LEMBAGA KEPRESIDENAN
PASCA SIDANG ISTIMEWA MPR TAHUN 2001*)
Oleh : Dr. H. Dahlan Thaib, SH.MSi.**)1
Download selengkapnya: DISINI
I
Berbicara tentang pemerintahan dalam negara demokrasi modern seperti sekarang ini, maka kita tidak dapat melepaskan diri dari teori Trias Politika Montesquieu yang dalam bukunya "L' Esprit des Lois" mengemukakan bahwa dalam pemerintahan terdapat tiga poros kekuasaan, yaitu kekuasaan Yudikatif (pembuat undang-undang), kekuasaan Eksekutif (pelaksana undang-undang), dan kekuasaan yudikatif (peradilan, kehakiman). Menurut Montesquieu tiga poros kekuasaan tersebut masing-masing terpisah satu sama lain, baik mengenai oranya maupun fungsinya.
Namun di dalam praktek ketatanegaraan konsep Trias Politika yang dikemukakan Montesquieu tidak mungkin dilaksanakan secara murni, kenyataan menunjukkan bahwa pembuat undang-undang yang seharusnya merupakan tugas legislatif, ternyata eksekutif juga diikut sertakan Bahkan Amerika Serikat yang dianggap kampiun yang ingin menjalankan konsep pemisahan kekuasaan, ternyata dalam praktek ketatanegaraannya dikenal sistem saling mengadakan perimbangan (chek and balance system) antara kekuasaan-kekuasaan negara tersebut.
Adanya hak veto dari Presiden terhadap rancangan undang-undang yang diajukan kongres Amerika pada hakekatnya sudah mengurangi pelaksanaan teori Trias Politika, karena wewenang menetapkan undang-undang oleh legislatif (kongres) dikurangi.
Jika dikaitkan Trias Politika tersebut dengan ketentuan menurut UUD 1945, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Undang-undang Dasar 1945 tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan. Pembuat Undang-undang Dasar 1945 tidak menghendaki agar sistem pemerintahannya disusun berdasarkan ajaran pemisahan kekuasaan (Trias Politika) dari Montesquieu karena ajaran itu dianggap sebagai bagian dari paham demokrasi liberal.
Salah seorang anggota Perumus UUD 1945 yaitu Prof. Soepomo berpendapat bahwa UUD 1945 mempunyai sistem tersendiri yaitu berdasarkan Pembagian Kekuasaan. Dalam sistem pembagian kekuasaan ini dimungkinkan adanya kerjasama antara Lembaga-lembaga Negara. Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 20 ayat 1 menunjukkan bahwa UUD 1945 menganut asas pembagian kekuasaan.
Undang-undang Dasar 1945 dalam Pasal 1 ayat 2 menentukan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa sumber kekuasaan itu hanya ada pada rakyat. Selanjutnya sumber kekuasaan itu melalui Majelis sebagian dilimpahkan, dibagikan atau didistribusikan kepada Lembaga- lembaga Negara yang lain, yang kedudukannya berada dibawah Majelis. Lembaga-lembaga tersebut ialah Presiden (Pasal 4 ayat 1), DPR (Pasal 19), DPA (Pasal 16) BPK (Pasal 23) dan MA (Pasal 24).
Dengan demikian berarti pendistribusian kekuasaan oleh Majelis kepada Lembaga-lembaga dibawahnya menunjukkan bahwa poros kekuasaan yang sejajar dengan eksekutif menurut UUD 1945 tidak hanya tiga tapi ada lima poros kekuasaan.
Jika diteliti secara seksama dari segi hubungan antar poros kekuasaan maka jelas-jelas UUD 1945 tidak menganut "Separation of Power", yang dianut oleh UUD 1945 adalah azas pembagian kekuasaan (distribution of power).
