaha mewariskan pengetahuan dari generasi tua kepada generasi muda dan lebih menekankan pada transfer pengetahuan yang berguna bagi kehidupan peserta didik. Istialah ta’dib merupakan usaha pendewasaan, pemeliharaan dan pengasuhan anak didik agar menjadi baik dan mempunyai adab sopan santun sesuai dengan ajaran Islam dan masyarakat.[46]
Ketiga istilah ini harus dipahami secara bersama-sama karena ketiganya mengandung makna yang amat dalam menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan dalam hubungannnya dengan Tuhan dan saling berkaitan satu dengan yang lain.[47]
Athiyah Al-Abrosyi memaknai pendidikan Islam dengan pengertian mempersiapkan individu agar ia dapat hidup dengan kehidupan yang sempurna.[48] Sedangkan Drs. Abu Tauhied, mengartikannya dengan suatu upaya mempersiapkan anak atau individu dan menumbuhkannya baik dari sisi jasmani, akal fikiran dan rohaninya dengan pertumbuhan yang  terus menerus agar ia dapat hidup dan berpenghidupan sempurna dan ia dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi dirinya dan umatnya.[49] Sedangkan menurut Zakiah Daradjat:
“Pendidikan Islam merupakan bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar dapat memahami kandungan agama Islam secara keseluruhan, menghayati makna, maksud dan tujuan agama Islam serta dapat mengamalkannya dan menjadikannya pandagan hidup, sehingga mendatangkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.”[50]

Menurut Abdul Munir Mulkhan, pendidikan adalah rancangan kegiatan yang paling banyak berpengaruh terhadap perubahan perilaku seseorang dan suatu masyarakat. Pendidikan, merupakan model rekayasa sosial yang paling efektif untuk menyiapkan suatu bentuk masyarakat “masa-depan”. Demikian pula halnya dengan masyarakat Islam sebagai sebuah sistem, masa depannya banyak ditentukan oleh konsep dan pelaksanaan pendidikan tersebut.[51]
Dalam literatur yang lain, Munir Mulkhan menyebutkan pendidikan harus dilaksanakan prinsip-prinsip sebagai berikut:[52]
·        Setiap manusia memiliki kedudukan dan hak yang sama dihadapan Allah.
·        Setiap manusia memiliki kecenderungan fitrah yang hanif untuk tunduk kepada kebenaran sesuai dengan posisinya masing-masing.
·        Setiap manusia membutuhkan penghargaan dan pengakuan.
·        Setiap manusia memiliki kesadaran terhadap dirinya, lingkungan, eksistensinya serta terhadap sejarah.
·        Islam adalah agama untuk semua manusia bahkan alam.
·        Kepemelukan Islam adalah hidayah yang merupakan hak Allah. Manusia hanya mampu menjalani sebuah proses dan menciptakan peluang.
·        Subtansi dari hidup adalah sebuah proses memahami melalui penalaran dan penghayatan pengalaman dalam amal yang kreatif.
·        Pendidikan Al-Islam harus merupakan media dan wahana dari proses tersebut.

Menurut Abdul Munir Mulkhan, pendidikan Islam merupakan pembimbing dan pengarah masyarakat berbagai kawasan untuk saling berdialog, sehingga tumbuh solidaritas sosial yang murni sabagai manusia seutuhnya yang memiliki keunikan, kedirian dan keterikatan bersama. Pendidikan Islam disamping memiliki kemampuan memenuhi tuntunan normatife juga mampu menjawab tantangan historis dan sosiologis masyarakat modern.[53]
Lebih lanjut ia menuturkan bahwa pendidikan harusnya diletakkan dan dikelola sebagai paket pengembangan jiwa atau kepribadian dan keterampilan serta pemberian fasilitas bagi setiap manusia untuk bisa mengalami dan menyelesaikan sebanyak mungkin masalah. Dengan demikian pendidikan merupakan rekonstruksi pengalaman sejarah secara akumulatif, sehingga manusia bisa belajar dari sejarah masa lalu. Karena itu kecerdasan seharusnya diorientasikan bukan sekedar sebagai prestasi otak, tetapi juga sebagai kualitas spiritual dan religiusitas.[54]
Sedangkan istilah sufistik itu sendiri menurut Harun Nasution[55] ada 5 macam pengertian yang berasal dari suku kata yang berbeda-beda, diantaranya:
a.       Suffah;
Demikian itu karena adanya kesamaan antara para sufi dengan Ahl al-suffah dalam kehidupan dan sifat-sifat mereka. Ahl al-suffah adalah sekelompok kaum muhajirin yang miskin dan mempunyai hati yang baik, tinggal dalam sebuah ruangan di sisi masjid Rasulullah SAW.
b.      Saff;
Dikatakan demikian karena ia berada pada saff (baris) pertama dihadapan Allah, sebagaimana halnya dengan shalat (berjamaah) dan dalam berjihad.
c.       Safa (Safwun);
Artinya bersih, murni dan suci. Demikian itu karena kaum sufi mempunyai hati nurani yang murni dan sifat-sifat mereka tersembunyi, terpilih, tercerahkan dan bersih. Mempunyai pengetahuan tentang Allah dan berjalan menuju-Nya, serta berpaling dari yang selain-Nya. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Allah. Karena itu kesucian mereka pun akan terjaga dan memang para sufi selalu berusaha menyucikan dirinya yakni dengan cara memperbanyak ibadah, terutama shalat dan puasa.
d.      Sophos;
 Nicholson menyatakan, beberapa sarjana eropa mengidentifikan kata sufi dengan (sophos) berarti kebijakan (hikmah).
e.       Suf;
Kata suf berarti wool, istilah sufi untuk pertama kalinya dinisbahkan pada zahid yang memakai pakaian dari wool. Dikatakan trimingham bahwa dari sinilah munculnya istilah tasawuf untuk mistisisme. Wool dimaksud adalah wool kasar sebagai simbol kesederhanaan sekaligus pertanda kemiskinan. Meraka tidak memakai pakaian yang halus disentuh atau indah dilihat, untuk menyenangkan jiwa. Mereka memakai wool kasar tersebut hanyalah untuk menutupi ketelanjangannya.

Secara etimologi, para ahli sufi berselisih pendapat tentang asal kata tasawuf, sebagian mengatakan bahwa tasawuf berasal dari suffah yang berarti tempat masjid nabawi yang didiami oleh sebagian sahabat anshar, ada pula yang mengatakan berasal dari shaf, yang berarti barisan, seterusnya ada yang menyatakan shafa, yang berarti bersih atau jernih. Dan ada lagi yang menyatakan dari shufanah, yakni nama kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir. Terakhir ada yang menyatakan dari bahasa yunani Theosofi, yang berarti ilmu keTuhanan.[56]
Dari beberapa pandangan tersebut, maka dapat dikatakan adanya perbedaan pendapat tentang asal-usul kata tasawuf itu dilatarbelakangi oleh perbedaan sudut pandang. Tasawuf dikatakan dari kata shuf, karena kata tersebut ditinjau dari segi lahiriyah, yakni pakaian yang terbuat dari bulu yang biasa dipakai oleh ahli tasawuf. Sementara bagi yang menyatakan shafa yang berarti bersih, adalah karena para ahli tasawuf berusaha membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela.
Sedangkan pengertian sufistik yang terdapat dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah berkenaan dengan ilmu tasawuf, sedangkan sufi adalah ahli ilmu suluk atau ahli ilmu tasawuf.[57]
Menurut Abdul Munir Mulkhan bahwa yang dimaksud dengan istilah sufistik itu adalah sifat seperti pemikiran sufistik artinya pemikiran yang nyufi, sementara sufi itu sendiri adalah sebutan atau nama suatu tindakan atau pandangan, sedangkan sufisme adalah suatu cara pandang atau sikap yang memandang bahwa pencapaian kedekatan pada Tuhan dilakukan tidak hanya dengan ritual ibadah yang kasat mata atau fisik jasmani, melainkan juga sekaligus dengan ritual hati dan keterlibatan hati atau jiwa.[58]
Pada dasarnya aliran sufi merupakan salah satu jalan hidup mistik, yang dimulai dengan perubahan jiwa atau pemutaran menuju Tuhan. Akhir dari jalan ini adalah kesempurnaan penyatuan antara manusia dengan Tuhan atau meminjam istilah dari ajaran syeh siti jenar yaitu manumggal ing kaulo gusti, pandangan seperti ini juga bisa ditemukan dalam ajarannya seorang tokoh yang terkenal yakni Al-Hallaj yang melahirkan konsep tentang wahdatul wujuh.[59]
Hal yang akan diungkapkan terlebih dahulu adalah deskripsi singkat dari sebuah proses yang tidak peduli seberapa jauhnya. Dengan kata-kata baik kalimat singkat maupun cerita yang panjang, sufi berusaha untuk membangkitkan perubahan mistisisme yang pada awalnya hanya bersifat transenden (ketuhanan) menjadi sufi yang bersifat humanis tanpa harus menghilangkan kualitas ketuhanannya.
Sufistik atau tasawuf di sini tidak hanya sebatas kearifan individual yang hanya melakukan ritual-ritual mistik dan cenderung lebih mengedepankan hubungan terhadap Tuhan (Allah) dan Rasulnya tetapi beliau lebih mengedepankan kesalehan secara universal (merata) atau dalam bahasa yang lain beliau lebih mengedepankan Hablum Minan Nas tanpa mengabaikan hubungan dengan Tuhan dan Rasulnya, beliau memaknai ritual-ritual ibadah agar tidak hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri tetapi bagaimana caranya agar bisa bermanfaat terhadap orang lain, bahkan beliau menganjurkan diri kita agar lebih mengedepankan orang lain dari pada dirinya sendiri.
Di samping itu beliau juga sangat mengapresiasi mengenai para elit negara yang bisa menjalankan amanah rakyatnya dengan baik, bertanggung jawab, jujur, tidak korupsi dan lain sebagainya, begitu juga sebaliknya sebagai warga masyarakat yang kadang tertindas hak-haknya oleh kebijakan-kebijakan penguasa yang sering tidak memihak terhadap rakyat miskin, dan rakyat miskin tersebut sudah berusaha memperjuangkan haknya namun tak ada hasil yang diperoleh lalu kemudian rakyat miskin tersebut mengiklaskan dan menerimanya dengan lapang dada atas ketentuan-ketentuan tersebut maka itulah yang dimaksud oleh Abdul Munir Mulkhan sebagai prilaku atau sifat-sifat yang baik (mulia) yang tergolong sebagai prilaku yang sufi.
Tasawuf atau sufi merupakan metodologi yang membimbing manusia ke dalam harmoni dan keseimbangan total. Interaksi kaum sufi dalam semua kondisi adalah dalam harmoni dan kesatuan dengan totalitas alam, sehingga perilakunya tampak sebagai manifestasi cinta dan kepuasan dalam segala hal.
Bertasawuf berarti pendidikan bagi kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ) yang sebenarnya adalah belajar untuk tetap mengikuti tuntutan agama, saat berhadapan dengan musibah, keberuntungan, perlawanan orang lain, tantangan hidup, kekayaan, kemiskinan, pengendalian diri, dan pengembangan potensi diri. Bukankah lahirnya sufi-sufi besar seperti Rabi'ah Adawiah, Al-Ghazali, Sari al-Saqothi atau Asad al-Muhasabi telah memberi teladan, pendidikan yang baik, yakni berproses menuju perbaikan dan pengembangan diri dan pribadi.
Oleh karena itu menurut beliau bahwa sufi itu bisa dilakukan oleh siapa saja.[60] baik orang itu kaya, sederhana, maupun miskin jika orang tersebut mempunyai sifat-sifat baik (mulia) maka orang tersebut bisa dikatakan orang yang sufi, bahkan lanjut beliau bahwa orang yang sufi itu tidak harus mengetahui tingkatan (maqomat-maqomat) dalam ilmu tasawuf karena mungkin secara tidak langsung dan tanpa disadari ketika orang tersebut melakukan kebaikan telah mencapai tingkatan (maqam) tersebut.
Adapun pendidikan sufistik menurut Munir Mulkhan adalah pendidikan yang bisa membuat orang memiliki sifat-sifat mulia, bukan sekedar kognisi, akan tetapi lebih pada afeksi atau aspek kesadaran.[61] Dalam beberapa literature, Munir Mulkhan menyebut pendidikan sufistik dengan sebutan pendidikan agama. Terdapat sekurangnya tiga hal yang harus ada dalam pendidikan, terutama pendidikan agama, khususnya pendidikan agama islam. Pertama dimensi pengetahuan atau ilmu, kedua dimensi kesadaran, ketiga dimensi perilaku. Pendidikan yang hanya menekankan ilmu atau pengetahuan akan membuat orang pandai berkilah tapi sesungguhya sebagai pembangkang.[62] Pendidikan sufistik atau pendidikan agama[63] ini lebih menekankan pada dimensi kesadaran ketuhanan. Pendidikan sufistik perlu dipahami bukan sekedar memperkaya ilmu atau pengetahuan agama tanpa kesadaran ketuhanan. Keahlian dalam ilmu tentang Tuhan dan ajaran-Nya tanpa kedaran ketuhanan sering membuat seseorang menipu diri sendiri, munafik, malam hari menangis menyesali diri, terus beristighfar, siang kembali menjadi pecundang. Secara sadar mempermainkan Tuhan dan melecehkan Tuhan dengan menumpuk pahala guna menghapus dosa yang terus dilakukan secara berulang-ulang.
Pendidikan sufistik diberi arti bukan sebagai hasil kerja kreatif, tetapi sebagai proses kreatif itu sendiri yang terus menerus berlangsung sepanjang hidup. Proses kreatif selalu bersifat unik dan khas bagi setiap orang dan peserta didik. Perbedaan berdasar keunikan dari proses kreatif dari tiap peserta didik tersebut lebih penting daripada abstraksi atas pola kesamaannya.[64]
Pendidikan agama atau sufistik perlu dimaknai sebagai suatu strategi pembelajaran berorientasi penciptaan situasi belajar ketuhanan hingga peserta didik bisa menjalani proses kreatifnya sendiri dalam ber-Tuhan dan ber-Islam. Dari sini peserta didik bisa menemukan sendiri dan menyadari kehadiran Tuhan dalam kelas atau kehidupan sehari-hari. Kesadaran personal seperti itu adalah kunci utama proses pembelajaran bagi penumbuhan daya kreatif yang bebas dan mandiri dari setiap peserta didik.
Syed Sajjad Husaian dan Syed Ali Ashraf juga berpendapat bahwa Pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam[65], atau "Pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah.[66] Pendidikan Islam bukan sekedar "transfer of knowledge" ataupun "transfer of training", ....tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan; suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan.[67] Pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Melalui proses itu peserta didik mampu mengendalikan sifat kemanusiaan bagi penumbuhan dan pengembangan sifat ketuhanannya seperti teori hulul dalam tradisi sufi.[68] Dengan penuh sadar diri peserta didik memilih menaati semua ajaran Tuhan dan bersedia menanggung segala resiko akibat pilihannya tersebut.
Kesadaran yang disebut etis tersebut akan mendorong peserta didik menggunakan seluruh waktu hidupnya guna mencari sendiri pengetahuan ketuhanan dan ajaran Tuhan. Memperkaya pengetahuan itu, serta menaati ajaran Tuhan dengan penuh semangat dan kegembiraan. Melalui proses aktif itu, peserta didik terus berusaha menyempurnakan pengetahuan tentang ajaran Tuhan dan pemenuhannya sehingga menjadi kaffah baik selama proses pembelajaran dalam kelas atau diluar lingkungan sekolah dan dalam kehidupan sosial usai sekolahnya nanti.
Pendidikan agama ialah usaha membuat peserta didik berada dalam suasana belajar bagai seorang pengamat sekaligus yang diamati. Ketika seseorang melihat sebuah cermin yang terlihat adalah dirinya sendiri. Pada posisi cermin diletakkan hal-hal ketuhanan sehingga ketika melihatnya atau mengamati yang terlihat adalah si pengamat sendiri bagai menggunakan mata Tuhan untuk melihat diri sendiri (man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu).
Pada intinya bahwa pendidikan sufistik menurut Abdul Munir Mulkhan adalah pendidikan yang mengajarkan atau membuat orang memiliki sifat-sifat baik (mulia).
Pembelajaran sufistik ini hanya mungkin dilaksanakan dengan syarat-syarat:[69]
1.      Jika guru agama bebas dari beban teologis. Beban teologis terlihat dari peletakan seluruh perkembangan moral dan ketaatan ritual peserta didik di sekolah umum dan madrasah pada guru agama dengan system pembelajaran terpisah dan alokasi waktu yang minimal.
2.      Beban birokrasi kurikulum sesuai kemampuan dan alokasi waktu yang disediakan dengan fokus pembelajaran.. Beban birokrasi kurikulum bisa dilihat dari kewajiban guru agama menyelesaikan seluruh rancangan kurikulum dalam satuan waktu terbatas dan system evaluasi ranah kognisi.





