Hukum Islam


DINAMIKA HUKUM ISLAM DI INDONESIA
(Strategi Teoritik Yang Meliputi Status dan Proses Sosial Menuju Perubahan Sosial)
Muh Rofiq Nasihudin

 

A.     Latar Belakang

Fokus kajian penulisan makalah ini berkisar pada pembahasan strategi teoritik yang meliputi status sosial dan proses sosial dalam dinamika hukum Islam di Indonesia. Status sosial dan interaksi (proses) sosial memilki peranan penting dalam kehidupan sosial. Oleh karenanya, para Sosiolog memandang betapa pentingnya mempelajari pengetahuan tentang status dan proses sosial tersebut.[1]
Hukum Islam merupakan salah satu hukum yang hidup (living law) dan merupakan bagian dari tiga sistem hukum yang ada di Indonesia.[2] Sebagai Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam ( kurang lebih 88 %) sudah barang tentu teradapat nilai ataupun norma agama bersamaan dengan hadirnya agama tersebut.[3] Dinamisasi hukum Islam pastilah akan berpengaruh terhadap proses maupun interaksi sosial. Begitu juga dengan status sosial, dikarenakan norma yang terserap hasil dari interaksi antara agama dengan masyarakat tersebut memunculkan implikasi terhadap proses sosial yang terjadi di Indonesia (misalnya pengaruh seoarang kyai sebagai tokoh masyarakat).
Pengaruh yang dihasilkan melalui jalur status sosial, realitas yang terjadi di Indonesia terkadang terjadi kontradiktif diantara para pemegang status  yang mengakibatkan rawan konflik.[4] Oleh sebab itu, sosiologi hukum Islam sebagai ilmu sudah sewajarnya bisa menstimulasi untuk menelaah lebih luas dan dalam mengenai strategi teoritik terkhusus pada locus kajian yang meliputi status sosial dam proses sosial yag berkembang di Indonesia.
Konfigurasi ketiga sistem hukum (Barat, Islam, Adat) yang ada di Indonesia tersebut, pada perkembangannya memunculkan asumsi (meskipun terlihat naif) bahwasannya pengadopsian “setengah-setengah” dari ketiga sistem hukum tersebut merupakan suatu kewajaran jika hukum di Indonesia terlihat “semerawut” sebagai pertanda ketidak orisinilan dari sistem hukum Indonesia. Sehingga memunculkan kompetisi dan terjadi saling tarik menarik untuk berebut pengaruh dan saling mendominasi sebagai agent of change dalam mengawal proses dan perubahan sosial di Indonesia.

B.     Landasan Teori

1.      Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum maupun sosilogi hukum Islam merupakan ilmu pengetahuan yang relatif baru dalam perkembangannya.[5] Salah satu kegunaannya antara lain menganalisa pengaruh timbal balik antara dinamika perubahan hukum dengan perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat.[6]
Cakupan sosiologi hukum tidak hanya diseputar dunia ilmu hukum saja, akan tetapi meliputi hukum yang hidup dimasyarakat (living law). Menurut Beni Ahmad Saebani, lahan kajian sosiologi hukum secara garis besarnya meliputi:[7]
1.      Kajian disekitar Gejala sosial dan hubungan timbal balik dalam kehiduapan masyarakat yang menghasilkan norma ataupun kaidah sosial untuk memagari perilaku manusia diluar batas, sehingga ketentuan-ketentuan dalam kaidah sosial itu disepakati secara turun temurun. Dalam konteks itulah, hukum adat maupun hukum yang hidup secbagai budaya lokal masyarakat menjadi barometer moralitas sosial.
2.      kajian disekitar hukum yang berlaku sebagai produk pemerintah, penyelenggara Negara atau lembaga yudikatif, dan lembaga yang memilki wewenang untuk itu, yang kemudian menjadi peratruraan yang mengikat kehidupan masyarakat.
Status dan interaksi (proses) sosial merupakan bagian penting dalam kehidupan sosial. Pada dataran realitas, status sosial masyarakat pastilah sangat berpengaruh pada proses pergumulannya terhadap eksistensi hukum dalam penerapannya. Setiap gejala sosial yang terjadi disuatu masyarakat merupakan objek penting sosiologi. Sudah barang tentu, interaksi yang terjadi dalam suatu masyarakat merupakan bagian dari suatu proses sosial maupun perubahan sosial. Dengan demikan, lahan kajian sosiologi hukum secara sederhana memperbincangkan gejala sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam hubungannya dengan tindakan melawan hukum, menaati hukum, tindakan melakukan upaya hukum, tindakan penafsiran masyarakat terhadap hukum, maupun hukum sebagai produk penafsiran masyarakat. Adapaun fokus kajian Kajian utamanya yaitu berbagai kaidah, norma, dan peraturan yang terdapat dalam masyarakat yang telah disepakati sebagai hukum.[8]

