Politik

OTAK-ATIK OTAK KAPITALIS : SEBAGAI BAHAN PENGANTAR DISKUSI

Oleh : Awang K. Aditya

Istilah kapitalisme atau kapitalis sering kita dengarkan dalam berbagai pidato politik, hingga orasi-orasi jalanan. Kapitalisme sebagai adjective tidak dapat kita melepaskannya dari istilah kapitalisme yang dijadikan ideology atau “isme” mainstream dunia saat ini. Kapitalisme biasanya digunakan untuk menunjuk pada suatu faham tertentu atau lebih tepatnya ideologi tertentu. Bagi mereka para penganut paham ini disebut sebagai kaum kapitalis yang berarti menunjuk pada orang dan atau penganut dari paham tersebut. Paham ini yang karena sifat dasarnya tertutup bagi ideologi yang lainnya, menurut Frans Magnis Suseno disebut sebagai salah satu model ideologi tertutup (yang musti kita bedakan dengan istilah “agama”). Istilah kapitalisme atau kapitalis memang multi interpretatif dan sama rumitnya ketika kita membahas istilah “ideologi” itu sendiri. Agar kita tidak terjebak dalam problem terminologi yang biasanya justru menghancurkan substansi dari kontek pembahasan, maka kita perlu bangun dahulu istilah kapitalisme atau kapitalis ini setidaknnya untuk dapat menjawab pertanyaan sebetulnya apa itu pengertian dari kapitalisme? Siapa mereka yang disebut sebagai kelompok kapitalis?
Kapitalisme secara etimologi berangat dari kata dasar kapital, modal. Sementara “isme” diartikan sebagai ajaran atau faham. Sehingga dapat didefinisikan sebagai suatu ajaran yang didasarkan pada basis modal (capital base). Mereka yang menggunakan modal sebagai penentu (master) dari sekedar arti modal sebagai pembantu (servant) disebut sebagai kelompok kapitalis, penganut paham ini. Karena modal yang menentukan dan sifat ketamakan manusia menjadi sentrum dari setiap tindakan orang tersebut, akumulasi modal menjadi alat penindasan kelompok “berlebih” terhadap kelompok lain yang kurang “modal” . Modal menjadi kuasa bagi orang lain. Dengan kekuatan yang terdiri dari “elit” buruh dibeli dan dijadikan agent, komprador, begundal bagi mereka untuk menyusun produk-produk perundang-undagan yang sesuai dengan keinginan mereka, kaum kapitalis.
Ditinjau dari prinsip dasarnya, ajaran kapitalisme tentu tidak berkembang dengan sendirinya tanpa adanya suatu filosofi dasar yang mendasari pemikiran dari ajaran tersebut. Darwin sebagai bapak evolusi disebut-sebut sebagai peletak pemikiran awal dari perkembagan kapitalisme dengan dasar teori “persaingan”nya yang menyatakan bahwa hanya mereka yang kuat dan berhasil beradaptasi dengan lingkungannyalah mereka yang bertahan. Suatu dasar teori yang kontroversial dengan menyebutnya manusia sebagai keturunan primate, dengan sifat-sifat kebinatangannya yang rakus dan tamak.
Dalam sejarah perkembangan peradaban manusia, kapitalisme baik dalam bentuknya yang masih ortodok telah memunculkan suatu perangai yang merusak sendi-sendi dasar moral kemanusiaan. Kita dapat lihat betapa revolusi industri pada awal abad 18 yang terjadi di eropa barat, telah menyebabkan kerusakan-kerusakan dimana-mana. Efek revolusi industri dan penguasaan modal akumulatif kaum kapitalis borjuis menjadikan bargaining pekerja atau buruh menjadi rendah. Upah buruh dibayar tidak layak bagi perikemanusiaan. Mereka mempekerjakan anak-anak di bawah usia kerja dan perempuan di pertambangan-pertambangan karena mau dibayar lebih murah dengan kualitas kerja yang sama dengan laki-laki dewasa. Hasil-hasil pertanian dibeli dengan murah dan seringkali di bawah nilai biaya produksi mereka. Demikian akhirnya menimbulkan gejolak politik dan sosial dimana-mana. Hingga melahirkan pemikir-pemikir besar seperti David Ricardo, Weber dan tokoh-tokoh sosialis besar seperti Saint Simon, Proundon, Wiliam King, Marx, Robert Owen dll.
Dalam keadaan yang carut-marut demikian munculah satu “isme” baru, Sosialisme yang lahir dari kandungan ibu kapitalisme sendiri, yang karena kelahirannya sebetulnya tidak dikehendaki, lebih cocok disebut sebagai anak haram. Konsep baru ini menurut G.D.H. Cole dalam volume pertama histori of socialist trought “mengatakan bahwa sosialis pertama kali dipakai tahun 1827 dalam Cooperative Magazine kaum Owenite dan kemudian” sosialisme pada tahun 1832 dalam jurnal La Globe milik Penganut Comte de Saint Simon.
Sosialisme sendiri tentu tidak akan sepopuler sekarang kalau tidak dijadikan sebagai simbol perlawanan bagi mereka yang menentang faham kapitalis. Kelompok yang sering disebut sebagai kelompok “kiri” yang berarti vis a vis terhadap mereka kelompok kapitalis yang biasanya diistilahkan sebagai kelompok yang eksploitatif dan kiri disebut sebagai bentuk perlawanannya sekaligus model alternatif ideologi baru yang saat ini dan terutama di eropa barat mulai popular dengan gerakan “kiri baru” sebagai bentuk perlawanan dari “kanan baru” yang dalam wujud senyatanya lebih sering kita menyebutnya neo-kapitalisme.
Neo-liberalisme dalam perkembangan peradaban seperti saat ini tidak lagi seperti semasa revolusi industi atau jaman sebelum kemerdekaan Republik ini yang bias disebut sebagai kapitalisme-imperialis atau kolonialis. Tapi perangai kapitalisme tentu tidak dapat melepaskan diri dari model kuasa segelintir orang terhadap rakyat kecil lemah yang banyak. Karena begitulah hukum yang berlaku dalam system kapitalis.
Ajakan kapitalisme ini juga dipersubur oleh doktrin Adam Smith; Sang Pemimpin Besar dan pengajar kuliah umum “individualisme” dan “Laissez Faire” sekaligus dalam bukunya yang terkenal “An Inquiry in to the Nature and Causes of the Wealth of Nation” (1776). Dimana menyerahnkan seluruh pengaturan ekonomi kepada masyarakat dan fair competition. Suatu persyaratan yang tentu hanya berlaku kalau sejak awalnya kaum kapitalis tidak memiliki kuasa atas buruh dan petani. Demikian pengantar ini dan untuk analisa lebih lanjut dan dikaitkan dengan issue-isue kekinian dapat di lihat dari kuadran terlampir. Mari berdiskusi !!!


******
Jadilah PENDOERHAKA bagi apa dan siapapun
yang membaptiskan diri menjadi TUHAN!!
Maka, SURGA menjadi mahligai
Persemayaman Jiwa-Moe


Indonesia: Mata Rantai Paling Lemah Kapitalisme Asia Tenggara
Oleh : Awang K. Aditya

Semacam Prolog
Artikel ini menyajikan ringkasan situasi ekonomi kapitalisme Indoneisia masa kini dan masa mendatang. Artikel ini juga melihat implikasi perjuangan kelas pekerja dan mengembangkan garis-garis besar tanggapan programatik sosialis terhadap krisis sistem ini. Kami berpendapat bahwa tanggapan ini muncul di saat yang tepat di mana pemerintahan GusDur-Mega mencoba resep IMF dan ketika para pekerja, petani miskin dan mahasiswa memobilisasikan diri menentang kenaikan harga-harga, yang pada kenyataannya adalah subsidi dari kaum miskin untuk kaum kaya.
Artikel ini merupakan pengantar untuk penerbitan cetak "Di atas Mata Pisau," analisis ekonomi dunia dan Asia setelah kerontokan tahun 1997. Penerbitan dalam bentuk buku akan membuat analisis ini lebih bisa diakses oleh pembaca kelas buruh yang tidak punya akses ke internet. Buku ini merupakan bagian dari Proyek Pendidikan Sosialis Indonesia, kerjasama antara para aktivis Indonesia dan Eropa, yang bertujuan menyumbang pendidikan politik bagi aktivis di Indonesia dan mengakrabkan generasi baru dengan gagasan-gagasan Marxisme.

Indonesia: Mata Rantai Paling Lemah Kapitalisme Asia Tenggara?
Tidak banyak negara yang mengalami kemalangan dramatis seperti Indonesia. Dari yang semula dianggap sebagai salah satu negara paling bagus kinerjanya di kawasan Asia Tenggara di tahun 80an dan 90an, Indonesia barangkali telah menjadi mata rantai paling lemah dari kapitalisme di kawasan tersebut. Kehancuran ekonomi telah melempar negeri ini paling sedikit 20 tahun ke belakang.
Konsekuensi sosial dari krisis ini mengerikan dan akan berlangsung lama. Anak-anak dan orang dewasa, masa depan sembarang warga negara, akan lebih buruk dibandingkan beberapa puluh tahun lalu. Banyak orang mengingatkan kemungkinan akan terjadinya "generasi yang hilang" dari kaum muda yang kurang gizi dan terbelakang secara intelektual. Jumlah anak yang mati karena kekurangan pangan dan kurang terperhatikan kesehatannya setara dengan sembilan bus penuh anak yang jatuh ke jurang tiap hari. Benar, setiap hari 450 anak di negeri yang secara potensial kaya ini menemui kematian.
Selama kerontokan ekonomi tahun 1997, dari semua sistem ekonomi di kawasan tersebut Indonesia adalah yang paling keras terpukul dan sangat sukar untuk segera pulih, walau untuk sementara saja. Tiga tahun setelah dihantam krisis, "pengangguran sangat tinggi, sektor perbankan secara esensial belum bekerja, dan restrukturisasi perusahaan hanya membawa sedikit kemajuan," kesimpulan yang disampaikan oleh Mr. Roth, asisten Sekretaris Negara AS untuk Masalah-masalah Asia Timur.
Di tahun 1998 kegiatan ekonomi menciut sebesar 13,4% dan inflasi mencapai 89%. Di kawasan Asia Tenggara, hanya Thailand yang mengalami penurunan 10% dari GDPnya. Aktivitas ekonomi Hongkong menyusut sebesar 5,1%, Malaysia sebesar 7,5%, Filipina sebesar 0,5%, Jepang 2,1% dan Korea Selatan sebesar 5,8%.
Ketika negara-negara seperti Korea Selatan bangkit dengan cepat di tahun 1999 dengan pertumbuhan 9,8%, ekonomi Indonesia masih terus mengalami kontraksi 0,4%. Pada saat itu, ekonomi negara-negara tetangga Indonesia seperti Filipina tumbuh sebesar 3,2% dan Malaysia tak kurang dari 5,2%