II
Berbeda dengan sistem pemerintahan menurut kabinet parlementer umumnya Presiden berfungsi hanya sebagai Kepala Negara, maka dalam sistem kabinet presidensial, presiden di samping berfungsi sebagai kepala negara juga berfungsi sebagai kepala pemerintahan. Mengenai hal ini pasal 4 ayat 1 UUD 1945 menyatakan Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar. Begitu pula kalau dilihat Penjelasan Umum pada angka IV ditegaskan bahwa: "dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi". Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggungjawab adalah di tangan Presiden (Concentration of power and responsibility upon the Presiden). Dari apa yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Dasar 1945 hanya menyebutkan Presiden sebagai Kepala Negara atau eksekutif saja, sedangkan Presiden sebagai kepala negara tidak ditegaskan oleh pasal-pasal di dalam Undang-undang Dasar 1945. Namun demikian konsekuensi bahwa Presiden sebagai kepala negara kita temukan dalam penjelasan pasal-pasal UUD 1945 yaitu pasal-pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15. Sehingga dapatlah disimpulkan bahwa menurut UUD 1945 kedudukan Presiden disamping kepala pemerintahan adalah juga sebagai kepala negara. Dengan demikian jelaslah bahwa UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial dimana kedudukan Presiden sebagai kepala pemerintahan dan juga sebagai kepala negara, menunjukkan bahwa UUD 1945 memberikan kedudukan sebagai pimpinan nasional kepada Presiden. Sudah barang tentu dalam kedudukannya tersebut Presiden mempunyai kekuasaan yang sangat besar dan luas yang meliputi:
1. Kekuasaan Eksekutif
2. Kekuasaan Administratif
3. Kekuasaan Legislatif
4. Kekuasaan Militer
5. Kekuasaan Yudikatif
6. Kekuasaan Diplomatik
Namun untuk memudahkan pembahasan perincian lebih lanjut tentang luasnya kekuasaan Presiden menurut UUD 1945, maka kekuasaan-kekuasaan tersebut dikelompokkan dalam 3 bidang kekuasaan :
1. Kekuasaan dalam bidang legislatif
Kekuasaan Presdien dalam bidang legislatif yang menurut istilah C.F.Strong disebut Legislative Power dapat dilihat dari pasal-pasal UUD 1945 sebagai berikut :
a. Presiden bersama-sama dengan DPR (perubahan pertama UUD 1945) membentuk Undang-undang (Pasal 5 ayat 1 jo pasal 20 ayat 1 dan pasal 21 ayat 2 UUD 1945). Perumusan pasal-pasal tersebut di atas menempatkan Presiden pada peranannya yang lebih menonjol dari pada Dewan Perwakilan Rakyat dalam tugasnya di bidang legislatif. Bahwa membuat Undang-undang pada hakekatnya yang dilakukan oleh Presiden, karena dalam penyelenggaraan pemerintahan itu Presidenlah akhir yang bertanggungjawab pada Majelis, maka kedudukan Presiden dalam praktek lebih menonjol dari DPR.2
b. Dalam keadaan darurat atau kegentingan yang mendesak, presiden dapat menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti Undang-undang (pasal 22 ayat 1 UUD 1945),
c. Untuk menjalankan undang-undang, presiden berwenang menetapkan peraturan pemerintah (pasal 5 ayat 2 UUD 1945).
d. "Anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila DPR tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu (Pasal 23 ayat 1 UUD 1945).
2. Kekuasaan dalam bidang Eksekutif (executive power)
a. Presiden memegang kekuasaan pemerintah (eksekutif) tertinggi dalam negara (pasal 4 ayat 1).
b. Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara (Pasal 10 UUD 1945). Dalam perkembangan ketatanegaraan selanjutnya presiden dinyatakan sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sehingga tidak hanya angkatan perang tetapi juga polisi (POLRI).
c. Dengan persetujuan DPR Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain (Pasal 11 UUD 1945)
d. Mengangkat Menteri-menteri dan memberhentikannya (Pasal 17 ayat 2 UUD 1945).
e. Presiden menyatakan keadaan bahaya, dalam mana syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang (pasal 12 UUD 1945).
3. Kekuasaan dalam bidang Yudikatif (Judicial power)
- Presiden berwenang memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi pasal 14 UUD 1945). Pasal 14 UUD 1945 adalah merupakan kekecualian dari pasal 24 UUD 1945 yang dalam penjelasannya berbunyi: "Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka; artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah". Hal kekecualian tersebut dipertegas oleh Pasal 4 ayat 3 UU No.14 Tahun 1970 yang menentukan: "Segala campur tangan urusan peradilan oleh pihak-pihak lain luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam undang-undang dasar."