a)      Status Sosial
Status/kedudukan adalah posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial atau kelompok masyarakat berkaitan dengan hak dan kewajibannya. Setiap individu dalam masyarakat memiliki status sosialnya masing-masing. Oleh karena itu, status merupakan perwujudan atau pencerminan dari hak dan kewajiban individu dalam tingkah lakunya. Status sosial sering pula disebut sebagai kedudukan atau posisi, peringkat seseorang dalam kelompok masyarakatnya.[9] Dalam teori sosiologi, unsur-unsur dalam sistem pelapisan masyarakat adalah kedudukan (status) dan peranan (role). Kedua unsur ini merupakan unsur baku dalam pelapisan masyarakat. Kedudukan dan peranan seseorang atau kelompok memiliki arti penting dalam suatu sistem sosial.
Masyarakat pada umumnya memperoleh status melalui tiga cara, antara lain:[10]
a.        Ascribed Status adalah kedudukan yang diperoleh secara otomatis tanpa usaha. Status ini sudah diperoleh sejak lahir. Contoh: Jenis kelamin, keturunan kerajaan, dsb.
b.      Achieved Status adalah kedudukan yang diperoleh seseorang dengan disengaja. Contoh: kedudukan yang diperoleh melalui pendidikan guru, dokter, insinyur, gubernur, camat, dsb.
c.       Assigned Status merupakan kombinasi dari perolehan status secara otomatis dan status melalui usaha.  Status ini diperolah melalui penghargaan atau pemberian dari pihak lain, atas jasa perjuangan sesuatu untuk kepentingan atau kebutuhan masyarakat. Contoh: Kyai, gelar kepahlawanan, dsb.
Adapun fungsi dari peranan merupakan aspek dinamis dari status tersebut. Apabila seseoarang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan. Ruang lingkup peranan (role) meliputi antara lain:[11]
a.       Norma-norama yang dihubungkan dengan posisi atau tempat dalam masyarakat
b.      Peranan yang diartikan sebagai konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi
c.       Peranan yang yang dimaksudkan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial
b)      Proses Sosial
Para sosiolog mensyaratkan mengenai terjadinya proses sosial kepada tiga keadaan yang mendasar, yaitu kontak sosial, jarak sosial dan isolasi sosial.[12] Menurut Soerjono Soekanto, gambaran umum dari terciptanya proses sosial adalah adanya interaksi sosial, karena hal tersebut sebagai indikator terjadinya aktivitas-aktivitas sosial.[13] Dengan adanya interaksi maka akan tercipta suatu hubungan sosial baik antar perorangan, individu dengan kelompok ataupun antar kelompok. Interaksi sosial merupakan kunci penting dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial tidak akan mungkin terwujud kehidupan bersama.
Adapun faktor-faktor yang menjadi syarat terjadinya interaksi sosial yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi.[14] Kontak disini dimaksudkan seabagai pertemuan langsung antara dua individu maupun kelompok. Sedangkan yang dimaksud komunikasi yitu bahwasannya seseorang memberikan tafsiran pada prilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah maupun sikap).
Selain faktor-faktor yang menjadi syarat terjadinya interaksi sosial, teradapat bentuk-bentuk interkasi antara lain berupa kerjasama (Cooperation), persaingan (Competition) dan pertikaian atau pertentangan (conflict).[15] Dengan demikian, cakupan pembahasan proses sosial sangat berguna untuk menelaah dan mempelajari pelbagai masalah yang terjadi didalam suatu masyarakat.
2.      Hukum Islam
Para sarjana hukum Islam (ulama) memposisikan hukum dalam Islam bukan hanya sebagai social engineering dan social control an sich (profan), lebih dari itu, hukum dalam Islam merupakan hasil dari proses emanasi manusia terhadap kehendak Tuhan (sakral). Oleh karenanya hukum dalam Islam berhubungan erat dengan ranah teologis disamping wujud pengejawantahan seorang hamba menjalankan keberagamaannya secara utuh dan absolut (kaffah).[16]
Secara teoritis, umat Islam meyakini bahwasannya hukum Islam merupakan sebuah takdir (destiny) dalam mengatur semua aspek kehidupan manusia karena Tuhan telah menunjukkan jalan yang lurus untuk dijadikan pedoman oleh manusia. Bentuknya yaitu dengan berpegang teguh pada apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul-Nya.[17] Hal ini antara lain disandarkan pada ayat-ayat alqur’an sebagai berikut:
4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# [18]
$tBur tb%x. 9`ÏB÷sßJÏ9 Ÿwur >puZÏB÷sãB #sŒÎ) Ó|Ós% ª!$# ÿ¼ã&è!qßuur #·øBr& br& tbqä3tƒ ãNßgs9 äouŽzÏƒø:$# ô`ÏB öNÏd̍øBr& 3 `tBur ÄÈ÷ètƒ ©!$# ¼ã&s!qßuur ôs)sù ¨@|Ê Wx»n=|Ê $YZÎ7B [19]