Pemulihan Hanya Akan Berlangsung Sementara
Paling lunak, ramalan ekonomi Indonesia untuk awal abad baru adalah dengan pertumbuhan 2,4%. Tingkat pertumbuhan ini tidak ada kesamaannya dengan "pertumbuhan yang menakjubkan" yang terjadi sebelum krisis. Pada saat itu angka-angka pertumbuhan yang berkesinambungan telah mentransformasi anatomi dan ukuran ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Itu adalah saat di mana sistem ekonomi yang mengalami pertumbuhan 8% per tahun ukurannya tumbuh menjadi dua kali lipat dalam waktu 9 tahun. Selama tiga dekade tersebut kawasan ini terbiasa dengan pertumbuhan cepat sehingga konsep resesi digunakan secara kendor yang berarti pertumbuhan tahunan 5% yang lambat ketimbang kontraksi ekonomi aktual. Masa tersebut jelas sudah berakhir.
Lambatnya pertumbuhan akhir-akhir ini terutama disebabkan oleh boom ekspor dan kecilnya peningkatan konsumsi domestik. Kenaikan ekspor ini sebagian besar disebabkan oleh rendahnya harga-harga setelah devaluasi mata uang dan pemotongan harga atas biaya margin laba. Ini adalah upaya gila-gilaan untuk tetap menjadi bagian dari pasar dunia. Pemotongan harga tertolong oleh kapasitas surplus besar-besaran di beberapa industri karena jatuhnya permintaan domestik dan ini sedikit saja kaitannya dengan "upaya efisiensi." Namun hal ini tidak bisa dipertahankan terus menerus, terutama karena tiap orang di Asia Tenggara "telah menjual semuanya dengan harga berapapun &endash;-yang bukan merupakan strategi jangka panjang" kata pakar strategi dari Merryl Lynch. "Sekali keuntungan dari depresiasi mata uang jangka pendek habis, permintaan bagi produk-produk di kawasan tersebut akan turun." Ini adalah kesimpulan analis yang lain.
Kuatnya permintaan sangat tergantung pada kapasitas Amerika Serikat dan negara kapitalis maju lainnya untuk menyerap barang-barang import tersebut sebagai dukungan untuk terjadinya pemulihan di Asia. Ini pun sama sekali tidak ada jaminannya di masa beberapa tahun ke depan, karena pada tahap tertentu resesi menjadi tak terhindarkan di negara-negara kapitalis maju tersebut.
Dalam hal ini Indonesia juga berada di urutan belakang. Di tahun 1999 tingkat pertumbuhan ekspor paling kuat muncul dari Filipina dengan angka 25%, Malaysia 10%, Thailand 6%, dan Indonesia hanya jadi liliput dengan 2,6%. Bahkan saat itu, nilai ekspor 1999 masih lebih rendah daripada total tahun 1997. Pertumbuhan ekspor di kawasan Asia Tenggara juga dirangsang oleh meningkatnya permintaan atas barang-barang elektronik. Struktur industri manufaktur Indonesia sebagian besar didominasi oleh tekstil. Sektor elektronik di Indonesia relatif lebih kecil ketimbang negara-negara lain di kawasan tersebut. Ini berarti bahwa Indonesia kurang mendapat untung dari perolehan ekspor dibanding dengan negara-negara tetangga. Namun seperti Malaysia dan Singapura menangguk keuntungan dari industri, Indonesia mendulang keuntungan dari lonjakan kuat harga minyak. Ekspor minyak dan gas Indonesia meningkat sebanyak 15% dalam dolar di tahun 1999, sebagian besar adalah karena adanya lonjakan harga minyak di pasar dunia.

Kekacauan di Pusat Ekonomi
Masalah utama ekonomi kapitalis Indonesia adalah utang sektor swasta (sekitar US$40 milyar) dan hal itu berdampak pada sistem perbankan. Di tahun 1997 bank-bank Indonesia kolaps. Sebagai akibatnya, negeri ini menghadapi sistem perbankan yang semu. Situasi ini memaksa pemerintah menutup dan mengambil alih beberapa bank termasuk aset-asetnya yang berupa lebih dari 170.000 perusahaan berukuran kecil dan menengah. Perusahaan dan bank-bank ini, sisa-sisa dari sektor industri modern yang pernah terbang tinggi, menciptakan kekacauan di tengah-tengah ekonomi. Bank-bank tersebut dilumpuhkan oleh tingginya tingkat utang (diperkirakan hanya 4% dari utang tersebut yang bisa ditutup) dan tingkat ketidakmemadainya modal.
IMF mendesak agar perusahaan dan bank menegosiasikan rencana pembayaran utang. Namun, hingga kini sebagian besar perusahaan dan bank tersebut menolak menanggapi pemberi pinjaman yang sial. Berkat hubungan tingkat tinggi mereka dan administrasi ekonomi serta negara, para kapitalis tersebut berharap bisa lolos dari pembayaran utang-utang mereka. Kroniisme Indonesia, versi modern perampokan para baron di Eropa dan Amerika abad 19, memang bisa dianggap sebagai lisensi untuk melakukan penjarahan.
Harga yang akan dibayar pemerintah untuk menyelamatkan perusahaan dan bank yang bangkrut mencapai US$130 milyar. Jelas bahwa dalam kenyataannya biaya operasi penyelamatan raja-raja bisnis ini akan ditanggung oleh kaum miskin, buruh, dan petani kecil. Mereka adalah kelas-kelas yang akan membayar penghamburan sumber daya yang dilakukan secara tak bermoral oleh para kapitalis. Inilah tujuan rencana-rencana IMF yang dicoba untuk diterapkan oleh pemerintah Gus Dur dan Megawati.

Rendahnya Kepercayaan Pada Stabilitas Indonesia
Bukanlah kebetulan bahwa dalam konteks ini investasi asing turun dengan tajam dan secara umum tidak ada aliran modal swasta yang masuk. Sebagian besar investasi asing yang bersifat langsung adalah berasal dari IMF dan beberapa dana resmi. Sedangkan, investasi langsung swasta asing jumlahnya menurun tajam dengan pengecualian dana yang ditujukan untuk mengambil alih bank bermasalah dan perusahan-perusahaan bangkrut.
Jajak pendapat Asian Wall Street Journal baru-baru ini menunjukkan bahwa 57% pengusaha mengidentifikasikan Indonesia sebagai negara yang paling kurang menyenangkan di Asia Tenggara untuk tujuan investasi langsung. Bagi para kapitalis, Indonesia menjadi negera yang paling kurang menarik di kawasan ini sebagai tempat untuk menanamkan uang dan mengambil keuntungan. Tanpa adanya investasi produktif, tidak akan ada pembicaraan soal pemulihan yang lebih solid.
Sejauh ini, modal asing dan modal domestik lebih menunjukkan minat pada investasi dalam pasar bursa. Salah satu perusahaan pialang menggambarkan Bursa Efek Jakarta (BEJ) sebagai pasar yang kinerjanya paling bagus di dunia di tahun 1999, dengan hampir 70% transaksi yang ada terjadi dalam nilai tukar dollar sejak awal 1999. Hal ini sekali lagi menunjukkan watak parasit kapitalisme.
Kinerja industrial masih sangat tidak teratur. Produksi sektor industri masih 60% dari kapasitasnya. Ini merupakan salah satu dari persentase terendah penggunaan kapasitas industrial potensial di kawasan Asia Tenggara. Ini adalah juga ekspresi modern dari overproduksi nyata, krisis kelasik ekonomi kapitalisme. Kenyataannya apa yang telah digambarkan sebagai keruntuhan finansial di kawasan tersebut hanyalah wajah finansial dari krisis kelasik overproduksi, yang mekanismenya akan dijelaskan di dalam dokumen ini.
Hampir tidak ada investasi di pabrik-pabrik, pembangkit listrik dan gedung-gedung perkantoran terutama di seputar Jakarta. Investasi yang ada hanyalah dalam sumber daya alam, hasil bumi, pertanian, agribisnis dan perikanan. Kebijakan ekonomi pemerintahan Gus Dur-Mega adalah lanjutan kebijakan pendahulunya di bawah Habibie dan Suharto, yaitu kebijakan ekonomi yang memihak keuntungan kapitalis dan tergantung pada IMF. Keunggulan komparatif utama kapitalisme Indonesia adalah "struktur upah buruh yang rendah," sebagaimana diakui oleh Menko Ekuin. "Bahkan sebelum krisis, upah buruh (Indonesia) termasuk paling rendah di dunia." Upah buruh mewakil 5 sampai 10% biaya produksi total. Ini telah dan masih menjadi strategi pemerintah untuk memikat modal asing.

Kelas Buruh dan Petani Kecil Harus Membayar Krisis Ini
Apa artinya hal ini bagi kelas pekerja Indonesia? Kendati ada sedikit kenaikan UMR, ini berarti terus berlangsungnya ekonomi upah rendah berdasarkan eksploitasi kelas pekerja. Beginilah kondisi bagi daya tahan hidup kapitalisme Indonesia di pasar dunia yang didominasi oleh persaingan keras. Para aktivis gerakan kiri harus mendasarkan diri mereka pada analisis ini untuk menjelaskan bahwa tidak ada solusi bagi kesengsaraan dan eksploitasi kelas buruh dan petani miskin, tidak hanya di bawah pemerintah sekarang ini, namun di bawah kapitalisme itu sendiri.
Logika di balik apa yang ajukan oleh IMF sebagai "reformasi", "rencana penyesuaian struktural", dan berbagai pinjaman, adalah bahwa ekonomi pasar di Indonesia telah terdistorsi atau dirusak oleh kroniisme dan terlalu banyaknya campur tangan serta intervensi negara. Solusinya terletak pada apa yang disebut sebagai ekonomi pasar bebas sejati lewat langkah-langkah deregulasi, fleksibilitas dan swastanisasi bagi perusahaan-perusahaan negara. Ini akan lebih membuka ekonomi Indonesia pada ketergantungan modal asing, eksploitasi yang lebih besar atas sumber daya alam, dan terjadinya kesengsaraan dan ketimpangan yang lebih besar lagi. Hingga saat ini, utang luar negeri Indonesia telah mencapai 95% dari produk nasional kotor tahunan.
Sebagaimana kita ketahui, IMF bukanlah organisasi derma. Seperti halnya Paris Club (kelompok rentenir internasional), lembaga ini menginginkan pinjamannya dilunasi &endash;tentu bersama bunganya. Untuk membayar utang ini, pemerintah memangkas anggaran pendidikan, menjual perusahaan-perusahaan negara dan menekan subsidi hingga menaikkan harga BBM (lebih dari 30%) serta tarif dasar listrik (lebih dari 10%), juga memperkenalkan pajak baru pada minuman ringan, semen, dan lain-lain, yang akan diluncurkan dalam bentuk kenaikan harga.
Dengan cara inilah kaum miskin memberikan subsidi pada orang kaya. Tidak hanya massa perkotaan yang menderita karena kebijakan-kebijakan tersebut. Para petani tidak hanya tergantung pada minyak untuk memasak dan penerangan, namun juga pada pupuk dan pestisida yang harganya akan ikut naik. Satu badan pemerintah berharap inflasi naik paling sedikit 10%. Padahal lebih realistik untuk dikatakan bahwa inflasi bisa naik hingga antara 25 dan 30%.
Para kapitalis dan para pemimpin politik borjuis di Asia Tenggara -termasuk Indonesia&emdash; selama beberapa dekade menyangkal pendapat bahwa macan Asia dan calon macan Asia bisa terkena dampak siklus ekonomi yang naik turun. Banyak orang di Barat sepakat soal ini. Bahkan sekarang setelah malapetaka ekonomi ini, masih banyak analis ekonomi yang tetap mengabaikan proses fundamental ekonomi kapitalis di Asia Tenggara ini. Dengan munculnya apa yang dikenal dengan "Ekonomi Baru" (teknologi informasi dan internet) di Amerika Serikat, yang ekonominya mengalami ekpansi terpanjang dalam sejarah, para dukun kapitalisme meramalkan hal yang sama. Sekali lagi mereka akan terbukti keliru.