- Disamping itu pasal 31 UU No.14/1970 menyatakan bahwa:"Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Negara". Bila kita teliti lebih lanjut Penjelasan UUD 1945 juga terdapat beberapa kekuasaan, kewenangan dan wewenang Presiden, antara lain :
a. Presiden yang menjalankan haluan Negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh MPR.
b. Presiden, yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR.
c. Presiden, mandataris MPR, wajib menjalankan putusan-putusan MPR.
d. Presiden ialah penyelenggara Pemerintahan Negara yang tertinggi dibawah MPR.
e. Presiden tidak neben akan unter-geordnet kepada MPR.
f. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggungjawab adalah ditangan Presiden (Concentration of power and responsibility upon the presiden).
Terhadap butir-butir penjelasan UUD 1945 tersebut diatas sebenarnya dibawah sistem UUD 1945 dapat tercipta pemerintahan yang bertanggungjawab (responsible goverment). Dengan demikian sekaligus dapat kita sanggah pendapat yang menyatakan Indonesia menganut "non responsible system". Bahkan lebih konkrit lagi bahwa Presiden dalam kedudukan sebagai eksponen Mandaratis Majelis dengan sistem pemerintahan presidential yang terdapat dalam kerangka UUD 1945 adalah kombinasi sistem yang sangat tepat dan serasi sebagai intrumen yang stabil dan dinamis untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan yang termaktub dalam UUD 1945.
III
Konsekuensi logis dari azas concentration of power and responbility upon the Presiden, sebagaimana tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, telah menempatkan posisi presiden sebagai Top Manajer dan Top Administrator dalam memanage atau mengelola kehidupan nasional yang meliputi kehidupan negara dan bangsa. Oleh karena itu semua aparat eksekutif mulai dari tingkat menteri, ketua-ketua lembaga non departemen sampai kepada gubernur, bupati, camat dan lurah-lurah, adalah tanggungjawab presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara.
Secara yuridis konstitusional maupun dalam peraturan-peraturan organik lainnya, prinsip tersebut diatur dengan jelas, sehingga benar-benar secara sentral kekuasaan ditangani presiden sebagai mandataris majelis yang bertindak dalam kedudukan dan tanggungjawab, baik selaku kepala negara maupun kepala pemerintahan.
Sebagaimana kita ketahui UUD 1945 menggariskan bahwa pemerintah dalam bentuk lembaga negara itu hanyalah presiden dan wakil presiden sesuai dengan ketentuan pasal 4 ayat 1 dan 2, dimana ayat 2 berbunyi, "Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden". Pasal 4 ayat 2 ini presiden dalam bidang kekuasaan pemerintahan (eksekutif). Jika demikian pertanyaan bisa timbul, apakah kementerian itu bukan pemerintah ? Jawaban atas pertanyaan ini bisa ditentukan didalam penjelasan UUD 1945 pada sub judul "Menteri-menteri negara bukan pegawai tinggi biasa". Di sana disebutkan bahwa, meskipun kedudukan menteri negara tergantung dari pada presiden, akan tetapi mereka bukan pegawai tinggi biasa oleh karena menteri-menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan pemerintah (pouvoir executief) dalam praktek. Dengan demikian ada tiga lembaga negara secara konstitusional yang berstatus sebagai pemerintah Indonesia yaitu presiden, wakil presiden dan menteri-menteri: dua yang terakhir berkedudukan sebagai pembantu sebagai pembantu presiden.