oleh sebab itu secara tersurat dan teoritis dari ayat tersebut diatas (meskipun terkesan mensimplifikasi) umat Islam diharuskan (wajib) mengambil sumber hukum terhadap apa yang diturunkan Allah dan mengikuti rasul-Nya. Karena pada hakekatnya Muhammad sebagai utusan yang membawa wahyu Tuhan (rasulullah) juga sebagai rahmat untuk sekalian alam.[20]
Dari kedua sumber inilah (al-Qur’an dan sunnah rasul) premis teologis yang menyatakan bahwasannya kedudukan agama adan Negara tidak dapat dipisahkan. Oleh karenanya hubungan antar manusia (habl min al-nas) berkaitan erat (kesatuan organik) dengan  hubungan manusia dengan Tuhannya (habl min Allah). Tegasnya, dalam Islam semua aspek kehidupan manusia telah diatur sedemikian rupa sehingga Islam bersifat lentur dan fleksibel untuk setiap masa dan tempat (salih}un li kulli zaman wa makan).[21]
Pada masa awal Islam (masa rasulullah), pengejawantahan hukum dalam ranah aplikatif berdialektika dengan realitas sosial tidaklah mengalami kendala apapun. Hal ini karena umat pada waktu itu bisa langsung menanyakannya kepada rasulullah sebagai pemegang otoritas yang bisa menginterpretasikan wahyu Tuhan yang sakral itu. Namun setelah wafatnya beliau (rasulullah), para sahabat menghadapi berbagai persoalan baru dan lebih kompleks. Hal ini disebabkan disamping semakin bertambahnya orang yang memeluk Islam juga ekspansi wilayah yang terlampau luas sehingga terkumpul realitas sosial budaya masyarakat yang heterogen.
Demikian juga pada masa selanjutnya (seperti masa tabi’in dan masa tabi’ut tabiin). Pengambilan dasar hukum terhadap teks normatif yang bersifat sakral tersebut sebagai konsideran tidak lagi bersifat sederhana jika tidak dibilang begitu kompleks. Dialektika antara teks dan konteks tersebut berujung pada keberagaman kesimpulan premis yang dilontarkan oleh para ahli hukum disetiap masa dan tempat yang berbeda. Realitas historis ini pada tahap selanjutnya menciptakan berbagai faham dari para ahli hukum yang mengkristal menjadi berbagai kelompok aliran yang dikenal dengan istilah mazhab.
Hal ini berimplikasi pada berkembangnya teori pembentukan hukum Islam yang dikenal dengan istilah ushul fiqh, yaitu suatu ilmu tentang berbagai kaidah (norma ataupun aturan) dan kajian yang menjadi acuan dalam penetapan hukum syari’at tentang semua perbuatan manusia yang berdasar pada dalil-dalil terperinci.[22] Menurut Sacht yang ditegaskan kembali oleh Minhaji, peletak dasar ilmu ini yaitu Imam Syafi’i.[23]
Pada akhirnya, dalil-dalil syar’iyah tersebut mengejawantah kepada corak yang beragam dalam upaya pembentukan hukum Islam (istinbat}), secara konvensional para ulama mengkategorikannya sebagai proses ijtihadi, seperti Istihsan, Maslahah Mursalah, ‘Urf, Istishab, Syar’u man qablana, mazhab sahabat  dan lain sebagainya:[24]
Jaih Mubarok memetakan proses ijtihadi kedalam tiga bagian. Pertama ijtihad bayani yang berarti penjelsan dan penafsiran para ulama terhadap teks al-Qur’an dan Sunnah. Kedua Ijtihad qiyasi yang berarti penjelasan dan penafsiran para ulama dengan memakai metode inferensi. Terakhir ijtihad istislahi yang dimaksudkan kepada proses ijtihad para ulama dengan sandaran tujuan perolehan kemanfaatan dan penolakan terhadap kesusahan (madarat) yang memang sejatinya merupakan salah satu esensi tujuan hukum Islam.[25]
Jaih menambahkan yang disebut kedua terakhir (ijtihad qiyasi dan jtihad istislahi) biasa dikenal dengan ijtihad bi al-ra’y. sedangkan ijtihad bayani meskipun merupakan produk ijtihad akan tetapi ra’yi (akal) hanya berperan sebagai pendukung saja dalam proses interpretasi al-Qur’an maupun sunnah (sumber hukum materiil).[26]
Adapun tujuan pembentukan hukum Islam menurut al-Syatibi adalah untuk kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat.[27]Kemaslahatan atau kemanfaatan inilah yang akan mempengaruhi dan menjadi barometer dalam penetapan hukum Islam. Selanjutnya ia mengklasifikasikannya kepada tiga bagian yakni:[28]
1.  Maslahat primer (daruriyyah): sesuatu yang mesti ada dalam rangka menegakkan kemaslahatan agama dan dunia. Maslahat pokok ini meliputi lima asas yakni menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan dan menjaga harta.
2.  Maslahat sekunder (hajiyah): sesuatu yang dibutuhkan untuk keleluasaan hidup dan meniadakan kesempitan pada umumnya.
3.  Maslahat tertier (tahsiniyyah): mengambil sesuatu yang dapat memperindah kebiasaan dan menjauhi situasi uyang ternodai (tercemar) yang dimulai berdasarkan pemikiran yang kuat. Seperti bahasan tentang akhlak.