Krisis Sementara?
Tak disangkal bahwa bagian terpenting dari pemikiran politik kelas buruh dan petani dibentuk oleh tahun-tahun pertumbuhannya di masa lalu. Kendati terjadi eksploitasi kejam dan meningkatnya ketimpangan dalam masa tiga puluh tahun, tahun-tahun tersebut juga mempunyai arti terjadinya pertumbuhan penghasilan dan daya beli, serta menurunnya kemiskinan. Di tengah-tengah massa, harapan dan ilusi bahwa "krisis" ini hanya sementara pastilah masih ada. Jelas pemerintah dengan sinis memainkan kartu ini. "Kenaikan harga dan sebagainya itu disebabkan oleh 'force majeure'," kata Gus Dur. Pernyataan Gus Dur ini jelas: hal-hal itu adalah pengecualian dan bersifat sementara, setelah ini kita akan segera kembali pada keadaan sebelum 1997.
Namun tidak ada kemungkinan untuk kembali pada periode sebelum krisis. Dalam pengertian ini, Indonesia dan negeri-negeri lain di kawasan tersebut sebenarnya sudah "kembali normal" setelah pengecualian selama tiga puluh tahun yang tidak akan dan tidak bisa diulang. Alasan-alasan tentang ketidakmungkinan tersebut dijelaskan dalam dokumen "Di Atas Mata Pisau" ini. Apakah ini berarti bahwa tidak akan ada saat pertumbuhan lebih jauh lagi? Yang akan terjadi adalah justru sebaliknya. Saat-saat pertumbuhan akan diikuti oleh periode kontraksi. Boom menyediakan tempat bagi resesi, resesi yang sejati di mana ekonomi tidak akan mengalami pertumbuhan lagi. Beginilah cara kerja sistem kapitalis. Pemulihan tidak akan membawa ekonomi kembali pada tingkat boom sebelumnya.
"Siklus konjungtural dalam kehidupan kapitalisme memainkan peran yang sama seperti, contohnya, siklus sirkulasi darah dalam hidup organisme. () Dari keadaan denyut jantung, dalam kaitannya dengan gejala-gejala yang lain, dokter bisa menentukan apakah ia berurusan dengan organisme yang kuat atau lemah, sehat atau sakit." Ini adalah kesimpulan teoretisi Marxis Leon Trotsky, kawan seperjuangan Lenin.
Fluktuasi konjungtural di kawasan Asia tenggara, khususnya Indonesia, akan lebih kacau, lebih sering, dan lebih tak bisa diramalkan dari sebelumnya. Watak asli dari periode-periode ekspansi akan berbeda. Ia hanya akan melakukan penyerapan parsial dari begitu banyaknya pengangguran dan ini hanya sedikit saja mengurangi jumlah kaum miskin. Ketimpangan akan terus meningkat. Stabilitas sosial dan politik tidak akan masuk dalam agenda. Arah ekonomi dan politik akan jauh berbeda dari sebelumnya. Kejutan-kejutan dalam proporsinya yang besar akan terjadi di masyarakat dan akan dirasakan dalam setiap aspek kehidupan sosial kemanusiaan: dalam hubungan agama dan etnis dan khususnya dalam lingkupnya yang paling penting, dalam hubungan antara kelas-kelas sosial itu sendiri dan negara kapitalis dan militer.
Indonesia jauh lebih rentan ketimbang negeri-negeri lainnya di kawasan tersebut dalam hal pertarungan politik, sosial, agama dan etnik. Walaupun, hingga kini, aspek agama dan etnik dari instabilitas ini nampaknya dominan, ceritanya akan lain di masa mendatang.

Kemungkinan Baru bagi Kebangkitan Kelas Buruh
Sedikit pemulihan ekonomi yang digabung dengan turunnya jumlah pengangguran, bersama-sama dengan pertumbuhan pesanan dan keuntungan perusahaan, akan membuka siklus baru perjuangan ekonomi ofensif (untuk kenaikan upah dan kondisi lebih baik) di pihak kelas buruh. Menteri Perdagangan dan Industri, Luhut Pandjaitan, baru-baru ini mengakui bahwa "meningkatnya pemogokan buruh adalah salah satu masalah yang dibicarakan dalam pertemuan mingguan kabinet." Walaupun aksi-aksi buruh masih terpecah dan tidak terorganisir dengan baik, perjuangan yang ofensif tersebut akan dibarengi oleh kehendak untuk berserikat. Sekitar 29 federasi serikat "nasional" yang muncul dalam beberapa tahun terakhir adalah indikasi adanya kecenderungan ini.
Para boss dengan penuh perhatian menyiapkan diri untuk menghadapi situasi baru ini. "Dewan Pengembangan Usaha Nasional Indonesia sedang mencari mekanisme baru untuk mengatasi perselisihan buruh antara pekerja dan pemilik pabrik, yang kemungkinan menjadi lebih sering karena ekonomi membaik dan tuntutan upah &endash;yang mandeg selama krisis&emdash;mencuat kembali. () Dewan tersebut ingin melihat dibentuknya satu komite yang mewakili bisnis, pemerintah, dan serikat-serikat pekerja yang akan menengahi perselisihan buruh. Harus ada pemahaman (di kalangan buruh) bahwa sebelum mereka mogok, akan ada tim yang berbicara pada mereka atau kita akan bernegosiasi dengan perusahaan yang bertanggung jawab mengenai seberapa besar kenaikan bisa dibuat." (Australian Financial Review, 21 Maret 2000).
Dengan melaksanakan hal ini mereka bermaksud menaikkan para pemimpin yang bisa diajak bekerja sama dalam gerakan buruh, seperti Muchtar Pakpahan dari SBSI yang menyatakan secara terbuka penentangannya terhadap aksi-aksi mogok karena hal tersebut membahayakan perekonomian. Karena dilemahkan untuk sementara oleh krisis dan pengangguran massal, pemotongan upah, ketidakamanan kerja, maka 90 juta kelas pekerja yang kuat tidak mampu memainkan peranan memimpin saat jatuhnya Suharto dan proses politik yang terjadi dalam dua tahun terakhir.
Dalam konteks serangan baru (rencana-rencana IMF) dan sedikit pemulihan ekonomi, gerakan kelas buruh yang masih muda mulai menyatakan dirinya. Ini telah jelas terlihat dengan meningkatnya jumlah pemogokan di Jabotabek seputar bonus Idul Fitri tahun ini. Angka-angka terbaru dari Markas Besar Polisi di Jakarta menunjukkan kenaikan dramatis aksi-aksi buruh: dalam empat bulan pertama tahun ini tercatat 600 pemogokan yang harus dilakukan intervensi terhadapnya. Pada bulan April 2000 saja angka-angka ini mencapai 224 kali pemogokan. Seluruh periode perjuangan ekonomi yang berhasil akan meningkatkan rasa percaya diri kaum proletar Indonesia. Ini bisa menjadi pengantar bagi dari sebuah serangan yang lebih politis.
Itulah sebabnya mengapa keliru mengecilkan makna aksi mogok para buruh semata-mata karena hal itu dimulai dari tuntutan-tuntutan ekonomi. Dalam konteks Indonesia, dengan peran politik tentara dan intervensi negara di dalam serikat buruh dan konflik sosial, jalan dari tuntutan ekonomi "murni" ke arah tujuan-tujuan yang lebih politik dalam perjuangan sangatlah dimungkinkan. Tidak terdapat suatu dinding pemisah yang bagaikan tembok tak dapat ditembus antara aspek "ekonomis" dan "politik" di dalam pemogokan. Pemogokan bisa dimulai dari persoalan-persoalan ekonomi yang paling dasar dan berakhir di tingkat politik tinggi. Arah sebaliknya bisa juga terjadi. Yang paling penting untuk diingat adalah bahwa massa buruh belajar dari pengalaman. Pengalaman konkret dalam perjuangan adalah sekolah politik dan serikat buruh yang terbaik. Begitulah bagaimana mereka keluar dari rutinitas pemikiran dan aktivitas mereka. Pada saat itulah mereka akan lebih terbuka untuk mempertanyakan prasangka-prasangka lama dan akan mau belajar. Para buruh yang semakin aktif akan terpengaruh oleh proses menjadi sadar-kelas ini.
Tentunya serikat pekerja dan aktivis kiri mempunyai peranan penting dalam peristiwa-peristiwa tersebut, untuk membuat para buruh yang tadinya belum sadar agar menyadari naluri sosialis dan anti kapitalis kaum buruh. Ketika kelas buruh mulai menggerakkan ototnya, kelas ini juga mencari suatu program untuk membebaskan dirinya dari perbudakan kapitalisme modern.