Di dalam menjalankan kekuasaan pemerintah kedudukan menteri-menteri adalah sebagai "pembantu presiden" (vide pasal 17 ayat 1 UUD 1945). Menteri-menteri bertanggungjawab kepada Presiden, bukan kepada DPR atau MPR. Presidenlah yang mempertanggungjawabkan segala tindakan pemerintah kepada MPR. Presiden dalam mengangkat, memberhentikan dan mengganti menteri-menteri berkuasa penuh dan tidak diperlukan adanya badan formatur, karena formatur adalah presiden sendiri. DPR tidak dapat menggulingkan kabinet yang dipimpin presiden, kendatipun DPR tidak menyetujui kebijaksanaan menteri-menteri seperti dalam sistem pemerintahan parlemanter. Dengan demikian segala program pembangunan yang telah dirancangkan oleh pemerintah akan dapat dilaksanakan dengan tenang tanpa dihantui ancaman mosi tidak percaya dari DPR. DPR boleh setuju boleh tidak tetapi pemerintah jalan terus, karena memegang UUD 1945 memberikan kedudukan kepada pemerintah tidak tergantung kepada vertrounwensvotum (kepercayaan) dari DPR, maka dewan hanya bersifat sebagai "legislative council" saja.
Sebagai contoh yaitu persetujuan yang dimintakan oleh pemerintah kepada DPR menganai anggaran pendapatan dan belanja negara, DPR belum pernah menolaknya, kendatipun dibenarkan (vide pasal 23 ayat 1 UUD 1945), kecuali pada tahun 1960 yang mengakibatkan dibubarkannya DPR oleh presiden. Memang di dalam bidang legislatif kedudukan pemerintah sangat kuat, karena setiap produk legislatif memerlukan pengesahan dari presiden. Jadi seolah-olah undang-undang tidak dibuat oleh DPR, melainkan oleh pemerintah (wethgevinginomge keerde rechting), Dengan demikian dalam praktek ketatanegaraan RI presiden juga menjadi "Chief legislator".
Berikutnya dalam kerangka azas kesatuan sebagaimana disebut dalam pembukaan UUD 1945 dan azas kepentingan nasional yang tanggungjawabnya terletak ditangan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, maka selain menteri-menteri sebagai pembantu eksekutifnya ditingkat pemerintahan pusat, maka jalur kekuasaan eksekutif presiden secara vertikal adalah gubernur-gubernur, bupati-bupati, camat-camat sebagai kepala daerah/wilayah yang mewakili pemerintah usat yang bertugas memimpin pemerintahan, mengkoordi- pembangunan dan membina kehidupan masyarakat di segala bidang, dan sekaligus mereka adalah administratur yang meneruskan keadministrasian yang ditanggungjawabkan oleh Presiden selaku administratur tertinggi di tingkat pusat.
Dari apa yang dikemukakan di atas merupakan perihal mekhanisme pelaksanaan kekuasaan pemerintah oleh Presiden, berdasarkan UUD 1945 dan keten- tuan-ketentuan perundang-undangan. Dengan demikian cakupan dari ketentuan- ketentuan kekuasaan presiden menurut UUD 1945 dan mekhanisme pelaksanaan kekuasaan pemerintahan oleh Presdien, sebagaimana diulas diatas kiranya dapat memperjelas tentang konsep Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah negara dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
Bukanlah tindakan diktatur atau absolutisme jika Presiden melaku- kan/menggunakan kekuasaan-kekuasaan itu, sebab kekuasaan itu diberikan oleh UUD 1945. Permasalahannya adalah bagaimana kekuasaan konstitusional yang ada pada Presiden tidak bersalah guna atau tidak disalahgunakan. Apabila hal ini menjadi masalah maka issu ketatanegaraan pasca Sidang Istimewa MPR 2001, adalah menyangkut pembatasan kekuasaan Presiden.
IV
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian pertama tulisan ini bahwa dalam konsep ketatanegaraan Indonesia, MPR tidak melaksanakan sendiri selu- ruh kekuasaannya, tetapi kekuasaan tersebut didistribusikan kepada lembaga- lembaga tinggi negara dibawahnya. Dengan dianutnya konsep pembagian kekuasaan tersebut, maka dalam struktur ketatanegaraan Indonesia antara lembaga-lembaga negara di bawah MPR kedudukannya sederajat. Kesederajatan tersebut memberikan fungsi pada lembaga tertentu seperti misalnya DPR sebagai pengawas terhadap Presiden, fungsi pertimbangan DPA terhadap Presiden, dan MA dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan hukum kepada lembaga-lembaga tinggi negara lainnya.