C.     Analisis

1.   Dinamika Hukum Islam di Indonesia
Dinamika memiliki pengertian keadaan gerak; selalu sanggup menyesuaikan diri.[29] Sedangkan hukum Islam merupakan pengejawantahan dari pergumulan antara syari’ah, fiqh klasik, dan ijtihad para ulama yang berkembang di Indonesia baik berbentuk hukum nasional (formal) maupun terdapat hukum yang hidup dimasyarakat (living law).[30] Dengan demikian, yang dimaksud dengan dinamika hukum Islam disini yaitu gerakan-gerakan penyesuaian maupun perubahan hukum Islam sesuai dengan proses sosial yang terdapat di masyarakat demi terwujudnya perubahan sosial di Indonesia secara global.
Indonesia bukanlah berbentuk Negara Islam, akan tetapi sebuah Negara yang berbentuk Negara kesatuan republic yang tidak memberi ruang pada umat Islam untuk mengejawantahkan dasar dan tata hukumnya kepada sumber-sumber hukum Islam an sich. Demikian juga halnya pada umat penganut agama lain seperti Kristen, Hindu, Budha dan lainnya. Akan tetapi, disisi lain secara formal legalistic Negara juga tidak sepenuhnya menutup mata dari pelaksanaan hukum Islam sehingga disamping mempunyai landasan dogmatic pada tataran teologis, keberadaan hukum Islam juga didukung oleh umatnya dan untuk sebagian mempunyai landasan formal dari tata aturan perundang-undangan yang terdapat di Negara Republik Indonesia.
Konstelasi perjalanan bangsa Indonesia sepanjang bukti-bukti sejarah, pada jaman dahulu kala berbagai wilayah yang terdapat di nusantara telah dikuasai oleh kerajaan-kerajaan yang menganut agama Hindu dan Budha. Oleh karena itu, sudah barang tentu eksistensi hukum Islam tentunya seiring dengan masuknya agama Islam ke Indonesia. Dalam perjalanannya, ditemukan fakta-fakta sejarah yang mengindikasikan bahwa banyak kerajaan-kerajaan Islam muncul seperti Kesultanan Aceh, Palembang, Deli, Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan, Kesultanan Buton, Bima, Banjar serta Ternate dan Tidore. Juga Kerajaan Mataram, Kesultanan Banten dan Cirebon di Jawa.
Semua kerajaan dan kesultanan ini memang telah memberikan tempat yang begitu penting bagi perkembangan hukum Islam di Nusantara. Berbagai kitab hukum ditulis oleh para ulama. Kerajaan atau kesultanan juga telah menjadikan hukum Islam, setidak-tidaknya di bidang hukum keluarga dan hukum perdata sebagai hukum positif yang berlaku di wilayahnya.
Kerajaan juga membangun masjid besar di ibukota negara, sebagai simbol betapa pentingnya kehidupan keagamaan Islam di negara mereka. Pelaksanaan hukum Islam juga dilakukan oleh para penghulu dan para kadi, yang diangkat sendiri oleh masyarakat Islam setempat, jika ditempat tersebut tidak terdapat kekuasaan politik formal yang mendukung pelaksanaan ajaran dan hukum Islam.
Hukum Islam di Indonesia telah berkembang selama belasan abad dengan proses sosial yang terjadi tidak mengesampingkan metode-metode yang sangat memperhatikan kepentingan lokal.[31] Tidak mengherankan jika para intelektual muslim Indonesia mulai dari jaman dulu sampai saat ini terus memperjuangkan hukum Islam yang selalu sesuai dengan sosio kultur bangsa Indonesia.[32]
Oleh karenanya, hukum Islam merupakan salah satu bagian dari lembaga kemasyarakatan fungsional yang berhubungan dan saling mempengaruhi dengan lembaga kemasyarakatan lainnya. Hubungan antara struktur sosial dengan hukum memberikan pengertian yang lebih mendalam mengenai lingkungan sosio kultur dimana hukum berlaku di masyarakat.[33]
Dalam taraf internasional, dinamisasi hukum Islam dimulai melalui pemikiran dan gerakan pembaharuan yang dikenal juga dengan modernisasi. Yang memiliki pengertian pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya agar semua itu dapat disesuaikan dengan sosio kultur masyarakat modern.[34] Hal ini berimbas terhadap rekonstruksi yang terjadi dibidang hukum sesuai dengan sosio kultur pada suatu masyarakat.
Hal ini selaras dengan teori yang dikemukakan salah satu founding father teori ilmu sosial, Max Weber, yang mengatakan bahwasannya proses dan perubahan sosial yang terjadi pada suatu masyarakat berangkat dari masyarakat tradisional (manual) kemudian berubah kepada keadaan transisi lalu menuju kepada masyarakat rasional (modern).[35]

