Thursday, August 19, 2010

KESEJARAHAN “ ILMU HUKUM”
(Oleh: Bagaskara Munjer Kawuryan)

Ilmu Hukum bukanlah Filsafat Hukum. Ilmu Hukum jauh lebih tua dari Filsafat Hukum, alasan untuk mengatakan bahwa Ilmu Hukum bahkan lebih tua dari hukum itu sendiri adalah, gejala kemasyarakatan yang sama tuanya dengan masyarakat (sebab tidak ada masyarakat yang tanpa hukum). Ilmu hukum, dengan demikian spesialisasi keprofesian dibidang hukum yang paling tua dalam sejarah. Sementara itu, filsafat hukum baru bisa hadir ribuan tahun setelahnya, sebagai upaya revolusioner terhadap ketidak berdayaan dan krisis yang melanda ilmu hukum ketika ia divonis gagal dalam membentuk dan menegakkan kaidah dan keputusan hukum sebagai suatu sistem yang logis dan konseptual. Di Athena sendiri, ilmu hukum “dua abad” lebih tua dari filsafat hukum dan juga mitologi hukum, bahwa Ilmu Hukum berada pada titik sentral dalam wilayah praktikal hukum, dalam artian aktivitas praktek hukum tidak akan pernah berjalan tanpa dukungan dari ilmu hukum. Sekalipun demikian, jelas akan ada bedanya antara ilmu hukum yang diterapkan secara praktik dengan Ilmu Hukum yang dipelajari dikampus. Esensi dari Ilmu Hukum itu hanya akan ditemukan dilapangan, sebab pada saat itulah ilmu hukum benar-benar tampil sebagai suatu spesialisasi, sedang dikampus para penstudi hanya akan berhadapan dengan teori hukum, yang berdasarkannya para penstudi diarahkan untuk menganalisis tentang pola yang digunakan ilmu hukum dalam menyelesaikan perkara-perkara aktual yang padanya diperhadapkan.

Sejak zaman kuno sesungguhnya akan ditemukan bahwa “pengembangan intelektual yang paling tua” terhadap hukum  itu bukanlah refleksi kefilsafatan yang selama ini disebut dengan filsafat hukum, melainkan “ilmu hukum” (dogmatika hukum), sebuah ilmu yang semata-mata diarahkan untuk menterjemahkan hukum kedalam ruangan pengolahan praktikal, ilmu ini seperti yang disebut-sebut teoritisi hukum adalah usaha intelektual untuk menginventarisasi, mengkompilasi serta mensistematisasi material-material hukum positif. Menurut Prof. Arief Sidharta “ilmu hukum adalah kegiatan intelektual yang berintikan pada penginventarisasian dan pengkompilasian aturan-aturan hukum positif serta pensistematisasian keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang berlaku, yakni produk interpretasi terkait kedalam atau menjadi suatu tata hukum nasional yang relatif koheren (memiliki sistem). Kegiatan ini diarahkan untuk menyelesaikan alternatif penyelesaia atas suatu masalah hukum konkret (sengketa yuridis)…”.

Ciri-ciri kehadiran ilmu hukum dalam lintasan sejarah sebagai berikut:
1.      Pada tingkat primitif (konvensional)
  1. Ilmu hukum yang diemban oleh pusat-pusat kekuasaan (raja)
  2. Ilmu hukum yang diaplikasikan oleh kalangan ningrat
  3. Ilmu hukum yang diemban oleh dewan-dewan kota
2.      Pada tingkat modern
  1. Ilmu hukum yang diaplikasikan rakyat melalui penyerahan mandat pada legislator alias badan pembentuk undang-undang.
  2. Ilmu hukum yang diaplikasikan para hakim.
  3. Ilmu hukum yang diaplikasikan oleh kaum praktisi (profesional) hukum alias pemangku profesi hukum.

Sebagai sebuah “spesialisasi”, ilmu hukum sudah “sedemikian tua”, bahkan setua hukum dan masyarakat itu sendiri. Kami tidak begitu yakin apakah ilmu hukum itu lebih tua dari mitologi (hukum), atau sebaliknya, namun yang jelas ketika kita menanyakan mana yang lebih dahulu “hukum atau ilmu hukum”? maka sama halnya dengan menanyakan “mana lebih dahulu telur atau ayam”? dalam hal ini, ilmu hukum dapat dianalogikan sebagai ayamnya, hukum sebagai telurnya. Hanya bedanya, ilmu hukum (lewat sistematisasi) dapat mengahasilkan produk hukum, sedang produk hukum dapat mengimplikasikan kehadiran ilmu hukum lainnya (interpretasi). Sedang ayam dapat menghasilkan telur, dan telur dapat menghasilkan ayam.