Diperlukan Program Sosialisme
Titik tolak bagi tuntutan apapun adalah syarat mutlak untuk mempertahankan kepentingan pekerja. Tuntutan-tuntutan gerakan harus ditujukan untuk mulai dari keprihatinan-keprihatinan langsung para buruh dan keluarga mereka serta merumuskan solusi yang meningkatkan pemahaman mereka tentang watak tak terdamaikan dari berbagai kepentingan kelas dalam masyarakat. Lewat perjuangan tuntutan-tuntutan ini, para buruh akan meningkatkan kesadaran mereka akan perlunya menggulingkan kapitalisme dan mengadakan tranformasi sosialis atas masyarakat.
Tuntutan-tuntutan defensif seperti pembatalan kenaikan harga dan adanya kontrol atas harga di tangan komite-komite buruh dan petani, serta penghentian privatisasi, harus dikombinasikan dengan tuntutan-tuntutan ofensif seperti kenaikan upah minimum sesuai dengan standar hidup minimum, bukan standar fisik minimum yang ditentukan sembarangan oleh "dewan upah" (akan lebih baik bila angka konkret bisa dicantumkan, dengan penentuan upah minimum berdasarkan standar hidup minimum yang diajukan oleh buruh), pengurangan jam kerja menjadi 32 jam seminggu tanpa pengurangan upah, hak untuk berorganisasi secara bebas di pabrik-pabrik, pengakhiran peran militer dalam politik dan konflik sosial, pembatalan hutang luar negeri, nasionalisasi kekayaan Suharto dan kroninya serta penggunaannya bagi kebutuhan sosial rakyat, dan sebagainya.
Ketika para pengusaha mulai menjerit bahwa mereka tidak bisa membayar tuntutan sederhana para buruh tersebut, kita akan meminta para pekerja memeriksa rekening para pengusaha itu. Maka mereka akan mempelajari ke mana perginya kekayaan yang dihasilkan oleh keringat dan darah mereka. Mereka akan belajar mekanisme laba kapitalis. Kita tidak hanya akan menuntut hal ini di tingkat pabrik atau perusahaan, namun juga pada tingkat seluruh masyarakat.
Secara lebih umum, kita harus mengusulkan program untuk reorganisasi total masyarakat lewat transisis dari kapitalisme ke sosialisme.
Kita bisa memulainya dengan sebuah program mendesak dan masif dari kerja-kerja yang berguna secara ekologis dan sosial: membangun kembali sistem transport publik gratis, lebih banyak kereta api, bis, memperbaiki jalan, dan lain-lain. Pembangunan jutaan rumah, jaminan sistem pembuangan limbah dan tersedianya air minum untuk setiap kota dan kampung. Pemeliharaan kesehatan gratis bagi setiap orang lewat rumah sakit, klinik, dan sebagainya berdasarkan sistem kesehatan nasional. Pendidikan untuk semua orang dan tidak hanya untuk mereka yang mempunyai kondisi kehidupan yang baik.
Untuk membiayai hal-hal tadi, nasionalisasi kekayaan Suharto (sekitar US$16 milyar) akan menjadi langkah bagus ke depan, namun belum cukup. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan besar (domestik dan asing), bank-bank dan institusi keuangan dan kekayaan hutan dan mineral adalah langkah yang perlu untuk memperoleh kendali atas ekonomi. Dalam hal tertentu, ini lebih mudah dari sebelumnya. Dalam dua tahun terakhir ini, kapitalisme telah memusatkan penggerak keuangan dan ekonomi domestik ke dalam tangannya lewat nasionalisasi paksa atas sistem perbankan dan konsentrasi kekuatan ekonomi yang berada di tangan klan Suharto. Inilah satu-satunya makna yang bisa kita berikan pada istilah "ekonomi rakyat." Nasionalisasi ini harus di bawah manajemen dan kendali buruh. Kontrol ekonomi ini perlu untuk bisa merencanakan penggunakan sumber daya keuangan dan ekonomi bagi keuntungan mayoritas rakyat dan tidak lagi keuntungan bagi segelintir orang. Dengan menasionalisasikan bank dan industri pertanian, kita bisa menjamin kredit murah bagi usaha kecil dan petani dan juga traktor murah, pestisida dan pupuk.
Program seperti ini tentunya tidak akan dijalankan oleh pemerintah borjuis manapun. Hanya pemerintahan buruh dan petani, yang didasarkan atas dewan buruh, petani, mahasiswa, kaum miskin kota dan pemilik warung kecil yang dipilih secara demokratik bisa menjamin hal ini. Federasi sosialis Indonesia dengan cepat akan menjadi teladan bagi negeri-negeri lain di kawasan tersebut untuk mewujudkan federasi sosialis demokratik dan harmonis yang sejati di Asia Tenggara.


Sketsa Sederhana Menyangkut Kapitalisme
Oleh : Awang K. Aditya

Produksi Barang-Barang Kebutuhan Adalah Basis Dari Kehidupan Sosial
Kita harus memulainya dari pemahaman yang sangat mendasar. Bahwa untuk mempertahankan dan melanjutkan hidupnya, manusia harus dapat mencukupi kebutuhan utamanya yaitu: makanan, pakaian dan tempat tinggal. Oleh karena itu manusia harus memproduksi semua kebutuhan-kebutuhannya. Dalam proses produksi inilah, manusia menggunakan dan mengembangkan alat-alat produksi (alat alat kerja dan obyek kerja)  disamping tenaga kerjanya sendiri. Dari mulai tangan, kapak, palu, lembing, palu, cangkul hingga komputer serta mesin-mesin modern seperti sekarang ini. Alat-alat produksi (ada teknologi didalamnya) dan tenaga kerja manusia (ada pengalaman, ilmu pengetahuan didalamnya) tidak pernah bersifat surut melainkan terus maju disebut sebagai Tenaga produktif masyarakat yaitu kekuatan yang mendorong perkembangan masyarakat.

Hubungan Produksi, Tenaga Produktif dan Cara Produksi
Dalam suatu aktivitas proses produksi guna memenuhi kebutuhannya manusia berhubungan dengan manusia lain. Karena Proses produksi selalu merupakan hasil saling hubungan antar manusia, maka sifat dari produksi juga selalu bersifat sosial. Saling hubungan antar manusia dalam suatu proses produksi ini disebut sebagai hubungan sosial produksi. Dari kegiatan produksi ini kemudian muncul kegiatan berikutnya yaitu distribusi dan pertukaran barang. Hubungan sosial produksi dalam sebuah masyarakat bisa bersifat kerja sama atau bersifat penghisapan. Hal ini tergantung siapakah yang memiliki atau menguasai seluruh alat-alat produksi (alat-alat kerja dan obyek kerja).
Hubungan sosial produksi dan tenaga produktif (alat-alat produksi dan tenaga kerja) inilah kemudian membentuk suatu cara produksi dalam suatu masyarakat. Misalnya cara produksi komunal primitif, perbudakan, feodalisme, kapitalisme dan sosialisme. Perubahan yang terjadi dari suatu cara produksi tertentu ke cara produksi yang lain terjadi akibat berkembangnya tenaga produktif dalam suatu masyarakat yang akhirnya mendorong hubungan produksi lama tidak dapat dipertahankan lagi dan menuntut adanya hubungan produksi baru. Inilah hukum dasar sejarah masyarakat dan merupakan sumber utama dari semua perubahan sosial yang ada.

Kelas-Kelas Dalam Masyarakat
Berdasarkan Posisi dan hubungannya dengan alat-alat produksi inilah masyarakat kemudian terbagi kedalam kelompok-kelompok yang disebut kelas-kelas. Misalnya Dalam suatu masyarakat berkelas selalu terdapat dua kelas utama yang berbeda yang saling bertentangan berdasarkan posisi dan hubungan mereka dengan alat-alat produksi. Tetapi, tidak semua cara produksi masyarakat terdapat pembagian kelas-kelas. Dalam sejarah umat manusia terdapat suatu masa dimana belum terdapat pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas. Misalnya dalam cara produksi komunal primitif, alat-alat produksi dimiliki secara bersama (atau alat produksi adalah milik sosial). Posisi dan hubungan mereka atas alat-alat produksi adalah sama. Semua orang bekerja dan hasil produksinya dibagi secara adil diantara mereka. Karena alat produksi masih primitif hasil produksinya pun belum berlebihan diatas dari yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sehingga tidak ada basis/alasan orang/kelompok untuk menguasai hasil kerja orang lain. Oleh karena itu tidak ada pembagian kelas-kelas dalam masa ini. Yang ada hanyalah pembagian kerja, ada yang berburu, bercocok tanam dan lain-lain.
Masyarakat berkelas muncul pertama kali ketika kekuatan-kekuatan produksi (alat-alat kerja dan tenaga kerja) berkembang hingga menghasilkan produksi berlebih. Kelebihan produksi inilah yang pertama kali menjadi awal untuk kelompok lain untuk mengambil kelebihan produksi yang ada. Dalam setiap masyarakat berkelas yang ada selalu didapati adanya pengambilan/perampasan atas hasil produksi. Perampasan atas hasil produksi inilah yang kemudian sering dinamakan dengan penghisapan.
Lain halnya dalam cara produksi setelah komunal primitif yaitu perbudakan, yang menghasilkan dua kelas utama yaitu budak dan pemilik budak. Dalam masa perbudakan alat-alat produksi beserta budaknya sekaligus dikuasai oleh pemilik budak. Budaklah yang bekerja menghasilkan produksi. Hasil produksi seluruhnya dikuasai oleh pemilik budak. Budak sama artinya dengan sapi, kerbau atau kuda. Pemilik budak cukup hanya memberi makan budaknya.
Sementara dalam masa feodalisme (berasal dari kata feodum yang berarti tanah) dimana terdapat dua kelas utama yaitu tuan feodal (bangsawan pemilik tanah) dengan kaum tani hamba atau petani yang pembayar upeti. Produksi utama yang dihasilkan didapatkan dari mengolah tanah. Tanah beserta alat-alat kerjanya dikuasai oleh tuan feodal atau bangsawan pemilik tanah. Kaum Tani hambalah yang mengerjakan proses produksi. Ia harus menyerahkan (memberikan upeti) sebagian besar dari hasil produksinya kepada tuan feodal atau para bangsawan pemilik tanah.
Begitu pula halnya dalam sistem kapitalisme yang menghasilkan dua kelas utama yaitu kelas kapitalis dan kelas buruh. Proses kegiatan produksi utamanya adalah ditujukan bukan untuk sesuai dengan kebutuhan manusia, melainkan untuk menghasilkan barang–barang dagangan untuk dijual ke pasar, untuk mendapatkan keuntungan yang menjadi milik kapitalis. Keuntungan yang didapat ini kemudian dipergunakan untuk melipatgandakan modalnya. Keuntungan yang didapatkan dari hasil kerja buruh ini, dirampas dan menjadi milik kapitalis. Buruh berbeda dengan budak atau tani hamba. Buruh, adalah manusia bebas. Ia bukan miliknya kapitalis. Tetapi 7 jam kerja sehari atau lebih dalam hidupnya menjadi milik kapitalis yang membeli tenaga kerjanya. Buruh juga bebas menjual tenaga kerjanya kepada kapitalis manapun dan kapanpun ia mau. Ia dapat keluar dari kapitalis yang satu ke kapitalis yang lain. Tetapi akibat sumber satu-satunya agar ia dapat hidup hanya menjual tenaga kerjanya untuk upah, maka ia tidak dapat pergi meninggalkan seluruh kelas kapitalis. Artinya buruh diikat, dibelenggu, diperbudak oleh seluruh kapitalis, oleh sistem kekuasaan modal, oleh sistem kapitalisme. Kita akan membahas persoalan lebih detail lagi.