2.   Sistem Sosial Islam
Diskursus mengenai sistem sosial dalam Islam bukanlah suatu hal yang merupakan asing. Dalam sumber rujukan baik teks al-Qur’an maupun Sunnah terdapat banyak tuntutan tentang pandangan sistem sosial Islam. Terdapat banyak ayat al-Qur’an yang berbicara mulai dari kedudukan mupun golongan (status) manusia menurut Islam,[36] kemasyarakatan,[37] bahkan sampai kedudukan antara pria dan wanita[38] dalam pandangan Islam.
Sistem sosial yang terdapat dalam masyarakat kapitalis, liberal, pada dasarnya hak individu lebih dipentingkan daripada hak kolektif. Sehingga kepentingan kolektif bisa menjadi korban kepentingan individu. Begitu juga sebaliknya, dalam masyarakat sosialis komunis, hak kolektif lebih dipentingkan daripada hak individu, sehingga kepentingan individu bisa saja selalu menjadi korban kepentingan kolektif.
Hal ini berbeda denagan pandangan Islam, yang tidak menganut sistem masyarakat seperti itu (Kapitalis, liberal, sosialis komunis), akan tetapi menganut asas keseimbangan antara hak dan kewajiban, individu dan masyarakat, hak individu dan kewajiban individu, antara hak masyarakat dan kewajiban masyarakat.[39]
Seperti yang telah disinggung diatas, sebagai Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam ( kurang lebih 88 %), sudah barang tentu kaum muslim di Indonesia mampu selalu berupaya meningkatkan komitmen keislamannya. Sebagaimana yang telah terdapat pada tuntunan ajaran yang termaktub dalam al-Quran dan Sunnah. Status, kemasyarakatan,dan interaksi sosial merupakan suatu keniscayaan yang harus dilalui oleh setiap manusia. Dan Islam mengatur kesemua hal tersebut.

3.   Hukum dan Masyarakat
Hukum Islam jika dibawa pada pendekatan kajian hukum dalam perkembangannya, masyarakat (kaum muslimim) akan mengahdapai dua kemungkinan. Yang pertama adalah terciptanya hukum positif Islam sebagai upaya pengakomodiran yang dilakukan oleh Negara untuk warga Negara yang memeluk Islam. Yang keduanya pengejawantahan nilai-nilai hukum Islam yang akan berlaku bagi seluruh warga Negara tanpa pandang bulu, bahkan mungkin seluruh penduduk (termasuk yang bukan warga Negara). Kedua kemungkinan inilah yang akan menentukan eksistensi nasib hukum Islam dalam pembentukan hukum nasional menuju perubahan sosial yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Persis seperti yang dikatakan Weber, bahwa masyarakat (sosial) akan selalu dipengaruhi oleh etika keagamaannya (normatif).[40]
Hukum Islam yang diyakini pemeluknya memilki sifat akomodatif dan elastis dalam pergumulannya terhadap proses dan perubahan zaman kehidupan manusia, dalam dataran relaitas (das sein) belum tentu benar-benar dapat merespon dengan baik seperti apa yang ada dalam pandangan idealnya (das solen). Hal ini kemungkinan terjadi dikarenakan proses penafsiran dalam penetapan (istinbath) suatu hukum selalu lebih dominant terhadap penafsiran sejarah dibanding penelaahan sosio kultur yang dihadapai secara kontekstual (riil) yang pada akhirnya konfigurasi hukumnya bersifat partikular tidak universal.[41] Yang pada akhirnya jauh dari konsep kemaslahatan ummat bahkan tujuan syari’at itu sendiri.