B.     Signifikansi Pendidikan Sufistik
Menurut Munir Mulkhan, pendidikan sufistik dapat terwujud dengan redefinisi dan rekonseptualisasi pendidikan agama islam. Dimana pendidikan agama islam hanya bersifat tempelan atau mengikut pada sistem pendidikan nasional atau pendidikan umum.[70] Akibatnya, pendidikan hampir selalu gagal melahirkan manusia-manusia kreatif yang memiliki gairah penemuan teori iptek atau pengembangan teori tersebut. Rekonseptualisasi itu meliputi pendidikan agama islam mulai dari pendidikan tingkat dasar hingga tingkat perguruan tinggi. Signifikansi rekonseptualisasi dan/ atau redefinisi pendidikan agama islam adalah bahwa pendidikan agama islam selama ini cenderung kognitif – doktrinal.[71] Pendidikan agama islam haruslah lebih menitikberatkan pada sisi afektif , bagaimana anak didik melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari guru ataupun pengalaman pribadi diluar sekolah dapat membentuk kesadarn berketuhanan.
Rekonseptualisasi tujuan dan pembelajaran agama tersebut didasari beberapa pertimbangan:[72]
1.      Pendidikan agama disekolah umum atau (kini) madrasah yang selama ini diletakkan secara terpisah dari system pembelajaran disekolah dalam posisi hanaya sekitar 4% dari keseluruhan waktu belajar itu tidak bisa lagi diberi tanggung jawab tunggal terhadap perkembangan moral dan relogiositas siswa.
2.      Basis epistemologi pendidikan agama dan metode pembelajarannya seringkali bertentangan dengan hampir semua bidang studi lainnya.
3.      Sementara moral dan religiositas siswa bertumpu pada kesadaran etik dan ketuhanan, pembelajaran agama dengan system evaluasinya lebih terfokus pada ranah kognitif, kurang menyentuh ranah psikomotor, dan hampir tak menyentuh afeksi.
4.      Kemampuan profesional guru agama yang cenderung lebih rendah dengan fasilitas yang kurang memadai (pelatihan, buku pustaaka, dan media), menyebabkan guru agama mudah kehilangan kewibawaan dihadapan peserta didik. Suatu kewibawaan yang merupakan nilai kunci pengembangan moral dan religiositas peserta didik.
5.      Religiositas peserta didik yang dipahami sebagai kekayaan pengetahuan ketuhanan dan aturan spiritual, serta kemampuan membaca kitab suci, menyebabkan guru agama kehabisan waktu dan tidak memiliki kesempatan dan mengembangkan model pembelajaran konsep diri dan penyadaran diri tersebut.
6.      Kemampuan ritual dan penguasaan aturannya bisa dipenuhi melalui serangkaian praktikum terprogram, kesadaran ketuhanan lebih mungkin diperoleh dengan pengayaan pengalaman ketuhanan dan pengalaman mengenal Tuhan melalui studi sejarah, biologi, dan fisika yang menampakkan kehebatan Tuhan.
Pendapat Munir Mulkhan diatas bukanlah suatu hal yang tanpa alasan, begitu komplek problem pendidikan dan kondisi masyarkat sekarang. Banyak pendapat yang mengemukakan demikian, diantaranya, Pertama, kondisi dewasa ini, pendidikan terlihat lebih mengupayakan peningkatan potensi intelegensia manusia. IQ telah menjadi sebuah "patok absolut" dalam melihat tingkat progresivitas kedirian manusia.[73] Manusia dituntut mengasah ketajaman intelektualnya demi kemampuan mengoperasikan mekanisme alam yang menurut Jurgen Habermas, menghunjamnya hegemoni ratio instrumentalis. Produk dari instrumentalisasi intelek ini adalah terbangunnya manusia-manusia mekanis yang kering dari nuansa kebasahan ruang diri, atau dalam istilah Herbert Marcuse, one dimensional men.
Alvin Tofler berpendapat dalam bukunya The Third Wave (1980) yang bercerita tentang peradaban manusia, yaitu; (1) perdaban yang dibawa oleh penemuan pertanian, (2) peradaban yang diciptakan dan dikembangkan oleh revolusi industri, dan (3) peradaban baru yang tengah digerakan oleh revolusi komunikasi dan informasi. Perubahan tersebesar yang diakibatkan oleh gelombang ketiga adalah, terjadinya pergeseran yang mendasar dalam sikap dan tingkah laku masyarakat.[74] Salah satu ciri utama kehidupan di masa sekarang dan masa yang akan datang adalah cepatnya terjadi perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Banyak paradigma yang digunakan untuk menata kehidupan, baik kehidupan individual maupun kehidupan organisasi yang pada waktu yang lalu sudah mapan, kini menjadi ketinggalan zaman (Djamaluddin Ancok, 1998: 5).[75] Secara umum masyakarat modern adalah masyarakat yang proaktif, individual, dan kompetitif.
Masyarakat modern dewasa ini yang ditandai dengan munculnya pasca industri [postindustrial society] seprti dikatakan Daniel Bell, atau masyarakat informasi [information society} sebagai tahapan ketiga dari perkembangan perdaban seperti dikatakan oleh Alvin Tofler, tak pelak lagi telah menjadikan kehidupan manusia secara teknologis memperoleh banyak kemudahan. Tetapi juga masyarakat modern menjumpai banyak paradoks dalam kehidupannya. Dalam bidang revolusi informasi, sebagaimana dikemukakan Donald Michael, juga terjadi ironi besar. Semakin banyak informasi dan semakin banyak pengetahuan mestinya makin besara kemampuan melakukan pengendalian umum. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, semakin banyak informasi telah menyebabkan semakin disadari bahwa segala sesuatunya tidak terkendali. Karena itu dengan ekstrim Ziauddin Sardar [1988], menyatakan bahwa abad informasi ternyata sama sekali bukan rahmat. Di masyarakat Barat, ia telah menimbulkan sejumlah besar persoalan, yang tidak ada pemecahannya kecuali cara pemecahan yang tumpul. Di lingkungan masyarakat kita sendiri misalnya, telah terjadi swastanisasi televisi, masyarakat mulai merasakan ekses negatifnya.
Keprihatinan Toynbee melihat perkembangan peradaban modern yang semakin kehilangan jangkar spritual dengan segala dampak destruktifnya pada berbagai dimensi kehidupan manusia. Manusia modern ibarat layang-layang putus tali, tidak mengenal secara pasti di mana tempat hinggap yang seharusnya. Teknologi yang tanpa kendali moral lebih merupakan ancaman. Dan "ancaman terhadap kehidupan sekarang" tulis Erich Fromm, "bukanlah ancaraman terhadap satu kelas, satu bangsa, tetapi merupakan ancaman terhadap semua".[76] Menurut A. Syafi'i Ma'arif, bahwa sistem pendidikan tinggi modern yang kini berkembang di seluruh dunia lebih merupakan pabrik doktor yang kemudian menjadi tukang-tukang tingkat tinggi, bukan melahirkan homo sapiens. Bangsa-bangsa Muslim pun terjebak dan terpasung dalam arus sekuler ini dalam penyelenggaraan pendidikan tingginya. Kita belum mampu menampilkan corak pendidikan alternatif terhadap arus besar high learning yang dominan dalam peradaban sekuler sekarang ini. Prinsip ekonomi yang menjadikan pasar sebagai agama baru masih sedang berada di atas angin. Manusia modern sangat tunduk kepada agama baru ini.[77]
Dampak dari semua kemajuan masyarakat modern, kini dirasakan demikian fundamental sifatnya. Ini dapat ditemui dari beberapa konsep yang diajukan oleh kalangan agamawan, ahli filsafat dan ilmuan sosial untuk menjelaskan persoalan yang dialami oleh masyarakat. Misalnya, konsep keterasingan (alienation) dari Marx dan Erich Fromm, dan konsep anomie dari Durkheim. Baik alienation maupun anomie mengacu kepada suatu keadaan dimana manusia secara personal sudah kehilangan keseimbangan diri dan ketidakberdayaan eksistensial akibat dari benturan struktural yang diciptakan sendiri. Dalam keadaan seperti ini, manusia tidak lagi merasakan dirinya sebagai pembawa aktif dari kekuatan dan kekayaannya, tetapi sebagai benda yang dimiskinkan, tergantung kepada kekuatan di luar dirinya, kepada siapa ia telah memproyeksikan substansi hayati dirinya.[78]
Semua persoalan fundamental yang dihadapi oleh masyarakat modern yang digambarkan di atas, "menjadi pemicu munculnya kesadaran epistemologis baru bahwa persoalan kemanusian tidak cukup diselesaikan dengan cara empirik rasional, tetapi perlu jawaban yang bersifat transendental".[79] Melihat persoalam ini, maka ada peluang bagi pendidikan Islam yang memiliki kandungan spritual keagamaan untuk menjawab tantangan perubahan tersebut. Fritjop Capra dalam buku The Turning Point, yang dikutip A.Malik Padjar, "mengajak untuk meninggalkan paradigma keilmuan yang terlalu materialistik dengan mengenyampingkan aspek spritual keagamaan.[80] Demikianlah, agama pada akhirnya dipandang sebagai alternatif paradigma yang dapat memberikan solusi secara mendasar terhadap persoalan kemanusian yang sedang dihadapi oleh masyarakat modern".
Kedua, Bangunan pemikiran keagamaan umat islam hingga kini masih ditandai oleh lima karakteristik dasar, yaitu 1) Penyamaan antara pemikiran dan agama, 2) penafsiran terhadap realitas histories-empiris yang bertumpu pada causa prima, 3) bersandar sepenuhnya pada otoritas “tradisi” (turats) atau salaf, 4) absolutisme-ideologis , dan 5) pengabaian aspek histories.[81] Cukup beralasan bila kemudian dikatakan bahwa pendidikan islam, baik pada dataran konsep maupun praktik, merupakan media institutionalization of absolutism (pelembagaan dan kristalisasi berbagai bentuk absolutisme) karena pendidikan telah kehilangan ruh transformatifnya akibat terlalu banyak “malpraktik” dalam kegiatan edukasi yang dilakukan.
Munir mulkhan mengemukakan bahwa praktek pendidikan agama islam (PAI) yang memandang islam yang sempurna – mutlak benar itu ialah islam yang ada dalam kitab-kitab besar susunan ulama masa lalu. Islam sudah selesai sehingga PAI yang baik, dan benar ialah memahami apa yang sudah ada dan meniru apa yang dilakukan ulama itu, baik dalam ilmu baik dalam ilmu(keagamaan) atau pengalamannya.[82]
Praktik lebih sebagai pengulangan proses penemuan teori ilmu (iptek) yang sudah baku, bahkan sekadar  memahami temuan iptek. Akibatnya, pendidikan hampir selalu gagal melahirkan manusia-manusia kreatif yang memiliki gairah penemuan teori iptek atau pengembangan teori tersebut.[83]
Setidaknya, hal ini bisa ditunjukkan lewat pola pendidikan tradisional yang hingga kini masih terus dipraktikkan dan multikrisis sebagaimana yang tengah dialami oleh pendidikan islam. Menurut Pervez Hoodbhoy, sebagaimana dikutip oleh Mahmud Arif, bila dibandingkan dengan pola pendidikan modern, pola pendidikan tradisional memperlihatkan perbedaan-perbedaan sebagai berikut:[84]
No
Pendidikan Tradisional
Pendidikan Modern
1.
Orientasi akhirat; orientasi ke masa silam
Orientasi modern, orientasi ke masa depan
2.
Tujuan untuk sosialisasi ke dalam islam
Tujuan untuk perkembangan individualitas
3.
Kurikulum tidak berubah sejak Abad Pertengahan
Kurikulum mengikuti perubahan mata pelajaran
4.
Pengetahuan di Wahyukan dan tidak dapat dirubah
Pengetahuan diperoleh melalui proses empiris dan deduktif
5.
Pengetahuan diperoleh karena perintah Tuhan
Pengetahuan diperlukan sebagai alat pemecah masalah
6.
Mempertnyakan persepsi dan asumsi tidak dibenarkan
Mempertanyakan persepsi dan asumsi dibenarkan
7.
Cara mengajar otoriter-indoktrinatif (tidak melibatkan partisipasi murid)
Cara mengajar melibatkan partisipasi murid
8.
Menghafal (memorizing) diluar kepala sangat dipentingkan
Internalisasi konsep kunci sangat dipentingkan
9.
Pola piker murid adalah pasif selalu menerima, dan
Pola pikir murid adalah aktif-positvistik (kritis), dan
10.
Pendidikan tidak terdiferensisiasikan
Pendidikan dapat menjadi sangat terspesialisasi