  
MENAKAR KAPITALISME?
Oleh : Awang K. Aditya

Kapitalisme, adalah sebuah nama yang diberikan terhadap sistem sosial dimana alat-alat produksi, tanah, pabrik-pabrik dan lain-lain dikuasai oleh segelintir orang yaitu kelas kapitalis (pemilik modal). Jadi kelas ini hidup dari kepemilikannya atas alat-alat produksi. Sementara kelas lain (buruh) yang tidak menguasai alat produksi, hidup dengan bekerja (menjual tenaga kerjanya) kepada kelas kapitalis untuk mendapatkan upah.
Kepemilikan alat-alat produksi kemudian dipergunakan untuk menghasilkan barang-barang untuk dijual ke pasaran untuk mendapatkan untung. Keuntungan ini kemudian dipergunakan kembali untuk menambah modal mereka untuk produksi barang kembali, jual kepasar, dapat untung. Begitu seterusnya. Inilah yang kemudian sering dikatakan bahwa tujuan dari kapitalis adalah untuk mengakumulasi kapital (modal) secara terus menerus.
Pengusaha yang pandai adalah seorang yang membayar sekecil mungkin terhadap apa yang dibelinya dan menerima sebanyak mungkin terhadap apa yang dijualnya. Tahap awal menuju keuntungan yang tinggi adalah menurunkan biaya-biaya produksi. Salah satu biaya produksi adalah upah buruh. Oleh karena itulah kepentingan pengusaha untuk membayar upah serendah mungkin. Selain itu pengusaha juga berkepentingan untuk mendapatkan hasil kerja buruhnya sebanyak mungkin.
Kepentingan dari para pemilik modal ini bertentangan dengan kepentingan orang-orang yang bekerja (buruh) kepada mereka. Kelas buruh berkepentingan terhadap meningkatnya upah, meningkatnya kesejahteraannya. Kedua kelas ini bertindak sebagaimana kepentingan (keharusan) yang ada pada mereka. Masing-masing hanya dapat berhasil dengan mengorbankan yang lain. Itulah mengapa, dalam masyarakat kapitalis, selalu ada pertentangan antara dua kelas tersebut.

I. NILAI  LEBIH

Kelas buruh yang tidak memiliki alat produksi harus menjual tenaga kerjanya untuk mendapatkan upah untuk membeli sejumlah barang untuk kebutuhan hidupnya. Tetapi apakah upah itu? Bagaimana upah itu ditentukan?
Upah adalah jumlah uang yang dibayar oleh kapitalis untuk waktu kerja tertentu. Yang dibeli kapitalis dari buruh adalah bukan kerjanya melainkan tenaga kerjanya. Setelah ia membeli tenaga kerja buruh, ia kemudian menyuruh kaum buruh untuk selama waktu yang ditentukan, misalnya untuk kerja 7 jam sehari, 40 jam seminggu atau 26 hari dalam sebulan (bagi buruh bulanan).
Tetapi bagaimana kapitalis atau (pemerintah dalam masyarakat kapitalis) menentukan upah buruhnya sebesar 591.000 perbulan (di DKI misalny) atau 20 ribu per hari (untuk 7 jam kerja misalnya)? Jawabanya karena tenaga kerjanya adalah barang dagangan yang sama nilainya dengan barang dagangan lain. Yaitu ditentukan oleh jumlah kebutuhan sosial untuk memproduksikannya (cukup agar buruh tetap punya tenaga untuk bisa terus bekerja). Yaitu kebutuhan hidupnya yang penting yaitu kebutuhan pangan (Misalnya 3 kali makan), sandang (membeli pakaian, sepatu dll) dan papan (biaya tempat tinggal) termasuk juga untuk untuk menghidupi keluarganya. Dengan kata lain cukup untuk bertahan hidup, dan sanggup membesarkan anak-anak untuk menggantikannya saat ia terlalu tua untuk bekerja, atau mati. Lihat misalnya konsep upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah.
Jadi upah yang dibayarkan oleh kapitalis bukanlah berdasarkan berapa besar jumlah barang dan keuntungan yang diperoleh kapitalis. Misalnya saja sebuah perusahan besar (yang telah memperdagangkan sahamnyadi pasar saham) sering mengumumkan keuntungan perusahaan selama setahun untung berapa ratus milyar. Tetapi dari manakah keuntungan ini di dapat?
Jelas keuntungan yang didapat dari hasil kegiatan produksinya. Tetapi yang mengerjakan produksi bukanlah pemilik modal melainkan para buruh yang bekerja di perusahaannya lah yang menghasilkan produksi ini. Yang merubah kapas menjadi banang, merubah benang menjadi kain, merubah kain menjadi pakaian dan semua contoh kegiatan produksi atau jasa lainnya. Kerja kaum buruh lah yang menciptakan nilai baru dari barang-barang sebelumnya.
Contoh sederhana misalnya. Seorang buruh di pabrik garmen dibayar 20.000 untuk kerja selama 8 jam sehari. Dalam 8 jam kerja ia bisa menghasilkan 10 potong pakaian dari kain 30 meter. Harga kain sebelum menjadi pakaian permeternya adalah 5000 atau 150.000 untuk 30 meter kain. Sementara untuk biaya benang dan biaya-biaya produksi lainnya (misalnya listrik, keausan mesin dan alat-alat kerja lain) dihitung oleh pengusaha sebesar 50.000 seharinya. Total biaya produksi adalah 20.000 (untuk upah buruh) + 150.000 (untuk kain) + 50.000 (biaya produksi lainnya) sebesar 220.000. Tetapi pengusaha dapat menjual harga satu kainnya sebesar 50.000 untuk satu potong pakian atau 500.000 untuk 10 potong pakaian di pasaran. Oleh karena itu kemudian ia mendapatkan keuntungan sebesar 500.000 – 220.000 = 280.000.
Jadi kerja 8 jam kerja seorang buruh garmen tadi telah menciptakan nilai baru sebesar sebesar 240.000. Tetapi ia hanya dibayar sebesar 20.000. Sementara 220.000 menjadi milik pengusaha. Inilah yang disebut nilai lebih. Padahal bila ia dibayar 20.000, ia seharusnya cukup bekerja selama kurang dari 1 jam dan dapat pulang ke kontrakannya. Tetapi tidak, ia tetap harus bekerja selama 8 jam karena ia telah disewa oleh pengusaha untuk bekerja selama 8 jam. Jadi buruh pabrik garmen tadi bekerja kurang dari satu jam untuk dirinya (untuk menghasilkan nilai 20.000 yang ia dapatkan) dan selebihnya ia bekerja selama 7 jam lebih untuk pengusaha (220.000).

II. Akumulasi Kapital Dan Krisis Kapitalisme
Seperti yang di jelaskan sebelumnya bahwa kapitalisme hidup pertama dari kepemilikan mereka atas alat-alat produksi yang seharusnya menjadi milik sosial (lihat sejarah masyarakat bahwa pada awalnya alat-alat produksi ini adalah milik bersama/sosial). Kepemilikan alat-alat produksi ini dipergunakan untuk menghasilkan barang-barang yang dijual ke pasaran untuk mendapatkan untung. Keuntungan ini kemudian dipergunakan kembali untuk menambah modal mereka untuk produksi barang kembali, jual kepasar, dapat untung. Begitu seterusnya. Inilah yang kemudian sering dikatakan bahwa tujuan dari kapitalis adalah untuk mengakumulasi kapital (modal) secara terus menerus.
Sederhananya, kapital menuntut kapitalis untuk terus mengakumulasi modal, untuk menjadi kaya, kaya sekaya-kayanya untuk semakin kaya lagi, dan tidak ada kata cukup untuk menambah kekayaan. Ini semua bukanlah persoalan kapitalisnya serakah atau rakus atau karena kapitalisnya adalah orang yang tidak taat agama, orang Cina, Amerika, Jepang, Korea, Arab dll. Semua kapitalis adalah sama. Karena memang tuntutan ini bukan karena ada watak-watak serakah dari individu-individu kapitalis. Melainkan tuntutan dari cara kerja sistem kapitalisme menuntut setiap kapitalis untuk menjadi demikian. Penjelasannya seperti di bawah ini.
Misal bahwa harga ditentukan oleh komposisi permintaan dan penawaran. Adanya permintaan yang besar terhadap suatu barang, sementara penawaran (persedian) yang ada lebih kecil dari permintaan pasar menyebabkan harga suatu barang barang dagangan meningkat. Kejadian ini menyebabkan kapital akan bergerak ke keadaan dimana permintaan meningkat, yang menyebabkan kapital berkembang.
Ketika harga suatu barang dagangan tinggi akibat permintaan lebih besar daripada barang yang tersedia di pasar, maka untuk memperbesar keuntungan maka si kapitalis meningkatkan jumlah barang dagangannya. Ini dilakukan dengan cara meningkatkan/menambah jumlah mesin yang ia miliki, menambah jumlah buruh, melakukan pembagian tugas/kerja  yang lebih canggih (lebih kecil), melakukan percepatan, dan meningkatkan efisiensi dalam pabrik.
Tetapi mesin-mesin juga menciptakan kelebihan populasi pekerja, mereka juga mengubah watak buruh. Buruh-buruh trampil menjadi tidak berguna ketrampilannya karena ketrampilannya telah diganti oleh mesin. Lihat misalnya para sarjana yang kerja di perbankan, atau di perusahaan-perusahaan lainnya, mereka yang telatih menggunakan komputer, memiliki kemampuan akutansi, memiliki bermacam keahlian. Semua ketrampilan dan keahlian ini menjadi tidak berguna. Karena dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terjadi proses mekanisasi kerja. Kerjanya kini hanya memasukkan data-data setiap harinya. Terus berulang-ulang. Dengan penggantian mesin, anak-anak juga dapat dipekerjakan.
Penambahan mesin-mesin baru yang lebih modern/canggih (ingat sifat dari teknologi yang terus berkembang) memungkinkan seorang buruh dapat memproduksi sebanyak tiga kali lipat, sepuluh kali lipat, tujuh belas, atau puluhan kali lipat dari sebelumnya. Dengan cara ini, maka hasil produksi dapat jauh lebih besar. Harga biaya produksi bisa lebih diperkecil.
Tetapi semua tindakan kapitalis diatas tidak saja dilakukan oleh satu kapitalis saja melainkan kapitalis yang lain juga melakukan tindakan yang sama. Masing-masing berlomba untuk dapat menguasai pasar, bahkan dengan menurunkan harga barang dagangan tadi (walaupun harganya tetap diatas biaya produksi). Persaingan ini terus terjadi. Dimana disatu titik akan menyebabkan beberapa kapitalis yang kalah dalam persaiangan ini terpaksa kalah, bangkrut atau pindah ke usaha lain yang berkembang. Kapitalis-kapitalis yang modalnya lebih besar memenangkan pertarungan ini.
Sejak satu abad yang lalu, dengan mesin-mesin baru yang lebih canggih (hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi) kemampuan produksi kapitalisme telah dapat memenuhi jumlah dari permintaan yang ada, bahkan telah jauh diatasnya. Hingga akhirnya produksi barang jauh lebih besar dibanding dengan kemampuan pasar untuk membeli barang-barang ini. Akhirnya si kapitalis kini bukan saja harus memikirkan bagaimana mendapatkan untung dari penjualan barang produksinya melainkan juga bagaimana dapat menjual barang dagangannya yang berlimpah (diatas permintaan pasar) yang juga harus bersaing dengan kapitalis lain, menyebabkan kebangkrutan dari beberapa kapitalis. Kebangkrutan jelas juga membawa akibat terphknya buruh di perusahaan yang kalah bersaing ini. Rakyat pekerja dilempar ke jalan-jalan menjadi pengangguran. Sementara itu, barang-barang produksi melimpah di pasar, sementara masyarakat tidak memiliki daya beli untuk mengkonsumsi barang—barang ini. Ini juga menyebabkan kebangkrutan kembali dari perusahaan-perusahaan yang ada. Inilah cara kerja kapitalisme, dimana didalam keteraturannya (ketertibannya) terkandung ketidaktertibannya, liar, anarki produksi.