4.   Landasan Religius Sebagai Norma Hukum dan Sosial
Orientasi motivasional dan orientasi nilai yang menggerakkan manusia untuk berinteraksi dengan sesama manusia maupun lingkungan sekitarnya, akan melahirkan berbagai pola kebiasaan yang terstruktur. Lama kelamaan pola ini akan semakin membesar sehingga pada puncaknya lahirlah sebuah kebudayaan.
Perilaku sosial keagamaan sebagai gejala hukum dan gejala sosial dapat dikatakan sebagai karakteristik kultural yang diinstitusionalisasikan melalui enam karakter budaya, antara lain:[42]
1.   Proses saling belajar dalam berbudaya melalui interaksi dalam masyarakat yang terorganisasi atau masyarakat yang kompleks
2.   Proses saling berbagi budaya (share culture) diantara anggota masyarakat
3.   Proses saling mewariskan budaya antar generasi
4.   Proses simbolisasi perilaku yang dipandang representatif bagi integrasi sosio kulturnya
5.  proses paternalisasi sebagai pembentukan dan pengintegrasian perilaku sosial
6.  Proses adaptasi dari semua perilaku masyarakat yang memperkuat heterogenitas perilaku, sebaliknya memperlemah dinamika persepsi dan tindakan.
Jika proses pembentukan hukum dan norma sosial melalui perilaku sosial keagamaan melalui enam tahapan tersebut berjalan, maka akan menjadi karakter sosio normatif yang integral, baik pada pola perilaku maupun pada berbagai aspek yang mendukung pemolaan perilaku sosial keagamaan yang bersangkutan.
Dengan demikian, dalam konteks Indonesia, landasan religius tersebut jika diukur melalui sudut pandang sebagai orientasi motivasional dan nilai tersebut haruslah selalu terus mengkontekstualisasikan sesuai dengan waktu, tempat dan jaman yang ada (aktual). Tegasnya prilaku sosial keagamaan (sebagai landasan religius) tersebut haruslah terejawantahkan seiring dengan sosio kultur masyarakat Indonesia. Sehingga, norma hukum (hukum Islam) dan norma sosial akan berjalan linier baik dalam dataran konseptual maupun aktual.

5.  Kesimpulan
Dinamisasi hukum Islam dalam proses dan perubahan sosialnya adalah sebuah keniscayaan. Ummat Islam sebagai warga Negara mayoritas dituntut untuk mampu merespon segala bentuk proses sosial dan perubahannya sesuai dengan ajaran yang diyakininya. Strategi teoritik apapun yang meliputi status dan proses sosial yang diciptakan jika masih mengesampingkan nilai-nilai keuniversalan Islam sudah tentu nantinya akan bersifat partikular. Jika hal ini terjadi demikan, maka sifat elastis dan akomodatif Islam hanyalah sebuah angan-angan dan pengklaiman sepihak yang tidak rasional.
Pengadopsian hukum yang mesti dilakukan bukanlah sebatas penelaahan secara tekstual dan sejarah an sich, akan tetapi lebih dari itu bahwa sosio kultur yang dihadapi merupakan objek riil yang harus digaris bawahi. Karena kontekslah yang tidak terbatas tidak seperti sejarah dan teks yang memilki keterbatasan dengan sekelumit ajaran-ajaran yang bersifat universal dan tidak bersifat regulatif dan praktis.
Pertanyaannya sekarang, mampukah para ahli hukum dan para inteluktual muslim Indonesia bisa merumuskan suatu hukum Islam yang sesuai dengan konteks sosio kultur masyarakat Indonesia yang selaras dengan kebutuhan jaman dalam mengawal perubahan sosial tanpa mengurangi isi, hakikat dan makna universalnya?

Wallahu ‘Alamu bil As-Shawwab
                                                                 
DAFTAR BACAAN`

A. Qodri Azizy, Eklektisisme hukum Nasional (Yogyakarta: Gama Media, 2002)
 Achmad El Ghandur,  Perspektif Hukum Islam; Sebuah Pengantar, Ma’mun Muhammad Mura’I, penj. (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2006)
Adam Podgorecki dan Chritopher J. Whelan, ed. Pendekatan Sosiologis Terhdap Hukum, penj. Rnc. Widyaningsih dan G. Kartasapoetra (Jakarta: Bina Aksara, 1981) 
Ahcmad Maulana, dkk. Kamus Ilmiah Populer (Yogyakarta: Absolut, 2004)
Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, Soeheba Kramadribata, penj. (Jakarta: UI Press, 1986)
Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2007)
 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia; Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya (Jakarta, Gema Insani Press, 1996)
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Dalam Sistem hukum Nasional (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam; Pokok-pokok Pikiran Tentang Islam dan Ummatnya (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993)
Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II (Jakarta: UI Press, 1985)
http://www.alirsyad.org
 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 19995)
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005)
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: RajaGrafindo, 2004)
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005)
Sudirman Tebba, Sosiologi Hukum Islam (Yogyakarta: UII Press, 2003) 
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,1976)
Yudian Wahyudi, Ushul Fikih Versus Heurmenetika; Membaca Islam Dari Kanada dan Amerika (Yogyakarta: Nawesea Press, 2007)