Melihat kondisi diatas, maka pendidikan agama islam pun perlu diarahkan untuk melakukan perombakan substansial menuju penyadaran hakiki dengan bertumpu pemaknaan hidup secara lebih human. Perubahan ini sepatutnya dibidikkan pada "wilayah esoteris" yang merupakan kesadaran hakiki yang berwatak multi dimensional.[85]
Kesadaran esoteris senantiasa meneguhkan nilai-nilai keillahiahan yang menjadi sumber segala bentuk kesadaran. Padahal, kesadaran akan hadirnya kekuatan illahiah bisa menghadirkan kesadaran praksis yang amat signifikan bagi pengembangan kepribadian baik privat maupun sosial, disinilah signifikansi keberadaan pendidikan sufistik.[86]
Apabila disederhanakan, maka ragam persoalan (krisis) yang terjadi sebenarnya memiliki kaitan erat dengan tendensi filosofis masyarakat muslim, mengingat pendidikan islam adalah wujud implementasi dan sisi dinamis dari pandangan masyarakat bersangkutan.[87] Proposisi ini bisa dijabarkan dengan bertolak dari tesis dasar bahwa pandangan filsafat masyarakatlah yang turut serta membentuk kesadaran kolektif (ekspektasi sosial) mereka tentang nilai dan makna realitas kehidupan.[88] Dalam kaitan ini, pendidikan islam lantas difungsikan sebagai saluran utama untuk usaha pentransmisian dan perealisasian kesadarn kolektif tersebut.
Al-Quran dan sunnah telah memberikan panduan umum tentang persoalan mendasar pemikiran (filsafat) pendidikan, yakni; 1) Midan al-haqiqah (ontologi), 2) Nazhariyyat al-ma’rifah (epistemologi), dan 3) Nazhariyyat al-qiyam (aksiologi). Pendek kata, bangunan pemikiran (filsafat) pendidikan ditegakkan pada tiga pilar penopang; 1) wahyu (revelation), 2) akal (reason; intellect), dan 3) realitas empiris (reality) sehingga dapat dihasilkan formulasi pemikiran “normatif”, empiris, ilmiah-rasional, dan intuitif.[89]
Kekayaan pengetahuan tentang Tuhan dan ketaatan formal agama tanpa didasari kesadaran ketuhanan tidak menjamin sesorang untuk tidak melanggar hukum Tuhan. Penguasaan ilmu agama sering mempermudah seseorang memanipulasi tindakan saleh guna memutihkan perilaku maksiat dengan matematika pahala.[90] Dorongan memenuhi kebutuhan tubuh, sering lebih kuat disbanding pemenuhan kebutuhan rohaninya. Dari sini pembelajaran agama bukan sekedar pengayaan ilmu agama, tapi bagi pengayaan pengalaman ketuhanan, ibadah ritual, dan berakhlak mulia.[91]
Menurut islam, keutamaan ilmu tidak dapat dipisahkan dari basis iman dan realisasi amal. Ilmu yang utama adalah ilmu yang dihasilkan dari dorongan iman, ilmu yang mampu memberi penguatan dan penyegaran terhadap iman agar tidak menjadi iman dogmatic, tetapi iman yang memiliki kepekaan dan sekaligus kekuatan untuk memahami dan berbuat, mengingat kondisi keimanan manusia pada umumnya memang mengenal pasang-surut. Selain itu, ilmu yang utama adalah ilmu yang membuahkan amal sebagai karya nyata kehidupan yang diabdikan untuk kemaslahatan manusia dan penghambaan diri kepada Tuhan. Sementara amal itu sendiri merupakan proses aktualisasi diri manusia dalam membangun budaya islami, memajukan peradaban, memcahkan problem kehidupan, dan meneguhkan eksistensi harkat kemanusiaan sebagai hamba dan khalifah-Nya.
Kerangka dasar wawasan pengetahuan dalam pendidikan islam telah digariskan oleh al-Quran, khususnya pada QS. al-‘Alaq (96): 1-5. Disini pengetahuan manusia disenut dengan “pembacaan” (al-qiraah) yang meliputi dua wilayah pokok, yakni; 1) pembacaan “kitab penciptaan dan 2) pembacaan “kitab tertulis”. Dengan demikian, pengetahuan manusia adalah sesuatu yang hushuli (tanpa menutup kemungkinan terhadap yang hudhuri) seiring proses dinamis yang digumulinya dalam upaya menyingkap tirai-tirai realitas.
Pembacaan terhadap “kitab penciptaan” dapat berupa: pembacaan terhadap asal kejadian, kehidupan, dan akhir kejadian, pembacaan pagelaran semesta dan pembacaan fenomena sosial-kemasyarakatan. Pembelajaran pengetahuan keagamaan bisa disatukan denagan semua bidang studi dari berbagai raagam bidang ilmu kealaman dan sosial-humaniora. Pembelajaran ilmu kealaman seperti fisika, biologi, geofisika, atau pembelajaran ilmu dalam gugus sosial-humaniora seperti bidang studi sejarah, sosiologi dan lain-lain sekaligus mengandung muatan kepribadian berbasis keagamaan. Karena itulah guru pengampubidang ini sekaligus harus menguasai secara baik (memiliki sertifikasi) pembelajaran akhlak., kalam (tauhid), fikih atau sebaliknya.[92]
Munir Mulkhan menyebutkan bahwa Pembelajaran kesadaran ketuhanan melalui pelibatan peserta didik di setiap proses berpengetahuan melalui studi alam dan kemanusiaan. Tujuan utamanya adalah agar peseta didik menemukan dan mengenal sendiri Tuhan. Inilah makna fungsional surat Ali Imran ayat 191 tentang perilaku ulul albab yang menjadikan seluruh hidupnya bagi penelitian jagad raya dengan segala isinya,
ttbrãä.õtƒ ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbr㍤6xÿtGtƒur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur
(baca: studi fisika, biologi, dan sejarah sosial). Kesadaran ketuhanan itu menumbuhkan pengakuan bahwa (rabbana) maa khalaqta haadza batilan subhanaka, lalu berusaha membebaskan diri dari perilaku yang bisa membuatnya menderita (faqina adzaab al-naari).[93] Pendek kata, realitas empiris kehidupan dan alam semesta perlu dijadikan modus belajar (kajian) manusia untuk menghasilkan in-here knowledge dan affirmative action bagi kehidupan konkret yang dijalaninya.
Sementara itu, pembacaan terhadap “kitab tertulis” mencakup dua tingkatan, yakni: 1) “pembacaan literal” yang bersikukuh pada arti linguistikal, dan 2) “pembacaan-pemaknaan” yang berupaya menguak makna dan signifikansi.[94] Dalam kaitan ini, perlu dikomplementasikan ragam/ tingkat pembacaan tersebut untuk bisa membebaskan akal manusia dari aneka hegemoni, semisal taqlid buta, yang akan memalingkannya dari “pembacaan” secara jernih terhadap ayat-ayat-Nya, baik yang tertulis maupun yang terbentang dalam pagelaran semesta.[95] Muara akhir yang akan dituju oleh proses pembacaan tersebut adalah pengenalan Allah, yakni pengenalan atas tindakan kreatif-Nya, sifat-sifat-Nya, dan fenomena pengaturan-Nya terhadap penciptaan semesta.[96]
Dalam konteks ini, pembacaan manusia terhadap dinamika realitas kehidupan dan pagelaran alam yang dpadukan dengan pembacaannya terhadap realitas wahyu mampu memberikan makna mental-spiritual, kearifan, dan wawasan progresif. Pengenalan Allah yang dikehendaki disini tidak dalam pengertian “teosentris”, tetapi pengenalan Allah yang mampu menjadi sarana efektif untuk merealisasikan tujuan penciptaan manusia, yaitu ibadah. Dalam pengertia generiknya, konsep ibadah mencakup tri-tunggal dimensi: (1) dimensi “agamawi”, (2) dimensi “sosial-kemasyarakatan”, dan (3) dimensi “kealaman”.[97] Pengenalan Allah sebagai muara akhir pengetahuan manusia dalam bingkai ibadah lebih merupakan “manifesto” prinsip teo-antroposentris yang bermakna peneguhan dimensi kemanusiaan manusia dengan segenap potensi (fitrah) kritis-kreatifnya, namun dalam diri manusia yang bersangkutan muncul kesadaran spiritual (ketuhanan) yang kokoh dan sehat. Jika kita meminjam istilah Kuntowijoyo, dalam pendidikan islam sarat dengan nilai-nilai humanisasi, liberalisasi, dan transendensi.[98] Ini berarti pendidikan islam memiliki visi transformatif dan pemberdayaan terhadap insane didik dalam kerangka cita-cita etik-profetik pemanusiaan, pembebasan, dan penyadaran keilahian.
Keterpaduan di antara ketiga instrument epistimologis tersebut (indera, akal, dan wahyu) secara sederhana bisa diilustrasikan sebagai berikut: wahyu ibarat cahaya/ sinar terang, akal ibarat penglihatan, dan penggunaan akal [99] dan indera untuk berfikir,menalar, merenung, dan mnegkaji adalah an-nazhar yang dianjurkan Al-Quran. Proses an-nazhar sebagai sebuah aktivitas intelektual dalam sinaran spirit wahyu adalah alur yang paling memungkinkan bagi seseorang untuk dapat mengungkapkan dan menyinergikan ”kebenaran agamawi” (haqa’iq diniyyah) dan ”kebenaran kealaman” (haqa’iq kawniyyah); [100] membangun in-here knowledge yang mampu menopang religiusitas seseorang karena pengetahuan tidak lagi sekedar ditransmisikan kedalam struktur kognitifnya, tetapi diinternalisasikan kedalam struktur mental-spiritual dan juga ditransformasikan menjadi tindakan dan karya nyata kehidupan. Dengan demikian, sebagai sebuah proses intelektual, an-nazhar merupakan pengintegrasian secara dinamis-dialektis antara pengamatan empiris, pemikiran logis-rasional, dan pengalaman spiritual dalam satu kesepaduan.[101] Dengan demikian, an-nazhar adalah proses intelektual yang bisa menghasilkan jenis pengetahuan empiris, rasional, intuitif, dan revelasional, [102] karena ia dibangun dari pengintensifan tafakkur terhadap segenap ayat-ayat Tuhan dan tadzakkur atas kebesaran-Nya. Jadi, dalam konteks ini an-nazhar dapat dilihat sebagai wujud tauhid epistimologis yang mengintegrasikan bashar (pengamatan indriawi) dengan bashirah (pemahaman akal budi) sewaktu mempelajari alam semesta. Terhadap produk intelektual, an-nazhar menganggap segala ilmu pengetahuan dapat disebut ”ilmu pengetahuan islami”. Sebab, adakalanya ilmu pengetahuan itu bersember dari wahyu seperti pada ilmu-ilmu keagamaan, dan adakalanya ilmu pengetahuan itu berasal dari eksplorasi akal dan indera atas dorongan wahyu, seperti pada ilmu-ilmu kealaman dan sosial-humaniora.[103]
Implikasi penerimaan konsep an-nazhar secara epistimologis adalah pengintegrasian entitas supernatural (yang menjadi bagian dari kebenaran agamawi) yang berpuncak pada Sebab Pertama, Tuhan, pada ilmu pengetahuan, dan pengakuan keragaman metode ilmiah, tidak hanya observasi (bayani) dan kalkulasi, tetapi juga metode domonstrasi (burhani) dan intuitif (’irfani), mengingat objek ilmu merental dari hal fisik hingga hal metafisis. Menurut al-Kailani, kelemahan utama wawasan epistimologi dunia Barat terletak pada penyangkalan wahyu sebagai instrumen epistimologi, sedangkan kelemahan utama dunia Islam terletak pada ”glorifikasi” wahyu hingga mengabaikan pengembangan peran akal dan indera.[104] Oleh karena itu, dunia Islam saat ini hanya piawi dalam melakukan pembacaan terhadap ayat a;-kitab (meskipun belum sampai pada pembacan produktif), namun mengalami ketertinggalan dalam melakukan pembacaaan terhadap ayat al-afaq wa al-anfus.
Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kuatnya pengaruh bayani yang selama ini lebih banyak mengembangkan pola pemikiran yang bertumpu pada teks dan otoritas dengan mengedepankan perspektif kebahasaan, fiqh, dan teologi. Akibatnya, ranah intelektual dunia Islam tampak lebih disemarakkan oleh tradisi keilmuan normatif, baik yang deklaratif maupun yang apologetis. Tradisi keilmuan normatif-deklaratif adalah orientasi keilmuan megarah pada ”dakwah’ dan semangat ingin menampilkan keunggulan ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam teks-wahyu dengan argumentasi-argumentasi doktrinal-teologisnya, sedangkan tradisi keilmuan pada pembekalan aspek ajaran agama yang didiskreditkan oleh pihak luar.
Jadi, pendidikan sufistik dimaksud disini adalah integrasi antara iman, ilmu dan realisasi amal. Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa ilmu yang utama adalah ilmu yang dilahirkan dari dorongan iman, iman yang dimaksud disini adalah iman yang memiliki kepekaan dan sekaligus kekuatan untuk memahami dan berbuat. Selain itu, ilmu yang utama adalah ilmu yang membuahkan amal sebagai karya nyata kehidupan yang diabdikan untuk kemaslahatan manusia dalam bentuk amal saleh dan penghambaan diri kepada Tuhan. Sementara amal itu sendiri merupakan proses aktualisasi diri manusia dalam membangun budaya islami, memajukan peradaban, memcahkan problem kehidupan, dan meneguhkan eksistensi harkat kemanusiaan sebagai hamba dan khalifah-Nya.
  1. Metode Pembelajaran Sufistik Menurut Abdul Munir Mulkhan
Berbicara mengenai pendidikan, maka secara teoritis tak ada pendidikan tanpa guru dalam pengertian yang luas sehingga usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia menjadi mustahil. Hal ini akan mengakibatkan mobilitas sosial terutama dalam dimensi vertikal kehilangan peluang. Bagaimana pun, keberadaan guru akan merupakan indikasi masa depan suatu masyarakat dan bangsa.[105] Pendidik atau guru adalah salah satu faktor dalam proses pendidikan yang memegang peranan penting. Pendidik inilah yang bertanggung jawab dalam proses penyampaikan materi pelajaran dan juga nilai-nilai yang telah ditetapkan oleh lembaga pendidikan untuk dimiliki oleh para terdidik. Keberhasilan aktifias pendidikan banyak bergantung pada keberhasilan para pendidiknya dalam mengemban misi kependidikannya. Begiti pentingnya peran pendidik dalam pendidikan, maka pendidik perlu menguasai metode atau cara menyampaikan materi yang ingin disampaikan.
Metode diartikan sebagai cara mengerjakan sesuatu, cara itu mungkin baik ataupun sebaliknya buruk dan berakibat fatal. Dalam pengertian letterlijk, kata metode berasal dari bahasa latin “meta” yang berarti melalui dan “hodes” yang berarti jalan atau cara yang dilalui. Dalam bahasa arab disebut dengan “thariqah” artinya jalan, cara atau, sistem atau ketertiban dalam mengerjakan sesuatu. Sedangkan menurut istilah ialah suatu sistem atau cara yang mengatur cita-cita.[106] Metode yaitu cara kerja yang bersistem yang memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.[107]
Dalam sistem pendidikan, metodologi merupakan unsur yang sangat penting dan memegang peran kunci bagi keberhasilan dari proses pembelajaran yang telah direncanakan. Seorang guru dalam menentukan strategi mengajarnya sangat memerlukan pengetahuan dan penguasaan metodologi, tanpa penguasaan metodologi yang cukup memadai maka seorang guru mengalami kesulitan dalam mentrasfer knowledge dan value kepada siswa.
Metode dalam hal ini menurut M. Arifin mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya mencapai tujuan, karena ia menjadi sarana yang membermaknakan materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum pendidikan sedemikian rupa sehingga dapat dipahami atau diserap oleh peserta didik menjadi pengertian-pengertian yang fungsional terhadap tingkah laku.[108]
Sedagkan Zakiah Daradjat berpendapat bahwa metode hendaknya disajikan dengan cara membantu siswa dalam menyelesaikan kegoncangan jiwanya dan tanpa mengindahkan perasaan serta pikirannya.[109] Dengan kata lain penyampaian materi pelajaran agama hendaknya melalui pendekatan psikologis. Ranah hati-lah yang seharusnya disentuh, dengan demikian mereka akan termotivasi dan ingin mengetahui lebih jauh.
Adapun metode pengajaran itu banyak sekali jenisnya dan tidak ada satupun metode yang paling cocok dipergunakan untuk semua materi pelajaran dan dalam semua situasi.[110] Setiap metode mempunyai kelebihan dan kekurangan, oleh karena itu kepiawaian guru sangat dibutuhkan dalam memilih dan menentukan metode yang akan digunakan. Semakin guru mampu mengurangi kelemahan dalam menggunakan metode maka akan semakin tinggi tingkat efisiensi dan efektifitas dari proses pengajaran itu.
M. Arifin mengungkapkan bahwa  ayat-ayat al Qur’an apabila dikaji secara filosofis, mengandung nilai-nilai metodologis dalam pendidikan, yaitu: 
a.       Mendorong manusia berfikir analitik dan sintetik dan sintentik melalui proses berfikir induktif dan deduktif
b.      Metode perintah dan larangan serta praktik
c.       Metode motivatif, baik motivasi teogenetik, sosiogenetik maupun motivasi biogenetik
d.      Metode situasional
e.       Metode instruksional.