III. NEGARA
Kelas kapitalis, melalui penghisapannya terhadap kelas pekerja, telah mendapatkan kenyamanan, kekayaan dan martabat. Sementara kelas buruh justru  mendapatkan kemiskinan, dan kesengsaraan.
Mengapa kelas yang sebenarnya minoritas dalam jumlah populasi di bumi ini (kapitalis) justru lebih diuntungkan dibandingkan dengan kelas mayoritas penduduk dunia (buruh). Kondisi terus bertahan hingga saat ini karena terdapat sistem kekuasaan sosial ekonomi oleh kelas minoritas yang kaya terhadap mayoritas kelas buruh. Alat untuk mempertahankan penindasan satu kelas terhadap kelas lain adalah negara.
Dalam pertentangan kelas kapitalis dan kelas buruh kelas kapitalis menggunakan negara sebagai sebuah senjata yang sangat diperlukan melawan pihak yang tidak memiliki.
Kita sering didengungkan oleh kampanye pemerintahan kapitalis bahwa mereka mewakili semua orang, yang kaya dan miskin. Tetapi sebenarnya, sejak masyarakat kapitalis yang didasarkan atas kepemilikan pribadi atas alat produksi serangan apapun terhadap kepemilikan kapitalis akan dihadapi dengan kekerasan dari pemeritnahan kapitalis. Melalui kekuatan tentara, UU, hukum, pengadilan dan penjara negara telah berfungsi menjadi anjing penjaga dari keberlangsungan sistem kepemilikan pribadi yang menguntungkan kelas minoritas. Kelas yang berkuasa secara ekonomi –yang memiliki alat-alat produksi– juga berkuasa secara politik.
Sejak negara sebagai alat melalui salah satu kelas yang menentukan dan mempertahankan dominasinya/kekuasannya terhadap kelas yang lain, kebebasan sejati bagi sebagian besar yang tertindas tak dapat terwujud.
Negara terwujud untuk menjalankan keputusan-keputusan dari kelas yang mengontrol pemerintah. Dalam masyarakat kapitalis negara menjalankan keputusan-keputusan dari kelas kapitalis. Keputusan-keputusn tersebut dipola untuk mempertahankan sistem kapitalis dimana kelas pekerja harus bekerja melayani pemilik alat-alat produksi.

MONOPOLI
Persaingan, sesuai teori, adalah sesuatu yang baik, Tetapi pemodal menemukan bahwa praktek tidak sesuai dengan teori. Mereka menemukan bahwa persaingan mengurangi keuntungan sedangkan penggabungan meningkatkan keuntungan. Bila semua kapitalis tertarik pada keuntungan jadi mengapa bersaing? Lebih baik bergabung.
Melalui penggabungan modal industri dan keuangan berkemampuan untuk berkembang hingga ke tingkat yang begitu besar dimana dalam beberapa industri saat ini sedikit dari perusahaan, secara nyata, menghasilkan lebih dari setengah jumlah keseluruhan produksi atau mendekati jumlah seluruhnya. Misalnya perusahaan sofware komputer Microsoft atau yang lain (kawan-kawan bisa sebutkan contohnya di Indonesia).
Tidak sulit untuk melihat bahwa dengan dominasi yang luas seperti itu, monopoli kapitalis berada di posisi sebagai penentu harga-harga. Dan mereka memang melakukan hal itu. Mereka menetapkannya pada titik dimana mereka dapat membuat keuntungan tertinggi. Mereka menentukannya melalui persetujuan diantara mereka sendiri, atau melalui pengumuman harga perusahaan terkuat dan perusahaan sisanya memainkan peran sebagai “pengikut”, atau, seperti seringkali terjadi, mereka mengontrol paten dasar dan memberikan surat ijin untuk memproduksi hanya sebatas persetujuan yang telah ditentukan.
Monopoli membuat kemungkinan bagi para pemegang monopoli untuk mengerjakan tujuannya – membuat keuntungan yang besar. Industri yang bersifat bersaing menghasilkan keuntungan pada saat-saat yang baik dan memperlihatkan defisit di saat-saat buruk. Tetapi bagi industri yang bersifat monopoli, polanya berbeda – mereka menghasilkan keuntungan yang besar di saat-saat yang baik, dan beberapa keuntungan di saat buruk.
 
IMPERIALISME DAN PERANG
Pada akhir abad ke 19 dan permulaan abad ke-20, pertukaran komoditi telah menciptakan internasionalisasi hubungan ekonomi dan internasionalisasi kapital, bersamaan dengan peningkatan produksi sekala besar, sehingga kompetisi digantikan dengan monopoli. Dengan kata lain, dalam persaingan bebas, kenaikan produksi berskala luas akan diambil alih oleh monopoli.
Ciri dominan bisnis kapitalis adalah perusahaan-perusahaan yang tidak bisa lagi berkompetisi baik di dalam negerinya sendiri maupun ketika berhubungan dengan negeri-negeri lain, berubah menjadi monopoli persekutuan pengusaha, semacam perserikatan pengusaha (trust), membagi-bagi pasar dunia bagi kepentingan akumulasi kapitalnya masing-masing.
Ciri khas penguasa berubah menjadi pemilik kapital keuangan, kekuatan yang secara khas bergerak dan luwes secara khas jalin menjalin baik di dalam negerinya sendiri maupun secara internasional yang menghindari individualitas dan dipisahkan dari proses produksi langsung yang secara khas mudah dikonsentrasikan atau suatu kekuatan yang secara khas memang sudah memiliki langkah panjang di jalanan yang menuju pusat konsentrasi, sehingga tangan beberapa ratus milyuner saja dan jutawan saja bisa menggenggam dunia.
Kemampuan produksi sebuah barang telah melampaui jumlah penduduk dalam suatu negeri yang mengkonsumsi barang-barang dagangan ini. Tetapi tuntutan kapitalisme bahwa barang-barang ini harus tetap dijual ke pasar untuk mendapatkan keuntungan. Ini berarti bahwa kaum kapitalis harus menjual barang-barang tersebut keluar negeri. Mereka harus menemukan pasar luar negeri yang akan menyerap kelebihan penjualan pabrik mereka. Inilah kemudian yang menyebabkan terjadinya penjajahan (kolonialisme) dari suatu bangsa atas bangsa lain. Kepentingan untuk melakukan penjajahan ke negeri lain bukan saja untuk menjual barang-barang dagangan mereka, melainkan juga kebutuhan akan persediaan bahan-bahan mentah yang sangat besar bagi kegiatan produksi mereka seperti karet, minyak, timah, tembaga, nikel. Mereka menginginkan untuk mengontrol sendiri sumber-sumber bahan-bahan mentah yang penting tersebut. Kedua faktor inilah yang kemudian menimbulkan imperialisme, membangkitkan peperangan antar satu negeri dengan negeri lain. Perebutan pasar di negeri-negeri jajahan akhirnya menimbulkan perang. Semua perang-perang yang terjadi baik perang dunia I, II maupun perang dikomandoi oleh AS saat ini tidak terlepas dari kerangka untuk mendapatkan pasar-pasar baru. 
Zaman imperilisme, ditandai oleh kendali setiap oligarki keuangan negeri-negeri kapitalis maju, yang menggunakan kekuasaaan paksaan dan kekerasan terorganisir (mesin-mesin negara yang mereka pimpin) untuk mempertahankan dominasi imperialnya terhadap kehidupan ekonomi dan politik negeri-negeri terbelakang, serta untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dengan mengorbankan kelas pekerja di negerinya sendiri dan negeri-negeri lain.
 