[1] Menurut Soerjono Soekanto, pengetahuan tentang proses-proses sosial memungkinkan seseoarang untuk memperoleh pengertian mengenai segi yang dinamis dari masyarakat atau gerak masyarakat. Lihat, Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005) hlm. 59
[2] Tiga sistem hukum tersebut yaitu, hukum adat, hukum Islam dan hukum positif (Barat). Lihat, A. Qodri Azizy, Eklektisisme hukum Nasional (Yogyakarta: Gama Media, 2002) hlm. 109-113
[3] Ibid.
[4] Misalkan fatwa MUI terhadap pengharaman liberalisme, sekularisme, pluralisme bagi ummat Islam. Lihat, http://www.alirsyad.org
[5] Ajaran hubungan antar golongan (intergroup relation) dalam masyarakat Jawa yang diciptakan Sri Paduka Mangkunegoro IV dengan sebutan ajaran Wulang Reh, merupakan salah satu sumbangan penting dalam perkembangan sosiologi di Indonesia yang dapat ditemukan dalam literatur klasik. Lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi…, hlm. 51-58
[6] pembahasan mengenai urgensi sosiologi hukum bisa dilihat dalam, Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: RajaGrafindo, 2004), Adam Podgorecki dan Chritopher J. Whelan, ed. Pendekatan Sosiologis Terhdap Hukum, penj. Rnc. Widyaningsih dan G. Kartasapoetra (Jakarta: Bina Aksara, 1981),  Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), Sudirman Tebba, Sosiologi Hukum Islam (Yogyakarta: UII Press, 2003). 
[7] Beni Ahmad Saebani, Sosiologi…, hlm. 13
[8] Ibid., hlm. 20. Oleh karena itu baik ilmu hukum maupun sosiologi hukum memilki locus perhatian yang sama yaitu hukum. Lihat, Soerjono Soekanto, Pokok-pokok…, hlm. 10-13
[9] Mengenai pembedaan antara Status sosial dengan kedudukan sosial, lihat, Soerjono Soekanto, Sosiologi…, hlm. 239-240
[10] Ibid., hlm. 240-242
[11] Ibid., hlm. 243- 244
[12] Adam Podgorecki dan Chritopher J. Whelan, ed. Pendekatan…, hlm. 51
[13] Soerjono Soekanto, Sosiologi…, hlm. 61
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ratno Lukito dalam bukunya Hukum Sakral dan Hukum Sekuler juga bukunya yang lain berjudul Tradisi Hukum Indonesia memaparkan secara mendetail mengenai dasar hukum dalam Islam dan dialektika antara kehendak Tuhan (sakral) dengan interpretasi manusia (ijtihad) dalam menafsirkan teks suci. Lihat, Ratno Lukito, Tradisi Hukum…, hlm. 83-104, lihat juga Ratno Lukito, Hukum Sakral…, hlm. 73-87.

[17] Al-an’am (6): 38 dan Al-nah}l (16): 89

[18] QS. Al-Maidah (5): 45

[19] QS. Al-Ahzab (33): 36
[20] Al-Anbiya’ (21): 107

[21] Menurut Ratno lukito ayat al-Qur’an yang mengandung doktrin hukum, terdapat sekitar 80 dari lima ratusan ayat-ayat hukum yang bisa dikategorikan sebagai kode hukum jika diperbandingkan dengan prespektif teori hukum yang difahami dalam teori hukum barat. Ratno mendasarkan urainnya pada buku Tahir Mahmud yang berjudul Law in the Qur’an. Lihat. Ratno Lukito, Tradisi Hukum…, hlm. 94-95. sedangkan menurut Abdul Wahab Khallaf  terdapat sekitar 340 ayat dan kurang lebih 4500 hadis. Ia mengutip ulang dari kitab I’lamul Muwaqi’in karya Imam Ibnu Qayyim. Lihat, Abdul Wahab Khallaf, Perkembangan Sejarah Hukum Islam, alih bahasa Ahyar Aminudin, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 31-32.
[22] Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushul Fiqh, cet. Ke-12, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), hlm. 12