Di kalangan masyarakat kita, masih terdapat pandangan yang membedakan pengertian antara apa yang dimaksud dengan pendidikan dan apa pengajaran. Dua istilah itu dalam persoalan teknis pedagogis tidak pernah diperdebatkan.[111] Oleh karena itu dalam pembahasan metode pendidikan khususnya pendidikan Islam, perlu melihat semua aspek dari kegiatan pendidikan dan pengajaran baik di lihat dari pendidik maupun anak didik, hal tersebut bisa dilihat antara lain: [112]
a.       Pendidik dengan metodenya harus mampu membimbing, mengarahkan dan membina amal didik menjadi manusia yang matang atau dewasa dalam sikap dan kepribadiannya, sehingga tergambarlah dalam tingkah lakunya nilai-nilai ajaran Islam dalam dirinya.
b.        Anak didik yang tidak hanya menjadi obyek pendidikan atau pengajaran, melainkan juga menjadi subyek yang belajar, memerlukan suatu metode belajar agar dalam proses belajarnya dapat searah dengan cita-cita pendidik atau pengajarnya.

Prof. HM Arifin, M.Ed., menjabarkan metode pengajaran yang disandarkan pada khitab Allah di dalam al Quran sebagai berikut:
a.       Mendorong manusia untuk menggunakan akal fikirannya dalam menelaah dan mempelajari gejala kehidupannnya sendiri dan gejala kehidupan alam sekitarnya.
b.       Mendorong manusia untuk mengamalkan ilmu pengetahuan dan mengaktualisasikan  keimanan dan takwanya dalam kehidupan sehari-hari atau perintah dan larangan.
c.       Mendorong berjihad, dalam hubungan ini maka metode yang di gunakan menggunakan pendekatan motivatif dari tiga aspek yaitu: teogenetis yang memberikan dorongan berdasarkan nilai agama, sosiogenetis yang memberikan dorongan berdasarkan nilai-nilai dari kehidupan masyarkat serta motivasi biogenetis yang mendorongnya berdasarkan kehidupan biologisnya selaku manusia.
d.       Dalam usaha meyakinkan manusia bahwa Islam merupakan kebenaran yang hak, Tuhan sering pula menggunakan metode pemberian suasana pada suatu kondisi tertentu
e.       Metode mendidik secara kelompok yang dapat disampaikan dengan metode mutual education, seperti nabi mengajarkan shalat dengan mendemonstrasikan gerakan-gerakan shalat di depan para sahabat
f.         Metode pendidikan dengan menggunakan cara instruksional, bersifat mengajar yang lebih menitik beratkan pada kecerdasan dan ilmu pengetahuan, misalnya Allah mengajarkan tentang ciri-ciri orang yang beriman dalam bersikap dan bertingkah laku agar mereka mengetahui bagaimana sebenarnya cara bersikap dan bertingkah laku

Ibnu Khaldun berpendapat tentang perbedaan metode yang diajarkan pada anak-anak diberbagai kota Islam: mengajar anak-anak mendalami al Qur’an merupakan  suatu simbol dan pekerti Islam. Orang Islam memiliki al Qur’an dan mempraktekkan ajarannya, dan menjadikannya pengajaran, ta’lim, disemua kota mereka. Hal ini akan mengilhami hati dengan suatu keimanan, dan memperteguh keyakinan kepada Allah dan matan-matan hadits.[113]
Selanjutnya upaya penanaman nilai-nilai keagamaan berbasis kesadaran ketuhanan (pendidikan sufistik) bisa ditempuh melalui tiga cara:[114]
1.      Penanaman nilai secara bertahap, dari inderawi sampai ke rasional, dari parsial sampai universal, dsb.
2.      Penerapan jiwa khusyu’, taqwa, dan ibadah. Cara ini disadari sulit untuk dilaksanakan, tetapi bila anak sudah diberi peringatan, ia akan berubah karakternya.
3.      Penyadaran akan pengawasan Allah terhadap setiap tingkah laku dan situasi melalui latihan dan keyakinan.