Kapitalisme Neoliberal
Perang dunia II telah berhasil membangkitkan kembali perkembangan modal di negeri-negeri dunia I.  Perkembangan ini telah memacu ekspansi modal dari negeri-negeri imperialis dunia pertama bergerak ke negeri-negeri miskin di dunia III. Sejak tahun 1960-an munculnya perusahaan-perusahaan transnasional dunia I di negeri-negeri dunia III terjadi cukup masif. Namun tuntutan perluasan pasar atas tuntutan dari perkembangan modal di negeri-negeri dunia I dirasakan dihambat akibat sejumlah proteksi dari negara-negara dunia III. Oleh karena itu kemudian pemerintah negara-negara imperialis yang tergabung dalam kelompok G7 melihat kebutuhan untuk melakukan sejumlah reformasi strukturural di negara-negara dunia III. Dalam pertemuan tahunan mereka pada tahun 1976 dihasilkan sebuah kesepkatan untuk melakukan reformasi neoliberal yang pada intinya berisi: pencabutan berbagai subsidi negara, kemudahan masuknya investasi asing, privatisasi, liberalisasi perdagangan.
Kekuasaan negara-negara imperialis dalam mengontrol lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF, Bank Dunia ia telah berhasil mendorong kebijakan neoliberal ini untuk menjadi kebijakan global di seluruh negeri. Lembaga-lembaga keuangan interanasional ini berfungsi tidak lebih sebagai agen pemerintaha negeri-negeri imperialis untuk menjalankan kebijakan ekonomi neoliberal. Ekspor modal melalui hutang luar negeri dari IMF dan Bank dunia menjadi senjata untuk menekan pemerintah negeri-negeri dunia III untuk menjalakan kapitalisme neoliberal.
Walaupun demikian kebijakan ekonomi neoliberal telah terbukti gagal dipraktekkan di sejumlah negara. Paket reformasi neoliberal telah menyebabkan negara miskin dunia ketiga menjadi lebih miskin lagi. Kaum kapitalis bersama pemerintahan negeri-negeri imperialis mencoba mempertahankan kebijakan ini dengan cara memunculkan sebuah propaganda (ideologi) tentang globalisasi. Dalam pandangan ini, perkembangan ekonomi telah menjadi global. Aturan-aturan sebuah negara tidak lagi relevan dalam situasi perekonomian dunia saat ini. Oleh karena itu globalisasi dunia dalam makna globalisasi neoliberal tidak dapat dilawan oleh siapapun karena merupakan tuntutan dari perkembangan ekonomi dunia.
Kenyataannya justru menunjukkan berlainan. Misalnya saja arus investasi dan jumlah barang dunia justru terkonsentrasi di negeri-negeri imperialis. Yang menjadi kenyataan dalam kebijakan ekonomi neoliberal saat ini adalah GLOBALISASI KEMISKINAN dan krisis global sistem kapitalisme.
Kapitalisme telah terbukti tidak mampu mensejahterahkan rakyat pekerja, dan rakyat miskin bukan saja di negeri-negeri miskin dunia III melainkan juga kini di negri-negeri dunia I. Tingkat kesejahteraan rakyat pekerja di negeri-negeri dunia I telah merosot. Wajar kemudian bila kemudian mulai bangkitnya perlawanan baik dari kaum buruh, pemuda, mahasiswa, perempuan, aktivitis lingkungan menentang keberadaan kapitalisme. Begitu pula halnya di negeri-negeri miskin dunia III, mulai menyadari bahwa perjuangan kaum buruh tidak dapat dilakukan hanya sebatas perjuangan menuntut perbaikan upah semata tanpa menghapuskan akar dari penghisapand dan kemiskinan serta ketidakadilan yaitu sistem kapitalisme. Perjuangan harus ditujukan untuk melakukan perjuangan politik yaitu untuk demokrasi rakyat miskin dan perjuangan untuk sebuah sistem masyarakat yang adil yaitu SOSIALISME


Faisal Basri

Location:
Jakarta, Indonesia, 13790
Phone: 0811-902-466
Birthday: November 6, 1959

 

Rizal Ramli

Rumah Perubahan

Jl Panglima Polim V No. 52, Jakarta Selatan

Hari Rabu, 8 April 2009

Pukul 18.00 – selesai

Agenda: Silaturahmi Rekan-rekan Jejaring Facebook

Untuk konfirmasi ke 08889845553 melalui SMS.

Contact Information

 

Abdul Aziz

Email: abdulaziz_rahman@yahoo.co.id
Mobile:
08882940756
Current Town:
Website:

Alfan Alfian
Nora Efanoura Alatas
Rika Ruka Azzahra
Indonesia
Didik J. Rachbini
Hamid Basyaib
Abdul Moqsith Ghazali
Mouna Arni Hasanuddin
M Ichsan Loulembah
Nong Darol Mahmada
Jamaluddin Malik
Kholis Malik
Zezen Zaenal Mutaqin
Salman Nasution
Syahmud Basri Ngabalin
Akromatun Nisa
Fajar R Zulkarnaen
Jalaluddin Rakhmat
Mahya Ramdhani
Dewita Hayu Shinta
Ahmad Nasir Siregar
Peggy Melati Sukma Tjandra
Devina Amelinda
Ihsan Ali-Fauzi
Rinie Alia Zahra
Putri Anugrah
Pra Fitria Angelia
Andi Arief
Kholilul Rohman Ahmad
Teuku Syahrul Ansari
Ririn Dwi Ariyanti
Ade Armando
Aswandi As'an
Jimly Asshiddiqie
Gracia Asriningsih
Rully Chairul Azwar
Ferry Mursyidan Baldan






BELAJAR INTELIJEN SEBAGAI ILMU

Diterbitkan Mei 14, 2009 Buku dan Aku , Wacana Kini , Wawasan Ideologi 13 Komentar - komentar
Tag:BAKIN, BIN, CIA, Dunia Intelijen, Intelijen, Intelijen Indonesia, Intelijen sebagai Ilmu, Operasi Intelijen, Pengertian Intelijen, Sejarah Intelijen

Apakah Definisi Intelijen?

Intelijen dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan langsung dari Intelligence (N) dalam bahasa Inggris yang berarti kemampuan berpikir/analisa manusia. Mudahnya kita lihat saja test IQ (Intelligence Quotient), itulah makna dasar dari Intelijen.

      Intelijen atau Intelligence berarti juga seni mencari, mengumpulkan dan mengolah informasi strategis yang diperlukan sebuah negara tentang negara “musuh”. Dari definisi ini berkembang istilah counterintelligence yang merupakan lawan kata dari intelligence.
      Intelijen juga merujuk pada organisasi yang melakukan seni pencarian, pengumpulan dan pengolahan informasi tersebut di atas. Dengan definisi ini intelijen juga mencakup orang-orang yang berada di dalam organisasi intelijen termasuk sistem operasi dan analisanya.

USA, Russia (sejak era Uni Soviet) adalah dua negara yang mengembangkan intelligence mengarah pada sebuah field science baru. Keberadaan sejumlah Akademi di Russia, bahkan Sekolah Tinggi sampai Graduate School di USA (bersepesialisasi di bidang intelijen) merupakan langkah-langkah gradual menuju penciptaan field science of intelligence.
Sementara di sebagian besar negara “besar” seperti Inggris, Perancis, dan China, Intelligence masih dianggap sebagai seni yang dirahasiakan dan hanya diajarkan pada calon-calon agen intelijen selama beberapa tahun.

Hakikat Keberadaan Organisasi Intelijen

Mungkin kebanyakan orang menyangka keberadaan organisasi intelijen semata-mata hanya untuk kepentingan pemerintah atau elit politik yang berkuasa. Hal ini merupakan kekeliruan persepsi yang sangat membahayakan bagi nama baik sebuah organisasi intelijen. Dalam kasus kebijakan represif negara junta militer, otoriter, rejim komunis dan revolusi sejenisnya, memang terjadi penyimpangan fungsi intelijen yang hakikatnya ditujukan untuk menghadapi ancaman dari luar negara menjadi alat represi bagi pemerintah.

Teknik, mekanisme kerja, sistem analisa dan produk yang dihasilkan organisasi intelijen di manapun di dunia adalah sejenis, yaitu berupa hasil olah analisa berdasarkan data-data yang akurat dan tepat serta disampaikan secepat mungkin kepada para pengambil keputusan dalam sebuah negara.

Tidak ada yang misterius, aneh ataupun luar biasa dalam organisasi intelijen. Secara historis dan alamiah, organisasi intelijen memiliki ciri tertentu yang telah diketahui masyarakat luas, yaitu prinsip kerahasiaan. Ciri utama inilah yang kemudian menimbulkan tanda-tanya bagi masyarakat. Selanjutnya timbul pula praduga-praduga yang belum tentu benar sehingga mitologi intelijen menjadi semakin kabur dalam bayang-bayang cerita atau kisah nyata, cerita fiksi dan fakta terjadinya peristiwa yang sulit diungkapkan secara transparan kepada khalayak.

Definisi tugas pokok intelijen di seluruh dunia cukup jelas, yaitu pada umumnya bertugas mengumpulkan intelijen (informasi) dan melakukan operasi tertutup (kegiatan rahasia) di luar negeri. Intisari dua kegiatan utama tersebut adalah mengidentifikasi dan mencegah ancaman terhadap negara dan warga negara serta untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan negara.

Sementara itu, apa yang dimaksud dengan kegiatan intelijen di dalam negeri adalah kontra-intelijen (kontra-spionase), yaitu kegiatan rahasia yang ditujukan untuk mendeteksi kegiatan intelijen negara asing di dalam wilayah teritorial negara kita. Dalam perkembangannya kegiatan kontra-intelijen lebih ditujukan untuk menangkal kegiatan terorisme internasional maupun kejahatan trans-nasional.

Tidak ada istilah meng-inteli warga negara yang “kontra” pemerintah. Model ini hanya ada dan muncul di negara-negara blok komunis, junta militer dan negara otoriter dengan tujuan melanggengkan kekuasaan. Sementara di negara demokrasi, transparansi dan persaingan politik yang sehat dalam koridor hukum sewajibnya diterima sebagai aturan main dan intelijen harus “bersih” dari soal dukung-mendukung kekuatan politik yang bersaing di dalam negeri. Sangat mirip dengan peranan militer dalam negara demokrasi.

Apa yang sering disebut sebagai intelijen tingkat instansi dan intelijen polisi lebih mengarah pada spesifikasi sasaran operasi, dan mereka tidak melakukan operasi intelijen seperti hakikatnya intelijen. Apa yang mereka lakukan adalah penyelidikan dan penyidikan atas suatu pelanggaran hukum. Adapun teknik dan mekanisme kerjanya bisa saja sama dengan intelijen “murni”.

Intelijen militer bisa dianggap sebagai saudara kandung intelijen sipil. Tujuan, motivasi dan hakikat operasinya bisa dikatakan sama. Hanya saja cakupan ruang operasinya yang sedikit berbeda, bahkan seringkali terjadi operasi gabungan sesuai dengan kemampuan dan bidang masing-masing. Perbedaan hanya sedikit dalam tujuan operasi taktis (jangka pendek), sekedar contoh misalnya saja signal intelligence (SIGINT) sangat vital bagi intelijen militer karena terkait dengan pendeteksian mobilisasi militer asing yang menjadi pihak lawan (oposisi). Sementara itu, SIGINT bagi intelijen sipil lebih bermanfaat dalam mengamankan operasi tertutup di negara lawan dengan melakukan coding informasi yang rumit dan sulit dipecahkan lawan.

Meskipun dinamakan Organisasi Intelijen Sipil, organisasi intelijen yang baik tidak bisa hanya berwarna sipil karena pentingnya sentuhan militer. Hakikatnya merupakan gabungan antara kemampuan militer (tempur) atau combatants dan petugas intelijen (intelligence officers). Dengan kata lain, meskipun seorang anggota intelijen berlatar belakang militer dia juga punya kemampuan seluwes orang sipil. Sebaliknya petugas intelijen sipil wajib mempunyai kemampuan militer yang cukup. Mereka semua wajib untuk loyal dan bersumpah setia demi keselamatan rakyat dan negara. Intelktual, bakat, dedikasi dan keberanian adalah beberapa hal yang menjadi modal utama insan intelijen baik sipil maupun militer.