[23] Argumen Scacht didasarkan pada kitab ar-Risalah karya Imam Syafi’i. Adapun pernyataan dari sebagian para pakar sejarah yang mengatakan Abu Yusuf adalah orang pertama yang mensistematiskan teori pembentukan hukum Islam sukar dibuktikan keotentikannya karena lemahnya literatur-literatur klasik yang bisa menunjukkan hal tersebut. Baca Akhmad Minhaji, Kontroversi Pembentukan Hukum Islam; Kontribusi Josep Scach, alih bahasa Ali Masrur, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 15-23.
[24] Lihat dalam Abdul Wahab Khallaf,Ilm Ushul..., hlm. 20-94, bandingkan dengan Achmad El Ghandur, Perspektif Hukum Islam, alih bahasa Ma’mun Muhammad Murai (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2006) hlm. 176-185. lihat juga Amir Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 64-74.

Proses ijtihad para ulama ( mengenai dalil-dalil syar’i tersebut) sebenarnya terlampau banyak untuk disebutkan. Bahkan As Shiddiqie mengklasifikasikannya kedalam 46 bagian. Lihat, Teungku Muhammad Asshiddieqy, Pengantar Hukum Islam, cet. I edisi kedua, (Semarang: PT: Pustaka Rizky Putra, 1997), hlm. 175-252

[25]  Lihat dalam Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002).

[26] Ibid., hlm. 98

[27] Abi Ishaq Ibrahim Ibn Musa al-Lakhmi al-Syatibi al-Maliki, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, (t.t: Dar al-Fikr, 1341 H) j. II, hlm. 2

[28] Ibid.
[29] Lihat, Ahcmad Maulana, dkk. Kamus Ilmiah Populer (Yogyakarta: Absolut, 2004), hlm.70, lihat juga W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,1976), hlm.  251
[30] Mengenai perbedaan antara syari’ah, fiqh, dan hokum Islam secara definitive (epistemologi), bisa dilihat dalam, Achmad El Ghandur,  Perspektif Hukum Islam; Sebuah Pengantar, Ma’mun Muhammad Mura’I, penj. (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2006), Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Dalam Sistem hokum Nasional (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia; Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya (Jakarta, Gema Insani Press, 1996), Mohammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 19995).
[31] Salah satu contoh syi’ar yang dilakukan oleh para wali yang terkenal. Lihat, Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005)
[32] Seperti konsep Fiqh Indonesia (T.M. Hasbi Ash Shiddieqi, 1940-an), Mazhab Nasional (Hazairin, 1950-an) sampai konsep yang ditawarkan oleh para intelektual masa kini seperti konsep Reaktualisasi ajaran Islam (Muwarir dkk., 1988-an) dan lain sebagainya. Lihat, Yudian Wahyudi, Ushul Fikih Versus Heurmenetika; Membaca Islam Dari Kanada dan Amerika (Yogyakarta: Nawesea Press, 2007) hlm. 27-77. Bahkan perjuangan yang dilakukan para intelektual muslim di Indonesia mampu mengkodifikasikan kumpulan hokum Islam yang dikenal dengan  Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang ditetapkan berdasarkan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, lihat, Sudirman Tebba, Sosiologi…, hlm. 1-20
[33] Soerjono Soekanto, Pokok-pokok…, hlm. 95
[34] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II (Jakarta: UI Press, 1985) hlm. 93-111
[35] Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, Soeheba Kramadribata, penj. (Jakarta: UI Press, 1986) hlm. 147-207
[36] Baca, QS. Al-Baqarah (2): 2, 6, 7, 58, 112, dan lain sebgainya.
[37] Baca, QS. Ali Imran (3): 103, 159, QS. Al-Maidah (5): 3, QS. At-Taubah (9): 71, QS. Al-Mu’minun (23): 52, QS. Asy-Syuura (42): 38, QS. Al-Hujuraat (49): 13  dan lain sebagainya.
[38] Baca, QS. An-Nisa (4): 1, QS. Al-Baqarah (2): 187 dan lain sebagainya.
[39] Baca, QS. An-Nisa (4): 59, QS. Al-Anbiya (21): 92, QS. Al-Hujuraat (49): 13. Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam; Pokok-pokok Pikiran Tentang Islam dan Ummatnya (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993), hlm. 59-65
[40] Anthony Giddens, Kapitalisme…, hlm. 207
[41] misalnya seperti kewjiban jilbab yang selalu menjadi pro-kontro. Para intelektual muslim selalu terfokus pada metode penetapan (istinbath) dan pengambilan dalilnya (istidlal), yang padahal dalam dataran realitas pola keberagamaan masyarakat di Indonesia Jilbab tidak lagi bisa menjadi barometer  bagi keluhuruan budi pekerti (akhlak) individu maupun budi pekerti (akhlak) sosial.
[42] Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Hukum…, hlm. 57