Adapun metode pendidikan sufistik menurut Munir Mulkhan adalah:
1.      Kegiatan pembelajaran dimulai dengan usaha agar peserta didik mendefinisikan siapa dirinya, apa yang akan dipilih, dan menyadari resiko yang akan dihadapi dengan pilihannya itu. Berikutnya, peserta didik menyusun sendiri konsep tentang kebenaran dan kebaikan menurut pandangannya sehingga bisa menjadi miliknya sendiri. Dari sini diharapkan bisa berkembang kepekaan sosial dalam kesediaan berbagi rasa dengan orang lain. Selanjutnya akan tumbuh kecerdasan yang utuh dan bulat sebagai dasar baginya dalam melatih intuisi dan imaginasi ketuhanannya, serta melatih kemampuan kecerdasan rasionalnya.[115]
2.      Metode pembelajaran berorientasi penciptaan situasi belajar ketuhanan. Dari sini diharpkan peserta didik bisa menjalani proses kreatifnya sendiri dalam ber-Tuhan dan ber-Islam. Dari sini peserta didik bisa menemukan sendiri dan menyadari kehadiran Tuhan dalam kelas atau kehidupan sehari-hari. Kesadaran personal seperti itu adalah kunci utama proses pembelajaran bagi penumbuhan daya kreatif yang bebas dan mandiri dari setiap peserta didik. Harapannya,  peserta didik terus berusaha menyempurnakan pengetahuan tentang ajaran Tuhan dan pemenuhannya sehingga menjadi kaffah baik selama proses pembelajaran dalam kelas atau diluar lingkungan sekolah dan dalam kehidupan sosial usai sekolahnya nanti.[116]
3.      Melibatkan peserta didik di setiap proses berpengetahuan melalui studi alam dan kemanusiaan. Tujuan utamanya adalah agar peseta didik menemukan dan mengenal sendiri Tuhan.[117]
4.      Praktikum ritual dan pelatihan akhlak terprogram. Sesuai ajaran agama meliputi iman, akhlak, dan ibaadah, lebih strategis jika pendidikan agama difokuskan pada pengayaan pengalaman ketuhanan (iman), ritual (ibadah), dan akhlak, bukan hanya ilmu. Pengayaan pengalaman ritual bisa ditempuh melalui Pengayaan pengalaman ketuhanan melalui studi sejarah tentang kisah-kisah sukses dan gagal dari kehidupan sehari-hari atau sejarah bangsa-bangsa didunia. Selain itu juga melalui studi fisika, biologi, kimia yang difokuskan pada kehebatan Tuhan menciptakan alam dan seluruh makhluk hidup dari tingkatan paling rendah hingga energi dan manusia.[118]
Pendidikan sufistik yang berbasis kesadaran ilahiah juga sebagai landasan semua dimensi perilaku peserta didik dalam hubungan sosial.[119] Untuk merealisasikan tataran sosial tersebut terdapat beberapa cara:
1.      Penanaman dasar-dasar kejiwaan yang mulia berupa:
a.       Ketakwaan pada Allah sebagai hasil hakiki dan alami dari emosi iman yang menjadi benteng guna menangkal kehendak perbuatan jahat.
b.      Persaudaraan (ukhuwwah) yang bisa melahirkan sikap positif untuk saling menolong dan tidak mementingkan diri sendiri.
c.       Kasih sayang terhadap sesama manusia yang merupakan kepekaan untuk bisa merasa senasib sepenanggungan terhadap problem orang lain.
d.      Toleran, berani membela, dan menyatakan kebenaran serta tidak egois yang berpengaruh penting bagi integritas dan solidaritas serta kebaikan manusia.
2.      Pemeliharaan hak orang lain dengan dasar kejiwaan yang mulia. Dasar-dasar kejiwaan itu merupakan ruh dari fenomena dalam berinteraksi dengan orang lain yang bersumber dari spirit kejiwaan itu. Hak orang lain meliputi:
a.       Hak orang tua untuk ditaati segala perintahnya yang baik yang menjadi pangkal tolak segala hak kemasyarakatan.
b.      Hak kerabat untuk selalu mendapat jalinan persaudaraan dengan jalan silaturahmi yang dapat mendorong anak untuk cinta kepada kerabat.
c.       Hak tetangga mendapatkan rasa aman dan ketentraman supaya dalam diri anak bisa tumbuh semangat memperhatikan orang lain sehingga menjadi insane sosial yang tidak mengisolasi diri.
d.      Hak guru untuk memperoleh penghormatan akan kemuliaannya yang merupakan kewajiban seorang murid.
e.       Hak teman sebagai mitra dalam pergaulan dan berinteraksi yang darinya dapat dikenali watak seseorang.
f.        Hak orang dewasa mendapatkan perlakuan yang sopan yang termasuk indikator keikhlasan dan loyalitas terhadap agama.
3.      Disiplin etika sosial supaya anak dapat menangkap esensi problematika dalam pergaulan dimasyarakat dengan kebaikan dan cinta kasih dan budi luhur. Karena itu, disiplin etika sosial menjadi dasar pendidikan yang sebenarnya. Keberhasilannya pun berkaitan erat dengan penanaman dasar kejiwaan. Islam meletakkan system pendidikan itu untuk membentuk akhlak anak, mempersiapkan tingkah laku dan sikap sosialnya yang disebut etika sosial. Dengan bekal itu, diharapkan seorang anak dalam pergaulannya bisa bersikap dan berperilaku secara bijak seperti orang dewasa. Disiplin etika itu meliputi: etika makan dan minum, memberi salam, meminta izin masuk rumah, duduk dalam pertemuan, berbicara, bergurau, memberikan ucapan selamat, menjenguk orang sakit, melawat kematian, bersin, dan menguap. Semua diatur secara terinci guna merealisasikan akhlak yang diajarkan islam untuk dilaksanakan semua orang dalam segala jenis, tingkatan dan statusnya. Meski ajaran etika ini diberikan Nabi Muhammad pada zaman dahulu, nilai-nilai moralnya tetap relevan untuk dilaksanakan pada masa kini dan datang. Disiplin etika menunjukkan bahwa islam merupakan agama sosial  yang datang untuk memperbaiki masyarakat manusia.
4.      Kontrol dan kritik sosial itu menjadi sarana dalam mewujudkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Prinsip ini oleh Qardlawi dipandang sebagai pendidikan politik yang menjadi inti dari pendidikan sosial.[120] Tujuannya untuk memberikan kesadaran sosial kepada anak. Karena itu, control dan kritik ini menjadi dasar pokok ajaran islam guna mengawasi dan memerangi kejahatan, dekadensi moral, kezaliman dan memelihara nilai, idealisme dan moralitas islam. Oleh karena itu, control dan kritik ini harus memperhatikan prinsip bahwa:
a.       Kontrol pendapat umum merupakan tugas sosial yang tak kenal kompromi sehingga semua orang harus melaksanakan kegiatan ini. Dengan tugas sosial ini diharapkan akidah dan moralitas umat bisa tetap eksis sehingga menjadi kenyataan dan selalu terhindar dari perilaku zalim.
b.      Pelaksanaannya harus bertahap, sesuai kesepakatan ulama, kebal terhadap cercaan dan berwawasan luas. Untuk itu pendidik harus mengetahui perilaku, akhlak, dan emosi anak guna membentuk pribadi muslim menuju martabat yang tinggi.
c.       Selalu mengenang ulama termasuk faktor yang memantapkan peribadi muslim dalam menumbuhkan keberanian dan wibawa dalam mengontrol pendapat umum dan mewujudkan sikap tegas dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Kemenangan sejarah masa lalu itu bisa menjadi dorongan untuk berani maju dalam menumpas pembangkang yang dengan sengaja tidak memelihara kehormatan islam dan tidak menghargai moral yang luhur.[121]
Dengan demikian, pendidikan nilai sosial itu diarahkan  untuk membentuk kepribadian sehingga terbentuk masyarakat yang damai dan tenteram. Masyarakat seperti itu menjadi tujuan pendidikan islam. Mereka adalah manusia yang sesuai dengan eksistensi sebagai manusia beradab yang akhirnya membetuk masyarakat ideal.
Nasih Ulwan berpendapat, Cara atau metode dalam menyampaikan nilai-nilai pendidikan islam bisa diklasifikasi menjadi lima macam.[122]
1.      Keteladanan
Metode ini sangat efektif dalam mempersiapkan dan membentuk moral, spiritual, dan sosial, sebab guru menjadi contoh ideal bagi anak. Semua tingkah laku, sikap dan ucapan akan melekat pada diri dan perasaan anak. Ini menjadi faktor penentu keberhasilannya. Dengan keteladanan ini akan menjadi imitasi dan di ikuti dengan identifikasi nilai-nilai kebaikan untuk dipilih dan dilakukan. Metode ini memiliki nilai persuasif sehingga tanpa disadari akan bisa terjadi perembesan dan penularan nilai-nilai kebaikan. Metode keteladanan ini bisa dilaksanakan melalui pelajaran agama dan pendidikan moral atau yang lain.[123] Sehingga perlu peningkatan kualitas atau performance yang memiliki nilai islam.
2.      Kebiasaan
Manusia meiliki potensi baik dan buruk. Bila lingkungannya baik dia akan menjadi baik, begitu pula sebaliknya. Karena itu, dalam pendidikan perlu ada praktik nyata dalam dilakukan oleh anak sehingga menjadi kebiasaan yang pola sikap dan perilaku sehari-hari. Asy-Syaibani memandang metode pembiasaan ini mencakup juga tujuan pendidikan nilai itu sendiri,[124] sebab kebiasaan anak yang berupa bentukan sikap diri itu juga menjadi salah satu tujaun pendidikan itu sendiri. Meskipun demikian, pembiasaan itu bisa dilaksanakan jika anak segan terhadap orang lain yang dihormati dan ditaati perintahnya.
3.      Nasihat
Keperluan metode ini adalah karena dalam kenyataan tidak semua orang bisa menangkap nilai-nilai kebaikan dan keburukan yang telah menjadi kebiasaan dan keteladanan. Karena itu, dalam upaya menanamkan nilai itu diperlukan pengarahan atau nasihat yang berfungsi untuk menunjukkan kebaikan dan keburukan. Dalam metode ini bisa memungkinkan terjadinya dialog sebagai usaha mengerti sistem nilai yang dinasihatkan. Nasihat berperan dalam menunjukkan nilai kebaikan untuk selanjutnya diikuti dan dilaksanakan serta menunjukkan nilai kejahatan untuk dijauhi. Karena persoalan nilai merupakan realitas kompleks dan bukan hasil kreativitas yang tertutup dan berdikari, pemberian nasihat itu sama halnya menjadi proses sosialisasi.[125]
4.      Pengawasan
Metode ini dilaksanakan dengan cara mendampingi anak dalam membentuk nilai psikis dan sosial. Pengawasan ini berperan mengetahui perkembangan atau kebiasaan anak supaya diketahui penyimpangan yang harus diluruskan. Bila metode pengawasan ini tidak dilaksanakan, berarti di dunia pendidikan telah memberi peluang kepada anak untuk berbuat semaunya tanpa mempertimbangkan nilai baik dan buruknya. Peranan pengawasan ini sangat dominan dalam membentuk kepribadian mulia pada diri anak yang menjadi tujuan dari pendidikan sendiri.
5.      Hukuman
Dasar penggunaan metode ini adalah adanya potensi membangkang dalam diri manusia untuk melakukan kejahatan. Pembangkangan terhadap kejahatan ini berlanjut terus-menerus meski telah diberi nasihat. Karena itu, perlu hukuman atau sanksi sesuai dengan kadar kejahatan yang diperbuatnya. Dengan sanksi itu anak diharapkan bisa tumbuh kesadaran untuk meninggalkan kejahatan yang diperbuatnya. Dengan sanksi itu anak diharapkan bisa tumbuh kesadaran untuk meninggalkan kejahatan dan kembali ke jalan yang benar sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam. Ibnu Maskawih menyatakan bahwa hukuman itu perlu dilaksanakan supaya anak terbiasa menjalankan hidup beragama.

Pengulangan dan pelaksanaan pendidikan nilai akan menjadi penghayatan, dengan syarat : 1) Nilai harus memiliki teladan yang menjadi tempat melekatnya nilai itu, 2) Teladan itu harus berupa manusia biasa yang dengan kekurangannya bisa menjadi model, dan 3) Semua guru menjadi pengajar nilai sebab semua memiliki pengaruh terhadap terwujudnya nilai itu.[126]
Dari beberapa paparan diatas, Munir Mulkhan berpendapat bahwa Dosen PAI dan Guru-guru agama dituntut memiliki kompetensi atau kemampuan sehingga mampu memanfaatkan waktu dan sarana serta media pembelajaran bagi berlangsungnya proses belajar peserta didik. Secara teknologis hal itu berarti seorang dosen dan guru harus bisa memanipulasi semua media dan sumber pembelajaran dan waktu yang tersedia sehingga tercipta suasana belajaran bagi mahasiswa.[127]
Waktu yang terbatas dan letak PAI dalam materi ilmu yang lain di PTU hendaknya menjadi catatan serius dosen PAI dalam memenuhi tugas menyelenggarakan pembelajaran PAI. Model PAI konvensional di PTU mungkin berkait dengan meluasnya apa yang belakangan ini populer dengan radikalisasi islam dan berbagai aksi kekerasan atas nama islam. PAI tidak mampu memberi solusi pertentangan antara doktrin ajaran islam dengan Iptek. Sementara itu PAI lebih terfokus pada ranah kognisi dan psikomotor atau teknik ritual.[128]
Tidaklah mungkin menyajikan 30 juz al-Quran dan 23 tahun sejarah Rasul selama proses pembelajaran di PTU. Paling efektif adalah mendorong setiap mahasiswa untuk menemukan sendiri pengalaman ilahiah melalui kisah-kisah historis, hubungan dengan alam, dan manusia sesamanya. Disini mungkin bisa dicatat pengalaman berketuhanan dan berislam dari paara sahabat nabi seperti Ibnu Utsal, Umar, Abu Bakar, Ali, atau Hadijah sendiri.[129]
Penting bagi dosen PAI untuk memanfaatkan berbagai tayangan TV yang berkaitan dengan dinamika alam dan manusia. Bagaimana seorang ibu melahirkan bisa lebih berarti bagi pembelajaran birrul walidain, struktur geofisika yang menjelaskan peristiwa gempa lebih berarti bagi pembelajaran kesadaran ketuhanan daripada kisah tentang siksa neraka dan nikmat surga. Demikian pula kisah kehidupan berbagai jenis makhluk lain dan seterusnya.[130]

  1. Materi Pendidikan Sufistik Menurut Abdul Munir Mulkhan
Termasuk persoalan yang integral dalam pendidikan agama islam dewasa ini adalah persoalan materi Pendidikan Islam. Meteri pendidikan Islam "terlalu dominasi masalah-maslah yang bersifat normatif, ritual dan eskatologis. Materi disampaikan dengan semangat ortodoksi kegamaan, suatu cara dimana peserta didik dipaksa tunduk pada suatu "meta narasi" yang ada, tanpa diberi peluang untuk melakukan telaah secara kritis. Pendidikan Islam tidak fungsional dalam kehidupan sehari-hari, kecuali hanya sedikit aktivitas verbal dan formal untuk menghabiskan materi atau kurikulum yang telah diprogramkan dengan batas waktu yang telah ditentukan.[131]
Mencermati persoalan yang dikemukakan di atas, maka perlu menyelesaikan persoalan internal yang dihadapi pendidikan Islam secara mendasar dan tuntas. Sebab pendidikan sekarang ini juga dihadapkan pada persoalan-persoalan yang cukup kompleks, yakni bagaimana pendidikan mampu mempersiapkan manusia yang berkualitas, bermoral tinggi dalam menghadapi perubahan masyarakat yang begitu cepat, sehingga produk pendidikan Islam tidak hanya melayani dunia modern, tetapi mempunyai pasar baru atau mampu bersaing secara kompettif dan proaktif dalam dunia masyarakat modern. Pertanyaannya, disain pendidikan Islami yang bagaimana? Yang mampu menjawab tantangan perubahan ini, antara lain: Pertama, lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu mendisain ulang fungsi pendidikannya, dengan memilih apakah (1) model pendidikan yang mengkhususkan diri pada pendidikan keagamaan saja untuk mempersiapkan dan melahirkan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid tangguh dalam bidangnya dan mampu menjawab persoalan-persoalan aktual atau kontemporer sesuai dengan perubahan zaman, (2) model pendidikan umum Islami, kurikulumnya integratif antara materi-materi pendidikan umum dan agama, untuk mempersiapkan intelektual Islam yang berfikir secara komprehensif, (3) model pendidikan sekuler modern dan mengisinya dengan konsep-konsep Islam, (4) atau menolak produk pendidikan barat, berarti harus mendisain model pendidikan yang betul-betul sesuai dengan konsep dasar Islam dan sesuai dengan lingkungan sosial-budaya Indonesia, (5) pendidikan agama tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah tetapi dilaksanakan di luar sekolah, artinya pendidikan agama dilaksanakan di rumah atau lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat berupa kursur-kursus, dan sebagainya. Kedua disain "pendidikan harus diarahkan pada dua dimensi, yakni : (1) dimensi dialektika (horisontal), pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam atau lingkungan sosialnya. Manusia harus mampu mengatasi tantangan dan kendala dunia sekitarnya melalui pengembangan Iptek, dan (2) dimensi ketunduhan vertikal, pendidikan selain menjadi alat untuk memantapkan, memelihara sumber daya alami, juga menjembatani dalam memahamai fenomena dan misteri kehidupan yang abadi dengan maha pencipta. Berati pendidikan harus disertai dengan pendekatan hati.[132] Ketiga, sepuluh paradigma yang ditawarkan oleh Prof. Djohar, dapat digunakan untuk membangun paradiga baru pendidikan Islam, sebagai berikut : Satu, pendidikan adalah proses pembebasan. Dua, pendidikan sebagai proses pencerdasan. Tiga, pendidikan menjunjung tinggi hak-hak anak. Empat, pendidikan menghasilkan tindakan perdamaian. Lima, pendidikan adalah proses pemberdayaan potensi manusia. Enam, pendidikan menjadikan anak berwawasan integratif. Tujuh, pendidikan wahana membangun watak persatuan. Delapan, pendidikan menghasilkan manusia demokratik. Sembilan, pendidikan menghasilkan manusia yang peduli terhadap lingkungan. Sepuluh, sekolah bukan satu-satunya instrumen pendidikan.[133]
Dalam konfrensi pendidikan Islam se Dunia kedua di Islamabad, Pakistan pada tahun 1980, berhasil dirumuskan pola kurikulum pendidikan Islam, yaitu  kelompok 1, pengetahuan abadi, terdiri dari: pertama, al Qur’an mencakup di dalamnya bacaan (qira’ah), hafalan (hifdz) dan tafsir (tafsir), kedua, Sunnah., ketiga, sirah nabi mencakup sahabat-sahabat nabi, dan para pengikut mereka pada awal sejarah Islam, keempat, tauhid., kelima  ushul fiqh., dan keenam bahasa Arab Qur’an mencakup fonologi, sintaksis dan simantik, dan kelompok 2, pengetahuan yang diperoleh terdiri dari: pertama, imajinatif mencakup seni, arsitektur Islam, bahasa dan sastra, kedua, ilmu-ilmu intelektual mencakup studi sosial, filsafat, pendidikan ekonomi, ilmu politik, sejarah, peradaban Islam, geografi, sosiologi, linguistik, psikologi, dan antropologi, ketiga,  ilmu-ilmu yang mencakup filsafat ilmu pengetahuan, matematika, kimia, ilmu-ilmu terapan yang mencakup rekayasa dan teknologi  (Sipil dan Mesin sebagai contohnya), obat-obatan  dan sebagainya, kelima ilmu-ilmu praktis mencakup perdagangan, ilmu-ilmu administerasi perusahaan, ilmu perpustakaan, ilmu-ilmu komunikasi dan lain sebagainya.[134]
Karel A. Steenbrink, menyebutkan beberapa materi pelajaran yang ada di lembaga pendidikan Islam klasik sebagai berikut: [135]
a.       Para murid pengajian ini umumnya masuk asrama dalam lingkungan lembaga pendidikan agama yang disebut pesantren.
b.      Mata pelajaran yang diberikan meliputi mata pelajaran yang lebih banyak dari pada pengajian al Qur’an. Fase pertama pendidikannya pada umumnya dimulai dengan pendidikan bahasa.
c.       Pendidikan diberikan tidak hanya secara individual tetapi juga secara kelompok.