Pengalaman membuktikan bahwa dalam praktek ketatanegaraan, pelaksa- naan fungsi dan tugas-tugas masing-masing lembaga negara tersebut sering menimbulkan konflik antar lembaga negara. Dalam konteks tulisan ini misalnya pada era Orde Baru, yang paling banyak menimbulkan permasalahan adalah pelaksanaan tugas antara Presiden dan DPR. Di satu pihak, masih dominannya Presiden dalam penyelenggaraan negara sementara DPR sangat lemah baik dari aspek pengawasan maupun legislatif sehingga terkesan hanya sebagai stempel atau legitimasi bagi eksekutif.
Dan sebaliknya pada era reformasi dewasa ini, posisi Presiden atau eksekutif bila dibandingkan dengan DPR cenderung lebih lemah, hal ini dapat kita saksikan dengan keberhasilan DPR menekan Presiden dalam berbagai bi- dang, antara lain misalnya dalam bidang pengawasan DPR mempergunakan hak interpelasi pada bulan Juli Tahun 2000, dan kemudian dilanjutkan dengan memorandum pertama dan memorandum kedua pada bulan Maret dan Juli 2001 dan kemudian berakhir dengan diberhentikannya Presiden dalam Sidang Istime- wa MPR pada akhir Juli 2001 yang telah lalu.
Fenomena ketatanegaraan di atas menunjukkan betapa sistem politik Indonesia atau sistem ketatanegaraan Indonesia yang menyangkut lembaga kepre- sidenan belum ada kepastian hukum di dalam praktek ketatanegaraan. Tidak jelasnya sistem Presidensiil yang diimplementasikan, masih dominan terlihat dengan ikut campurnya sistem parlementer. Dari berbagai konflik yang ada, tampaknya terjadi perbedaan tafsir konstitusi antara lembaga kepresidenan dan parlemen dalam melihat suatu persoalan.
Dengan melihat kenyataan-kenyataan diatas maka tidak dapat tidak proses amandemen UUD 1945 yang bermaksud membangun sistem Presidensiil sebagai suatu kesepakatan politik harus diupayakan secara optimal.
V
Berkaitan dengan persoalan yang diuraikan di atas, maka salah satu agenda besar di bidang hukum pasca Sidang Istimewa MPR 2001 adalah bagai- mana merealisasi ide demokrasi dan pembatasan kekuasaan Presiden. Tidak dapat dipungkiri untuk merealisasi ide demokrasi dan pembatasan kekuasaan terletak pada kelembagaan konstitusi atau Undang-undang Dasar. UUD 1945 yang selama ini tidak terjamah oleh ide perubahan, ternyata di era reformasi dewasa ini telah dua kali diubah melalui naskah perubahan pertama dan peruba- han kedua, dan akan dilanjutkan dengan perubahan berikutnya sampai tahun 2002.
Sekarang, pasca Sidang Istimewa MPR 2001 lembaga kepresidenan personalianya telah berganti, Presiden dan Wakil Presiden telah berubah, namun pertanyaan besar apakah Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu institusi akan pula terjadi perubahan yang berarti, baik yang tercermin dalam berbagai perang- kat peraturan perundang-undangan maupun dalam mekhanisme kerja dan kinerja konkrit lembaga Kepresidenan dalam praktek ketatanegaraan. Sehubungan dengan persoalan tersebut paling tidak pasca Sidang Istimewa MPR 2001 yang perlu diperhatikan adalah : menyangkut lemahnya sistem politik yang diterapkan di negeri ini. Sebagaimana di ketahui, perubahan rezim yang terjadi tiga tahun lalu diikuti oleh keinginan untuk membentuk pemerintahan baru yang benar- benar demokratis. Dalam hal ini kekuasaan Presiden yang dahulu dirasakan terla- lu absolut, harus dibatasi, termasuk membatasi hak-hak istimewa Presiden.
Dalam mengangkat dan memberhentikan KAPOLRI, Pimpinan TNI dan pejabat negara harus dengan persetujuan DPR. Dengan demikian presiden tidak lagi bertindak sewenang-wenang karena kekuasaannya akan dibatasi, dan pembatasan kekuasaan Presiden harus dilakukan secara legal konstitusional.
No comments:
Post a Comment