Sinyalemen tentang “kemunculan” ilmu hukum itu sendiri antara lain dapat kita perhatikan pada:
1.      Kedatangan dari kodifikasi yang sangat tua, yang muatan normatifnya, juga menuntut ruas pengaplikasian kedalam problem-problem tertentu kemasyaratan (menuntut ruang pengolahan praktikal), yang antara lain : Kodifikasi Urukagina dari Lagash sebuah kota kuno di Sumeria, Mesopotamai bagian selaatan (2360 SM – 2350 SM), Kodifikasi Sargon (2335 – 2279 SM), Kodifikasi Ur-Namru di Sumeria sekarang Siria (2113 – 2095 SWM), Kodifikasi Hitite dikawasan Asia Kecil dan Syria sekitar abad ke-13 SM (1511 – 1486 SM), Kodifikasi Lipit-Ihstar oleh penguasa dari Dinasti Isin sekarang Turki (1930 SM), Kodifikasi Hammurabi bangsa Babilonia (1792 – 1750 SM), dan lain-lain (baca: sebelas kodifikasi tertua). Jelas bahwa dengan pengusahaan sejumlah kodifikasi kuno semacam ini, tentu tidak hendak berfilsafat dengan hukum, melainkan berusaha menterjemahkan hukum kedalam ruang-ruang pengolahan teknikal atau praktikal, sekalipun itu pada tataran yang paling primitive. Namun, kita dapat mengatakan bahwa inilah bentuk terprototipikal dari ilmu hukum, “inventarisasi, kompilasi, dan sistematisasi material-material hukum”. Tidak mungkin untuk mengerjakan kodifikasi ini orang terlibat dengan pengutamaan mitologi ataupun filsafat hukum. Orang sepenuhnya butuh sesuatu yang lebih teknikal untuk melakukan ini. Dari anomali-anomali yang barangkali dapat ditemukan dalam kodifikasi-kodifikasi inilah, orang Yunani memunculkan filsafat hukum, usaha rasional yang hadir untuk menawarkan hal-hal baru atau barangkali lantaran orang-orang ketika itu tidak begitu terpuaskan dengan apa yang dicapai ilmu hukum dari kodifikasi-kodifikasi sedemikian itu, sehingga mulai beralih dan memperhatikan obyek-obyek yang sebelumnya diperhatikan dalam mitologi yang menurut mereka justru lebih berpihak pada kebenaran, untuk kemudian dikerjakan dibawah kultur rasional yang hari ini kita menyebutnya Filsafat Hukum.
2.      Hadirnya sejumlah “pengadilan-pengadilan” yang sangat kuno di Yunani, termasuk Areopagus yang didirikan dalam kisaran abad ke-12 SM (peristiwa disidangkannya Orestes dari Kaisar Agamemnon saat dipersalahkan karena membunuh ibu kandungnya, di hadapan dewan Areopagus), enam abad sebelum bergulirnya filsafat hukum. Keseluruhan kelembagaan ini sebagaimana pengadilan yang ada sekarang, juga terarah untuk menyelesaikan kasus-kasus actual hukum dalam konteks kemasyarakatan yang  tentunya dalam pengusahaannya akan melibatkan interpretasi atas fakta-fakta tertentu, untuk menetapkan apa hukumnya, yang landasannya hari ini para teoritisi hukum mengidentifikasinya dengan sebutan “hermeneutic”.
3.      Keberadaan dua cendekiawan hukum terkemuka bangsa Athena Draco dan Solon, dan juga seorang pintar dari Sparta yaitu Lycurgus (baca: Areopagus [sebuah nama pengadilan yang sangat kuno]; disebuah Bukit Bars), yang hidup dua abad sebelum menggelindingnya era filsuf-filsuf hukum. Ketiga orang ini bukanlah filsuf hukum, melainkan legislator dan ‘statesman’ (Negarawan) terbaik yang pernah dimiliki Yunani. Mereka bertiga adalah para profesional hukum yang pada dirinya memiliki kemampuan dan kemahiran mengorganisasi system hukum dalam penyelenggaraan kehidupan sehari-hari, suatu kemampuan dan kemahiran yang kita menyebutnya dengan Ilmu Hukum.

Ilmu hukum sejak pertama kemunculannya sama sekali tidak memiliki semangat yang universal, ia selalu bersifat lokal, dalam artian terikat pada ruang dan waktu dimana sisetem hukum itu ditegakkan dan diberlakukan. Dengan demikian, ia mencoba mengajak pengembannya untuk berpikir yuridik-praktikal. Bila kita konsisten bahwa ilmu hukum itu adalah semata-mata untuk tujuan praktek hukum (menawarkan sengketa-sengketa hukum), maka ilmu hukum adalah “ilmu tentang hukum positif (tidak lagi eksis). Sedang hukum positif selalu terikat pada ruang dan waktu tertentu, karenanya ilmu hukum tidak mungkin menyandang karakter universal.

Demikianlah, bahwa ilmu hukum merupakan kegiatan yang tersistematisasi yang selalu dijalankan secara berkesadaran oleh kaum pengembannya. Dalam artian, pengembannya selalu sadar atau menginsyafi dirinya, merasakan dirinya, sehingga ia akan selalu melakukan dialog dengan dirinya sendiri, kearah mana ia akan menuju dengan ilmu ini, melakukan dialog apa sebenarnya ia dapat menyadari bahwa apa yang ia lakukan itu memiliki nilai penting dan bermakna. Hal tersebut akan menjelaskan kualifikasi kesadaran diri dan pemikiran yang bersangkutan pada saat ia mengemban ilmu ini, sehingga pada masing-masingnya memiliki pengertian-pengertian, ajran-ajaran dan prioritas-prioritas prosedural yang diakui kesungguhannya. Selain itu, ilmu hukum hendak memproyeksikan objek-objek yang tidak lain dari kaidah-kaidah, asas-asas dan juga putusan hukum kedalam suatu sistem (sistem putusan). Didalam system itu sendiri kaidah-kaidah dan asas-asas tampil dalam suatu cara yang tidak lagi dapat diragukan, bahwa pada masing-masingnya terjalin keterkaitan berlandaskan relasi-relasi yang selalu diharapkan bermakna tunggal.