Pendidikan agama yang menekankan pada kesadaran ketuhanan  sebagai upaya mengikat anak dengan dasar-dasar keimanan dan syariat haruslah dimulai sejak dini.[136] Wujudnya dapat meliputi empat hal:[137]
1.      Pengenalan kepada anak sejak lahir dengan kalimat tauhid, yaitu la ilaha illa Allah untuk mengikat anak pada dasar akidah, tauhid, dan iman kepada Allah.
2.      Pengenalan syariat Allah sebagai hukum pertama yang dikenalkan pada anak supaya tumbuh kesadaran untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan agama.
3.      Perintah melaksanakan ibadah sesuai kemampuan sehingga anak bisa belajar dan terbaisa melaksanakan ketaatan kepada Allah.
4.      Penanaman nilai kecintaan kepada rasul dan keluarganya serta kecintaan membaca al-Quran.
Sebagaimana pendapat Munir Mulkhan diatas bahwa, satuan kurikulum dan materi pembelajaran agama tidak sistematis dan diulang-ulang dihampir semua jenjang. Ia menawarkan gambaran jalan keluar terkait dengan materi pembelajaran agama islam yang berbasis kesadaran ketuhanan. Pada pembelajaran tingkat dasar lebih tetap difokuskan pada praktikum ibadah dan akhlak, kisah-kisah spektakuler dalam sejarah alam dan manusia (iman). Dikelas akhir SLTP difokuskan kategorisasi pengalaman ritual (rukun slat, wudlu, sunat, dan wajib), kategorisasi nilai tindakan (akhlak mahmudah, madlmumah), pengenalan nama-nama Tuhan dan makhluk gaib-Nya. Ditingkat menengah dikenalkan dalil-dalil nash (al-Quran dan sunnah) dan ditingkat lanjut, mulai akhir kelas menengah dikenalkan makna hukum fikih, kalam, dan akhlak dari dalil-dalil nash tersebut.[138]
Banyak bukti sejarah yang bisa dijadikan sumber referensi pembelajaran kreatif ketuhanan atau keagamaan dan kisah bagaimana seseorang menemukan Tuhannya dan secara sadar memilih mengikuti jejak para nabi dan rasul. Kita bisa membaca kembali proses kreatif nabi Ibrahim menemukan Tuhannya. Demikian pula baiat Ibnu Utsal, musuh bebuyutan islam, kepada nabi Muhammad hanya sesuadah ia dibebaskan sebagai tahanan perang tanpa syarat. Sama halnya dengan konversi Umar Ibnu khattab sesudah ia dengan penuh semangat melawan Nabi Muhammad atau pemuda yang hendak memancung Nabi dengan pedangnya.[139]

E.     Implikasi Pendidikan Sufistik Abdul Munir Mulkhan Dalam Pendidikan Islam
Pemikiran Munir Mulkhan tentang konsep Pendidikan sufistik ntersebar dalam beberapa tulisan. Tulisan Hasan Langgulung yang membahas konsep pendidikan sufistik dan implikasinya terhadap pendidikan Islam secara utuh jarang ditemukan. Namun dari berbagai macam tulisan itu terdapat benang merah yang saling berkaitan antara tulisan yang satu dengan yang lain.
Di bawah ini akan penulis uraikan pemikiran Munir Mulkhan tentang implikasi pendidikan sufistik terhadap pendidikan Islam.
Beliau selalu menegaskan bahwa Kesadaran adalah aspek paling penting pendidikan nilai lebih-lebih bagi pendidikan agama yang memang berbasis nilai. Nilai ialah memilih komitmen untuk tidak melakukan sesuatu atau melakukan sesuatu, memilih yang benar dari yang salah, yang lebih benar diantara yang benar, dan kurang salah diantara yang salah.
Penegasan-penegasan bahwa pendidikan sufistik adalah pendidikan berbasis kesadaran ketuhanan dapat disimpulkan mempunyai implikasi:
1.      Agar peserta didik mendefinisikan siapa dirinya, apa yang akan dipilih, dan menyadari resiko yang akan dihadapi dengan pilihannya itu. Berikutnya, peserta didik menyusun sendiri konsep tentang kebenaran dan kebaikan menurut pandangannya sehingga bisa menjadi miliknya sendiri. Dari sini diharapkan bisa berkembang kepekaan sosial dalam kesediaan berbagi rasa dengan orang lain. Selanjutnya akan tumbuh kecerdasan yang utuh dan bulat sebagai dasar baginya dalam melatih intuisi dan imaginasi ketuhanannya, serta melatih kemampuan kecerdasan rasionalnya. Kesadaran ilahiyah adalah perilaku yang diharapkan bisa dihasilkan dari proses pembelajaran PAI sebagai akar dari kompetensi kepribadian. Kesadaran ilahiah juga landasan semua dimensi perilaku mahasiswa diantaranya dalam hubungan sosial.[140]
2.      Melalui proses itu peserta didik mampu mengendalikan sifat kemanusiaan bagi penumbuhan dan pengembangan sifat ketuhanannya seperti teori hulul dalam tradisi sufi. Dengan penuh sadar diri peserta didik memilih menaati semua ajaran Tuhan dan bersedia menanggung segala resiko akibat pilihannya tersebut (Miller, 1976, Mulkhan, Cerdas dikelas, 2002).[141]
3.      Mendorong peserta didik menggunakan seluruh waktu hidupnya guna mencari sendiri pengetahuan ketuhanan dan ajaran Tuhan. Memperkaya pengetahuan itu, serta menaati ajaran Tuhan dengan penuh semangat dan kegembiraan. Melalui proses aktif itu, peserta didik terus berusaha menyempurnakan pengetahuan tentang ajaran Tuhan dan pemenuhannya sehingga menjadi kaffah baik selama proses pembelajaran dalam kelas atau diluar lingkungan sekolah dan dalam kehidupan sosial usai sekolahnya nanti.[142]
4.      Penumbuhan kesadaran ketuhanan sehingga peserta didik memperoleh apa yang disebut Danah Zohar dan Ian Marshall good spot. Berdasar kesadaran sendiri seorang penjahat kakap berubah jadi alim, tekun beribadah, bergairah mengembangkan dan mencari sendiri pengetahuan tentang Tuhan dan ajaran-Nya. Konversi keagamaan ini bisa dibaca dari banyak kisah dalam al-quran dan sejarah kenabian. Kisah-kisah perubahan perilaku seperti itu juga bisa ditemukan dalam realitas kehidupan sosial di sekitar kita.
5.      Agar tercipta proses kreatif anak didik, proses kreatif itu sendiri yang terus menerus berlangsung sepanjang hidup. Proses kreatif selalu bersifat unik dan khas bagi setiap orang dan peserta didik. Perbedaan berdasar keunikan dari proses kreatif dari tiap peserta didik tersebut lebih penting daripada abstraksi atas pola kesamaannya. Penciptaan situasi belajar ketuhanan membuat peserta didik bisa menjalani proses kreatifnya sendiri dalam ber-Tuhan dan ber-Islam. Dari sini peserta didik bisa menemukan sendiri dan menyadari kehadiran Tuhan dalam kelas atau kehidupan sehari-hari. Kesadaran personal seperti itu adalah kunci utama proses pembelajaran bagi penumbuhan daya kreatif yang bebas dan mandiri dari setiap peserta didik.[143]
6.      Agar peseta didik menemukan dan mengenal sendiri Tuhan. Inilah makna fungsional surat Ali Imran ayat 191 tentang perilaku ulul albab yang menjadikan seluruh hidupnya bagi penelitian jagad raya dengan segala isinya,
ttbrãä.õtƒ ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbr㍤6xÿtGtƒur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur
(baca: studi fisika, biologi, dan sejarah sosial). Kesadaran ketuhanan itu menumbuhkan pengakuan bahwa (rabbana) maa khalaqta haadza batilan subhanaka, lalu berusaha membebaskan diri dari perilaku yang bisa membuatnya menderita (faqina adzaab al-naari).[144]
7.      Membuat peserta didik berada dalam suasana belajar bagai seorang pengamat sekaligus yang diamati. Ketika seseorang melihat sebuah cermin yang terlihat adalah dirinya sendiri. Pada posisi cermin diletakkan hal-hal ketuhanan sehingga ketika melihatnya atau mengamati yang terlihat adalah si pengamat sendiri bagai menggunakan mata Tuhan untuk melihat diri sendiri (man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu).[145]
8.      Mempermudah proses pengayaan pengalaman ketuhanan (iman), ritual (ibadah), dan akhlak, anak didik, bukan hanya ilmu. Pengayaan pengalaman ritual bisa ditempuh melalui praktikum ritual dan pelatihan akhlak terprogram. Pengayaan pengalaman ketuhanan melalui studi sejarah tentang kisah-kisah sukses dan gagal dari kehidupan sehari-hari atau sejarah bangsa-bangsa didunia. Selain itu juga melalui studi fisika, biologi, kimia yang difokuskan pada kehebatan Tuhan menciptakan alam dan seluruh makhluk hidup dari tingkatan paling rendah hingga energi dan manusia.
9.      Sebagai benteng moral peserta didik dengan tujuan ketakwaan dan kepribadian Muslim dikonsep ulang secara proporsional dan empiris. Ketakwaan di derivasi dalam rumusan yang lebih konkret agar bisa diukur dan dievaluasi. Tanpa itu, pembelajaran agama bisa selalu gagal atau sebaliknya keberhasilan palsu.[146]
BAB IV
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Dari uraian yang telah dipaparkan diatas, maka dapat disimpulkan:
  1. Konsep Pendidikan sufistik menurut Munir Mulkhan tidak jauh beda dengan pendidikan agama islam secara umum, hal tersebut terindikasi dari pengertian, materi dan metode yang beliau kemukakan. Konsep pendidikan sufistik yang beliau tawarkan dilatar belakangi oleh metode  penyampaian materi pendidikan agama islam selama ini yang cenderung kognitif-doktrinal, lebih lanjut sebagai solusi beliau berpendapat bahwa pendidikan agama islam seharusnya lebih memperhatikan sisi afektif yang menitik beratkan pada kesadaran berketuhanan peserta didik. Konsep ini bukan hal yang sama sekali baru dalam pendidikan agama islam, dan menjadi keharusan bahwa pendidikan itu meliputi sisi kognitif, afektif, dan psikomotorik.
  2. Selanjutnya implikasi pendidikan sufistik menurut Munir Mulkhan adalah:
a.       Agar peserta didik mendefinisikan siapa dirinya, apa yang akan dipilih, dan menyadari resiko yang akan dihadapi dengan pilihannya itu.
b.      Peserta didik mampu mengendalikan sifat kemanusiaan bagi penumbuhan dan pengembangan sifat ketuhanannya seperti teori hulul dalam tradisi sufi.
c.       Mendorong peserta didik menggunakan seluruh waktu hidupnya guna mencari sendiri pengetahuan ketuhanan dan ajaran Tuhan.
d.      Penumbuhan kesadaran ketuhanan sehingga peserta didik memperoleh apa yang disebut Danah Zohar dan Ian Marshall good spot.
e.       Agar tercipta proses kreatif anak didik, proses kreatif itu sendiri yang terus menerus berlangsung sepanjang hidup.
f.        Agar peseta didik menemukan dan mengenal sendiri Tuhan.
g.       Membuat peserta didik berada dalam suasana belajar bagai seorang pengamat sekaligus yang diamati.
h.       Mempermudah proses pengayaan pengalaman ketuhanan (iman), ritual (ibadah), dan akhlak, anak didik, bukan hanya ilmu.
i.         Sebagai benteng moral peserta didik dengan tujuan ketakwaan dan kepribadian Muslim dikonsep ulang secara proporsional dan empiris.

B.     Saran-saran
Penulis sadar betul, bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, perlu ada suatu penelitian lanjutan terkait dengan pendidikan sufistik secara umum, maupun secara khusus pemikiran Prof. Dr. Munir Mulkhan, SU. Karena, penulis sadar, sangat sedikit sekali literatur dan penjelasan mengenai metode, materi, dan system evaluasi mengenai pendidikan sufistik.
Penulis menyarankan beberapa poin untuk dilakukan penilitian tindak lanjut:
Ø      Mencari rumusan pendidikan sufistik yang kompherensif yang sesuai dengan konteks masa kini dan masa depan.
Ø      Metode dan strategi pendidikan sufistik yang tersistematis.
Ø      Materi pendidikan sufistik yang terstruktur rapi mulai dari pendidikan tingkat paling dasar sampai tingkat tinggi sekaligus model evaluasinya.

C.     Kata Penutup

Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT karena telah memberikan kesehatan sehingga pada saat ini penulis dapat menyelesaikan skripsi ini walaupun masih penuh dengan kekurangan.
Demikian skripsi ini, kiranya dapat menjadi sumbangan pikiran bagi pemerhati pendidikan secara umum, khususnya pendidikan agama islam, terutama bagi civitas akademika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharapkan masukan dan saran-saran dari pihak lain sehingga sempurnanya skripsi ini.
Mudah-mudahan skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak dan menjadi tambahan khasanah keilmuan bagi setiap orang yang memerlukan, dan akhirnya penulis mengucapkan terima kasih terhadap semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini.
DAFTAR PUSTAKA


Abdul Munir Mulkhan,
2007. Sufi Pinggiran, menembus batas-batas. Yogyakarta: Impulse-Kanisius.