      “Sebagai orang Indonesia yang peduli dengan reformasi intelijen Indonesia, terus terang saya sangat sedih dan kecewa dengan perkembangan, dinamika, serta prospek intelijen di Indonesia.
      Mudah-mudahan tulisan singkat ini dibaca dan dipahami oleh generasi muda, intelektual dan mereka yang aktif di dunia intelijen. Harapan saya adalah bangkitnya semangat dan berkembangnya kreatifitas serta kesungguhan dan tekad yang kuat dalam membangun organisasi intelijen di Indonesia yang ideal, bisa diaplikasikan serta memiliki citra positif di mata masyarakat Indonesia dan disegani oleh lawan yang menjadi ancaman bagi negara dan warga negara Indonesia”. (Senopati Wirang)

Bidang Studi Intelijen

Apa sebenarnya yang wajib dipelajari dalam studi intelijen secara akademik?

Pertanyaan itu terus menggelitik hati dan pikiran saya sejak Pak Hendropriyono menggagas dan akhirnya mewujudkan sekolah Intelijen setingkat S1 dan S2 beberapa tahun silam. Tanggung jawab dalam mencetak kader intelijen yang memiliki kapasitas kesarjanaan yang tinggi secara akademis terus membayangi sekolah Intelijen. Karena saya tidak bisa ikut campur dalam penyusunan kurikulum maupun penyelenggaraan sekolah tersebut, maka saya akan ungkapkan apa-apa yang wajib dipelajari dalam studi intelijen berdasarkan survey internet dan pengalaman sekolah saya (senopati wirang), sbb:

   1. Konteks studi intelijen seyogyanya lebih luas dari studi politik, ekonomi, hubungan internasional, kebijakan luar negeri, hukum internasional, kriminologi, etika, psikologi, dan usaha-usaha negara bangsa dalam memelihara keamanan politik, sosial, ekonomi, dan militer. Dengan kata lain studi intelijen bersifat multidisplin.
   2. Sebagai pondasi, diperlukan studi logika, matematika dan statistik serta dasar-dasar ilmu alam, filsafat manusia dan filsafat ilmu pengetahuan, geografi, dan sejarah dunia.
   3. Sebagai pengetahuan praktis dan teknis perlu dikembangkan spesialisasi khusus seperti bahasa asing, fotografi dan teknologi audio video, ilmu komputer, teknologi komunikasi, dan teknologi sistem pengamanan.
   4. Sebagai pilihan studi bisa disusun berdasarkan area studies (kajian wilayah/kawasan misalnya Asia Tenggara) atau issues studies (kajian masalah misalnya Terrorisme).
   5. Sebagai studi utama, tentu saja tetap mengajarkan dasar-dasar intelijen mulai dari internal security sampai pada analisa intelijen strategis tingkat advance.

The intelligence cycle

The intelligence cycle adalah proses mengolah informasi mentah menjadi produk intelijen yang disampaikan kepada pengambil kebijakan untuk digunakan dalam penentuan kebijakan dan langkah-langkah pelaksanaan kebijakan. Ada 5 langkah dalam perputaran intelijen.

   1. Planning and Direction. Merupakan manajemen informasi mulai dari identifikasi data-data yang diperlukan sampai pengiriman produk intelijen ke pengambil kebijakan atau pengguna produk intelijen. Merupakan awal dan akhir dari lingkaran. Menjadi awal karena berkaitan dengan penyusunan rencana yang mencakup kebutuhan pengumpulan informasi yang spesifik dan menjadi akhir karena produk akhir intelijen yang mendukung keputusan kebijakan, menciptakan permintaan-permintaan produk intelijen yang baru. Keseluruhan proses mengacu pada petunjuk pengambil kebijakan seperti Presiden atau Perdana Menteri, pembantu-pembantu di jajaran eksekutif seperti Dewan Keamanan Nasional, anggota kabinet….yang kesemua itu mengawali permintaan khusus kepada intelijen.
   2. Collection. Adalah pengumpulan data/informasi mentah yang diperlukan untuk memproduksi analisa intelijen. Ada banyak sekali sumber-sumber informasi termasuk informasi terbuka seperti berita radio asing, surat kabar, majalah, internet, buku, dll. Informasi terbuka merupakan salah satu sumber utama intelijen yang harus dimekanisasikan secara disiplin menjadi sebuah rutinitas sehari-hari yang menjadi supply tidak terbatas yang akan mendukung analisa intelijen. Bila anda pernah berkunjung ke CSIS di Tanah Abang III Jakarta, perhatikan bagaimana intelijen masa Orde Baru berbagi teknik dengan lembaga penelitian dan menjadikannya sebagai salah satu lembaga yang disegani. Guntingan Koran CSIS adalah khas pekerjaan membosankan yang sangat vital bagi intelijen, khususnya bagi perwira analis, karena dengan mengikuti setiap waktu perkembangan terkini dari media massa akan melatih insting analisanya. Di samping itu, ada juga informasi rahasia dari sumber-sumber yang rahasia pula. Informasi ini hanya memiliki prosentase yang kecil namun sifatnya amatlah sangat penting sehingga sering juga menjadi penentu dari sebuah produk intelijen. Biasanya diperoleh dari operasi tertutup oleh para agen intelijen atau melalui informan. Secara teknis penngumpulan data juga dilakukan oleh peralatan canggih secara elektronik dan fotografi serta satelit.
   3. Processing. Berkaitan dengan interpretasi atas data/informasi yang sangat banyak. Mulai dari penterjemahan kode, penterjemahan bahasa, klasifikasi data, dan penyaringan data. Dalam organisasi intelijen tradisional dan konservatif, seorang agen baru seringkali harus melalui masa-masa membosankan melakukan pemilahan data berdasarkan kategori yang ditentukan atasannya. Hal ini sangat penting untuk membiasakan diri dalam menyusun jurnal pribadi maupun jurnal unit yang sangat vital dalam mempercepat proses penemuan kembali data-data lama yang tersimpan. Juga membiasakan diri untuk segera melihat data dari sudut pandang potensi spot intelijen atau memiliki potensi ancaman.
   4. All source Analysis and Production. Merupakan konversi dari informasi dasar yang telah diproses menjadi produk intelijen. Termasuk didalamnya evaluasi dan analisa secara utuh dari data yang tersedia. Seringkali data yang ada saling bertentangan atau terpisah-pisah. Untuk keperluan analisa dan produksi, seorang analis, yang biasanya juga spesialis bidang tertentu, sangat memperhatikan tingkat “kepercayaan”data (bisa dipercaya atau tidak), tingkat kebenaran dan tingkat relevansi. Mereka menyatukan data yang tersedia dalam satu kesatuan analisa yang utuh, serta meletakkan informasi yang telah dievaluasi dalam konteksnya. Bagian akhirnya adalalah produk intelijen yang mencakup penilaian atas sebuah peristiwa serta perkiraan akan dampaknya pada keamanan nasional. Salah satu unsur vital dari produk intelijen adalah peringatan dini dan perkiraan keadaan. Sementara model laporan ada macam-macamnya mulai dari yang sangat singkat berupa telpon lisan yang menjadi laporan kepada pimpinan negara, sampai laporan yang cukup tebal mencakup analisa perkiraan keadaan tahunan. Dari beberapa kasus yang terungkap di media massa, terlihat jelas bahwa baik BIN maupun BAIS TNI sangat lemah di sektor analis ini, entah karena sumber daya manusia-nya yang levelnya masih sebatas lulusan akademi militer, D3 atau S1 saja, atau karena memang keterbatasan dana yang menyebabkan lembaga intelijen tidak berkutik soal peningkatan SDM. Bandingkan misalnya dengan CIA atau Mi6 yang secara aktif mengirimkan para analisnya ke universitas-universitas di berbagai negara untuk menempuh studi doktor sekaligus memantapkan spesialisasi masing-masing.
   5. Dissemination. Merupakan langkah terakhir yang secara logika merupakan masukkan untuk langkah pertama. Adalah distribusi produk intelijen kepada pengguna (pengambil kebjiakan) yang biasanya adalah mereka yang meminta informasi kepada intelijen. Untuk kasus Indonesia, pengguna disini hampir identik dengan Presiden.

Kegiatan Rahasia

Metode pengumpulan informasi oleh organisasi intelijen di seluruh dunia selalu mengandalkan human intelligence (humint). Pertanyaannya kemudian adalah apakah metode klasik penyampaian informasi ke kantor pusat masih saja berlangsung. Pola-pola operasi dead drop microfiche dan brushpass, dll tampaknya semakin rawan. Sementara komunikasi melalui internet jelas sangat terbuka oleh program-program deteksi semacam cyberspy dan kaum hacker serta sistem pengawasan oleh provider internet dan pemerintah.

Sistem pengawasan lingkungan yang semakin ketat sejalan dengan perkembangan teknologi mau tidak mau akan menyulitkan kegiatan rahasia di luar negeri.

Berbeda dengan kegiatan rahasia di dalam negeri, kegiatan rahasia di luar negeri tidak saja beresiko karena melanggar hukum sebuah negara melainkan juga karena bisa merusak kredibilitas sebuah negara di mata negara yang dimata-matai. Lebih jauh merusak hubungan diplomatik.

Hal yang paling lucu dari kegiatan rahasia di luar negeri belakangan ini adalah para intel dari berbagai negara akhirnya minum kopi bersama-sama di Starbuck sambil berdiskusi tentang terorisme internasional, tentang masalah internasional, dengan pengecualian masalah di negara masing-masing, lha bagaimana ini…mungkin abad 21 ini merupakan akhir dari kasus-kasus espionage antar negara. Hal ini saya perhatikan terjadi di Paris, Washington DC, Tokyo, Hongkong, Singapore, dan bahkan Jakarta.

Tentu tidak seluruhnya demikian, hal tersebut di atas hanya terjadi diantara organisasi yang sudah menjadi counterpart dan memiliki kesepakatan untuk bekerjasama. Tentu masih ada hal-hal yang bersifat spionase dalam kadar yang relatif berbeda-beda.

Bagaimana dengan kegiatan rahasia di dalam negeri? Dahulu salah seorang junior saya yang berwajah sangar tapi baik hati sering mengajarkan pada calon agen untuk mengutamakan keberanian, karena operasi di wilayah sendiri. Apapun persoalannya bisa diatasi karena kita memiliki “hak” untuk melakukan operasi keamanan. Keberanian yang kadangkala melangkah terlalu jauh dari sisi kerahasiaan, akibatnya ada beberapa agen yang sangat baik harus mengakhiri karirnya dari operasi lapangan karena terekspos ke pihak lawan atau ke publik, contohnya agen yang membongkar jaringan Jamaah Islamiyah.

Mengingat pentingnya kegiatan rahasia dengan segala prinsip-prinsipnya, saya ingin menghimbau kepada seluruh jajaran intelijen untuk kembali menerapkan standar baku kerahasiaan, khususnya dalam membentuk calon agen menjadi agen rahasia.

Agak aneh membahas kegiatan rahasia di media yang tidak rahasia, tetapi dengan variasi pembaca yang tidak saya ketahui, mungkin ada pesan yang tertangkap entah oleh siapa.

Sumber dari “Senopati Wirang” Intelindonesia.blogspot.com