___________________,
2007. Satu Tuhan Seribu Tafsir. Yogyakarta: Impulse-Kanisius.

­___________________,
1994. Runtuhnya Mitos Politik Sanri, Yogyakarta: Sipress.

___________________,
2000. Islam Murni dalam Masyarakat Petani, Yogyakarta: Bentang Budaya-Ford Foundation.

___________________,
2000.Menggugat Muhammadiyah, Yogyakarta: Pajar Pustaka Baru.

___________________,
2009. Ajaran dan Jalam Kematian Syeh Siti Jenar, Yogyakarta: Kreasi Wacana.

___________________,
2004. “Kecerdasan Makrifat dan Revolusi Spiritual Dalam Tradisi Sufi:. Jurnal Kependidikan Islam, Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga.

___________________,
2006. Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian: Rangkuman Model Pengembangan Kepribadian dalam Pendidikan Berbasis Kelas, Yogyakarta: Kreasi Wacana.

___________________,
2003. Dari Semar ke Sufi: Kesalehan Multikultural Sebagai Solusi Islam di Tengah Tragedi Keagamaan Umat Manusia, Yogyakarta: al-Ghiyats

Abdul Kholiq,
2009.“Memaknai agama sabagai kritik sosial”, Kompas, Senin, 7 Desember 2009.

___________________,dkk,
1999. Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Abdullah Nasih Ulwan,
1981, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, Beirut: Dar al-Salam, cet II.

Abdurrahman An-Nahlawi,
1995. Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press.

Abu Tauhied,
1990, Beberapa Asfek Pendidikan Islam, Yogyakarta : Fak Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga.

Ahmad D. Marimba,
1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif.

Ahmad Syafi'i Ma'arif,
1997. Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate Studi Islam melalui Paradigma Baru yang Lebih Efektif, Makalah Seminar, 1997.

Abidin Ibn Rus,
1998. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Alfatih Suryadilaga,dkk,
2008. Miftahus Sufi, Yogyakarta: Teras.

A. Malik Fadjar,
1995. Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern Terhadap Pendidikan Agama Luar Sekolah, Seminar dan Lokakarya Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21, Cirebon: IAIN.

Amin Syukur,
1999. Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Amiruddin dan Zainal Asikin,
2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Anton Baker dan Achmad Charis Zubair,
1990.Metode Penelitian Filsafat.Yogyakarta: Kanisius.

Athiyah Al-Abrasyi,
1996. Dasar-Dasar Pokok  Pendidikan Islam, Jakarta : Bulan Bintang.

Armahedi Mahzar,
1998. Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami: Revolusi Integralisme Islam, Bandung: Mizan.
Azyumardi Azra,
1998. Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: logos Wacana ilmu.

________________,
1999. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Bruno Guiderdoni,
2004. Membaca Alam Membaca Ayat, Bandung: Mizan.

Carl w.Ernest,
2003. Ekspresi Ekstase dalam Sufrisme, Yogyakarta:Putra langit.

Departemen Agama RI,
2003. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: CV Penerbit Diponegoro.

DepDipBud,
1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Djamaluddin Ancok,
1998. Membangun Kompotensi Manusia dalam Milenium Ke Tiga, Psikologika, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, Nomor : 6 Tahun III, Yogyakarta:UII.

Djohar,
1999. Omong Kosong, Tanpa Mengubah UU No. 2/89, Koran Harian "Kedaulatan Rakyat", Tanggal, 4 Mei 1999.

Emile durkheim,
1990. Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan, alih bahasa: Lukas Ginting, Jakarta: Erlangga.

Faisal ismail,
1998. Paradigma Kebudayaan Islam: Studi Kritis Dalam Refleksi Historis, Yogyakarta: Titian Ilahi Press.

Fatmawati,
2004. Strategi Pendidikan Islam dalam Menghadapi Perubahan Masyarakat (Studi Atas Pemikiran Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, SU). Tarbiyah: Yogyakarta.

Fathiyah Hasan Sulaiman,,
1986. Konsep Pendidikan Al-Ghazali, Jakarta, P3M.


Fauzan,
2004. Studi Pemikiran Prof. Dr. Abdul Munir Mulkan, SU Tentang Problematika Sosial dan Dakwah (Upaya Membangun Manajemen Konflik dalam Struktur Komunikasi). Dakwah UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta.

Fuad Hasan,
1997. Dasar-dasar Pendidikan, Jakarta: Balai Pustaka Cipta.

Hasan Bin Ali Al-hijazi,
2001. Manhaj Tarbiyah Ibnu Qoyyim. Jakarta: Pustaka Al-kausar.

Hasan  Langulung,
1993. Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna.

________________,
1995. Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: al-Husna.

Ibnu Kholdun,
2001. Mukaddimah terj Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. III.

Imam Barnabid, dan Sutari Imam Barnabid,
1996. Beberapa Aspek Substansial Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Andi Offset.

Imam Barnabid,
1982. Arti dan Metode Sejarah Pendidikan , Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP-IKIP.

Jalaluddin Rahmat,
1995.Islam Alternatif. Bandung: Mizan.

Jalaluddin Rahmat,
1997. Catatan Kang Jalal Visi Media, Politik dan Pendidikan, Bandung:Rosda Karya.

Karel A. Steenbrink,
1994. Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Cet. Ke-2,  Jakarta: LP3ES.

Lexy J. Moleong,
2006. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya.


LPM Paradigma,
2001. Edisi 08/Th VIII/April. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah.

Mahmud Arif,
2008. Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta: LKiS.

Majid Irsan al-Kailani,
1988. Filsafat a-Tarbiyah al-Islamiyyah, Makkah: Maktabah Hadi.

M. Arifin,
1994. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner Jakarta: Bumi Aksara.

M.Irsyad Sudiro,
1995. Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern, Cirebon, tanggal, 30-31 Agusrus 1995.

Moh. Nasir,
2005. Metodologi Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.

Muhaimin,
2003. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

__________________,
2001. Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya.

__________________,dkk,
Ilmu Pendidikan Islam, Surabaya: Karya Abditama, tt.

Muhammad Jadwal Ridla,
2002. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam. (Perspektif Sosiologis-Filosofis). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Mulyadhi Kartanegara,
2003. Menyibak Tirai Kejahitan: Pengantar Epistimologi Islam, Bandung: Mizan.

M. Quraish Shihab,
1998. Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan.

Noeng Muhadjir,
1993. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Suatu Teori Pendidikan, Edisi IV, Yogyakarta: Rake Sarasih.

Nur Uhbiyati,
1998. Ilmu Pendidikan Islam, Untuk Fakultas Tarbiyah komponen MKDK, Bandung : Pustaka Setia.

Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany,
1979. Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Laguulung Jakarta: Bulan Bintang.

Pius A. Partanto dan M. Dahlan A Barry.
1994.Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkolo.

Rosyidi,                                         
2004. Dakwah Sufistik Kang Jalal. Jakarta: Paramadina.

Roehan Achwan,
1991. Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, Jurnal Pendidikan Islam, Volume 1, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1991.

Sayyid Hussein Nasr,
1987. Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, alih bahasa: Luqman Hakim, (Bandung: Pustaka.

Sudarwan Danim,
            2002. Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: CV. Pustaka Setia.

Sugiyono,
2009. Metode Peneitian Kuantitatif Kualitaif dan R&D, Bandung :    Alfabeta.

Suyanto dan Djihan Hisyam,
2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Millenium III. Yogyakarta: Adicita.

Syed M. Naquib al-Attas,
1995. Islam dan Flsafat Sains,Bandung: Mizan, 1995.

Syed Sajjad Husaian dan Syed Ali Ashraf,
1986. Crisis Muslim Educatio"., Terj. Rahmani Astuti, Krisis Pendidikan Islam, Bandung: Risalah.

Tim Dosen KI,
2009. Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi S-1, Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Ted Peters dan Gaymon Bennet,
2004. Menjembatani Sains dan Agama, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.  
Undang-undang RI No 2 tahun 1989,
1989. Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Semarang , Aneka Ilmu,

Waliuddin,
2003. Pendidikan Sebagai Proses Pembudayaan (Telaah Atas Pemikiran Dr. Abdul Munir Mulkhan, SU). Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta.

Wawancara,
munir@ygy.centrin.net.id, tanggal 23, 12, 2009.

Yusuf Qardlawi,
1980. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj. Bustami Abdul Gani Jakarta: Bulan Bintang.

Zakiyah Daradjat,
1992. Ilmu Pendidikan Islam Jakarta: Bumi Aksara.

Zuhairini, dkk.
1995. Filsafat Ilmu Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara.



[1]  Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 148.
[2]  Ibid, hlm. 149.
[3]  Muhammad Jadwal Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, (Perspektif Sosiologis-Filosofis) (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002),  hlm. 78.
[4]  Suyanto dan Djihan Hisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki MilleniumIII (Yogyakarta: Adicita, 2000), hlm. 55.
[5]  Hasan Bin Ali Al-Hijazi, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qoyyim, (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2001), hlm. 207.
[6] Buku Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi S-1, Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009, hlm. 12.
[7]  Prof. DR. H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004) Cet ke-4, hlm. 1.
[8] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-maarif, 1981), cet ke-5, hlm. 19.
[9]  Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), Cet ke-4 hlm. 4
[10] Dra. Hj. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), Cet. ke-2, hlm. 11.
[11]  Ahmad D.Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 23
[12]  Dr. Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Bumi Aksara, 1992), cet ke-2, hlm. 86

[13]  Jalaluddin rakhmat, Catatan Kang Jalal Visi Media, Politik dan Pendidikan, (Bandung: Rosda Karya, 1997), hlm.  357.
[14] Ibid, hlm. 359.
[15] Hasan Bin Ali Al-hijazi, Manhaj TarbiyahIbnu Qoyyim, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001),  hlm. 155.
[16] Ibid, hlm. 158.
[17]  Ibid, hlm. 59.
[18] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1998), hlm. 57.
[19] Zurhani Jahja, Teologi Al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),  hlm. 17.
[20]  Wawancara, munir@ygy.centrin.net.id, tanggal 30, 01, 2010.
[21]  Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan 1995),  hlm. 99.
[22]  Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal, (Jakarta: Paramadina, 2004),  hlm. 46.
[23]  Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif,Kualitatif dan R & D, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2009), hlm. 2.
[24] Ibid.,hlm. 3.
[25] Penelitian Kualitatif adalah penelitian yang bermaksud memahami venomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motifasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik dan dengan cara diskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah serta dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Lihat Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2007), hlm. 6.
[26] Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002), hal. 60-63.
[27] Deskriptif yaitu menggambarkan sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan suatu gejala dengan gejala lain dalam ruang lingkup sosial. Baca Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 25.
[28]  Anton Baker dan Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta, Kanisius, 1990),  hlm. 92.
[29]  Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 280.
[30]  Pius A. Partanto dan M. Dahlan A Barry. Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkolo, 1994), hlm. 105.
[31] Moh. Nasir, Metodologi Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 54.
[32] Ibid, hlm. 262.
[33]  Tim Dosen KI, Buku Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi S-1, Jurusan  Kependidikan Islam (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, 2009), hlm. 7.
[34] Abdul Munir Mulkhan, Satu Tuhan Seribu Tafsir, (Yogyakarta: Impulse-kanisius, 2007), hal. 173.
[35] Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Sanri, (Yogyakarta: Sipress, 1994), hlm. vii.
[36] Ibid., hlm. vii
[37] Ibid., hlm. ix.
[38] Abdul Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani, (Yogyakarta: Bentang Budaya-Ford Foundation, 2000), hlm. v.
[39] Abdul Munir Mulkhan, Menggugat Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pajar Pustaka Baru, 2000),  hlm. Sampul.
[40] Wawancara, munir@ygy.centrin.net.id, tanggal 23, 12, 2009.
[41]  Hasan Langulung, Pengertian Pendidikan Islam dalam Adul Kholiq, dkk, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 36.
[42] Hasan  Langulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna , 1993), hlm. 3
[43] Undang-undang RI No 2 tahun 1989, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Semarang , Aneka Ilmu, 1989, hlm 4
[44] Fathiyah Hasan Sulaiman,, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, Jakarta, P3M,1986, hlm 20
[45] Tarbiyah berasal dari kata robba-yarbuw (tumbuh dan berkembang), ta’lim berasal dari kata alima-ya’lamu (mengerti atau memberi tanda), ta’dib berasal dari kata adaba-ya’dibu (berbuat dan berperilaku sopan). Muhaimin dkk, Ilmu Pendidikan Islam (Surabaya: Karya Abditama, tt), hlm. 14
[46] Ibid.
[47] Azumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi menuju Milinium Baru (Jakarta: Logos, 2002), hlm. 5
[48] Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok  Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996) , hlm.
[49]  Abu Tauhied, Beberapa Asfek Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Fak Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1990), hlm. 14.
[50] Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 339
[51] Hasil wawancara dengan Abdul Munir Mulkhan di rumahnya Perumahan Tinalan Kota Gede Yogyakarta, 22 April 2010.
[52]  Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, (Yogyakarta: Sipress, 1994), hlm. 54.
[53] Ibid, hlm. 238.
[54] Abdul Munir Mulkhan, Dari Semar ke Sufi: Kesalehan Multikultural Sebagai Solusi Islam di Tengah Tragedi Keagamaan Umat Manusia, (Yogyakarta: al-Ghiyats 2003), hlm. 201.
[55] Alfatih Suryadilaga,dkk, Miftahus Sufi, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 3.
[56] Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 8.
[57] DEPDIPBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hlm. 863.
[58]  Wawancara, munir@ygy.centrin.net.id, tanggal 30, 01, 2010.
[59] Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalam Kematian Syeh Siti Jenar, ( Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009) hlm.6
[60]  Hasil wawancara dengan Abdul Munir Mulkhan di rumahnya Perumahan Tinalan Kota Gede Yogyakarta, 22 April 2010.
[61] Hasil wawancara dengan Prof . Dr. Abdul Munir Mulkhan, SU, dikediamannya Perumahan Tinalan Kota Gede Yogyakarta, 22 April 2010.
[62]  Abdul Munir Mulkhan, Satu Tuhan Seribu Tafsir, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm.
81.
[63]  Ibid, hlm. 88.
[64]  Ibid, hlm. 88-89.
[65]  Syed Sajjad Husaian dan Syed Ali Ashraf, Crisis Muslim Educatio"., Terj. Rahmani Astuti, Krisis Pendidikan Islam, (Bandung: Risalah 1986), hlm 2
[66] Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalabih fi Baiti wa Madrasati wal Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyr, Beirut-Libanon., Terj. Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 26.
[67] Roehan Achwan, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, Jurnal Pendidikan Islam, Volume 1, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1991), hlm. 50.
[68] Mulkhan, Kecerdasan Makrifat dan Revolusi Spiritual Dalam Tradisi Sufi, (Yogyakarta: Jurnal Jurusan Kependidikan Islam UIN Suka, 2004), hlm. 125.
[69]  Abdul Munir Mulkhan, Satu Tuhan Seribu Tafsir, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm.
91-92.
[70]  Hasil wawancara dengan Abdul Munir Mulkhan di rumahnya Perumahan Tinalan Kota Gede Yogyakarta, 18 Mei 2010.
[71]  Hasil wawancara dengan Abdul Munir Mulkhan di rumahnya Perumahan Tinalan Kota Gede Yogyakarta, 18 Mei 2010.
[72]  Hasil wawancara dengan Abdul Munir Mulkhan di rumahnya Perumahan Tinalan Kota Gede Yogyakarta, 18 Mei 2010.
[73] Hasil wawancara dengan Abdul Munir Mulkhan di rumahnya Perumahan Tinalan Kota Gede Yogyakarta, 22 April 2010.
[74]  M.Irsyad Sudiro, Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern, (Cirebon, tanggal, 30-31 Agusrus 1995), hlm. 2.
[75]  Djamaluddin Ancok, Membangun Kompotensi Manusia dalam Milenium Ke Tiga, Psikologika, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, Nomor : 6 Tahun III, (Yogyakarta:UII, 1998), hlm. 5.
[76]  Erich Fromm, dikutip Ahmad Syafi'i Ma'arif,  Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate Studi Islam melalui Paradigma Baru yang Lebih Efektif, Makalah Seminar, 1997, hlm. 7.
[77]  Ahmad Syafi'i Ma'arif,  Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate Studi Islam melalui Paradigma Baru yang Lebih Efektif, Makalah Seminar, 1997, hlm. 7-8.
[78] Kuntowijoyo, 1987, dikutip A.Malik Fadjar, Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern Terhadap Pendidikan Agama Luar Sekolah, Seminar dan Lokakarya Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21, (Cirebon: IAIN, tanggal, 31 Agustus s/d 1 September 1995), hlm. 4.
[79]  A.Malik Fadjar, Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern Terhadap Pendidikan Agama Luar Sekolah, Seminar dan Lokakarya Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21, (Cirebon: IAIN, tanggal, 31 Agustus s/d 1 September 1995), hlm. 4.
[80]  Ibid, hlm. 4.
[81]  Nasr Hamid Abi Zaid, Naqd al-Khitab ad-Dini, (Kairo: Sina Li an-Nasyr, 1994), hlm. 67-68.
[82]  Abdul Munir Mulkhan, Satu Tuhan Seribu Tafsir, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 77.
[83]  Abdul Munir Mulkhan, Satu Tuhan Seribu Tafsir, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 78.
[84]  Perves Hoodbhoy, Ihtiar Menegakkan Rasionalitas, dalam Mahmud Arif. (ed), Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta: LKiS, 2008), hlm. 229.
[85]  Hasil wawancara dengan Prof . Dr. Abdul Munir Mulkhan, SU, dikediamannya Perumahan Tinalan Kota Gede Yogyakarta, 18 Mei 2010.
[86]  Hasil wawancara dengan Prof . Dr. Abdul Munir Mulkhan, SU, dikediamannya Perumahan Tinalan Kota Gede Yogyakarta18 Mei 2010.
[87]  Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta: LKiS, 2008), hlm. 233.
[88] Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta: LKiS, 2008), hlm. 233-234.
[89]  Ibid, hlm. 235.
[90]  Mulkhan, Tuhan Tak Lagi Membela Orang Saleh?, (Republika, 6 Oktober 2004),  hlm. 5.
[91] Hasil wawancara dengan Prof . Dr. Abdul Munir Mulkhan, SU, dikediamannya Perumahan Tinalan Kota Gede Yogyakarta18 Mei 2010.
[92]  Abdul Munir Mulkhan, Satu Tuhan Seribu Tafsir, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 90.
[93]  Hasil wawancara dengan Prof . Dr. Abdul Munir Mulkhan, SU, dikediamannya Perumahan Tinalan Kota Gede Yogyakarta18 Mei 2010.
[94]  Majid Irsan al-Kailani, Filsafat a-Tarbiyah al-Islamiyyah, (Makkah: Maktabah Hadi, 1988),  hlm. 214.
[95]  Ted Peters dan Gaymon Bennet, Menjembatani Sains dan Agama, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 177.
[96]  Dalam Q.S. Ali Imran (3): 190-191, misalnya disebutkan:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka”. Lihat Tim Yayasn Penyelenggara Penerjemah al-Quran, Alquran dan Terjemahannya, (Jakarta: DEPAG RI, 1982), hlm. 109-110.
[97]  Majid Irsan al-Kailani, Filsafat a-Tarbiyah al-Islamiyyah, (Makkah: Maktabah Hadi, 1988),  hlm. 85.
[98]  Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung,: Mizan, 1996). Hlm. 288-289.
[99] Sebagaimana diuraikan al-Attas, tema akal (‘aql) mengandung arti substansi ruhaniyah yang melekat dalam organ ruhaniyah pemahaman yang disebut hati. Akal ini memliki kemampuan nalar (akal diskursif) dan intelek (akal intuitif). Lihat Syed M. Naquib al-Attas, Islam dan Flsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 27-28 dan 37.
[100] Kebenaran agamawi “adalah istilah yang digunakan al-Kailani untuk menujukkan jenis objek realitas (kebenaran) yang menyangkut sang kholik dan relasi-Nya dengan makhluk (ciptaan), dan kepatuhan manusia terhadap-Nya dalam lingkup sosial-kemasyarakatan. Sedangkan ”kebenaran kealaman ” adalah sejenis kebenaran yang menyangut fenomena semesta alam. Lihat al-Kailani, Filsafat at-Tarbiyah, hlm. 291. Menurut Guiderdoni, manusia mempunyai dua sisi kecerdasan: sisi kekuatan silogistik dan sisi kekuatan kontemplatif; sains sebagai hasil kekuatan sisi silogistik tidak mampu memantau dan menjelajahi keseluruhan realitas sehingga masih menyisakan banyak ruang bagi pendekatan lain yang membahas masalah pemaknaan/perenungan. Lihat Bruno Guiderdoni, Membaca Alam Membaca Ayat, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 173.
[101] Menurut Armahedi Mahzar, paradigma sains integratif tersebut (konsep an-nazhar) adalah yang mampu menjebatani monoteisme transendental dan sains sekuler. Lihat Armahedi Mahzar, ”Menuju Paradigma Sains Posmodern”, dalam Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahitan: Pengantar Epistimologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), hlm xxviii.
[102] Bandingkan dengan Armahedi Mahzar, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami: Revolusi Integralisme Islam, (Bandung: Mizan), hlm. 227
[103] Al-Kailani, Filsafat at-Tarbiyah…, hlm. 291
[104] Ibid, hlm. 247. Sebagai salah satu bentuk penghayatan wahyu, seperti dikemukakan oleh Guiderdoni, adalah bahwa pendidikan sains modern di Barat mengesampingkan Tuhan. Lihat Guiderdoni, Membaca Alam…, hlm. 21
[105] Abdul Munir Mulkhan, Dari Semar ke Sufi: Kesalehan Multikultural Sebagai Solusi Islam di Tengah Tragedi Keagamaan Umat Manusia, (Yogyakarta: al-Ghiyats 2003), hlm. 201240
[106] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Untuk Fakultas Tarbiyah komponen MKDK, (Bandung : Pustaka Setia, 1998), Hlm. 123
[107] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembimbing dan Pengembangan Bahasa Dep.  Pendidikan dan Kebudayaan Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta : Balai Putaka, 1989), Hlm. 581
[108] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 132
[109] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan…, hlm. 132
[110] Seperti dituliskan Muhaimin dan Abdul Mujib metode Pendidikan Agama Islam meliputi: metode diakronis, singkronis, problem solving, empiris, induktif dan metode deduktif dan pengaplikasian metode tersebut menggunakan beberapa teknik antara lain: teknik periklanan dan pertemuan, teknik dialog, teknik bercerita, teknik metafor, teknik imitasi, teknik drill, teknik ibrah, teknik pemberian janji dan ancaman, teknik korelasi dan kritik, dan teknik perlombaan. Muhaimin dan Abdul Mujid, Pemikiran…, hlm. 251-276
[111] Ibid.,  hlm. 90.
[112] Ibid., hlm. 91.
[113] Ibnu Khlmdun, Mukaddimah terj Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Cet. III, hlm 759.
[114]  Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, (Beirut: dar al-Salam, 1981), cet II. Hlm. 163-172.
[115]  John P. Miller, oleh Abdul Munir Mukhan, Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian: Rangkuman Model Pengembangan Kepribadian dalam Pendidikan Berbasis Kelas, (Yogyakarta: Kreasi Wacna), hlm. 25.
[116]  Abdul Munir Mulkhan, Satu Tuhan Seribu Tafsir, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 79.
[117]  Ibid, hlm. 79.
[118]  Ibid, hlm. 79.
[119]  Ibid, hlm. 79.
[120]  Yusuf Qardlawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj. Bustami Abdul Gani (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 80.
[121]  Yusuf Qardlawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj. Bustami Abdul Gani (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 359-509.
[122]  Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, (Beirut: dar al-Salam, 1981), cet II. Hlm. 542.
[123]  Y. Singgih Dirgunarsa, Tanggung Jawab Keluarga dan Sekolah dalam Pendidikan Nilai,
[124]  Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Laguulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 585.
[125]  Yvon Ambroise, Pendidikan Nilai, dalam Kaswadi (ed.), Pendidikan Nilai, hlm. 22.
[126]  Hasan Laggulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: al-Husna, 1995), hlm. 402-303.
[127]  Hasil wawancara dengan Prof . Dr. Abdul Munir Mulkhan, SU, dikediamannya Perumahan Tinalan Kota Gede Yogyakarta18 Mei 2010.
[128]  Hasil wawancara dengan Prof . Dr. Abdul Munir Mulkhan, SU, dikediamannya Perumahan Tinalan Kota Gede Yogyakarta18 Mei 2010.

[129]  Hasil wawancara dengan Prof . Dr. Abdul Munir Mulkhan, SU, dikediamannya Perumahan Tinalan Kota Gede Yogyakarta18 Mei 2010.
[130]  Hasil wawancara dengan Prof . Dr. Abdul Munir Mulkhan, SU, dikediamannya Perumahan Tinalan Kota Gede Yogyakarta18 Mei 2010.
[131] A.Malik Fadjar, Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern Terhadap Pendidikan Agama Luar Sekolah, Seminar dan Lokakarya Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21, (Cirebon: IAIN, 1995), hlm. 5.
[132] M.Irsyad Sudiro, Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern, (Cirebon, tanggal, 30-31 Agusrus 1995), hlm. 2.
[133]  Djohar, Omong Kosong, Tanpa Mengubah UU No. 2/89, (Koran Harian "Kedaulatan Rakyat", Tangga, 4 Mei 1999), hlm. 12.
[134] Ali Ashraf, Horizon…, hlm.116.
[135] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Cet. Ke-2,  (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 12
[136] Hasil wawancara dengan Prof . Dr. Abdul Munir Mulkhan, SU, dikediamannya Perumahan Tinalan Kota Gede Yogyakarta18 Mei 2010.
[137]  Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, (Beirut: dar al-Salam, 1981), cet II. Hlm. 155-158.
[138]  Hasil wawancara dengan Prof . Dr. Abdul Munir Mulkhan, SU, dikediamannya Perumahan Tinalan Kota Gede Yogyakarta18 Mei 2010. bandingkan Munir Mulkhan, Satu Tuhan Seribu Tafsir, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 95.
[139] Hasil wawancara dengan Prof . Dr. Abdul Munir Mulkhan, SU, dikediamannya Perumahan Tinalan Kota Gede Yogyakarta18 Mei 2010
[140]  John P. Miller, oleh Abdul Munir Mukhan, Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian: Rangkuman Model Pengembangan Kepribadian dalam Pendidikan Berbasis Kelas, (Yogyakarta: Kreasi Wacna), hlm. 25.
[141]  Ibid, hlm. 25.
[142]  Hasil wawancara dengan Prof . Dr. Abdul Munir Mulkhan, SU, dikediamannya Perumahan Tinalan Kota Gede Yogyakarta18 Mei 2010
[143]  Hasil wawancara dengan Prof . Dr. Abdul Munir Mulkhan, SU, dikediamannya Perumahan Tinalan Kota Gede Yogyakarta18 Mei 2010
[144]  Abdul Munir Mulkhan, Satu Tuhan Seribu Tafsir, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm.
90.
[145]  Ibid, hlm. 91.
[146]  Hasil wawancara dengan Prof . Dr. Abdul Munir Mulkhan, SU, dikediamannya Perumahan Tinalan Kota Gede Yogyakarta18 Mei 2010

3 comments:

  1. perasaan skripsi tentang abdul munir mulkhan banyak, kok cuma dua yang dijadikn acuan penelitian terdahulu. coba lihat skripsi nasir dan fatmawati jurusan KI angkatan 2000

    ReplyDelete
  2. abis baca ini, jadi pengen nulis skripsi bertemakan sufistik,,

    ReplyDelete
  3. abis baca ini, jd pengen nulis skripsi bertema sufistik

    ReplyDelete